Perusahaan: Twitter

  • Wow! Kongres AS Ungkap Kemunculan UFO, Tak Jatuh Meski Ditembak Rudal!

    Wow! Kongres AS Ungkap Kemunculan UFO, Tak Jatuh Meski Ditembak Rudal!

    GELORA.CO – Sebuah video baru yang ditampilkan dalam sidang Kongres Amerika Serikat memicu kehebohan. Rekaman tersebut diduga memperlihatkan rudal Hellfire militer AS yang memantul setelah ditembakkan ke arah objek terbang misterius di perairan Yaman.

    Video ini diputar oleh anggota Kongres Eric Burlison dalam sidang subkomite Pengawasan Pemerintah DPR terkait Fenomena Anomali Tak Teridentifikasi (UAP), istilah resmi militer untuk UFO. Ia menyebut video itu diperoleh dari rekaman drone MQ-9 Reaper pada 30 Oktober 2024.

    Dalam rekaman, terlihat sebuah objek terang bergerak cepat di atas ombak, lalu tampak terkena rudal. Namun bukannya hancur, objek itu tetap melaju dengan lintasan yang sama seolah tidak terpengaruh.

    🔥🚨BREAKING: This footage of a UFO deflecting a hellfire missile that was filmed by an MQ-9 drone October 30, 2024 was just shown in front of Congress for the first time.

    pic.twitter.com/bTDXYMl0LX

    — Dom Lucre | Breaker of Narratives (@dom_lucre) September 9, 2025

    Burlison menegaskan dirinya tidak akan berspekulasi mengenai apa sebenarnya objek tersebut. Namun ia mempertanyakan mengapa publik sering dibatasi aksesnya terhadap informasi seperti ini.

    “Saya tidak akan menjelaskannya kepada Anda, Anda akan melihat dengan tepat apa yang dilakukannya,” ujar Burlison saat klip video diputar, dikutip dari ABC News, Rabu (10/9/2025).

    Peristiwa itu kabarnya terjadi di tengah konflik di Laut Merah, di mana kapal dan pesawat tempur AS kerap menghadapi serangan rudal serta drone dari kelompok Houthi Yaman. Hingga kini, belum jelas apakah objek dalam video tersebut merupakan ancaman bagi kapal militer atau komersial.

    Jurnalis investigasi George Knapp yang turut hadir dalam sidang menilai video ini penting untuk diketahui publik. Ia menyebut rekaman itu jelas menunjukkan rudal yang gagal menembus objek misterius.

    “Publik seharusnya melihat hal ini, dan mengapa Anda tidak diizinkan, saya tidak tahu,” kata George Knapp.

    Meski demikian, pihak Departemen Pertahanan AS menolak memberikan komentar. Seorang pejabat pertahanan hanya mengatakan tidak ada informasi yang bisa dibagikan terkait keaslian video maupun lokasi pengambilan gambar.

    Pentagon melalui Kantor Resolusi Anomali All-domain (AARO) masih menyelidiki berbagai laporan UAP dari personel militer. Beberapa kasus telah dijelaskan, namun banyak pula yang masih misterius tanpa bukti adanya keterlibatan teknologi luar angkasa.

    Kejadian ini mengingatkan pada video terkenal ‘Go Fast’ tahun 2015, yang kemudian dijelaskan sebagai ilusi optik akibat balon cuaca. Namun berbeda dengan kasus lama, sensor militer saat ini dianggap lebih canggih sehingga analisis bisa lebih mendetail.

    Menutup sidang, anggota Kongres Anna Paulina Luna kembali memutar video tersebut dan menanyakan pendapat para panelis. Hampir semuanya mengaku merasa khawatir, kecuali Knapp yang justru lega karena rekaman itu akhirnya dipublikasikan.

  • Rahayu Saraswati Mundur dari DPR, Netizen Ramai Komen Begini

    Rahayu Saraswati Mundur dari DPR, Netizen Ramai Komen Begini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Rahayu Saraswati Djojohadikusumo resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra. Hal tersebut ia umumkan secara publik melalui akun Instagram personalnya pada Rabu (10/9) malam.

    “Dengan ini, saya menyatakan pengunduran diri saya sebagai anggota DPR RI kepada Fraksi Partai Gerindra,” kata Saraswati dalam video yang diunggah berdurasi 6 menit.

    Sebagai informasi, Saraswati merupakan keponakan dari Presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya, Saraswati ramai jadi sorotan setelah cuplikan wawancara lamanya di sebuah podcast viral.

    Pernyataannya yang banyak disorot terkait dorongan agar anak muda mencari peluang membangun bisnis, ketimbang terus-terusan bergantung pada lapangan kerja dari pemerintah.

    Saraswati mengakui potongan ucapan tersebut melukai banyak pihak, terutama bagi anak muda yang tengah berjuang merintis usaha. Ia meminta maaf atas kesalahannya tersebut dan memilih mundur.

    Mundurnya Saraswati kembali menjadi sorotan netizen. Pantauan CNBC Indonesia, Kamis (11/9/2025), kata kunci ‘Rahayu Saraswati’ masuk daftar trending topic d X yang menghimpun ribuan kicauan.

    Banyak netizen yang memuji keberanian Saraswati untuk bertanggung jawab atas kesalahannya dan memilih mundur. Berikut yang dirangkum CNBC Indonesia:

    [Gambas:Twitter]

    [Gambas:Twitter]

    [Gambas:Twitter]

    [Gambas:Twitter]

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Aplikasi Pengganti WhatsApp, Chat Tanpa Butuh Internet dan Nomor HP

    Aplikasi Pengganti WhatsApp, Chat Tanpa Butuh Internet dan Nomor HP

    Jakarta, CNBC Indonesia – WhatsApp kini punya pesaing baru, aplikasi chat tanpa internet bernama Bitchat. Aplikasi buatan pendiri Twitter, Jack Dorsey, memungkinkan pengguna berkirim pesan tanpa koneksi seluler maupun WiFi.

    Bitchat kini mulai tersedia secara luas untuk publik dan bisa diunduh di Apple App Store. Pantauan CNBC Indonesia, Bitchat telah tersedia untuk pengguna App Store di Indonesia.

    Aplikasi memiliki ukuran 2 MB dan bisa diakses untuk iOS 16, macOS 13.0, dan Mac dengan Apple M1.

    Dorsey juga menuliskan pesan dalam keterangannya di App Store. Dia menyebutkan aplikasi ini tak membutuhkan data nomor ponsel atau email.

    Selain itu, Dorsey menjanjikan pesan di dalam aplikasi juga terlindungi dengan teknologi enkripsi.

    Berbicara dengan orang-orang di sekitar Anda. Tidak perlu nomor ponsel atau email. Sidegroupchat untuk fungsi apapun. Menggunakan bluetooth mesh, tidak perlu internet. Meneruskan pesan untuk jarak jauh! Pesan pribadi terenkripsi,” tulis Dorsey, dikutip Kamis (11/9/2025).

    Bitchat memang hadir dengan konsep yang berbeda dengan pesaingnya WhatsApp maupun Telegram. Aplikasi ini tak butuh internet dan hanya bekerja dengan jaringan Bluetooth antar perangkat atau mesh network.

    Dengan mesh network, Bitchat akan membuat perangkat saling terhubung dan membentuk klaster lokal. Jadi pesan dapat berpindah dari satu perangkat ke perangkat lainnya, serta memperluas jangkauan komunikasinya.

    Konsep tersebut membuat Bitchat cocok digunakan pada wilayah tanpa internet, diblokir atau menghindari pengawasan. Bitchat mirip dengan aplikasi yang digunakan demonstran Hong Kong untuk berkomunikasi saat internet dibatasi pada 2019 lalu.

    Kehadiran di App Store terjadi setelah sebelumnya Bitchat telah bisa digunakan melalui TestFlight untuk pengguna iOS. Dokumen teknisnya juga tersedia di GitHub.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ngeri, Aktivis Pro-Trump Charlie Kirk Tewas Ditembak Saat jadi Pembicara di Kampus

    Ngeri, Aktivis Pro-Trump Charlie Kirk Tewas Ditembak Saat jadi Pembicara di Kampus

    GELORA.CO –  Charlie Kirk, aktivis konservatif berusia 31 tahun yang dikenal sebagai sekutu dekat Presiden Donald Trump, tewas setelah tertembak.

    Peluru bersarang di bagian lehernya. Penembakan terjadi saat ia menjadi pembicara dalam sebuah acara publik di Universitas Utah Valley, Rabu (10/9/2025) malam waktu setempat2.

    Insiden penembakan terjadi saat Kirk tengah menjawab pertanyaan dari audiens dalam forum mahasiswa bertajuk “The American Comeback”.

    Dalam video amatir yang beredar luas di media sosial, terlihat Kirk mengangkat tangan sebelum suara tembakan terdengar.

    Seketika tubuhnya tersungkur dari kursi, darah mengucur deras dari lehernya, dan ribuan peserta yang hadir langsung panik dan berhamburan3.

    Polisi menduga tembakan berasal dari atap gedung kampus. Namun hingga kini, status pelaku masih simpang siur.

    Direktur FBI Kash Patel menyebut pihaknya menahan terduga pelaku. Namun pejabat lokal menyatakan tersangka utama masih buron.

    Kirk sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat dalam kondisi kritis. Namun nyawanya tak berhasil diselamatkan.

    Kabar duka ini dikonfirmasi langsung oleh Presiden Donald Trump melalui akun Truth Social miliknya.

    Dalam unggahannya, Trump menyampaikan rasa kehilangan mendalam atas wafatnya Kirk.

    “Sosok hebat, bahkan legendaris, Charlie Kirk telah tiada. Tak ada yang memahami hati pemuda Amerika lebih baik dari Charlie. Ia dicintai semua orang, terutama saya,” tulis Trump.

    Sebagai bentuk penghormatan, Trump memerintahkan seluruh bendera Amerika Serikat dikibarkan setengah tiang hingga Minggu mendatang.

    Charlie Kirk dikenal luas sebagai pendiri dan CEO Turning Point USA, organisasi konservatif pemuda terbesar di AS yang aktif mengadvokasi nilai-nilai nasionalisme dan kebebasan berpendapat.

    Ia juga mendirikan Turning Point Action, sayap politik dari gerakan tersebut yang berperan besar dalam mobilisasi dukungan anak muda untuk kemenangan Trump di Pilpres 2024.

    Kirk memiliki lebih dari 5 juta pengikut di platform X (Twitter) dan menjadi host podcast populer The Charlie Kirk Show.

    Ia kerap tampil di berbagai forum publik dan media konservatif, termasuk Fox News, dengan retorika tajam yang menyasar isu ras, gender, dan imigrasi.

    Kematian Kirk menambah daftar panjang kasus kekerasan politik di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir.

    Sebelumnya, publik dikejutkan oleh pembunuhan anggota parlemen Minnesota Melissa Hortman dan suaminya, pengeboman parade Colorado, serta penembakan terhadap Trump saat kampanye.

    Gubernur Utah Spencer Cox menyebut insiden ini sebagai “pembunuhan politik” dan menyatakan bahwa hari tersebut adalah “hari gelap bagi negara”.

    Sementara itu, Gubernur California Gavin Newsom dari Partai Demokrat turut mengecam aksi tersebut sebagai “keji dan tidak bisa diterima”.

    Charlie Kirk meninggalkan seorang istri, Erika, mantan Miss Arizona USA, dan dua anak mereka.

    Kepergiannya menjadi pukulan telak bagi komunitas konservatif Amerika.

    (*)

  • 7
                    
                        Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
                        Nasional

    7 Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah Nasional

    Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    PERISTIWA
    mengejutkan yang terjadi di Nepal tentu disebabkan oleh banyak faktor, tak berbeda dengan demonstrasi besar-besaran di Indonesia tempo hari.
    Namun, biasanya faktor-faktor tersebut membutuhkan pemicu. Dan di Nepal pemicunya adalah kebijakan pemerintahnya yang memberlakukan larangan terhadap sekitar 26 platform media sosial besar, termasuk Facebook, X (Twitter), YouTube, Instagram, WhatsApp, dan lainnya, pada awal September 2025.
    Media sosial adalah separuh dari kehidupan dari Gen Z. Sehingga cukup bisa dipahami mengapa kebijakan tersebut mendadak menjadi pemicu pecahnya amarah “Gen Z” di Nepal, lalu membuat mereka turun ke jalan, dan berakhir dengan pertunjukan kemarahan atau amuk massa yang jauh lebih masif dibanding Indonesia.
    Sebenarnya, kebijakan pelarangan sebagian besar platform media sosial di Nepal bukan karena pemerintahannya benar-benar ingin melarang.
    Jika kita dalami, penyebab utamanya adalah kegagalan, boleh jadi disengaja atau hanya kebetulan, dari platform-platform tersebut untuk mendaftarkan diri pada pemerintahan Nepal, sebagaimana telah diminta sebelumnya.
    Pemerintah Nepal terpantau telah memberikan tenggat selama tujuh hari sejak 28 Agustus 2025, bagi perusahaan media sosial untuk mendaftar kepada pemerintah dan telah menetapkan kantor di mana pendaftaran harus dilakukan beserta pejabat pengaduan yang bisa dihubungi.
    Namun platform-platform besar itu gagal mematuhi tenggat waktu tersebut, sehingga membuat pemerintah Nepal terpaksa harus memutuskan untuk memblokir akses terhadap platform-platform tersebut pada 4 September 2025.
    Di satu sisi, pemerintah Nepal memang gagal memberikan narasi yang memuaskan atas kebijakan pelarangan tersebut.
    Di sisi lain, pemerintah Nepal justru menyampaikan bahwa tujuan larangan adalah untuk menangani penyebaran misinformasi,
    hate speech,
    dan kehadiran platform-platform tanpa ikatan regulasi yang jelas.
    Walhasil, banyak pengamat dan kelompok hak asasi manusia akhirnya melihat narasi tersebut sebagai bentuk sensor dan upaya pembungkaman atas kebebasan berekspresi (
    freedom of speech
    ).
    Menanggapi itu, pada 8 September 2025, aksi unjuk rasa besar terjadi di Kathmandu, khususnya di sekitar Gedung Parlemen dan area Maitighar Mandala.
    Ribuan pemuda yang tergabung dalam gerakan “Protes Gen Z” turun ke jalan, menuntut pencabutan larangan terhadap media sosial sambil menyoroti isu korupsi dan pengangguran.
    Demonstrasi yang semula damai kemudian berubah menjadi perlawanan yang diiringi oleh kekerasan.
    Di sisi lain, Kepolisian mulai menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bahkan peluru tajam. Sehingga 19 orang setidaknya tercatat tewas dalam bentrokan tersebut, yang membuat perlawanan justru semakin menjadi-jadi.
    Larangan media sosial bukan hanya penyebab langsung demonstrasi, tetapi juga simbol atau semacam pemicu dari ketegangan, terutama antara generasi muda dan pemerintahan setempat.
    Ketegangan tersebut khususnya terkait masalah korupsi, kebebasan berpendapat, dan frustrasi terhadap masa depan para generasi muda, sebagaimana analisis saya terhadap perlawanan sosial di Indonesia tempo hari.
    Selama ini, platform-platform media sosial sudah lazim menjadi sarana utama bagi generasi muda Nepal untuk menyuarakan kritik, menyebarkan informasi, dan mengorganisir aksi.
    Ketika akses itu dicabut secara tiba-tiba, tidak pelak dianggap sebagai serangan langsung terhadap ruang digital yang mereka anggap milik bersama. Ekspresipun akhirnya berpindah ke dunia nyata.
    Dengan kata lain, demonstrasi yang berujung kerusuhan di Nepal mencerminkan akumulasi ketidakpuasan sosial-ekonomi yang sudah cukup dalam dan lama di satu sisi dan bersifat multidimensi di sisi lain.
    Krisis harga kebutuhan pokok, terutama bahan makanan dan energi, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat bak air bah berbondong-bondong turun ke jalan.
    Lonjakan inflasi yang tidak seimbang dengan pertumbuhan pendapatan rumah tangga membuat kelompok kelas menengah ke bawah dan masyarakat miskin semakin terdesak secara sosial dan ekonomi.
    Selain faktor ekonomi, ada dimensi struktural di dalam masyarakat Nepal yang memperburuk situasi.
    Sistem politik yang masih rapuh pasca-transformasi republik sering kali gagal memberikan respons cepat terhadap kebutuhan rakyat.
    Elite politik kerap terjebak dalam persaingan kekuasaan yang dangkal, sementara kebijakan publik yang pro-rakyat gagal dihadirkan.
    Ketidakpuasan publik terhadap korupsi, birokrasi yang lamban, dan kesenjangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan turut menambah rasa frustrasi generasi muda.
    Kombinasi ini melahirkan persepsi bahwa negara tidak hadir untuk melindungi dan bekerja demi rakyatnya di dalam masa krisis.
    Kerusuhan yang terjadi juga mengindikasikan adanya ketegangan antara generasi muda dengan struktur sosial lama.
    Anak muda Nepal yang sudah lama berhadapan dengan tingkat pengangguran tinggi merasa tidak memiliki masa depan yang pasti di dalam negeri mereka sendiri.
    Banyak dari generasi muda Nepal ini, terutama Gen Z, bermigrasi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah atau India, untuk mencari penghidupan.
    Ketika peluang domestik semakin sempit dari hari ke hari, frustrasi mereka menjadi semakin mudah bertransformasi menjadi aksi-aksi massif yang frontal.
    Demonstrasi pun akhirnya menjadi wadah ekspresi politik sekaligus pelarian emosional atas kekecewaan yang sudah menumpuk bertahun-tahun.
    Masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat Nepal tersebut berpadu dengan lemahnya kapasitas negara dalam mengelola demonstrasi.
    Aparat keamanan sering kali bertindak represif, mirip dengan di Indonesia, yang justru memperburuk ketegangan dan memicu eskalasi kerusuhan.
    Bukannya menjadi sarana mediasi, intervensi aparat malah memperlihatkan wajah negara yang cenderung mengutamakan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.
    Hal tersebut tak pelak memperkuat narasi oposisi bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat, melainkan hanya menjaga status quo bagi elite politik dan ekonomi yang sudah sedari dulu hidup dalam kemewahan.
    Pun tak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, sebagaimana sempat saya bahas dalam beberapa tulisan terdahulu, dari perspektif sosial-ekonomi, demonstrasi masif di Nepal merepresentasikan jurang ketidaksetaraan yang makin menganga.
    Pertumbuhan ekonomi Nepal memang lebih banyak dinikmati oleh kalangan terbatas di perkotaan. Sementara sebagian besar masyarakat kelas bawah dan pedesaan justru masih hidup dengan keterbatasan infrastruktur, layanan kesehatan, akses pendidikan bahkan pangan.
    Ketimpangan ini menciptakan persepsi dan rasa ketidakadilan sosial di tengah-tengah generasi muda Nepal, yang hanya membutuhkan satu trigger untuk berubah menjadi ledakan sosial berupa protes masal.
    Walhasil, kerusuhan pada akhirnya bukan lagi tentang harga barang atau kebijakan jangka pendek, tetapi berubah menjadi isu kegagalan sistemik dalam mendistribusikan kesejahteraan secara adil kepada masyarakat Nepal.
    Tak pula bisa dipungkiri ada
    effect domino
    dari gerakan demonstrasi masif yang terjadi di Indonesia jelang akhir Agustus lalu.
    Jika diperhatikan secara komparatif di media-media sosial, terutama di Asia dan Asia Tenggara,
    effect domino
    dari Indonesia memang terjadi, terutama di negara-negara seperti Filipina, Thailand, dan tentunya Nepal ini.
    Effect domino
    terjadi di negara-negara yang pemerintahannya dianggap cenderung korup, oligarkinya kuat, atau politik dinastinya menonjol, pun negara yang masih mempertahankan sistem tradisional seperti di Nepal, tapi kinerja penguasanya cenderung dianggap sangat tidak memuaskan.
    Namun, negara-negara yang memiliki sistem pemerintahan yang kuat, tingkat konsolidasi elitenya juga sangat tinggi, sekalipun tidak terlalu demokratis, tapi berkinerja baik, seperti Singapura, banyak sedikitnya juga Malaysia,
    effect domino-
    nya sangat mudah ternetralisasi oleh publik negara itu sendiri.
    Sementara negara-negara yang memang sudah didominasi oleh elite politik dan militer, hampir bisa dipastikan sulit untuk terimbas efek domino, karena ruang publiknya cenderung dikontrol secara ketat.
    Salah satu indikasi
    effect domino
    tersebut di Nepal adalah bendera
    One Piece
    yang juga digunakan di Nepal dan cukup masif beredar di media sosial Filipina dan Thailand.
    Di Nepal, memang banyak demonstran muda mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami alias ikon Straw Hat Pirates dari manga/anime
    One Piece
    yang digadang-gadang sebagai simbol perlawanan terhadap sensor dan korupsi pemerintah.
    Lantas pertanyaannya, mengapa Gen Z?
    Tentu tidak berbeda dengan Indonesia tempo hari. Gen Z di Nepal jumlahnya juga sangat besar. Di Indonesia, Gen Z menjadi generasi terbesar, sekitar 26 persen dari total penduduk berdasarkan data Pemilu 2024 lalu.
    Apalagi jika memakai kacamata sosiolog Hungaria Karl Mannheim, misalnya, generasi bukan hanya soal usia biologis, melainkan juga kesadaran kolektif yang terbentuk melalui pengalaman historis bersama.
    Gen Z dan Gen Milenial sudah sulit dipisahkan jika keduanya berada pada isu yang sama.
    Gen Z di Nepal tak berbeda dengan Gen Z di belahan dunia lainnya. Mereka tumbuh di era digitalisasi global, keterhubungan yang intens melalui media sosial, serta ekspektasi pada mobilitas sosial yang lebih baik.
    Namun, ketika harapan tersebut berbenturan dengan realitas struktural berupa pengangguran, ketimpangan, dan yang aktual kini sensor digital, misalnya, maka otomatis terbentuklah kesadaran kolektif untuk melawan.
    Demonstrasi pun menjadi ekspresi politis dari “unit generasional” yang merasa hak-hak fundamental mereka telah diabaikan. Dan ekspresi tersebut ternyata merepresentasikan perasaan publik secara umum. Klop sudah.
    Dari perspektif teori ruang publik Jürgen Habermas, misalnya, media sosial berfungsi sebagai arena deliberasi dan artikulasi kepentingan publik.
    Bagi Gen Z, tak terkecuali di Nepal, platform digital seperti Facebook, Instagram, dan X bukan sekadar alat komunikasi, tetapi ruang politik yang memungkinkan mereka membangun identitas, solidaritas, dan narasi tandingan terhadap negara.
    Sehingga larangan media sosial yang diberlakukan pemerintah akan serta-merta dilihat sebagai upaya menutup ruang publik digital, yang justru mempercepat mobilisasi berpindah ke jalanan.
    Dengan kata lain, ketika ruang komunikasi formal dibatasi, generasi muda akan mencari kanal ekspresi alternatif melalui aksi kolektif, yang berpotensi berujung kerusuhan jika keresahan sudah mencapai titik “kemuakan kelas dewa”.
    Laurie Rice dan Kenneth Moffett di dalam buku mereka, “The Political Voices of Generation Z”(2021), mengafirmasi mengapa Gen Z cenderung tidak sama dengan generasi sebelumnya di dalam berekspresi, karena mereka lebih progresif dan berani.
    Gen Z, kata Rice dan Moffett, memiliki orientasi politik yang cenderung lebih progresif dibandingkan generasi Milenial maupun generasi X.
    Dari sisi pandangan, gen Z lebih terbuka terhadap keberagaman, lebih peduli pada inklusivitas, dan lebih getol menuntut transparansi dari institusi politik.
    Bahkan kedua penulis ini menemukan bahwa tingkat kepercayaan Gen Z terhadap institusi tradisional, seperti partai politik dan lembaga pemerintah, cenderung rendah.
    Hal ini menimbulkan pola partisipasi yang lebih banyak bergerak di luar sistem formal, misalnya melalui gerakan sosial atau kampanye digital.
    Kendati demikian, dalam hemat saya, pola tersebut berlangsung dalam kondisi normal. Jika titik didihnya sudah tercapai, pemicunya tepat, maka pembakaran dan perlawanan masif akan menjadi model partisipasi yang masuk akal.
    Dengan kata lain, toh Gen Z memang sudah kurang percaya pada institusi elite dan pemerintahan.
    Lalu, saat institusi-institusi ini melakukan hal-hal di luar etika dan kewajaran, bahkan terkesan meremehkan masyarakat banyak, termasuk generasi muda, apalagi sampai membatasi ruang gerak generasi muda, maka hal-hal di luar nalar dan perkiraan pun akhirnya bisa masuk akal di mata para Gen Z.
    Singkat kata, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin berpesan kepada pemerintah bahwa diakui atau tidak, pemerintahan hari ini di sini dimenangkan oleh Generasi Z. Bahkan suara generasi yang satu ini menjadi penentu pemilihan tempo hari.
    Di permukaan, Gen Z memang mudah terpukau populisme, bahkan hanya dengan tarian dan jogetan ala kadarnya.
    Namun, dalam hemat saya, hal itu baru sekedar gambaran preferensi dan kesukaan politik semata, belum menjadi gambaran kepercayaan penuh.
    Maka raihlah kepercayaan penuh dari generasi ini, dengan perbaikan yang berarti di segala lini sekaligus benar-benar menyentuh akar persoalan, jika tak ingin “grievances” dari Gen Z kita berubah menjadi “Revenge”.
    Gen Z memang mudah terpukau, tapi tidak berarti mereka tak kritis dan tak bernyali seperti yang terjadi di Nepal itu. Mohon dicatat!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Serangan Israel di Ibu Kota Yaman Tewaskan 35 Orang, 131 Luka-luka

    Serangan Israel di Ibu Kota Yaman Tewaskan 35 Orang, 131 Luka-luka

    Jakarta

    Serangan Israel ke Ibu Kota Yaman, Sanaa, menewaskan 35 orang. Sementara 131 orang dilaporkan mengalami luka-luka.

    Dilansir kantor berita AFP, Kamis (11/9/2025), juru bicara Kementerian Kesehatan Houthi, Anees Alasbahi mengatakan Israel menyerang ibu kota Yaman, Sanaa, dan Provinsi Jawf. Setidaknya 35 orang tewas akibat serangan itu dan lebih dari 100 orang terluka.

    “Jumlah warga yang gugur dan terluka akibat kejahatan Zionis yang berbahaya telah meningkat menjadi 35 orang gugur dan 131 orang terluka,” Anees Alasbahi, dalam akun X (Twitter).

    Sebelumnya, dilansir kantor berita Al Jazeera, serangan Israel ini menargetkan markas komando di Sanaa. Stasiun televisi Al Masirah melaporkan serangan udara telah menghantam Sanaa.

    “Agresi Israel terhadap ibu kota Sanaa,” tulis televisi Al Masirah di Telegram.

    Juru Bicara Kementerian Kesehatan Yaman Anees al-Asbahi, dan Juru Bicara militer Houthi, Yahya Saree, mengonfirmasi serangan tersebut. Belum ada komentar langsung dari Israel.

    Warga Sanaa mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa serangan itu terjadi di sebuah tempat persembunyian di antara dua gunung yang digunakan sebagai markas komando dan kontrol.

    (whn/eva)

  • ARTPOP, Album yang Dilupakan Lady Gaga

    ARTPOP, Album yang Dilupakan Lady Gaga

    JAKARTA – Lady Gaga mengejutkan penggemarnya. Bukan tentang pengumuman film anyar atau kejelasan soal album baru, melainkan sebuah kicauan Twitter yang ia tulis pada 12 November lalu. Penyanyi yang memiliki nama asli Stefani Germanotta ini menulis, “Saya tidak ingat ARTPOP.” Kicauan singkat yang disambut beragam reaksi dari para penggemarnya yang disebut ‘Little Monsters’.

    i don’t remember ARTPOP

    — Lady Gaga (@ladygaga) November 11, 2019

    ARTPOP adalah album ketiga Lady Gaga yang dirilis pada 2013. Meskipun Gaga sempat menyebut album ini sebagai perjalanan musikal yang puitis di mana sebuah karya seni berpadu dengan teknologi, nyatanya respons publik terhadap album ini bercampur. Salah satunya Helen Brown dari The Daily Telegraph menganggap ARTPOP hanyalah percobaan Gaga atas kedua album terdahulu yang sukses, yaitu The Fame dan The Fame Monster.

    Beberapa bulan belakangan, album ARTPOP kembali mencuat kala Gaga memutuskan untuk menghapus lagu Do What U Want yang dibawakan bareng R. Kelly dari layanan musik digital. Keputusan ini dilatarbelakangi penayangan sebuah dokumenter berjudul Surviving R. Kelly yang menampilkan enam seri kasus pelecehan seksual dan tuduhan pelanggaran yang dilakukan R. Kelly. 

    Lagu ini tidak lagi menjadi bagian dari daftar lagu di album ARTPOP dan tidak tersedia di iTunes Store, meskipun sisa lagu lainnya masih bisa dibeli secara terpisah. Lagu Do What U Want juga tidak lagi tersedia pada layanan streaming Apple Music AS dan tidak dapat diputar melalui saluran YouTube resmi Lady Gaga. 

    Tapi, para penggemar masih dapat melakukan streaming dan membeli versi alternatif lagu Do What U Want yang menampilkan Christina Aguilera sebagai rekan duet. Lagu versi kolaborasi dengan Christina Aguilera ini dirilis Desember 2013 sebagai single yang berdiri sendiri dan tidak terdapat dalam album ARTPOP.

    Tidak berhenti di situ, kolaborator Gaga lainnya dalam album ARTPOP, rapper T.I baru-baru membuat heboh ketika ia mengatakan di acara podcast Ladies Like Us bahwa ia selalu menemani putrinya yang berumurnya 18 tahun untuk mengecek selaput daranya kepada ginekologis setiap tahun. Hal ini dilakukan rapper yang bekerja sama dalam lagu Jewels n’ Drugs untuk memastikan anaknya masih perawan.

    Padahal, tindakan ini dikecam oleh World Health Organization (WHO) dan PBB sebagai hal yang tidak diperlukan secara medis, menyakitkan, memalukan, dan membuat trauma.

    Wajar saja jika Gaga ingin melupakan ARTPOP mengingat banyak hal yang kurang menyenangkan dalam album tersebut. Kasus dua musisi di atas mungkin hanya sebagian dari pengalaman tidak enak yang ia rasakan. Mungkin karena itu pula lah Gaga kemudian merilis album Joanne, album yang secara arah musikal jauh berbeda dari ARTPOP.

    Lady Gaga mengonfirmasi, saat ini sedang mengerjakan album keenamnya sembari melakukan show Enigma.

  • 26 Medsos yang Sempat Diblokir di Nepal hingga Picu Ricuh, Instagram-YouTube Cs

    26 Medsos yang Sempat Diblokir di Nepal hingga Picu Ricuh, Instagram-YouTube Cs

    Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah Nepal sempat melakukan pemblokiran terhadap 26 platform media sosial. Larangan tersebut kini telah dicabut lantaran memicu demonstrasi besar-besaran di sana.  

    Adapun daftar media sosial tersebut antara lain Facebook, Messenger, Instagram, YouTube, WhatsApp, X (sebelumnya Twitter), LinkedIn, Snapchat, Reddit, Discord, Pinterest, Signal, Threads, WeChat, Quora, Tumblr, Clubhouse, Mastodon, Rumble, VK, Line, IMO, Zalo, Soul, Hamo Patro, dan BeReal. 

    Menurut laporan Kathmandu Post, Rabu (10/9/2025) pemblokiran tersebut awalnya dilakukan karena sejumlah platform besar tidak mematuhi kewajiban registrasi dengan pemerintah. 

    Tenggat waktu pendaftaran selama tujuh hari telah berakhir pada pekan lalu. 

    Perdana Menteri Nepal KP Sharma Oli yang kini telah mundur dari jabatannya, menekankan langkah tersebut bukan soal sensor, melainkan masalah kedaulatan dan penegakan hukum.

    “Kemandirian bangsa lebih penting daripada kehilangan pekerjaan segelintir orang. Tidak bisa diterima jika ada pihak yang melawan hukum, mengabaikan konstitusi, dan meremehkan martabat serta kedaulatan negara,” kata Oli dikutip dari laman The Economic Times.

    Tidak semua platform terkena dampak larangan. Beberapa aplikasi masih beroperasi karena telah memenuhi aturan registrasi, seperti halnya Viber, TikTok, Wetalk, hingga Nimbuzz.  

    Sementara itu, Telegram dan Global Diary sedang dalam proses pendaftaran dan berpotensi segera kembali tersedia secara resmi.

    Pemerintah berdalih sudah sejak lama meminta perusahaan media sosial mendirikan entitas hukum di Nepal. Namun, kritik menyebut pemblokiran ini terlalu tergesa-gesa, apalagi rancangan undang-undang yang menjadi dasar kebijakan Operation, Use, and Regulation of Social Media in Nepal belum disahkan oleh parlemen.

    Sebelumnya, Nepal diguncang gelombang protes besar yang menyebabkan belasan orang tewas dan memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur dari jabatannya.

    Aksi ini dipicu protes pemblokiran media sosial, namun itu hanya sebagai pemicu. Alasan utama gelombang protes ini mirip dengan demonstrasi besar di Indonesia beberapa waktu lalu, yakni ketidakpuasan terhadap pemerintah dan maraknya korupsi di Nepal.

    Pemerintah Nepal pekan lalu memutuskan memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Alasannya, untuk menekan penyalahgunaan platform digital seperti penyebaran ujaran kebencian, hoaks, hingga kejahatan siber. Namun, kebijakan itu justru menyulut kemarahan publik, khususnya generasi muda.

    Sekitar 90% dari 30 juta penduduk Nepal terhubung dengan internet, sehingga pemblokiran tersebut dinilai membatasi ruang berekspresi dan menambah daftar panjang kekecewaan publik atas maraknya korupsi serta terbatasnya lapangan kerja.

    Kritikus menilai kebijakan itu bukan sekadar soal regulasi, melainkan upaya membungkam kampanye antikorupsi yang kian menguat. Walau larangan tersebut dicabut pada Senin malam, amarah massa terlanjur meledak.

    Senin lalu, bentrokan pecah di Kathmandu dan sejumlah kota lain. Polisi menembakkan gas air mata, meriam air, hingga peluru karet untuk membubarkan ribuan pengunjuk rasa. Sedikitnya 19 orang tewas dalam satu hari, dan jumlah korban jiwa meningkat menjadi 22 orang pada Selasa. Sejumlah demonstran berhasil menembus pagar gedung parlemen, memaksa aparat memberlakukan jam malam di sekitar pusat pemerintahan.

    Gelombang aksi tak berhenti. Selasa, massa membakar gedung parlemen di Kathmandu, markas partai politik, serta rumah beberapa tokoh, termasuk mantan perdana menteri Sher Bahadur Deuba. Laporan menyebutkan tiga orang tambahan tewas dan puluhan lainnya terluka. Rumah sakit kewalahan menangani korban dengan luka tembak dan cedera akibat peluru karet.

    Panglima Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, menyatakan bahwa demonstran telah melakukan penjarahan dan pembakaran, serta memperingatkan bahwa semua institusi keamanan, termasuk militer, siap turun tangan penuh jika kerusuhan berlanjut.

    Meski begitu, ia juga menyerukan dialog dengan para pengunjuk rasa sebagai jalan menuju penyelesaian politik atas krisis terburuk Nepal dalam beberapa dekade terakhir.

    Pemblokiran Medsos Bukan Isu Utama

    Kerusuhan besar di Nepal tidak semata-mata dipicu oleh pemblokiran media sosial. Melansir India Times, salah satu unggahan panjang di platform Reddit yang ditulis oleh seorang warga Nepal mengungkap bahwa larangan itu hanyalah pemicu dari ketidakpuasan yang jauh lebih dalam atas praktik korupsi, nepotisme, dan jurang ketidaksetaraan ekonomi.

    Menurut unggahan tersebut, pemerintah beralasan bahwa pembatasan akses berkaitan dengan masalah pajak dan registrasi. Namun, dugaan sebenarnya adalah upaya penyensoran, yakni memberi ruang bagi pemerintah untuk menghapus kritik di dunia maya sekaligus menjerat para pengkritik dengan hukuman penjara.

  • Menteri Keuangan Nepal Dikejar dan Dipukuli Demonstran di Jalanan

    Menteri Keuangan Nepal Dikejar dan Dipukuli Demonstran di Jalanan

    GELORA.CO – Menteri Keuangan Nepal dikejar dan dipukuli oleh para demonstran pada hari Selasa setelah Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri setelah protes keras yang dipimpin mahasiswa selama berhari-hari menentang korupsi dan larangan media sosial. Video yang dibagikan daring menunjukkan Menteri Keuangan Bishnu Prasad Paudel berlari di jalan ketika massa mengejarnya. Seorang pria menendangnya sementara yang lain memukulnya sebelum petugas keamanan turun tangan. Insiden ini menunjukkan kemarahan yang mendalam terhadap kepemimpinan Nepal setelah polisi melepaskan tembakan ke arah kerumunan awal pekan ini, menewaskan sedikitnya 19 orang.

    Protes, yang sebagian besar dipimpin oleh demonstran muda yang menyebut diri mereka “Gen Z”, telah mengguncang ibu kota dan distrik-distrik sekitarnya meskipun jam malam telah diberlakukan dan polisi dikerahkan secara besar-besaran. Demonstran menyerbu parlemen, membakar kendaraan, dan menyerang rumah-rumah politisi senior, termasuk Presiden Ramchandra Paudel.

    Nepal’s finance minister chased on street, thrashed by protesters as Oli govt collapses

    A video, which surfaced today (Sept 9), shows Finance Minister Bishnu Prasad Paudel being chased on a road and thrashed by demonstrators.

    In the video, over two dozen people were seen… pic.twitter.com/aoKBjKlUkZ

    — The Indian Express (@IndianExpress) September 9, 2025

    Ovo je Bishnu Prasad Paudel, zamenik premijera i ministar finansija, ganjaju ga Nepalci!
    Ovo se desi kada pošaljete Nepalce da rade u Srbiju, pa 10 meseci pumpaju sa Srbima, vrate se u Nepal da ostvare proročanstvo Jove Bakića koje su doneli iz Srbije pic.twitter.com/acCi1mZTMW

    — Consigliere® (@santickaopesnik) September 9, 2025

    Nepal Finance Minister Bishnu Prasad Paudel seized by his arms and legs.

    Dear Kenyans, copy this for the coming days.

    Congratulations Nepal pic.twitter.com/KN0n5IQBQf

    — BILL  (@Bill_Valar) September 9, 2025
    Menlu Nepal diserang

    Oli mengundurkan diri beberapa jam setelah ratusan agitator memasuki kantornya menuntut pertanggungjawaban atas kematian tersebut. Dalam suratnya kepada presiden, ia menyebutkan “keadaan luar biasa” dan mengatakan ia mengundurkan diri untuk memungkinkan penyelesaian yang “konstitusional dan politis”.

    Layanan penerbangan di Bandara Internasional Tribhuvan di Kathmandu dihentikan sementara karena kekerasan meluas di seluruh kota. Para pengunjuk rasa membakar ban untuk memblokir jalan di Kalanki dan melempari rumah pejabat di Lalitpur dengan batu.

    Beberapa jam sebelum pengunduran diri Oli, para demonstran membakar rumah pribadinya di Balkot. Kediaman mantan perdana menteri Pushpa Kamal Dahal dan Sher Bahadur Deuba, serta Menteri Komunikasi Prithvi Subba Gurung — yang telah memerintahkan pelarangan media sosial — juga diserang.

    Larangan terhadap 26 platform, termasuk Facebook dan X, dicabut Senin malam, tetapi para pengunjuk rasa terus berunjuk rasa, menuduh para pemimpin melakukan korupsi dan membungkam kebebasan berbicara. “KP chor, desh chhod” (“Pencuri KP, tinggalkan negara ini”) dan “Tindakan terhadap pemimpin korup” termasuk di antara slogan-slogan yang terdengar di jalanan.

    Para aktivis Gen Z telah menggunakan platform seperti Reddit dan Instagram untuk menuduh keluarga menteri memamerkan kekayaan hasil korupsi. Mereka menuntut pemerintahan persatuan nasional, jaminan kebebasan berekspresi, dan usia pensiun bagi politisi.

    Para pemimpin oposisi segera menyerukan dialog. “PM Oli harus segera mengundurkan diri dan bertanggung jawab atas situasi ini,” tulis Sekretaris Jenderal Kongres Nepal, Gagan Thapa, di media sosial pada Selasa pagi.

  • Rumah Dibakar Massa, Istri Mantan PM Nepal Tewas Terpanggang Hidup-hidup

    Rumah Dibakar Massa, Istri Mantan PM Nepal Tewas Terpanggang Hidup-hidup

    GELORA.CO – Gelombang protes besar-besaran di Nepal memakan korban jiwa dari kalangan elit politik. Rajyalaxmi Chitrakar, istri mantan Perdana Menteri Nepal Jhalanath Khanal, meninggal dunia akibat luka bakar serius setelah rumahnya di kawasan Dallu, Kathmandu, dibakar oleh massa pada Selasa, 9 September 2025.

    Menurut laporan media lokal Khabarhub, Rajyalaxmi sempat terjebak di dalam rumah ketika para pengunjuk rasa menyulut api. Ia mengalami luka bakar parah di berbagai bagian tubuh, termasuk di paru-parunya. Korban kemudian dilarikan ke Kirtipur Burn Hospital dalam kondisi kritis, namun nyawanya tidak tertolong dan meninggal saat menjalani perawatan.

    Kerusuhan yang didorong oleh generasi muda, terutama Generasi Z Nepal, telah mengguncang negara itu sejak Senin, 8 September 2025. Aksi protes dipicu oleh isu korupsi, pengangguran, dan larangan penggunaan media sosial, termasuk Facebook dan X (Twitter), yang sempat diberlakukan pemerintah.

    Situasi politik semakin memanas ketika Perdana Menteri KP Oli mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa, di tengah eskalasi kekerasan. Para demonstran tidak hanya membakar rumah pribadi sejumlah pejabat, tetapi juga membakar gedung parlemen di Kathmandu. Rekaman video insiden tersebut tersebar luas di media sosial dan menjadi viral.

    Selain itu, beredar pula laporan bahwa Menteri Keuangan Bishnu Paudel mengalami serangan langsung dari massa. Meski begitu, Hindustan Times menyebut pihaknya belum bisa secara independen memverifikasi keaslian video yang beredar.

    Presiden Nepal Ram Chandra Poudel, yang memiliki peran lebih seremonial sebagai kepala negara, menyerukan agar massa melakukan dialog demi meredakan situasi. Ia menegaskan perlunya penyelesaian damai agar kerusuhan tidak semakin meluas.

    Kekacauan terus berlanjut meskipun larangan penggunaan media sosial telah dicabut sejak Senin malam. Massa tetap melancarkan aksi pembakaran gedung-gedung pemerintahan hingga menyebabkan Bandara Internasional Kathmandu ditutup sementara.

    Di tengah kondisi genting tersebut, pemerintah India mengeluarkan imbauan resmi kepada warganya di Nepal. Mereka diminta untuk tetap berada di tempat tinggal masing-masing, tidak keluar rumah, dan mengikuti arahan keselamatan dari otoritas lokal maupun Kedutaan Besar India di Kathmandu.

    Sebagai catatan, Jhalanath Khanal sendiri merupakan salah satu tokoh politik penting di Nepal. Pada 2011, ia pernah menyampaikan secara resmi di parlemen niatnya untuk mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri, setelah keputusan tersebut disetujui oleh komite pusat partainya, Partai Komunis Nepal (Unified Marxist Leninist).