Jakarta, Beritasatu.com – Nathalie Holscher belakangan ini menjadi perbincangan hangat seusai viral mendapatkan saweran uang saat berperan sebagai DJ di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Dalam acara tersebut, ia menerima uang dalam pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000, seolah-olah ‘diguyur’ dengan uang.
Setelah dilakukan perhitungan, total uang saweran yang diterima Nathalie diperkirakan mencapai Rp 150 juta. Namun, aksi Nathalie dalam menerima saweran ini menuai beragam respons dari publik.
Salah satu reaksi yang mencolok datang dari Bupati Sidrap, Syaharuddin Alrif, yang menyatakan kekecewaannya. Ia berpendapat bahwa perilaku Nathalie tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai etika yang dijunjung oleh masyarakat Sidrap. Dalam konteks ini, Syaharuddin Alrif berharap Nathalie mau meminta maaf terkait tindakannya.
Kejadian ini menggambarkan percampuran antara budaya pop dan norma lokal, serta bagaimana tindakan individu dapat memicu diskusi publik mengenai nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat. Aktivitas seperti saweran, yang seharusnya menjadi momen perayaan, dalam konteks ini telah menimbulkan pro dan kontra yang signifikan.
Sejarah Uang Saweran
Saweran adalah tradisi yang umum ditemukan di Indonesia, terutama dalam konteks pernikahan dan perayaan komunitas lainnya.
Secara umum, saweran berarti memberikan sejumlah uang atau barang oleh tamu kepada pengantin atau tuan rumah sebagai wujud apresiasi dan dukungan. Tradisi ini memiliki kedalaman makna yang berkaitan dengan nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang berkeping.
Pada masa kolonial Belanda, saweran menjadi simbol stratifikasi sosial yang mencolok. Di era tersebut, praktik ini menunjukkan perbedaan status antara penjajah dan masyarakat pribumi.
Orang pribumi yang sering dianggap memiliki posisi sosial yang lebih rendah menjadi penerima saweran, yang secara implisit menegaskan hierarki kekuasaan dan ketidaksetaraan yang ada.
Dalam banyak kasus, saweran digunakan untuk menggambarkan kebaikan hati pemilik kekuasaan dan memberikan harapan di tengah keadaan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat yang dijajah.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan sosial yang terjadi, tradisi saweran kembali mendapatkan tempat di hati masyarakat sebagai bagian dari adat istiadat dan ekspresi rasa syukur.
Kini, saweran tidak hanya terbatas pada pernikahan, tetapi juga diaplikasikan dalam berbagai acara perayaan lainnya, seperti khitanan, ulang tahun, atau pengajian.
Praktik ini kini lebih diartikan sebagai ungkapan kebahagiaan dan solidaritas, di mana tamu undangan memberikan sumbangan sebagai bentuk dukungan finansial kepada pasangan pengantin atau tuan rumah.
Kembali populernya tradisi saweran juga dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan budaya lokal di tengah arus globalisasi.
Banyak orang berusaha mempertahankan saweran sebagai bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai komunitas yang telah ada sejak lama dan sebagai wadah untuk membangun hubungan sosial yang lebih erat.
Dalam konteks ini, saweran berfungsi tidak hanya sebagai ritual, tetapi juga sebagai pengikat sosial yang menguatkan solidaritas di antara warga masyarakat.
Dengan melihat perjalanan panjang tradisi saweran dari zaman kolonial hingga saat ini, terlihat adanya perubahan peran dan makna.
Meskipun awalnya dipengaruhi oleh unsur ketidakadilan sosial, saat ini saweran berkembang menjadi simbol kebersamaan dan ungkapan kebahagiaan, mencerminkan evolusi budaya Indonesia yang terus beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat.
Namun, kasus Nathalie Holscher di Sidrap menunjukkan bahwa konteks dan cara penyampaian tradisi ini tetap perlu disesuaikan dengan norma lokal dan sensitivitas budaya setempat. Meskipun aksi saweran dalam dunia hiburan sudah lumrah di sejumlah daerah atau kalangan, penerapannya tidak selalu diterima secara seragam di seluruh lapisan masyarakat.
