Untuk memperoleh pembiayaan transisi energi, salah satu yang paling utama menurut perspektif PLN adalah menyiapkan proyek yang tepatJakarta (ANTARA) – PT PLN (Persero) memaparkan strategi pembiayaan transisi energi guna mendukung visi swasembada energi di tanah air, dengan menggalang dana investasi hijau dari lembaga publik, bilateral, multilateral hingga swasta.
Dalam Indonesian Pavilion Talkshow “Fostering and Enabling Innovative Climate Finance Mechanism” di COP29, Baku, Azerbaijan, Selasa (12/11), Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly memaparkan berbagai inisiatif pendanaan hijau untuk mendukung proyek yang berkaitan dengan transisi energi di tanah air.
“Untuk memperoleh pembiayaan transisi energi, salah satu yang paling utama menurut perspektif PLN adalah menyiapkan proyek yang tepat. Kami punya ratusan daftar proyek mulai dari pembangkitan, transmisi dan distribusi, termasuk juga smart grid,” ujar Sinthya melalui keterangan di Jakarta, Rabu.
Dalam konteks ini, PLN telah merancang beberapa inisiatif pembiayaan hijau, salah satunya melalui penyusunan Sustainable Linked Financing Framework (SLFF) dan Green Financing Framework (GFF).
PLN menargetkan pengembangan pembangkit berbasis energi terbarukan sebesar 75 persen. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan pendanaan yang diperkirakan mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS hingga 2033.
Sinthya juga menambahkan bahwa PLN akan terus mengeksplorasi berbagai opsi pendanaan, baik melalui kerja sama dengan pemberi pinjaman internasional maupun sumber daya lokal untuk memastikan transisi energi berjalan sesuai rencana.
Beberapa partner institusi keuangan yang memberikan dukungan untuk transisi energi PLN di antaranya World Bank, Asian Development Bank (ADB) hingga Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Dalam dua tahun terakhir, kami telah mendapatkan sekitar 2,9 miliar dolar AS, dan saat ini kami sedang berdiskusi dengan ADB untuk pembiayaan sekitar 4,8 miliar dolar AS. Kami juga tengah berbicara dengan beberapa investor lain dan total potensi pendanaan yang sudah kami miliki saat ini sebesar 46,9 miliar dolar AS,” kata Sinthya.
Sementara itu, Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral Mari Elka Pangestu mengatakan, Pemerintah Indonesia telah menginisiasi Global Blended Finance Alliance (GBFA) guna merangkul berbagai negara berkembang untuk berkolaborasi dalam pembiayaan transisi energi. Sejak diluncurkan di KTT G20, GBFA telah diikuti oleh beberapa negara seperti Perancis, Kanada dan Kenya.
“GBFA bertujuan untuk membantu pembiayaan sebagai upaya mengurangi perubahan iklim dan SDGs. Perkiraan (pembiayaan) untuk aksi iklim saja berkisar antara 1-2 triliun dolar AS. Jika ditambahkan upaya SDGs ke dalamnya, jumlahnya akan mencapai sekitar 6 triliun dolar AS,” ujar Mari.
Dalam hal ini, lanjut Mari, negara berkembang termasuk Indonesia harus merancang strategi untuk menyiasati gap pendanaan tersebut.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, dibutuhkan sekitar 280 miliar dolar AS untuk seluruh aksi iklim Indonesia hingga tahun 2030 yang hanya sekitar 30 persen bisa didanai anggaran negara, sehingga sisanya akan bersumber dari swasta dan sumber lainnya.
“Sebagaimana yang disampaikan Pak Hashim (Hashim Djojohadikusumo) dalam sambutannya kemarin, beliau menegaskan bahwa pemerintahan baru akan melanjutkan komitmen pemerintahan sebelumnya. Dan ini (GBFA), adalah salah satu komitmen yang kami harap dapat dilanjutkan,” ucap Mari.
Baca juga: Emisi karbon global capai rekor tertinggi, RI tunjukkan tren penurunan
Baca juga: Indonesia tegaskan akan lanjutkan semua komitmen tingkatkan aksi iklim
Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024