Perusahaan: TikTok

  • Ini Keunggulan Huawei Glide Keyboard di MatePad Pro 12.2 (2025)

    Ini Keunggulan Huawei Glide Keyboard di MatePad Pro 12.2 (2025)

    Jakarta

    Huawei melengkapi MatePad Pro 12.2 (2025) dengan keyboard baru yang dinamai Huawei Glide Keyboard, yang dilengkapi dengan stylus.

    Desain keyboard ini membuatnya bisa dipakai untuk menyimpan stylus, pengguna tidak perlu khawatir kehilangan stylus saat membawa tablet kemanapun karena keyboard ini dilengkapi dengan tempat penyimpanan khusus pencil didalamnya.

    Selain itu, keyboard ini akan otomatis mengisi daya stylus saat dibutuhkan, yang membutuhkan waktu satu jam dari kosong sampai penuh. Waktu ini serupa dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengisi daya MatePad Pro 12.2 (2025) dari kosong sampai penuh.

    Bobot keyboard ini pun ringan, dan Huawei mengklaim ini adalah keyboard yang dilengkapi touchpad paling ringan. Bobot Glide Keyboard ini hanya 420 gram, yang artinya saat dipasang ke MatePad Pro 12.2, bobot totalnya hanya 932 gram, lebih ringan dari kebanyakan laptop yang ada di pasaran saat ini.

    Selain itu, proses membuka tablet saat terpasang dengan keyboard cover ini juga lebih efisien, hanya dengan satu gerakan, MatePad Pro 12.2 (2025) bisa difungsikan layaknya sebuah laptop.

    “Learning curve (penyesuaian-red) di MatePad Pro 12.2 ini sangat minim karena terasa seperti sebuah laptop, termasuk keyboardnya,” kata Edy Supartono, Training Director Huawei CGB Indonesia, dalam acara peluncuran tablet ini di Jakarta, Selasa (15/7/2025).

    Glide Keyboard juga dibuat sedemikian rupa agar optimal untuk berbagai kebutuhan, utamanya mengetik dan menggambar. Dalam mode menggambar, touchpad di Glide Keyboard tetap bisa diakses dengan mudah, sehingga tidak mengganggu proses kreatif penggunanya.

    Kemudian bagian luar dari Glide Keyboard dibuat dari bahan khusus yang nyaman saat dipegang, namun juga tahan noda, baik itu teh, kopi, minyak, dan bahkan lipstik. Pengguna bisa membersihkan keyboard cover ini dengan mudah, cukup dilap.

    Huawei MatePad Pro 12.2″ siap hadir di Indonesia dengan harga spesial Rp12.999.000 lengkap dengan penawaran menarik mulai tanggal 25 Juli hingga 31 Agustus 2025.

    Selama periode promosi, setiap pembelian Huawei MatePad Pro 12.2″ akan langsung mendapatkan paket hadiah eksklusif senilai Rp 6.995.000, terdiri dari TWS Huawei FreeBuds 5, Huawei Glide Keyboard, Huawei M-Pencil 3rd Gen, Huawei Bluetooth Mouse, dan Huawei SuperCharger.

    Pembelian bisa dilakukan secara online melalui Huawei STORE dan di Huawei Official Store di e-commerce, seperti Shopee, Tokopedia, Blibli.com, Lazada, TikTok, erafone.com, eraspace, dan DatascripMall.ID.

    (asj/afr)

  • Riset: Gen Z Lebih Percaya Info Kesehatan dari Influencer TikTok daripada Dokter

    Riset: Gen Z Lebih Percaya Info Kesehatan dari Influencer TikTok daripada Dokter

    Jakarta

    Sebuah riset yang dilakukan oleh perusahaan komunikasi Edelmen menemukan sekitar 45 persen kelompok usia muda lebih percaya informasi kesehatan yang disebarkan lewat media sosial dibandingkan dokter.

    Edelmen melakukan survei kepada responden berusia 18-34 tahun yang termasuk kelompok milenial muda dan Gen Z dari 16 negara tentang kepercayaan mereka terhadap dokter.

    Pertumbuhan media sosial ternyata memperparah ketidakpercayaan terhadap tenaga medis, membuat mereka lebih mencari informasi kesehatan lewat internet.

    “Sebagai seorang dokter, saya telah menyaksikan lebih banyak anak muda yang menggunakan TikTok dan obrolan grup daripada sebelumnya yang mengambil ponsel dan menghubungi dokter,” kata Dr Charles Carlsen, yang saat ini menjabat sebagai Chief Technology Officer di DRSONO Medical, kepada Newsweek.

    Survei Edelman memperkuat apa yang kami lihat di klinik: hampir separuh Gen Z memprioritaskan nasihat kesehatan dari influencer dan rekan sejawat daripada dokter.

    Sepertiga Gen Z mengatakan mereka sudah mengikuti saran dari influencer, dengan 33 persen melaporkan bahwa mereka telah membiarkan kreator konten tanpa pelatihan medis memengaruhi keputusan kesehatan pribadi. Gen Z juga dua kali lebih mungkin dibandingkan orang dewasa yang lebih tua untuk membiarkan orang tanpa kredensial medis formal memengaruhi keputusan kesehatan mereka.

    Di TikTok, tagar #medicaladvice memiliki lebih dari 39.000 unggahan, sementara #healthtok memiliki lebih dari 153.000 unggahan. Menurut survei Edelman, hampir separuh orang dewasa muda percaya bahwa seseorang yang meneliti suatu kondisi secara daring dapat memahaminya sebaik seorang dokter.

    Kesehatan mental adalah area lain di mana TikTok tampaknya memainkan peran yang semakin besar. Para dokter melaporkan semakin banyak anak muda yang mencari diagnosis ADHD atau Gangguan Spektrum Autisme setelah terpapar konten media sosial.

    Bagi para dokter, peningkatan jumlah orang yang mencari nasihat medis melalui media sosial merupakan sebuah kekhawatiran.

    “Terus terang, ini masalah kesehatan masyarakat. Meskipun dukungan sebaya dan papan buletin daring bermanfaat, hal tersebut bukanlah pengganti pengobatan berbasis bukti,” kata Dr.Carlsen.

    “Saya pernah menangani pasien yang menunda pengobatan untuk penyakit serius karena ‘seseorang daring mengatakan itu normal,’ dan mereka akhirnya dirawat di UGD beberapa minggu kemudian.

    (kna/kna)

  • Video Lord Rangga yang Muncul dengan Pakaian Serba Putih Ternyata Bukan Dibuat Tahun 2025? Ramai Disebut Masih Hidup

    Video Lord Rangga yang Muncul dengan Pakaian Serba Putih Ternyata Bukan Dibuat Tahun 2025? Ramai Disebut Masih Hidup

    GELORA.CO – Sosok Lord Rangga kembali ramai diperbincangkan publik.

    Lord Rangga alias Edi Raharjo merupakan mantan petinggi Sunda Empire yang sempat menghebohkan publik pada tahun 2020.

    Sunda Empire sendiri adalah gerakan atau perkumpulan yang mengklaim sebagai penerus kekaisaran Sunda atau kerajaan yang konon berkuasa di banyak wilayah di dunia.

    Sosok Lord Rangga muncul sebagai petinggi Sunda Empire dan kerap memberikan sebuah pernyataan yang tidak biasa bahkan mencengangkan publik.

    Namun, kemunculan Lord Rangga di tahun 2025 justru membuat heboh publik.

    Pasalnya, Lord Rangga telah dikabarkan meninggal dunia pada 7 Desember 2022.

    Lord Rangga meninggal dunia di Rumah Sakit Islam Mutiara Bunda karena penyakit paru-paru dan kelelahan.

    Video kemunculan sosok yang mirip dengan Lord Rangga yang diunggah akun TikTok @kedalamanluar menggunakan pakaian serba putih dengan sorban putih pun membuat publik curiga dengan kematiannya,

    “Nada dan cara bicaranya pun sama, cuma ganti skin doang,” tulsi syhdn

    “Lord Rangga kah ini, suaranya juga mirip,” tulis ellfaroo_

    “Lord Rangga hidup kembali… untuk menyuarakan kebenaran,” tulis Rangga Agasta.

    Sementara itu, dilansir JatimNetwork.com melalui video unggahan akun TikTok @kangkomp0rin terkait kebenaran dugaan Lor RAngga SUnda Empire masih hidup atau tidak,

    “Lord Rangga sudah tiada dan ini video lama tahun 2018,” tulis @kangkomp0rin.

    Dalam video unggahan tersebut, terlihat sosok yang juga mirip Lord Rangga menggunakan baju serba putih dan sorban putih bersama dua orang lainnya,

    “Banyak beredar video ini. Saya jelaskan, ini video lama tahun 2018 saat Lord Rangga masih menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Thoriqoh Jatmi,” tulis @kangkomp0rin.

    Akun tersebut juga menegaskan bahwa kabar Lord Rangga masih hidup dan muncul kembali pada tahun 2025 adalah tidak benar,

    “Tidak betul jika Lord Rangga masih hidup. Lord Rangga sudah menghadap ilahi,” tulis @kangkomp0rin.

    Sementara itu, Lord Rangga Sunda Empire dimakamkan di kampung halamannya di Brebes, Jawa Tengah.

    Sang mantan petinggi Sunda Empire tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan 7 anak dan 3 orang istri.***

  • Geger! Lord Rangga Muncul Kembali Usai 3 Tahun Wafat, Petinggi Sunda Empire Ternyata Masih Hidup?

    Geger! Lord Rangga Muncul Kembali Usai 3 Tahun Wafat, Petinggi Sunda Empire Ternyata Masih Hidup?

    GELORA.CO – Sosok pria berpakaian serba putih yang diduga mirip Lord Rangga Sasana mendadak viral di media sosial TikTok.

    Video yang diunggah oleh akun @kedalamanluar memperlihatkan seorang pria berpenampilan seperti petinggi Sunda Empire itu tengah duduk tenang dan menatap kamera, seolah mengirimkan pesan ke publik.

    Unggahan itu segera memancing respons dari ribuan warganet dan memicu berbagai spekulasi, salah satunya: “Apakah Lord Rangga benar-benar masih hidup?”

    Komentar seperti “Lord Rangga muncul kembali” hingga “Benarkah ini Lord Rangga masih hidup?” membanjiri kolom komentar.

    Tak sedikit pula yang mengungkapkan keterkejutan dan rasa penasaran mereka terhadap kemunculan pria misterius yang sangat mirip dengan sosok nyentrik yang pernah menghebohkan publik Indonesia.

    Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Lord Rangga Sasana, sosok yang dikenal luas sebagai tokoh sentral di balik kemunculan Sunda Empire, dikabarkan wafat pada Rabu pagi, 7 Desember 2022.

    Ia menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Islam Mutiara Bunda, Tanjung, Brebes, Jawa Tengah, sekitar pukul 05.30 WIB.

    Kala itu, pihak keluarga menyebutkan bahwa penyebab kematian Lord Rangga adalah akibat penyakit paru-paru dan kelelahan.

    Kabar meninggalnya Lord Rangga sempat menjadi topik nasional, mengingat keeksentrikan dan pernyataan-pernyataannya yang kerap membuat publik terperangah.

    Namun, video kemunculan sosok serupa dirinya dua tahun setelah wafatnya kembali membuat netizen geger.

    Benarkah Lord Rangga Masih Hidup?

    Belum ada klarifikasi resmi apakah pria dalam video tersebut benar-benar Lord Rangga atau hanya seseorang yang sangat mirip dengannya.

    Namun satu hal yang pasti, kemunculan ini kembali membuktikan bahwa masih banyak netizen yang rindu dengan sosok Lord Rangga.***

  • Pemerintah akan Tarik Pajak dari Media Sosial, Konten Kreator Jadi Sasaran

    Pemerintah akan Tarik Pajak dari Media Sosial, Konten Kreator Jadi Sasaran

    GELORA.CO –   Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi mengumumkan rencana untuk menarik pajak dari aktivitas ekonomi digital yang berlangsung di media sosial, mulai tahun 2026.

    Kebijakan ini menyasar pelaku usaha digital, khususnya kreator konten dan perusahaan asing penyedia layanan digital (OTT) seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan Netflix.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, bahwa pemerintah akan menggunakan media sosial sebagai sumber informasi perpajakan dan alat pemantauan aktivitas ekonomi digital.

    Langkah ini kata Sri Mulyani, merupakan bagian dari strategi memperluas basis penerimaan negara di tengah meningkatnya transaksi digital.

    “Kami akan mulai menyisir potensi pajak dari media sosial dan data digital untuk mendukung target penerimaan APBN 2026,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (14/7/2025).

    Siapa yang akan Kena Pajak?

    Kebijakan ini tidak menyasar pengguna biasa, melainkan:

    a. Kreator konten yang memperoleh penghasilan dari monetisasi platform digital.

    b. Influencer dan selebgram yang menerima bayaran dari endorsement.

    c. Perusahaan asing yang menyediakan layanan digital berbayar di Indonesia.

    Direktorat Jenderal Pajak akan memanfaatkan data terbuka dan teknologi digital untuk mendeteksi potensi pajak yang selama ini belum tergarap. Pemerintah juga tengah menyiapkan regulasi pelengkap dan sistem pemantauan berbasis data.

    “Ekonomi digital berkembang pesat dan perlu dimasukkan ke dalam sistem perpajakan agar adil dan merata,” lanjut Sri Mulyani.

    Sosialisasi dan Persiapan

    Sebelum diberlakukan, pemerintah akan melakukan sosialisasi menyeluruh kepada pelaku industri kreatif dan digital. Kebijakan ini merupakan lanjutan dari reformasi perpajakan pasca disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang turut mencakup pengawasan atas transaksi lintas negara. 

  • Telkomsel Optimalkan Pelanggan Existing di Tengah Saturasi Industri

    Telkomsel Optimalkan Pelanggan Existing di Tengah Saturasi Industri

    Bisnis.com, JAKARTA— PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) memfokuskan strategi bisnisnya pada optimalisasi pelanggan existing ketimbang mengejar akuisisi pelanggan baru di tengah kondisi pasar seluler yang saturasi. 

    Hal ini ditegaskan oleh Vice President Corporate Communications & Social Responsibility Telkomsel, Saki Hamsat Bramono.

    “Yang jelas kami mencari pelanggan yang lebih healthy lah, jadi healthy business, bagaimana kita bisa memaksimalkan pelanggan existing kita,” kata Saki ditemui usai acara peluncuran SIMPATI TikTok di Jakarta pada Selasa (15/7/2025) 

    Saki mengatakan Telkomsel berupaya memaksimalkan kepuasan pelanggan existing melalui layanan yang lebih baik, pengalaman pelanggan (customer experience) yang optimal, serta perjalanan pelanggan (customer journey) yang menyenangkan. 

    Hal ini, menurutnya, menjadi tulang punggung keberlangsungan pelanggan Telkomsel.

    Namun demikian, lanjut Saki, strategi ini tidak lantas mengabaikan upaya mendapatkan pelanggan baru. Meskipun Telkomsel lebih selektif dan menyesuaikan dengan karakteristik pasar yang masih didominasi oleh pelanggan pemburu promo. 

    “Memang tipe pelanggan ini kan ada juga tipe pelanggan yang kita sebutnya itu mereka promo seeker, itu nggak bisa kita hindari. Masih banyak pelanggan yang sering membeli nomor dari operator ke operator lainnya dan mereka mencari promo,” katanya.

    Berdasarkan data kinerja Telkomsel, total pelanggan perseroan per kuartal I/2025 tercatat sebanyak 158,81 juta, sedikit melambat dibandingkan posisi akhir 2024 yang mencapai 159,38 juta pelanggan. 

    Manajemen menjelaskan penurunan tersebut merupakan bagian dari upaya mempertahankan basis pelanggan seluler yang lebih berkualitas.

    Perseroan juga mengakui strategi mempertahankan pelanggan bernilai tinggi berdampak pada penurunan pendapatan rata-rata per pelanggan atau average revenue per user (ARPU).

    Pada kuartal I/2025, ARPU Telkomsel tercatat sebesar Rp42.400. Angka ini menurun dibandingkan dengan akhir 2024 yang berada di level Rp44.000, serta kuartal I/2024 yang mencapai Rp45.300. 

    Penurunan ini disebut sejalan dengan pendekatan penetapan harga yang lebih disiplin dan fokus pada pengoptimalan serta menjaga momentum pengguna.

    “Telkomsel terus mengoptimalkan kapasitas jaringan untuk mengelola pertumbuhan lalu lintas secara efisien, memastikan keunggulan penyampaian layanan sambil mempertahankan margin,” tulis manajemen dalam Info Memo.

  • DPR Pertanyakan Transparansi Algoritma TikTok

    DPR Pertanyakan Transparansi Algoritma TikTok

    Bisnis.com, JAKARTA— Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Desy Ratnasari mempertanyakan transparansi algoritma pada platform digital global seperti TikTok, Facebook (Meta), dan YouTube. 

    Menurut Desy, layanan tersebut selama ini memanfaatkan algoritma tanpa pengawasan yang jelas, tidak seperti lembaga penyiaran konvensional yang diawasi secara ketat.

    “Jadi tidak ada standar konten layak tayang. Bahkan konten-konten penipuan itu banyak masuk di situ,” kata Desy dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran bersama perwakilan dari platform digital: Google, YouTube, Meta, dan TikTok di Komisi I  DPR RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025). 

    Dia membandingkan kondisi itu dengan lembaga penyiaran konvensional yang memiliki pengaturan dan pengawasan yang sangat ketat. 

    Di sisi lain, platform digital justru belum menjamin perlindungan privasi dan keamanan data pengguna. Padahal, dalam model bisnis mereka, data menjadi komoditas utama.

    Desy juga menyinggung soal ketimpangan kewajiban antara penyedia layanan digital dan lembaga penyiaran konvensional. Menurutnya, karena tidak menggunakan spektrum frekuensi publik, platform  layanan jadi tidak terikat pada Undang-Undang Penyiaran.

    “OTT karena sifatnya entitas lintas batas, dia tidak menggunakan spektrum frekuensi publik, tidak terikat pada kewajiban Undang-Undang Penyiaran,” katanya.

    Hal tersebut , lanjutnya, dapat merugikan penyiaran lokal yang selama ini diwajibkan memenuhi berbagai standar isi, etika, dan kontribusi budaya. Dia menilai tidak adanya level playing field menyebabkan ketimpangan yang nyata, tidak hanya dalam aspek regulasi, tetapi juga dalam kontribusi fiskal.

    “Platform digital global meraih pendapatan besar dari iklan dan langganan, sementara proporsi kontribusi kepada sistem penyiaran nasional atau fiskal negara ini tidak kita ketahui, berapa sih?” ungkapnya.

    Desy juga mempertanyakan besaran pajak yang telah dibayarkan oleh para platform global tersebut. Menurutnya, dominasi algoritma platform seperti TikTok, Meta, dan YouTube telah menciptakan kekuatan gatekeeping digital tanpa akuntabilitas hukum.

    Selain itu, dia menilai dominasi konten asing juga berpotensi melemahkan budaya dan identitas nasional. Desy juga menanyakan komitmen Meta dalam mendukung literasi digital dan upaya melawan disinformasi. Dia juga meminta penjelasan terkait mekanisme transparansi algoritma yang digunakan dalam menampilkan konten berita dan politik.

    Desy juga mempertanyakan persentase konten trending yang berasal dari kreator lokal dan kemungkinan penerapan kuota konten lokal seperti di Kanada. Untuk TikTok, Desy meminta penjelasan terkait kebijakan moderasi konten dan transparansi distribusi algoritma.

    “Mengapa TikTok belum membuka akses kepada pemerintah terkait moderasi konten dan distribusi algoritmanya?” katanya.

    Dia juga menagih komitmen TikTok dalam mempromosikan budaya lokal Indonesia di platformnya. Desy pun menyimpulkan bahwa tantangan utama saat ini terletak pada ketidakseimbangan regulasi akibat pergeseran dari teknologi analog ke digital. 

    Menurutnya, regulasi saat ini belum mampu mengimbangi perkembangan teknologi, meskipun fungsi komunikasi dan distribusi informasi antara platform  digital dan lembaga penyiaran konvensional sejatinya serupa.

    “Ketidakseimbangan regulasi karena pergeseran teknologi dari analog lalu sekarang digital. Ini tentu membuat regulasi yang ada itu memang belum bisa catch up dengan teknologi yang baru,” tuturnya.

    Saat ini, DPR tengah melalukan pembahasan Revisi UU Penyiaran untuk menyesuaikan regulasi penyiaran dengan perkembangan zaman, termasuk tantangan dari media baru dan platform digital. 

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan revisi UU Penyiaran sudah dimulai sejak 2012. Namun sampai dengan hari ini belum juga kunjung selesai. Pihaknya pun menargetkan supaya revisi tersebut rampung pada periode tahun ini. 

    “Kami memang menargetkan diperiode ini akan segera rampung,” katanya. 

    Namun demikian, Dave mengatakan pihaknya belum membuat rangkaian jadwal yang ditetapkan untuk proses penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan revisi undang-undang tersebut. Dave menjelaskan draf RUU Penyiaran belum dibagikan ke publik karena masih mengalami sejumlah perubahan. 

    Dia menyebut, draf tersebut telah berubah tiga kali, salah satunya karena adanya aturan induk yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Beberapa ketentuan yang sebelumnya dimuat dalam RUU Penyiaran, seperti soal multiflexing, akhirnya diatur dalam UU Cipta Kerja.

    “Masih ada substansi yang juga tak kalah pentingnya yang kita putuskan di RUU Penyiaran ini,” katanya. 

  • ‘Kuda Troya’ Amerika untuk Indonesia

    ‘Kuda Troya’ Amerika untuk Indonesia

    Jakarta

    Presiden Trump melalui media sosialnya tiba-tiba mengumumkan jika kesepakatan tarif dagang dengan Indonesia sudah ditetapkan. Hal ini menyusul usai Presiden Amerika tersebut berdiskusi dengan Presiden Prabowo Subianto.

    Mengutip detikFinance, pemangkasan tarif impor produk Indonesia ini, menurut Trump, merupakan hasil pembicaraannya dengan Prabowo. Hal ini disampaikan Trump melalui akun Truth Social miliknya, Selasa (15/7/2025)

    “Saya berbicara dengan presiden mereka yang sangat hebat, sangat populer, sangat kuat, cerdas, dan kami mencapai kesepakatan,” kata Trump di Gedung Putih, dikutip dari CNBC Rabu (16/7/2025).

    Namun penurunan tarif dagang ini harus dibayar mahal oleh Indonesia. Bagaikan sebuah kuda troya, pemberian ‘kado’ dari Trump tersebut ternyata tidaklah gratis. Menteri Perdagangan Amerika Serikat, Howard Lutnick menyebutkan jika atas kesepakatan ini, Indonesia akan menghapus tarif barang dari AS.

    “Tidak ada tarif di sana. Mereka membayar tarif di sini,” kata Lutnick dalam dalam acara Halftime Report di CNBC.

    Sementara itu mengutip detikFinance, akan ada tiga hal lain yang perlu dilakukan oleh Indonesia menyusul kesepakatan yang sudah diklaim oleh Trump tersebut. Pertama, Indonesia akan membeli produk energi dari AS senilai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 244 triliun (kurs Rp 16.271/US$). Kedua, Indonesia akan membeli produk pertanian dari AS senilai US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp 73 triliun. Ketiga, Indonesia akan membeli 50 pesawat Boeing yang kebanyakan seri 777.

    Lalu sejauh mana kesepakatan ini memberi dampak baik terhadap ekonomi Indonesia? Perlukah Indonesia menerima kesepakatan ini, atau justru melepaskannya? Menghadirkan Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, ikuti diskusinya dalam Editorial Review selengkapnya.

    Beralih ke Bali, detikSore akan mengulas peristiwa penembakan warga negara asing di kawasan Mengwi, Badung beberapa waktu lalu. Menurut penelusuran yang telah dilakukan polisi, ketiga korban terlibat dalam organisasi narkoba luar negeri.

    Jika benar demikian, apakah Bali telah masuk sebagai destinasi operasi kartel narkoba internasional? Apa saja temuan terbaru tentang kasus ini? ikuti diskusinya dalam Indonesia Detik Ini.

    Jelang matahari terbenam nanti, detikSore akan kembali membahas topik investasi. Seperti yang tengah terjadi di Indonesia saat ini, masyarakat tengah gaduh saat mempersiapkan sekolah untuk anak-anak mereka.

    Sudah menjadi pengetahuan bersama bila biaya pendidikan merupakan faktor penting untuk dipikirkan. Sebab, seperti kebutuhan lainnya, biaya pendidikan juga terus meningkat setiap tahunnya. Lalu bagaimana strategi mengelola keuangan untuk menjamin pendidikan anak? Ikuti diskusinya dalam Sunsetalk nanti.

    Ikuti terus ulasan mendalam berita-berita hangat detikcom dalam sehari yang disiarkan secara langsung langsung (live streaming) pada Senin-Jumat, pukul 15.30-18.00 WIB, di 20.detik.com dan TikTok detikcom. Jangan ketinggalan untuk mengikuti analisis pergerakan pasar saham jelang penutupan IHSG di awal acara. Sampaikan komentar Anda melalui kolom live chat yang tersedia.

    “Detik Sore, Nggak Cuma Hore-hore!”

    (far/far)

  • Telkomsel Rilis Paket Simpati TikTok, Kartu Perdana Rp 55 Ribuan  – Page 3

    Telkomsel Rilis Paket Simpati TikTok, Kartu Perdana Rp 55 Ribuan  – Page 3

    Sementara itu, Direktor Global Business Development TikTok Asia Pasifik Vanessa Brown mengungkapkan, lewat kolaborasi ini TikTok mau memperkuat ekonomi livestream di Indonesia.  

    Hal ini akan mempermudah kreator dan UMKM untuk mengakses perangkat yang mendukung pertumbuhan mereka, melalui konektivitas stabil, fitur live-commerce, hingga insentif digital. 

    “Kami berharap bisa membantu lebih banyak kreator dan penjual untuk membangun kehadiran, melibatkan komunitas, dan mengembangkan bisnis mereka di dalam platform dengan cara lebih mudah diakses,” kata Brown. 

    Kolaborasi ini pun menjalankan kerangka kerja 4E: yakni enable untuk menyediakan konektivitas, equip yang berarti memberikan akses jaringan, fitur live-commerce, dan insentif bagi pengguna. 

    Lalu ada pula empower yakni memberdayakan melalui berbagai pelatihan literasi digital. Terakhir adalah endorse yang artinya mengintegrasikan berbagai solusi lintas ekosistem untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital berkelanjutan. 

  • DPR Minta Indonesia Tiru Kanada, Atur Transparansi Algoritma Meta–TikTok Cs

    DPR Minta Indonesia Tiru Kanada, Atur Transparansi Algoritma Meta–TikTok Cs

    Bisnis.com, JAKARTA— Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berharap Indonesia bisa meniru sejumlah negara yang telah lebih dahulu menerapkan regulasi ketat terhadap platform digital seperti Meta, YouTube, dan TikTok. Khususnya dalam pengawasan algoritma.

    Hal tersebut seiring dengan pembahasan Revisi UU Penyiaran untuk menyesuaikan regulasi penyiaran dengan perkembangan zaman, termasuk tantangan dari media baru dan platform digital. 

    Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Amelia Anggraini, mencontohkan pendekatan beberapa negara yang telah memiliki regulasi tegas.

    “Seperti di Kanada itu melalui Kebijakan Online Streaming Act, mewajibkan semua platform seperti Meta, dan TikTok, dan YouTube juga tunduk pada regulasi nasional. Termasuk transparansi, algoritma, dan kontribusi pada ekosistem media lokal,” kata Amelia Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran bersama perwakilan dari platform digital seperti Google, YouTube, Meta, dan TikTok di Komisi I  DPR RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025). 

    Dia juga menyinggung regulasi yang diterapkan oleh Perancis dan Singapura. 

    Perancis melalui Autorité de régulation de la communication audiovisuelle et numérique (ARCOM) mewajibkan platform digital mendaftarkan diri dan membuka sistem rekomendasi untuk diaudit. 

    Sementara Singapura menggunakan UU Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act (POFMA) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menangani disinformasi digital.

    Amelia lantas meminta penjelasan langsung dari Meta terkait kesiapan platform tersebut terhadap rencana pengawasan yang tengah dirumuskan dalam pembahasan revisi UU Penyiaran. Termasuk transparansi, algoritma,  penghapusan konten yang melanggar pedoman perilaku penyiaran,  serta kewajiban untuk pendaftaran platform ke lembaga pengawas penyiaran.

    “Bagaimana pandangan Meta Group ini terhadap rencana pemerintah untuk mengatur dan mengawasi penyelenggaraan platform digital penyiaran dalam beberapa hal,” katanya. 

    Dalam RUU Penyiaran yang tengah dibahas, DPR mengusulkan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan wewenang untuk mengakses algoritma rekomendasi konten. Tujuannya untuk mencegah penyebaran konten ekstrem, hoaks, paham radikal, hingga konten yang tidak layak bagi anak.

    Amelia juga menyoroti kecenderungan algoritma yang tidak transparan dan dikhawatirkan mematikan keragaman budaya lokal. Dia pun kembali menegaskan urgensi revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dinilai sudah tidak relevan dengan dinamika media saat ini.

    “Undang-undang ini dari tahun 2002 sudah tidak relevan dengan situasi saat ini. Maka itu direvisi. Karena konten itu juga kan definisinya sama dengan siar. Sesuatu yang dipublis, sesuatu yang disiar,” katanya.

    Logo TikTok di Smartphone

    Sebelumnya, Head of Public Policy TikTok Indonesia Hilmi Adrianto menyampaikan keberatan jika platform user-generated content (UGC) seperti TikTok disamakan dengan lembaga penyiaran tradisional dalam hal pengawasan dan regulasi.

    “Kami melihat perbedaannya sangat signifikan dengan lembaga penyiaran tradisional, terutama dari sisi pembuatan isi konten. Platform UGC seperti TikTok memuat konten yang dibuat oleh pengguna individu, lembaga penyiaran tradisional, maupun layanan OTT,” ujar Hilmi.

    Menurutnya, TikTok sudah menerapkan sistem moderasi konten berbasis teknologi dan manusia di bawah kerangka Kominfo dan Komdigi, sehingga pengawasan tak perlu disamakan dengan media siaran.

    “Kami merekomendasikan agar platform UGC tidak diatur di bawah aturan yang sama dengan penyiaran konvensional guna menghindari ketidakpastian hukum. Kami menyarankan agar platform UGC tetap berada di bawah moderasi Komdigi,” tegasnya.

    Hilmi juga menolak pendekatan one-size-fits-all terhadap platform digital dan media konvensional karena perbedaan model bisnis dan tata kelola konten yang mendasar.

    Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Nico Siahaan, menyatakan revisi UU Penyiaran penting untuk mengisi kekosongan aturan terhadap konten digital.

    “Kalau konten terestrial sudah jelas ada aturan, tapi konten digital belum. Bagaimana pengaturannya? Ini tetap harus kita atur,” kata Nico ditemui usai RDPU, pada Senin (14/7/2025).

    Dia menyebut definisi “siaran” tidak bisa diubah sembarangan. Jika seseorang membantu menyebarluaskan konten, bisa saja tetap dikenai ketentuan penyiaran, meski bukan pembuat konten langsung. Nico pun membuka opsi pemisahan pengaturan antara media digital dan konvensional dalam dua UU terpisah. 

    “Kalau memisahkan ya bisa saja. Artinya kita bisa pisahkan dengan judul yang lain. UU yang lain nanti kita bikin,” katanya.