Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Moh Jumhur Hidayat menyatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 mengenai Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang berlaku mulai 7 Februari 2025, memiliki ketentuan yang lebih baik dibandingkan regulasi sebelumnya. Dalam aturan ini, pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mendapatkan kepastian berupa tunjangan sebesar 60 persen dari upah terakhir selama enam bulan.
“Alhamdulillah, aturan ini lebih menguntungkan bagi pekerja dibandingkan dengan PP sebelumnya. Artinya, pekerja yang mengalami PHK dapat menerima uang tunai sebesar 60% dari upah selama enam bulan. Kebijakan ini jelas mendukung pekerja dan berkontribusi dalam menjaga daya beli masyarakat, yang merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi,” ungkap Jumhur dalam pernyataan resminya di Jakarta, Minggu (16/2/2025).
Lebih lanjut, Jumhur menjelaskan, pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan keberpihakannya terhadap kelompok yang rentan, termasuk para pekerja.
Ia menekankan bahwa membela pekerja bukan berarti mengabaikan kepentingan dunia usaha, melainkan membangun sinergi untuk menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih menguntungkan.
“Yang perlu disingkirkan adalah hambatan ekonomi, seperti korupsi, praktik impor ilegal, serta keserakahan yang menghambat pertumbuhan usaha,” tambahnya dalam menanggapi korban PHK yang mendapatkan tunjangan sebesar 60 persen dari upah terakhir selama enam bulan.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, terjadi pengurangan pesangon yang signifikan bagi pekerja. Jika sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pesangon dapat mencapai 32 kali upah bagi pekerja dengan masa kerja puluhan tahun, kini jumlahnya dibatasi maksimal 19 kali upah.
Sebagai kompensasi, pekerja yang mengalami PHK diberikan manfaat tambahan berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Sesuai dengan ketentuan dalam PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, pekerja yang terkena PHK sebelumnya hanya memperoleh 45 persen dari upah selama tiga bulan pertama dan 25 persen dari upah untuk tiga bulan berikutnya, ditambah manfaat berupa pelatihan kerja agar mereka dapat beralih ke sektor lain.
Dengan diterbitkannya PP Nomor 6 Tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto menetapkan perubahan yang lebih menguntungkan bagi pekerja. Pasal 21 dalam regulasi ini menyatakan bahwa pekerja yang terkena PHK berhak mendapatkan tunjangan sebesar 60 persen dari upah terakhir selama enam bulan.
Selain itu, upah yang digunakan sebagai dasar pembayaran manfaat JKP adalah upah terakhir yang dilaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan, dengan batas maksimum Rp 5 juta. Jika upah pekerja melebihi batas tersebut, pembayaran manfaat tetap mengacu pada batas maksimal yang telah ditetapkan.
Perubahan lainnya dalam PP ini termasuk revisi pada Pasal 11, yang mengatur besaran iuran JKP. Sebelumnya, iuran ditetapkan sebesar 0,46 persen dari upah bulanan, tetapi kini diturunkan menjadi 0,36 persen. Iuran tersebut bersumber dari kontribusi Pemerintah Pusat dan dana JKP. Pemerintah menyumbang 0,22 persen dari upah pekerja per bulan, sedangkan 0,14 persen berasal dari rekomposisi iuran Program JKK.
Selain itu, PP ini juga menambahkan Pasal 39A yang menyatakan bahwa jika suatu perusahaan dinyatakan pailit atau tutup sesuai ketentuan perundang-undangan dan menunggak iuran hingga enam bulan, manfaat JKP tetap akan dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, ketentuan ini tidak menghapus kewajiban pengusaha untuk melunasi tunggakan dan denda program jaminan sosial ketenagakerjaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 39A ayat (2).
Dengan adanya perubahan dengan PP terkait pekerja yang di-PHK mendapatkan tunjangan sebesar 60 persen dari upah terakhir selama enam bulan, diharapkan daya beli masyarakat tetap terjaga, sekaligus memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja yang mengalami PHK.