Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Politik di Balik Beasiswa: Ketika Program Indonesia Pintar Menjadi Alat Kampanye di Polewali Mandar

Politik di Balik Beasiswa: Ketika Program Indonesia Pintar Menjadi Alat Kampanye di Polewali Mandar

Sementara itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengawasan Anggaran (LKPA) Polman, Zubair, turut mempertegas suara-suara kritis. Menurutnya, jika Bawaslu tidak segera menindak, maka politisasi PIP bisa menjadi luka yang berulang dan mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi yang jujur. “Jika Bawaslu gagal, maka jangan harap Pilkada ini akan melahirkan pemimpin yang amanah. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi perbuatan dosa,” kata Zubair.

Bagi banyak warga, PIP bukan sekadar program bantuan pendidikan. Di dalamnya, tersimpan harapan akan masa depan yang lebih baik, peluang untuk mengubah nasib. Seorang aktivis pendidikan, dengan nada marah yang nyaris tertahan, mengatakan, “Jika politik menyusup ke dunia pendidikan, ini bukan lagi sekadar politik uang, tetapi menyentuh masa depan anak-anak. Ini harus dihentikan.”

Masyarakat menunggu, melihat apakah Bawaslu akan bertindak, atau hanya menjadi saksi pasif dalam drama yang melibatkan mereka yang terpinggirkan. Bagi mereka yang bergantung pada bantuan ini, ancaman kehilangan bukanlah perkara ringan. Mereka sudah terbiasa dengan keadaan sulit, tetapi ancaman yang menyentuh pendidikan anak-anak mereka adalah sebuah batas yang tak ingin mereka langkahi.

Kini, di bawah lampu jalanan dan gemuruh kampanye, terselip sepotong kenyataan pahit: bahwa suara mereka, suara rakyat kecil, selalu layak didengar, dihargai, dan dilindungi. Beasiswa yang seharusnya menjadi tiket menuju masa depan seakan berubah menjadi simbol perjuangan, bukan hanya untuk akses pendidikan, tetapi juga untuk tegaknya demokrasi yang seharusnya bersih dari kepentingan yang merugikan. (*)