Perusahaan: The New York Times

  • Perang Eropa Makin Ngeri! Biden Buka Gerbang PD 3, Rusia-China Respons

    Perang Eropa Makin Ngeri! Biden Buka Gerbang PD 3, Rusia-China Respons

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perang di Eropa semakin ngeri. Bahkan ada tanda “pintu” perang dunia 3 (PD 3) bakal terbuka.

    Hal ini setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh Washington untuk menyerang target militer di dalam wilayah Rusia. Ukraina dan Rusia sudah terlibat perang sejak dua tahun lebih.

    Pejabat AS yang berbicara dengan syarat anonim menunjuk pengerahan pasukan Korea Utara (Korut) guna membantu perang Rusia menjadi penyebab. Ini pun mengonfirmasi laporan dari laman The New York Times dan The Washington Post.

    Sebenarnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky memang telah lama mendorong otorisasi dari AS. Ini untuk menggunakan ATACMS (Sistem Rudal Taktis Angkatan Darat AS) untuk menyerang target di dalam wilayah Rusia.

    Zelensky sendiri memberi pernyataan setelah laporan Biden keluar. Ia mengonfirmasi izin dari AS.

    “Hari ini, ada banyak laporan media bahwa kami telah menerima izin untuk mengambil tindakan yang tepat,” katanya.

    “Tetapi serangan tidak dilakukan dengan kata-kata. Hal-hal seperti itu tidak diumumkan. Rudal akan berbicara sendiri. Pasti,” tambahnya.

    Rusia Merespons

    Rusia sendiri merespons Biden. Kremlin menyebut yang dilakukan presiden yang akan segera lengser itu sebagai eskalasi ketegangan.

    “Jelas bahwa pemerintahan yang akan berakhir di Washington bermaksud untuk mengambil langkah-langkah untuk terus mengobarkan api dan memicu eskalasi ketegangan lebih lanjut,” kata juru bicara pemerintah Dmitry Peskov.

    “Hal ini menandai spiral ketegangan baru dan situasi yang secara kualitatif baru dari sudut pandang keterlibatan AS dalam konflik,” tambahnya.

    Sebelumnya di September, Presiden Rusia Vladimir Putin juga sudah memberi peringatan. Bahwa jika Ukraina berani menyerang Rusia dengan rudal jarak jauh, Moskow akan mengambil keputusan “yang tepat” berdasar ancaman itu.

    Sementara itu, pejabat Rusia lain menegaskan keputusan AS adalah kesalahan. Ini mmpertaruhkan PD 3.

    “Orang-orang ini, pemerintahan Biden, mencoba meningkatkan situasi secara maksimal selagi mereka masih berkuasa dan masih menjabat,” kata anggota parlemen Rusia Maria Butina dikutip Reuters.

    “Saya sangat berharap (Donald) Trump akan mengatasi keputusan ini jika ini telah dibuat karena mereka benar-benar mempertaruhkan dimulainya Perang Dunia Ketiga yang tidak menguntungkan siapa pun,” tambahnya.

    Reaksi China

    Di sisi lain China memberi peringatan agar semua pihak mendinginkan situasi. Dalam sebuah pernyataan terbaru, China meminta penyelesaian damai atas perang Rusia dan Ukraina, setelah AS mengizinkan Kyiv untuk menggunakan rudal jarak jauhnya oleh Ukraina ke Rusia.

    “Gencatan senjata dini dan solusi politik melayani kepentingan semua pihak,” kata juru bicara kementerian luar negeri Lin Jian dalam pengarahan rutin.

    “Hal yang paling mendesak adalah mendorong pendinginan situasi sesegera mungkin,” tambahnya.

    China telah menampilkan dirinya sebagai pihak yang netral dalam perang Ukraina. Bahkan mengatakan tidak mengirimkan bantuan mematikan ke kedua belah pihak, seperti AS dan negara-negara Barat lainnya.

    Namun, China tetap menjadi sekutu dekat Rusia dalam bidang politik dan ekonomi. Negara-negara anggota NATO telah mencap Beijing sebagai “pendukung utama” perang.

    “China selalu mendorong dan mendukung semua upaya yang mendukung penyelesaian krisis secara damai,” tambah Lin lagi.

    “Beijing tidak pernah menyediakan senjata mematikan bagi pihak-pihak yang berkonflik, dan sejak awal telah secara ketat mengendalikan pesawat nirawak militer dan pesawat nirawak penggunaan ganda sesuai dengan hukum dan peraturan”, katanya.

    “Diharapkan negara-negara dan orang-orang terkait tidak akan membuat spekulasi liar atau mencemarkan nama baik dan memfitnah Tiongkok tanpa dasar fakta,” tegasnya.

    Persiapan Perang

    Sementara itu, dua negara tetangga terdekat Rusia, Swedia dan Finlandia kini mulai menyiapkan warganya untuk menghadapi peperangan. Sebenarnya Swedia dan Finlandia adalah negara non blok namun menghentikan ketidakberpihakan militer untuk bergabung dengan aliansi militer NATO tahun lalu setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022.

    Swedia dilaporkan menerbitkan buku kecil “Jika Krisis atau Perang Datang” untuk disalurkan ke warga melalui Badan Kontingensi Sipil Swedia (MSB). Isinya tentang cara mempersiapkan diri menghadapi keadaan darurat seperti perang, bencana alam, atau serangan siber.

    “Situasi keamanan serius dan kita semua perlu memperkuat ketahanan kita untuk menghadapi berbagai krisis dan akhirnya perang,” kata Direktur MSB Mikael Frisell dalam sebuah pernyataan.

    Finlandia sendiri meluncurkan situs web kesiapsiagaan baru. Finlandia sendiri berbatasan sepanjang 1.340 kilometer (830 mil) dengan Rusia.

    Sejak kemarin hingga 28 November, Finlandia juga akan menjadi tuan rumah latihan artileri aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Ini merupakan latihan skala besar pertamanya sejak negara Nordik tersebut bergabung dengan aliansi.

    (sef/sef)

  • Isu Pertemuan dengan Elon Musk Dibantah Iran Cuma Karangan Belaka

    Isu Pertemuan dengan Elon Musk Dibantah Iran Cuma Karangan Belaka

    Jakarta

    Ramainya isu pertemuan antara hartawan Amerika Serikat (AS) Elon Musk dengan utusan Iran untuk PBB Amir Saeid Iravani dibantah oleh pihak Iran. Bantahan ini dipertegas dengan keterangan langsung dari pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Iran.

    Sebelumnya, sejumlah media seperti The New York Times memberitakan adanya pertemuan politik penting antara hartawan sekaligus orang dekat presiden AS terpilih Donald Trump itu dengan utusan pihak Iran pada Kamis (14/11) waktu setempat. Pertemuan berlangsung lebih dari satu jam.

    Sementara itu, dilansir CNN, Jumat (15/11), pejabat pemerintahan Joe Biden di PBB tidak diberitahu bahwa pertemuan tersebut sedang terjadi, dan masih belum menerima konfirmasi independen mengenai kebenaran pertemuan itu, kata seorang pejabat AS kepada CNN.

    Bantahan Tegas dari Iran

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (16/11), dalam sebuah wawancara dengan media pemerintah Iran, IRNA, Esmaeil Baghaei dilaporkan “dengan tegas menyangkal pertemuan semacam itu”. Baghaei menyatakan “terkejut dengan liputan media Amerika dalam hal ini”.

    Sebelumnya, The Times melaporkan pada hari Jumat (15/11) dengan mengutip sumber-sumber anonim Iran yang menggambarkan pertemuan itu sebagai “positif”. Sejumlah surat kabar Iran, khususnya yang berpihak pada partai reformis pendukung Presiden Iran Masoud Pezeshkian, sebagian besar juga menggambarkan pertemuan itu secara positif.

    Iran Minta Klarifikasi Isu

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Abbas Araqchi turut membantah laporan terkait pertemuan tersebut dan mengatakan laporan itu adalah cerita yang dibuat-buat. Araqchi menilai laporan media AS itu merupakan bentuk uji coba. Iran kini meminta klarifikasi terkait isu tersebut.

    Araqchi juga memperingatkan bahwa Iran “siap untuk konfrontasi atau kerja sama” dalam perselisihannya dengan pengawas nuklir PBB IAEA dan negara-negara Barat dalam badan tersebut mengenai program nuklirnya.

    “Menurut pendapat saya, rekayasa media Amerika tentang pertemuan antara Elon Musk dan perwakilan Iran adalah bentuk uji coba untuk melihat apakah ada dasar untuk langkah tersebut,” kata Araqchi.

    Dalam minggu-minggu menjelang terpilihnya kembali Trump dalam pemilihan presiden AS, para pejabat Iran telah mengisyaratkan kesediaan untuk menyelesaikan masalah dengan Barat. Iran dan Amerika Serikat memutuskan hubungan diplomatik tak lama setelah revolusi Islam 1979, yang menggulingkan Shah Iran yang didukung AS, Mohammed Reza Pahlavi.

    Sejak saat itu, kedua negara berkomunikasi melalui kedutaan besar Swiss di Teheran dan Kesultanan Oman.

    Selain itu, diketahui bahwa hubungan antara Iran dan IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) memburuk karena beberapa masalah yang sudah berlangsung lama, termasuk Iran yang melarang ahli pengayaan uranium dari badan tersebut memasuki negara tersebut dan kegagalannya untuk menjelaskan jejak uranium yang ditemukan di lokasi yang tidak diumumkan.

    (wia/idn)

  • Iran Bantah Ada Pertemuan Utusannya dengan Elon Musk: Cerita Dibuat-buat

    Iran Bantah Ada Pertemuan Utusannya dengan Elon Musk: Cerita Dibuat-buat

    Jakarta

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Abbas Araqchi membantah laporan terkait adanya isu pertemuan duta besar Iran untuk PBB dengan miliarder teknologi Amerika Serikat Elon Musk. Araqchi mengatakan laporan tersebut adalah cerita yang dibuat-buat.

    “(Laporan pertemuan) ini adalah cerita yang dibuat-buat oleh media Amerika, dan motif di balik ini juga dapat dispekulasikan,” kata Araqchi, mengulangi bantahan sebelumnya oleh Kementerian Luar Negeri Iran, dilansir Reuters, Minggu (17/11/2024).

    Araqchi juga memperingatkan bahwa Iran “siap untuk konfrontasi atau kerja sama” dalam perselisihannya dengan pengawas nuklir PBB IAEA dan negara-negara Barat dalam badan tersebut mengenai program nuklirnya.

    Diketahui, media AS The New York Times melaporkan pada hari Kamis bahwa Elon Musk, yang merupakan penasihat Presiden terpilih AS Donald Trump, bertemu dengan duta besar Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari Senin.

    Araqchi menilai laporan media AS itu merupakan bentuk uji coba. Iran kini meminta klarifikasi terkait isu tersebut.

    “Menurut pendapat saya, rekayasa media Amerika tentang pertemuan antara Elon Musk dan perwakilan Iran adalah bentuk uji coba untuk melihat apakah ada dasar untuk langkah tersebut,” kata Araqchi.

    “Kami masih menunggu pemerintahan baru AS untuk mengklarifikasi kebijakannya, dan berdasarkan itu, kami akan menyesuaikan kebijakan kami sendiri. Saat ini, bukan saatnya untuk pertemuan semacam itu dan juga tidak tepat,” kata Araqchi.

    “Tidak ada izin dari pimpinan untuk pertemuan semacam itu,” kata Araqchi, merujuk pada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, yang memiliki keputusan akhir dalam semua masalah negara.

    Diketahui, hubungan antara Iran dan IAEA memburuk karena beberapa masalah yang sudah berlangsung lama, termasuk Iran yang melarang ahli pengayaan uranium dari badan tersebut memasuki negara tersebut dan kegagalannya untuk menjelaskan jejak uranium yang ditemukan di lokasi yang tidak diumumkan.

    “Jalur nuklir kami di tahun mendatang akan sensitif dan kompleks, dan kami siap untuk konfrontasi atau kerja sama,” kata Araqchi.

    Dia mengatakan bahwa kesepakatan nuklir pada tahun 2015, yang ditinggalkan Trump pada tahun 2018 dalam masa jabatan pertamanya, tidak lagi memiliki nilai yang sama bagi Iran.

    “Jika negosiasi dimulai, pakta nuklir dapat menjadi acuan, tetapi tidak lagi memiliki arti penting sebelumnya. Kita harus mencapai kesepakatan yang layak,” kata Araqchi.

    Isu Pertemuan Elon Musk dengan Utusan Iran

    Sebelumnya diberitakan, Elon Musk, hartawan dan orang dekat presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump, bertemu dengan utusan Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amir Saeid Iravani. Pertemuan digelar di lokasi rahasia di New York.

    Dilansir AFP dan CNN, Jumat (15/11/2024), peristiwa politik penting ini pertama kali dilaporkan oleh The New York Times, terjadi pada Kamis (14/11) waktu setempat. Pertemuan berlangsung lebih dari satu jam.

    Media ternama AS itu mengutip sumber-sumber anonim Iran yang menggambarkan pertemuan itu sebagai “positif”.

    Lihat Video: Ancaman Iran, Konflik Meluas Jika Israel Terus Serang Gaza-Lebanon

    (yld/idn)

  • Iran Bantah Bertemu dengan Elon Musk: Cerita yang Dibuat-buat

    Iran Bantah Bertemu dengan Elon Musk: Cerita yang Dibuat-buat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi membantah pertemuannya antara utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan miliarder Amerika Serikat (AS), Elon Musk. Pernyataan tersebut dikatakan dalam sebuah wawancara dengan televisi pemerintah.

    Mengutip Reuters, Araqchi juga memperingatkan bahwa Iran siap untuk berkonfrontasi atau bekerja sama dalam perselisihannya dengan badan pengawas nuklir PBB, IAEA, dan negara-negara Barat yang tergabung dalam badan tersebut terkait program nuklirnya.

    “Ini (laporan pertemuan) adalah cerita yang dibuat-buat oleh media Amerika, dan motif di baliknya juga bisa diduga,” kata Araqchi dikutip Minggu (17/11).

    The New York Times melaporkan, beberapa waktu lalu, Musk, yang merupakan penasihat Presiden terpilih AS Donald Trump, bertemu dengan duta besar Iran untuk PBB pada hari Senin.

    “Menurut pendapat saya, rekayasa media Amerika tentang pertemuan antara Elon Musk dan perwakilan Iran adalah bentuk pengujian untuk melihat apakah ada dasar untuk langkah tersebut,” kata Araqchi.

    “Kami masih menunggu pemerintahan baru AS untuk mengklarifikasi kebijakannya, dan berdasarkan hal itu, kami akan menyesuaikan kebijakan kami sendiri. Saat ini, ini bukan waktunya untuk melakukan pertemuan semacam itu dan juga tidak tepat,” kata Araqchi.

    “Tidak ada izin dari pemimpin untuk pertemuan semacam itu,” kata Araqchi, merujuk pada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, yang memiliki keputusan akhir dalam segala hal kenegaraan.

    Hubungan antara Teheran dan IAEA terlanjur memburuk karena beberapa masalah yang telah berlangsung lama, termasuk Iran yang melarang para ahli pengayaan uranium dari negara tersebut dan kegagalannya untuk menjelaskan jejak-jejak uranium yang ditemukan di lokasi-lokasi yang tidak diumumkan.

    “Jalur nuklir kami di tahun mendatang akan menjadi sensitif dan kompleks, dan kami siap untuk konfrontasi atau kerja sama,” kata Araqchi.

    Ia menambahkan, bahwa kesepakatan nuklir 2015, yang mana Trump keluar pada tahun 2018 pada masa jabatan pertamanya, tidak lagi memiliki nilai yang sama bagi Iran.

    “Jika negosiasi dimulai, pakta nuklir dapat berfungsi sebagai referensi, tetapi tidak lagi memiliki signifikansi sebelumnya. Kita harus mencapai kesepakatan yang layak,” pungkasnya.

    (pgr/pgr)

  • Iran Bantah Ada Pertemuan Utusannya dengan Elon Musk: Cerita Dibuat-buat

    Iran Bantah Ada Pertemuan dengan Elon Musk

    Jakarta

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmaeil Baghaei pada hari Sabtu (16/11) dengan “tegas” membantah pemberitaan The New York Times tentang pertemuan duta besar Iran untuk PBB dengan miliarder teknologi Amerika Serikat Elon Musk.

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (16/11/2024), dalam sebuah wawancara dengan media pemerintah Iran, IRNA, Baghaei dilaporkan “dengan tegas menyangkal pertemuan semacam itu”. Dia menyatakan “terkejut dengan liputan media Amerika dalam hal ini”.

    Sebelumnya, The Times melaporkan pada hari Jumat bahwa Musk, yang merupakan sekutu dekat presiden terpilih Donald Trump, bertemu awal minggu ini dengan duta besar Iran untuk PBB, Amir Saeid Iravani.

    Media ternama AS itu mengutip sumber-sumber anonim Iran yang menggambarkan pertemuan itu sebagai “positif”.

    Sejumlah surat kabar Iran, khususnya yang berpihak pada partai reformis yang mendukung Presiden Iran Masoud Pezeshkian, sebagian besar juga menggambarkan pertemuan itu secara positif.

    Diketahui bahwa Trump telah menunjuk Musk untuk memimpin “Departemen Efisiensi Pemerintah”, departemen baru yang bertugas merombak birokrasi federal. Ini menimbulkan pertanyaan di AS soal kepentingan kelompok bisnis tertentu di pemerintahan Trump, termasuk Musk.

  • Tak Diajak Trump Masuk Kabinet, Begini Respons Bos JPMorgan

    Tak Diajak Trump Masuk Kabinet, Begini Respons Bos JPMorgan

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden terpilih AS Donald Trump menyebut dirinya tidak memberikan jabatan kepada CEO JPMorgan Chase & Co. Jamie Dimon pada masa jabatan keduanya.

    “Saya sangat menghormati Jamie Dimon, dari JPMorgan Chase, tetapi dia tidak akan diundang untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Saya berterima kasih kepada Jamie atas pengabdiannya yang luar biasa kepada negara,” kata Trump dalam sebuah postingan di jaringan Truth Social miliknya dikutip dari Bloomberg, Jumat (15/11/2024).

    Adapun, Dimon langsung menanggapi Trump di KTT CEO Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), beberapa saat setelah pernyataan presiden terpilih tersebut.

    “Pertama-tama, saya mendoakan yang terbaik untuk presiden dan terima kasih ini adalah pesan yang sangat bagus. Tapi saya hanya ingin bilang ke presiden juga, saya sudah 25 tahun tidak punya bos dan saya belum siap untuk memulai,” kata Dimon.

    Komentar tersebut terjadi pada hari di mana Trump membuat pilihan yang lebih penting untuk pemerintahan barunya, termasuk Robert F. Kennedy Jr., yang skeptis terhadap vaksin, untuk memimpin Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan dan Jay Clayton, mantan kepala Komisi Sekuritas dan Bursa, sebagai Jaksa AS untuk Distrik Selatan New York.

    Trump sebelumnya mengatakan dia akan mempertimbangkan Dimon sebagai Menteri Keuangan dalam wawancara bulan Juni dengan Bloomberg Businessweek tetapi kemudian menyangkal pernyataan itu. “Dia adalah seseorang yang akan saya pertimbangkan,” kata Trump dalam wawancara tersebut.

    Namun pada bulan Juli, dia mengatakan bahwa dia tidak pernah mendiskusikan, atau memikirkan Dimon untuk berperan dalam kabinetnya. Trump juga menambahkan bahwa dia tidak tahu dari mana ide tersebut berasal, yang dia sebut mungkin dari kelompok Kiri Radikal.

    Tim Trump mulai mengerucutkan pilihannya untuk Menteri Keuangan dengan pendiri Key Square Group LP Scott Bessent, CEO Cantor Fitzgerald LP Howard Lutnick, dan mantan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer di antara para pesaingnya. Dia diperkirakan akan mengambil keputusan secepatnya pada minggu ini. 

    Dimon mengatakan bahwa pejabat pemerintah akan bertanggung jawab atas situasi geopolitik, militer, dan geoekonomi paling rumit yang dihadapi dunia sejak Perang Dunia II.

    The New York Times pada Oktober lalu melaporkan bahwa Dimon secara pribadi mendukung saingan Trump dalam pemilihan umum, Wakil Presiden Partai Demokrat Kamala Harris dan mengatakan kepada orang-orang bahwa dia akan mempertimbangkan peran dalam pemerintahannya. 

    Namun, Dimon berjanji akan bekerja sama dengan siapa pun yang terpilih. Istrinya, Judy Dimon, mendukung pencalonan Harris sebagai presiden, dengan memberikan sumbangan dan mengumpulkan pemilih di negara bagian Michigan.

  • Isu Pertemuan dengan Elon Musk Dibantah Iran Cuma Karangan Belaka

    Elon Musk Bertemu Utusan Iran untuk Redakan Ketegangan di Era Trump Nanti

    New York

    Elon Musk, hartawan dan orang dekat presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump, bertemu dengan utusan Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amir Saeid Iravani. Pertemuan digelar di lokasi rahasia di New York.

    Dilansir AFP dan CNN, Jumat (15/11/2024), peristiwa politik penting ini pertama kali dilaporkan oleh The New York Times, terjadi pada Kamis (14/11) waktu setempat. Pertemuan berlangsung lebih dari satu jam.

    Pejabat pemerintahan Biden di PBB tidak diberitahu bahwa pertemuan itu sedang terjadi, dan masih belum menerima konfirmasi independen mengenai kebenaran pertemuan itu, kata seorang pejabat AS kepada CNN.

    AFP sebelumnya memberitakan bahwa AS ingin ada perubahan sikap dari Iran setelah Presiden Iran Masoud Pezeshkian berjanji untuk menghilangkan keraguan dari dunia mengenai program nuklirnya. Hal ini disampaikan oleh Pezeshkian saat kepala pengawas nuklir dari PBB, Rafael Grossi, berkunjung ke Tehran.

    Trump pada masa jabatan terakhirnya berusaha memberikan “tekanan maksimum” pada Iran dan menarik diri dari kesepakatan nuklir yang dinegosiasikan di bawah pendahulunya Barack Obama, meskipun ia baru-baru ini mengatakan bahwa ia terbuka terhadap diplomasi dengan Teheran.

    Israel telah meningkatkan tekanan pada Iran termasuk melalui serangan militer langsung, dengan Menteri Pertahanan Israel Katz baru-baru ini memperingatkan bahwa Iran “lebih rentan terhadap serangan terhadap fasilitas nuklirnya daripada sebelumnya.”

    (dnu/zap)

  • Pejabat CIA Didakwa Bocorkan Intel Soal Rencana Israel Serang Iran

    Pejabat CIA Didakwa Bocorkan Intel Soal Rencana Israel Serang Iran

    Washington DC

    Seorang pejabat badan intelijen pusat Amerika Serikat (AS) atau CIA didakwa terkait kebocoran dokumen rahasia intelijen Washington soal rencana Israel melancarkan serangan balasan terhadap Iran.

    Laporan surat kabar terkemuka AS The New York Times (NYT), seperti dilansir AFP, Kamis (14/11/2024), menyebut pejabat CIA yang didakwa itu bernama Asif Rahman, yang bekerja di luar negeri untuk CIA.

    Rahman ditangkap di Kamboja oleh Biro Investigasi Federal AS (FBI) beberapa waktu lalu, dan akan dihadirkan dalam persidangan di pengadilan federal AS yang ada di Guam pada Kamis (14/11) waktu setempat.

    Disebutkan NYT dalam laporannya bahwa Rahman, yang memiliki izin keamanan sangat rahasia, didakwa di Virginia pekan lalu atas dua tuduhan sengaja menyimpan dan mengirimkan informasi intelijen nasional.

    Iran meluncurkan nyaris 200 rudal balistik ke wilayah Israel pada 1 Oktober lalu, sebagai pembalasan atas pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah yang didukung negaranya, serta seorang jenderal Garda Revolusi Iran di Lebanon.

    Tel Aviv melancarkan pembalasan dengan gelombang serangan udara terhadap target-target militer Iran, termasuk pabrik rudal dan sistem pertahanan udara negara itu, pada 26 Oktober lalu.

  • 10
                    
                        Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
                        Internasional

    10 Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel? Internasional

    Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
    Tim Redaksi
    GAZA, KOMPAS.com
    – “Di mana orang-orang Arab?! Di mana orang-orang Arab?!”
    Pertanyaan itu dilontarkan seseorang yang muncul dari puing-puing seraya menggendong anak-anak yang sudah meninggal. Dia berteriak tanpa daya ke arah kamera yang menyorotnya.
    Pertanyaan ini terus diulang oleh warga Gaza yang keheranan mengapa orang-orang di negara kawasan Arab tidak melindungi mereka dari pengeboman Israel.
    Setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menewaskan 1.200 warga Israel terbunuh dan 250 orang lainnya diculik, semua mata langsung tertuju pada Timur Tengah.
    Seberapa jauh pembalasan yang akan dilakukan Israel? Bagaimana penduduk dan pemerintah Arab menanggapi guncangan kemanusiaan yang terjadi di wilayah tersebut?
    Pertanyaan pertama masih belum terjawab: Pengeboman Israel telah menghancurkan Jalur Gaza, merenggut nyawa lebih dari 42.500 warga Palestina, tetapi belum ada titik terang.
    Yang kedua adalah benar: Jika ada orang yang mengharapkan adanya protes besar di ibu kota utama dunia Arab, mereka akan kecewa.
    Adapun pemerintah negara-negara itu, “tanggapannya suam-suam kuku atau tidak sama sekali,” menurut Walid Kazziha, profesor ilmu politik di American University in Cairo (AUC), kepada
    BBC Mundo
    .
    Di luar kritik retoris terhadap Israel atau peran mediasi yang diadopsi oleh pemerintah seperti Qatar atau Mesir yang “murni sebagai perantara dan tidak mendukung Palestina,” kata Kazziha, tak satu pun negara-negara Arab memutuskan hubungan dengan Israel atau melakukan tindakan diplomatik dan tekanan ekonomi apa pun untuk mengakhiri perang.
    Mengapa perjuangan Palestina kehilangan relevansinya di antara pemerintah-pemerintah Arab di wilayah ini? Seperti hampir semua hal di Timur Tengah, jawabannya cukup rumit.
    Wilayah Timur Tengah tidak pernah benar-benar menjadi blok yang utuh dan homogen.
    Sepanjang sejarah, masyarakat Arab telah berbagi rasa identitas, bahasa, dan sebagian besar agama, serta kekhawatiran yang timbul dari pengaruh kolonial Eropa di wilayah tersebut.
    Namun, kepentingan pemerintah mereka terkadang berseberangan.
    Hubungan antara Palestina dan negara-negara Arab juga tidak mudah, terutama dengan negara-negara yang menerima sejumlah besar pengungsi setelah proklamasi Negara Israel pada 1948.
    Namun, perjuangan Palestina juga merupakan faktor pemersatu negara-negara Arab selama beberapa dekade.
    Selama periode ini, negara Israel dipandang “sebagai perpanjangan tangan dari kekuatan kolonial sebelumnya, yang telah menarik diri dari Timur Tengah,” menurut profesor kebijakan publik di Institut Pascasarjana Doha, Tamer Qarmout.
    “Israel sengaja ditempatkan di sana sebagai agen untuk melindungi kepentingan mereka, yang sebelumnya merupakan kepentingan Inggris dan Perancis, dan sekarang kepentingan Amerika Serikat,” ujar Tamer Qarmout kepada
    BBC Mundo
    .
    Perang yang dilancarkan terhadap Israel di masa lalu oleh negara-negara seperti Mesir, Suriah, dan Yordania tidak hanya untuk membela kepentingan nasional mereka, tetapi juga kepentingan Palestina, kata para analis.
    Namun, perang tersebut kini telah berlalu. Mesir dan Yordania telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel beberapa dekade yang lalu.
    Maroko, Uni Emirat Arab dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israel—negara yang hingga beberapa tahun lalu merupakan negara paria di wilayah tersebut.
    Bahkan Arab Saudi pun hampir melakukan hal yang sama sebelum 7 Oktober dan serangan Hamas.
    Bagi Dov Waxman, direktur Y&S Nazarian Center for Israel Studies di University of California, sejak awal konflik hingga hari ini, selama beberapa dekade terakhir, “masing-masing negara Arab mengikuti kepentingannya sendiri”.
    “Mereka berbicara tentang mendukung Palestina dan solidaritas, dan bukan berarti perasaan itu tidak tulus, tetapi pada akhirnya mereka mengikuti kepentingan nasional mereka.”
    “Ada banyak simpati terhadap bencana kemanusiaan yang dihadapi warga Gaza, dan mereka ingin pemerintah mereka berbuat lebih banyak. Mereka ingin hubungan diplomatik diputus. Mereka ingin para duta besar diusir, setidaknya ada tanggapan semacam itu,” ujar Fakhro.
    Namun, hal ini tidak terjadi.
    Menurut Imad K. Harb, direktur Riset dan Analisis di lembaga riset Arab Center di Washington, DC, “Pemerintah Arab telah lama meninggalkan Palestina.”
    Bagi Tamer Qarmout, ada sebuah titik balik yang telah mengubah seluruh dinamika di kawasan ini: pemberontakan rakyat yang mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara antara tahun 2010 dan 2012, yang dikenal dengan sebutan Kebangkitan Arab
    (Arab Spring).
    “Sejak saat itu, gelombang telah berubah sepenuhnya dan kegagalan pemberontakan ini telah membuat kawasan ini berada dalam ketidakpastian: banyak negara yang masih terbenam dalam konflik sipil, seperti Yaman, Suriah, atau Irak,” kata profesor dari universitas di Qatar ini.
    “Dua negara terakhir, yang merupakan negara sentral dan kuat dengan ide-ide politik yang dapat menantang AS, telah lenyap.”
    Di tengah keadaan krisis permamen ini, kendati bersimpati kepada Palestina, masyarakat Arab “merasa tak berdaya”, menurut Qarmout.
    “Mereka sendiri hidup di bawah tirani, otokrasi, dan kediktatoran. Dunia Arab berada dalam kondisi yang menyedihkan, orang-orang tidak memiliki kebebasan atau kemampuan dan aspirasi untuk hidup bermartabat,” kecam Qarmout.
    Meski begitu, respons sosial jauh lebih kuat daripada respons pemerintah, meskipun hal ini berkembang terutama di media sosial.
    Sejak
    Arab Spring
    , jalan-jalan di banyak negara di kawasan ini, seperti Mesir, menjadi terlarang bagi aktivisme.
    Jika dulu pemerintah otoriter mengizinkan masyarakat untuk melampiaskan rasa frustasi mereka dalam aksi demonstrasi membela Palestina, kini mereka khawatir protes semacam itu akan berujung pada hal yang lebih besar.
    Namun, itu bukan satu-satunya hal yang berubah dalam tahun-tahun penuh gejolak ini, ketika jutaan orang Arab turun ke jalan di negara-negara seperti Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Bahrain, dan Maroko untuk menuntut demokrasi dan hak-hak sosial.

    Arab Spring
    benar-benar merupakan guncangan dan mengubah dinamika dan prioritas banyak negara,” kata Qarmout.
    “Beberapa rezim lama tidak ada lagi dan yang lainnya berpikir bahwa mereka akan tertinggal, sehingga mereka panik, melihat ke kiri dan ke kanan dan mencari perlindungan.”
    “Banyak yang percaya pada gagasan yang dijual oleh Amerika Serikat bahwa Israel, sekutunya di kawasan itu, dapat melindungi mereka,” ujarnya.
    Perjanjian itu menjadi kesepakatan hubungan Barhain dan Uni Emirat Arab dengan Israel—perjanjian ini kemudian diikuti oleh Maroko dan Sudan.
    Lalu, dampak perjanjian ini kemudian datang. Washington, misalnya, mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat, yang membuat referendum penentuan nasib sendiri menjadi tidak mungkin.
    “Ketika kita melihat hubungan yang telah dibangun oleh negara-negara ini dengan Israel, kita melihat bahwa pada dasarnya bermuara pada Israel yang menjual sistem untuk memata-matai penduduk mereka sendiri,” kata Walid Kazziha.
    Dugaan kasus spionase menggunakan program Pegasus—yang dikembangkan oleh perusahaan Israel NSO Group—telah mempengaruhi Maroko, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan bahkan Arab Saudi, meskipun tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel.
    Menurut
    The New York Times
    , Riyadh membeli program tersebut pada 2017 dan kehilangan akses ke program tersebut setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada tahun berikutnya.
    Namun, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman berhasil memulihkan layanan setelah menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang melakukan intervensi untuk mengizinkan Saudi menggunakan perangkat lunak itu lagi, demikian laporan surat kabar Amerika tersebut.
    Hubungan Hamas dan Hizbullah dengan Iran juga menimbulkan kecurigaan di negara-negara Arab.
    Bagi negara-negara Teluk, misalnya, Iran adalah ancaman yang lebih besar daripada Israel. Banyak pemerintah Arab “telah mengadopsi narasi Israel dan Amerika bahwa gerakan-gerakan ini adalah perpanjangan tangan Iran di wilayah tersebut, dan bahwa mereka diciptakan untuk menyabotase proyek perdamaian regional dengan mengabaikan Palestina,” kata Qarmout.
    Ini adalah narasi yang didorong oleh sebagian besar media resmi di dunia Arab—sebuah wilayah di mana hampir tidak ada media independen, menurut para analis.
    “Bagi media Saudi, misalnya, perhatian utama bukanlah Palestina, tetapi bagaimana Iran mendapatkan tempat,” Kazziha berpendapat.
    Akan tetapi, negara-negara ini kemudian menjadi waspada terhadap kekuatan gerakan yang terus meningkat.
    “Ketika pintu-pintu tertutup bagi mereka dan tidak ada yang mau memberi mereka senjata untuk melawan Israel, mereka bersedia membantu penjahat untuk mendapatkannya,” tambahnya.
    Hal yang sama berlaku untuk Hizbullah dan kelompok-kelompok lain yang menerima dukungan dari Iran, tetapi juga ingin membela Palestina,
    Menurut Kazziha, ketika Iran dikedepankan sebagai promotor, maka orang-orang Arab tidak lagi menjadi tokoh utama.
    “Saya pikir ada beberapa gerakan Arab yang benar-benar tertarik untuk mendukung Palestina dan bahkan mati untuk mereka, seperti Hizbullah, Houthi di Yaman, dan beberapa gerakan Syiah di Irak,” ujar peneliti AUC tersebut.
    Selain kepentingan geostrategis dan krisis di negara-negara Arab, perjuangan Palestina telah dilupakan seiring berlalunya waktu.
    Konsep-konsep yang pernah membuat jantung Timur Tengah berdegup kencang, seperti pan-Arabisme, kini hanya menjadi gema masa lalu.
    “Sebagian besar generasi muda di wilayah ini bersimpati kepada Palestina, tetapi mereka tidak mengetahui dinamika konflik karena hal-hal tersebut tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah,” jelas Qarmout.
    “Pada 1960-an dan 1970-an, banyak negara Arab yang memiliki kurikulum sekolah yang lengkap tentang Palestina, namun saat ini masyarakat telah berubah dengan kekuatan globalisasi, bahkan identitas,” jelas Qarmout,” katanya.
    Hal yang sama juga terjadi pada para pemimpin baru.
    “Di negara-negara Teluk, misalnya, ada generasi pemimpin baru seperti Mohamed Bin Salman dari Arab Saudi, yang sebagian besar berpendidikan Barat, yang tidak pan-Arab dan tidak melihat Palestina sebagai sebuah isu,” jelas Qarmout.
    “Prioritas mereka berbeda dan begitu pula ambisi mereka,” cetusnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Meta Kembangkan Mesin Pencari Berbasis AI, Saingi Google dan Microsoft

    Meta Kembangkan Mesin Pencari Berbasis AI, Saingi Google dan Microsoft

    Bisnis.com, JAKARTA – Meta, perusahaan induk Instagram dan Whatsapp, tengah mengembangkan mesin pencari berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) guna mengurangi ketergantungan pada Google dan Microsoft.

    Berdasarkan laporan dari The Information, mesin tersebut dilaporkan akan menyediakan ringkasan pencarian yang dihasilkan AI dari berbagai peristiwa terkini dalam chatbot Meta AI.

    “Berdasarkan sumber, sebuah tim Meta telah bekerja selama sekitar delapan bulan untuk membangun basis data informasi bagi chatbot-nya,” tulis The Verge dikutip, Rabu (30/10/2024).

    Saat ini, bot Meta AI yang terintegrasi di Instagram dan Facebook menggunakan Google dan Microsoft Bing untuk menjawab pertanyaan mengenai berita terkini. 

    Namun, dengan proyek ini, Meta berencana menyediakan ringkasan pencarian yang dihasilkan AI, memberikan jawaban yang lebih terintegrasi dan langsung dari sumbernya.

    Meta juga telah memperkuat kemitraannya dengan Reuters, memungkinkan chatbot-nya menggunakan artikel berita sebagai jawaban. Selain itu, laporan menunjukkan bahwa Meta tengah membangun data lokasi yang bersaing dengan Google Maps.

    Dengan langkah ini, Meta tampaknya berupaya memperkuat posisinya di pasar mesin pencari dan menciptakan solusi yang lebih mandiri dan terintegrasi.

    Sementara itu, OpenAI juga mengonfirmasi bahwa mereka mengembangkan mesin pencari AI bernama SearchGPT. Di sisi lain, mesin pencari AI Perplexity tengah menghadapi gugatan dari News Corp dan ancaman hukum dari penerbit besar lainnya, termasuk The New York Times. 

    Sebelumnya, Meta merilis sejumlah model kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) baru, salah satunya model “Self-Taught Evaluator”, yang dapat memperkecil keterlibatan manusia dalam proses pengembangan AI.

    Melansir dari Reuters, model AI ini mulai diperkenalkan saat peluncuran makalah Meta pada Agustus lalu. Model ini diketahui menggunakan teknik “rantai pemikiran” yang digunakan oleh model AI OpenAI. 

    Teknik ini melibatkan pemecahan masalah yang kompleks menjadi langkah-langkah logis yang lebih kecil dan meningkatkan akurasi respons pada masalah dalam mata pelajaran seperti sains, pengkodean, dan matematika.

    Adapun, para peneliti Meta sudah melatih AI ini untuk menghasilkan data guna mengurangi keterlibatan manusia dalam pengolahan data.

    AI ini memang diproyeksikan mampu menjalankan berbagai tugas tanpa memerlukan intervensi manusia, memberikan kemungkinan untuk mengurangi kebutuhan akan metode Pembelajaran Penguatan dari Umpan Balik Manusia (RLAIF), yang saat ini masih digunakan. 

    Proses RLAIF melibatkan pencatat manusia yang harus memiliki keahlian khusus untuk memberi label data dan memverifikasi jawaban, terutama pada soal-soal kompleks.