PIKIRAN RAKYAT – Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mukhamad Misbakhun memperingatkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 memicu kekhawatiran serius di kalangan legislatif dan pelaku ekonomi nasional.
Menurut dia, industri tembakau adalah sektor yang banyak menyerap tenaga kerja dan padat karya.
“Regulasi ini berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga ratusan triliun rupiah serta mengancam kedaulatan kebijakan nasional,” katanya dalam keterangan di Jakarta, Senin 30 Juni 2025.
Diketahui, PP Nomor 28 Tahun 2024 adalah peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP ini mengatur berbagai aspek terkait penyelenggaraan upaya kesehatan, pengelolaan tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, kefarmasian, teknologi kesehatan, dan lain sebagainya.
PP Nomor 28 Tahun 2024 juga mengatur tentang pengamanan zat adiktif, termasuk rokok elektronik, dan ketentuan umum, jenis fasilitas, fasilitas pajak penghasilan, serta ketentuan pembebasan bea masuk.
Misbakhun menyoroti kontribusi besar sektor tembakau terhadap penerimaan negara. Pada 2024, Cukai Hasil Tembakau (CHT) tercatat mencapai Rp 216,9 triliun atau sekitar 72% dari total penerimaan kepabeanan dan cukai.
“Yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah sudah menyiapkan strategi pengganti penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 300 triliun di industri hasil tembakau ini?” ujarnya.
Dia menilai, PP 28/2024 sebagai pukulan telak terhadap industri hasil tembakau (IHT), yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi di berbagai daerah. Dikatakan, sektor ini tidak hanya terkait dengan isu kesehatan, tetapi juga menyangkut industri, pertanian, dan ketenagakerjaan padat karya.
Misbakhun secara khusus menyoroti pentingnya melindungi sigaret kretek tangan (SKT) sebagai kekuatan ekonomi lokal. Ditegaskan Misbakhun, sektor ini menghidupkan ekonomi rakyat, dari petani hingga pelaku industri kecil.
“Ini soal amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut, dia mempertanyakan legitimasi PP 28/2024 yang dinilai menyimpang dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagai kebijakan induknya.
Ia menilai PP tersebut mengatur hal-hal yang tidak secara eksplisit diatur dalam UU, bahkan melampaui kewenangannya. “PP 28/2024 ini sangat jelas apa yang tidak ada dalam UU diatur di dalam PP-nya,” katanya.
Dicontohkan Misbakhun, sejumlah ketentuan seperti pembatasan tar (zat kimia yang dihasilkan dari pembakaran rokok) dan nikotin, zonasi larangan iklan, hingga rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), aturan turunan PP 28/2024, yang menurut dia, tidak memiliki dasar hukum kuat dalam UU Kesehatan.
“Apakah boleh PP itu sebagai pelaksana UU mengatur hal yang berbeda dengan UU-nya? Inilah yang harus dijadikan acuan kita,” katanya.
Misbakhun juga mengkritik Rancangan Permenkes yang mengatur lebih lanjut soal penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Ia menilai hal ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap disiplin konstitusi dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. (*)
