Polisi Diminta Selidiki Pagar Hutan Lindung 48 Hektare di Pantai Deli Serdang Medan 24 Februari 2025

Polisi Diminta Selidiki Pagar Hutan Lindung 48 Hektare di Pantai Deli Serdang
                
                    
                        
                            Medan
                        
                        24 Februari 2025

Polisi Diminta Selidiki Pagar Hutan Lindung 48 Hektare di Pantai Deli Serdang
Tim Redaksi
MEDAN, KOMPAS.com
– DPRD
Deli Serdang
dan Ombudsman Sumut meninjau lokasi
pemagaran
48 hektare kawasan
hutan lindung
di pesisir pantai di Desa Rugemuk, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Senin (24/2/2025).
Saat berada di sana, tampak pagar sepanjang 800 meter itu sudah dalam kondisi roboh.
Sebab, sehari sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) bersama warga telah meruntuhkannya.
Ketua DPRD Deli Serdang, Zakky Syahri, saat meninjau, mengatakan dirobohkannya pagar itu tidak serta-merta menyelesaikan persoalan.
Dia kemudian meminta Aparat Penegak Hukum (APH), baik polisi maupun institusi lainnya, menyelidiki dugaan pelanggaran hukum terkait pemagaran tersebut.

Hutan lindung
itu tidak boleh dikuasai atau digarap oleh masyarakat, makanya kita minta kepada APH, kalau ada pelanggaran hukum, untuk segera menindaklanjuti, apalagi orang-orang yang menguasai lahan tersebut,” ujar Zakky usai melakukan peninjauan.
“Karena sesuai perintah presiden, tanah negara harus segera diambil apabila dikuasai oleh pihak lain,” tambah Zakky.
Zakky juga mengatakan saat peninjauan dia melihat lahan yang dipagar terdapat tambak udang.
Dia menduga izin penambakan itu juga tidak ada.
“Karena tidak mungkin dikeluarkan izin usaha di atas tanah hutan lindung,” ungkapnya.
Di sisi lain, Zakky juga mengatakan saat ini Polda Sumut telah turun tangan menyelidiki persoalan ini.
Dia berharap, jika ada mafia tanah yang terlibat, polisi segera menangkapnya.
“Kita apresiasi pihak Polda hari ini, pihak Polda (telah) memanggil pihak terkait, termasuk camat dan lain-lain. Semoga (kalau) ada mafia tanah ini langsung diproses dengan hukum,” ujarnya.
Selain itu, kata Zakky, pihak DPRD akan menggelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk mengetahui persoalan ini secara komprehensif, termasuk menyelidiki pengakuan pihak pengusaha yang menyebut telah memiliki surat keterangan tanah (SKT) dari kecamatan.
“Kan masih katanya (ada SK-nya), tidak mungkin Pemkab mengeluarkan izin di atas lahan tanah hutan lindung, masih katanya. Makanya mau kita dalami di RDP, Insya Allah kita laksanakan minggu ini,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Ombudsman Sumut, Herdensi, mengimbau agar semua pihak yang berkaitan dengan pemagaran bisa menyelesaikannya secara substantif.
“Jadi bukan hanya membongkar pagarnya, tapi secara substantif menyelesaikan masalahnya. Kalau memang ini ternyata hutan lindung, ya harus dilindungi. Orang-orang yang tak bertanggung jawab melakukan pengelolaan di sini, saya kira harus ada langkah-langkah hukum untuk menyelesaikannya,” harapnya.
Sebelumnya diberitakan, kawasan hutan lindung di pesisir pantai Desa Rugemuk dipagari oleh pengusaha tambak dengan luas lahan yang dipagar mencapai 48 hektare dan panjang sekitar 800 meter lebih.
Pantauan
Kompas.com
pada Kamis (21/2/2025) menunjukkan bahwa pagar tersebut memiliki tinggi sekitar 3 meter dan jarak dari pantai ke lokasi pemagaran sekitar 300 meter (sebelumnya 30 meter).
Dari pantai di dekat lokasi pagar, terdapat plang yang menyatakan bahwa tanah di sekitar lokasi merupakan kawasan hutan negara.
Terkait pemagaran itu, Kepala Dinas LHK Sumut, Yuliani Siregar, terjun langsung ke lokasi pembongkaran.
Ia menegaskan bahwa kawasan hutan adalah milik negara dan bukan milik perorangan.
“Saya langsung sama masyarakat yang membongkarnya. Alasan pembongkaran yang pertama, adanya pengaduan masyarakat. Kedua, itu kawasan hutan, kawasan hutan lindung. Mana ada orang yang bisa memiliki kawasan hutan tanpa izin,” ujar Yuliani saat dihubungi melalui telepon seluler, Minggu (23/2/2025).
Yuliani menjelaskan bahwa berdasarkan pengamatannya di lapangan, terdapat sekitar 48 hektar lahan hutan yang dipagari oleh seorang pengusaha bernama Albert.
Dia menegaskan bahwa lahan hutan tidak boleh diperjualbelikan.
Ketika ditanya mengenai klaim pengusaha tersebut yang menyatakan telah membeli lahan dari masyarakat pada tahun 1982 dan memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dari camat dan lurah setempat, Yuliani mengaku heran.
Ia menegaskan bahwa lahan hutan tidak boleh diperjualbelikan.
Perusahaan yang memagari lokasi tersebut adalah PT Tun Sewindu.
Melalui kuasa hukumnya, Junirwan Kurnia, dijelaskan bahwa kliennya telah membeli lahan tersebut dari masyarakat sejak tahun 1982 melalui proses ganti rugi.
Pada tahun 1988, kliennya membangun pagar yang kini berukuran 900 meter dengan beton setinggi 40-50 meter dan sisanya terbuat dari seng.
“Jadi pagar itu sudah lama, cuma kemarin itu diperbaharui. Untuk lahan itu kita sudah memiliki SK Camat dan Lurah. Nah, kenapa itu dipagar? Karena kita tidak tahu bahwa itu kawasan hutan dulunya,” ungkap Junirwan.
Dia menambahkan bahwa baru pada tahun 1991 ada SK Penetapan Kawasan Hutan yang menyatakan bahwa sebagian lahan tersebut masuk ke dalam kawasan hutan lindung.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.