Perusahaan: The New York Times

  • Putin Mempelajari dengan Saksama Perjanjian Gencatan Senjata Washington & Kyiv, AS akan Kontak Rusia – Halaman all

    Putin Mempelajari dengan Saksama Perjanjian Gencatan Senjata Washington & Kyiv, AS akan Kontak Rusia – Halaman all

    Putin Mempelajari dengan Saksama Perjanjian Gencatan Senjata Washington-Kyiv, AS akan Kontak Rusia

    TRIBUNNEWS.COM- Vladimir Putin “mempelajari dengan saksama” hasil perundingan perdamaian berisiko tinggi antara Washington dan Kyiv , kata Moskow pada hari Rabu sementara Menteri Luar Negeri Marco Rubio mengatakan AS akan melakukan kontak dengan Rusia untuk menyampaikan proposal tersebut secara langsung.

    Kremlin mengatakan pihaknya sedang menunggu rincian dari Washington tentang kesepakatan gencatan senjata 30 hari yang sejauh ini disetujui Ukraina , setelah Washington dan Kyiv mengatakan pada hari Selasa bahwa mereka berkomitmen untuk “membahas proposal khusus ini dengan perwakilan dari Rusia.”

    Para pejabat Rusia memperkirakan AS akan memberi mereka informasi terbaru tentang “rincian negosiasi yang berlangsung dan kesepahaman yang dicapai,” kata juru bicara pemimpin Rusia Dmitri S. Peskov, menurut The New York Times.

    Presiden Rusia Vladimir Putin “mempelajari dengan saksama” hasil perundingan damai antara Ukraina dan Amerika Serikat minggu ini, menurut Kremlin.

    Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz bertemu dengan pejabat Ukraina di Jeddah, Arab Saudi pada 11 Maret 2025.
    Peskov juga mencatat: “Rubio dan [Penasihat Keamanan Nasional Mike] Waltz mengatakan bahwa mereka akan menyampaikan informasi terperinci kepada kami melalui berbagai saluran tentang inti pembicaraan yang terjadi di Jeddah. Pertama, kami harus menerima informasi ini.”

    Rubio, sementara itu, mengatakan AS mengharapkan tanggapan positif dari Rusia terkait kesepakatan tersebut.

    “Kami semua sangat menantikan respons Rusia dan mendesak mereka dengan tegas untuk mempertimbangkan mengakhiri semua permusuhan,” kata Rubio saat singgah di Irlandia dalam perjalanan kembali ke Washington.

    “Jika mereka berkata ‘tidak’, maka jelas kita harus memeriksa semuanya dan mencari tahu di mana posisi kita di dunia ini dan apa niat mereka yang sebenarnya. Jika mereka berkata tidak, itu akan memberi tahu kita banyak hal tentang apa tujuan mereka dan apa pola pikir mereka,” lanjutnya.

    Rubio tidak mau menyebutkan bagaimana AS akan menanggapi jika pejabat Rusia menarik diri dari kesepakatan tersebut, tetapi mengatakan pembicaraan sebelumnya menunjukkan keinginan Moskow untuk menghentikan konflik.

    Ketika ditanya apakah Rusia dapat menerima gencatan senjata tanpa syarat, Rubio menjawab: “Itulah yang ingin kami ketahui — apakah mereka siap melakukannya tanpa syarat.”

    Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan dia yakin Kyiv “dapat memperkirakan” AS akan mengambil “langkah-langkah kuat” terhadap Rusia jika Moskow menolak proposal gencatan senjata, menurut CNN.

    “Sejauh yang saya pahami, kita dapat mengharapkan langkah-langkah yang kuat. Saya tidak tahu rinciannya, tetapi kita berbicara tentang tindakan sanksi masing-masing dan penguatan Ukraina,” kata Zelensky.

    Zelensky mengatakan Ukraina telah menerima kesepakatan 30 hari yang diusulkan oleh AS, yang akan mencakup gencatan senjata di laut, udara, dan darat.

    “Semuanya tergantung pada Rusia. AS telah mengambil langkah, Ukraina telah memperjelas posisinya. Sekarang Rusia perlu merespons,” katanya.

    Zelensky menolak mengatakan apa yang akan terjadi jika Rusia melanggar kesepakatan gencatan senjata 30 hari.

    Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz bertemu dengan pejabat Ukraina di Jeddah, Arab Saudi pada 11 Maret 2025.

    SUMBER: NYPOST.COM

  • Kisah Douglas Tompkins Sang Pendiri The North Face

    Kisah Douglas Tompkins Sang Pendiri The North Face

    Jakarta

    Para pecinta alam dan petualangan pasti sudah tak asing dengan merek asal Amerika Serikat (AS) ini. The North Face, yang memiliki produk pakaian, alat outdoor seperti tenda, ransel, kantong tidur hingga pakaian.

    Sudah tahu belum siapa pemiliknya? Nih detikcom kasih tahu. Dikutip dari The New York Times, The North Face ini didirikan pada 1964 oleh Douglas Tompkins.
    Dulunya The North Face hanya sebuah toko kecil. Tapi siapa sangka ini The North Face menjadi brand besar dan terkenal di seluruh dunia.

    Tapi, Tompkins akhirnya memutuskan untuk menjual merek tersebut dua tahun setelah toko berdiri. Dia dan istrinya membuat merek Esprit. Bisnis tersebut berkembang dengan nilai miliaran dolar sekaligus terkenal dengan pakaian olahraga kasual dan pakaian gaya hidup.

    Kesuksesan Esprit pada 1980-an memicu banyak pekerjaan konservasi yang dilakukan Tompkins sepanjang sisa hidupnya. Namun pada tahun 1990, dia semakin kecewa dengan dunia usaha dan menjual sahamnya di Esprit seharga lebih dari US$ 150 juta.

    Tompkins dan istri keduanya, Kristine McDivitt, pindah ke Amerika Selatan pada 1990-an. Mereka membagi waktu antara rumah mereka di Chile dan Argentina. Selain itu, mereka juga memusatkan upaya konservasi mereka di kedua negara.

    Tompkins menggunakan kekayaannya untuk membeli sekitar 2,2 juta hektar melalui berbagai kelompok konservasi, termasuk Taman Pumalín. Taman itu menjadi salah satu taman pribadi terbesar di dunia yang melindungi 715.000 hektar hutan hujan membentang dari Samudra Pasifik hingga Andes.

    Selain itu, pasangan suami istri tersebut bertanggung jawab memperluas cagar alam seluas 400 hektar hutan di Chile menjadi hampir 890.000 hektar yang terbagi antara Chili dan Patagonia.

    Doug Tompkins meninggal dunia pada usia 72 tahun karena melakukan hal yang disukainya. Saat kematiannya, Tompkins sedang mengerjakan pembuatan taman baru di Patagonia dan di lahan basah Iberá di timur laut Argentina. Dia dikenang sebagai salah satu karakter terpenting dalam aktivisme lingkungan dan ekologi yang pernah dikenal generasi kita.

    Tompkins meninggal karena kecelakaan kayak di wilayah Patagonia di Chili Selatan. Kayaknya terbalik dan Tompkins jatuh ke air sedingin es. Dia segera dilarikan ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong karena hipotermia parah.

    (kil/kil)

  • Eks Mata-Mata Taliban Jadi Bos Pajak, Ingin Hapus Pajak Penghasilan

    Eks Mata-Mata Taliban Jadi Bos Pajak, Ingin Hapus Pajak Penghasilan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Bantuan Amerika Serikat kepada Taliban sudah berkurang drastis sejak tahun 2021. Dengan demikian, kini Taliban harus secara mandiri harus meningkatkan pendapatan negaranya.

    Mengutip laporan The New York Times, saat ini tak jarang mantan gerilyawan Taliban yang dulu aktif di medan perang kini harus bekerja sebagai birokrat.

    Seperti Direktur Direktorat Layanan Pembayar Pajak Taliban, Abdul Qahar Ghorbandi yang dulunya seorang agen rahasia Taliban di Kabul.

    Dari balik meja besar, Ghorbandi kini menggiring ratusan pembayar pajak Afghanistan. Dia memastikan mereka datang dengan dokumen pendapatan dan pergi dengan segenggam formulir pajak untuk diisi.

    Taliban telah berupaya meningkatkan pengumpulan pajak setelah kontraksi ekonomi parah yang terjadi setelah mereka mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021. Rezim otoriter tersebut telah dilumpuhkan oleh sanksi, sebagian karena pembatasan keras terhadap perempuan dan anak perempuan.

    Bantuan AS, yang dikurangi drastis sejak tahun 2021, dapat dihilangkan sepenuhnya berdasarkan pemotongan anggaran Presiden Trump. Bantuan tersebut telah diberikan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi nonpemerintah yang bekerja di Afghanistan, bukan langsung kepada pemerintah Taliban.

    Ghorbandi mengatakan bahwa ia memiliki gelar master dalam ilmu komputer, memimpin sistem komputer administrasi pajak yang diubah dari bahasa Inggris ke bahasa Pashto dan Dari. Ia telah mempekerjakan para ahli TI untuk memodernisasi departemen tersebut.

    Ia juga telah mencoba menanamkan budaya transparansi. Karyawannya tidak diizinkan untuk memegang uang tunai. Pembayar pajak membawa formulir mereka ke bank yang dikelola pemerintah dan membayar pajak di sana.

    Ketika dia tidak berada di mejanya untuk menandatangani tumpukan dokumen yang dikirim oleh para ajudan yang bergegas masuk dan keluar, katanya, dia mengunjungi berbagai bagian di departemennya, bertanya kepada para pembayar pajak bagaimana dia bisa mempermudah prosesnya.

    Pengamat internasional mengatakan Taliban telah mengurangi korupsi pajak dan kronisme yang menurut warga Afghanistan merajalela di bawah pemerintahan yang berpihak pada AS, sambil menyederhanakan proses pengumpulan pajak.

    Meskipun banyak warga Afghanistan yang memiliki koneksi baik pernah menghindari pembayaran pajak, Ghorbandi menekankan bahwa bahkan sebagai petugas pajak pemerintah, dia tidak dikecualikan. Dia mengatakan dia membayar 30.000 afghani sebulan, atau sekitar Rp 6,5 juta per bulan.

    Meskipun terbuka dan efisien, kantor pajak tetaplah kantor pajak, dan tidak semua pembayar pajak merasa puas.

    Selama perang, Taliban menjalankan sistem pajak yang menguntungkan yang memungut bea cukai, biaya truk, dan pajak daerah di wilayah yang mereka kuasai. Mereka juga meraup keuntungan jutaan dolar dengan mengenakan pajak 10 persen – “ushar” dalam Islam – kepada petani opium, meskipun sejak itu mereka telah melarang produksi opium.

    Pada tahun 2023, pemerintah Taliban mengumpulkan sekitar US$3 miliar dalam bentuk pajak, bea cukai, dan biaya, atau 15,5% dari produk domestik bruto.

    Berdasarkan laporan Bank Dunia, sumber terbesar bagi Taliban adalah bea cukai, pendapatan pertambangan, lisensi telekomunikasi, biaya bandara, dan biaya untuk kartu identitas nasional, paspor, dan visa. Pendapatan tersebut, untuk paruh pertama tahun lalu, meningkat 27% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    Setengah dari pendapatan pemerintah dihabiskan untuk keamanan dan militer tahun lalu, dan hanya 26% untuk program sosial. Menurut pengamat internasional, sebagian besar untuk pendidikan bagi anak laki-laki.

    Ghorbandi dan Haqmal, juru bicara Kementerian Keuangan, mengatakan ke depan tujuan utamanya adalah untuk menghapus semua pajak penghasilan.

    “Ini adalah perintah langsung dari pemimpin tertinggi kami,” kata Haqmal. “Ia berkata: ‘Saya butuh Afghanistan yang bebas pajak.’” Haqmal merujuk pada Sheikh Haibatullah Akhundzada, emir dan kepala negara Taliban.

    Perintah langsung lain dari Sheikh Haibatullah adalah pencabutan hak-hak perempuan dan pembatasan yang lebih luas terhadap kebebasan sipil bagi semua warga Afghanistan. Perempuan dilarang bepergian dalam jarak yang jauh tanpa kerabat laki-laki dan diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuh dan wajah mereka di depan umum. Suara perempuan di luar rumahnya juga dilarang.

    (fsd/fsd)

  • AS dan Hamas Gelar Pembicaraan Rahasia soal Pembebasan Sandera, Israel Berusaha Gagalkan – Halaman all

    AS dan Hamas Gelar Pembicaraan Rahasia soal Pembebasan Sandera, Israel Berusaha Gagalkan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pejabat AS mengungkapkan bahwa Israel berusaha menggagalkan rencana pembicaraan rahasia antara AS dan Hamas di Doha.

    Pembicaraan rahasia tersebut adalah untuk membahas pembebasan sandera yang ditahan di Jalur Gaza.

    Ini merupakan pertama kalinya AS dan Hamas terlibat dalam pembicaraan rahasia setelah bertahun-tahun.

    Namun sayangnya, rencana pembicaraan ini disambut dengan ketidaksetujuan oleh pemerintah Benjamin Netanyahu.

    Menurut surat kabar Israel Yedioth Ahronot , pejabat AS mengatakan bahwa awalnya perundingan ini akan diadakan tanpa sepengetahuan Israel.

    Hal tersebut adalah untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan seperti putaran perundingan sebelumnya yang direncanakan minggu lalu.

    The New York Times mengatakan minggu ini bahwa Israel telah mengetahui pembicaraan tersebut melalui ‘saluran lain’ sebelum pembicaraan itu terjadi.

    Setelah mengetahui informasi tersebut, pejabat Israel kemudian membocorkan informasi ini melalui media sebagai upaya menyabotase perjanjian AS-Hamas.

    Pejabat Israel mengaku bahwa pihaknya takut jika terjadi kesepakatan tanpa melibatkan Israel.

    “AS saat ini tengah merundingkan kesepakatan dengan Hamas untuk membebaskan para sandera, dan Israel pada akhirnya harus membayar setidaknya sebagian dari harga tersebut,” kata seorang sumber Israel yang mengetahui pembicaraan tersebut kepada media berita tersebut, dikutip dari The New Arab.

    Sementara itu, kantor Perdana Menteri Israel mengonfirmasi dalam pernyataan singkat bahwa Israel telah menyatakan posisinya kepada AS mengenai negosiasi langsung dengan Hamas.

    “Israel telah menyampaikan kepada Amerika Serikat posisinya mengenai pembicaraan langsung dengan Hamas,” kata kantor Netanyahu.

    Perundingan antara Hamas dan AS ini belum pernah terjadi sebelumnya.

    AS telah menolak kontak langsung dengan kelompok tersebut sejak menetapkannya sebagai organisasi teroris pada akhir tahun 1990-an.

    Dalam pembicaraan ini, utusan Gedung Putih untuk urusan penyanderaan, Adam Boehler menjadi pejabat pertama yang diketahui berbicara langsung dengan organisasi tersebut selama bertahun-tahun.

    Pembicaraan ini juga dikonfirmasi oleh Hamas.

    Presiden AS Donald Trump pada hari Kamis (6/3/2025) mengumumkan bahwa diskusi sedang diadakan dengan Hamas.

    Menurut Trump, apa yang ia lakukan adalah upaya untuk membebaskan sandera Israel yang ditahan di Gaza.

    “Kami membantu Israel dalam diskusi tersebut karena kami berbicara tentang sandera Israel. Kami tidak melakukan apa pun terkait Hamas. Kami tidak memberikan uang tunai,” tegasnya, dikutip dari Middle East Monitor.

    Sebagai informasi, Israel telah melancarkan serangan mematikan di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2024.

    Serangan ini menyebabkan lebih dari 48.400 warga Palestina telah terbunuh.

    Sebagian besar korban merupakan wanita dan anak-anak.

    Lebih dari 111.800 warga Palestina terluka akibat agresi Israel.

    Namun sejak kesepakatan gencatan senjata, serangan Israel telah dihetikan sesuai kesepakatan yang berlaku pada 19 Januari 2025.

    (Tribunnews.com/Farrah)

    Artikel Lain Terkait Donald Trump, Hamas dan Konflik Palestina vs Israel

  • Karyawan Google Diminta Kerja 60 Jam Seminggu, Harus Masuk Kantor

    Karyawan Google Diminta Kerja 60 Jam Seminggu, Harus Masuk Kantor

    Jakarta, CNBC Indonesia – Salah satu pendiri Google, Sergey Brin, mengatakan bahwa perusahaan dapat mencapai Artificial General Intelligence (AGI) jika para karyawan bekerja lebih keras dan lebih banyak berada di kantor.

    Ia menyebut durasi kerja yang paling tepat untuk produktivitas menurutnya adalah 60 jam setiap minggu. Namun, ia juga tak mau pegawainya bekerja lebih dari 60 jam setiap minggunya.

    “60 jam seminggu adalah titik puncak produktivitas,” tulisnya dalam sebuah memo internal yang dilihat oleh The New York Times.

    Dalam memo yang dikirim ke karyawan di bagian Gemini AI Google, Brin mengatakan bahwa persaingan telah meningkat pesat, dan perlombaan terakhir menuju AGI sedang berlangsung.

    “Saya pikir kami memiliki semua bahan untuk memenangkan perlombaan ini, tetapi kami harus meningkatkan upaya kami,” ujar Brin, dikutip dari PCMag, Rabu (5/3/2025).

    Brin juga menyarankan agar karyawan datang ke kantor setidaknya setiap hari kerja. Kebijakan resmi Google untuk kembali ke kantor mewajibkan karyawan bekerja di kantor selama tiga hari dalam seminggu.

    AGI sendiri adalah jenis AI yang menyamai atau bahkan melampaui kemampuan kognitif manusia. AI ini dapat memahami dan menerapkan pengetahuan di berbagai tugas seperti manusia, bukan hanya pada kasus penggunaan yang terbatas.

    Staf AI Google rupanya sudah terbiasa dengan beban kerja yang brutal. Bos Google Search, Prabhakar Raghavan, mengklaim bahwa staf Gemini pernah bekerja selama 120 jam dalam seminggu untuk memperbaiki cacat pada alat pengenalan gambar Google.

    (dem/dem)

  • 6 Hal yang Perlu Diketahui tentang Abdullah Ocalan dan Konflik Turki-PKK – Halaman all

    6 Hal yang Perlu Diketahui tentang Abdullah Ocalan dan Konflik Turki-PKK – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Selama lebih dari empat dekade, Turki memerangi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Partai Pekerja Kurdistan (PKK), kelompok militan yang memperjuangkan hak-hak minoritas Kurdi di negara tersebut.

    Lebih dari 40.000 orang telah tewas dalam konflik yang berlangsung puluhan tahun ini, baik dalam serangan PKK terhadap target militer dan sipil maupun operasi militer Turki terhadap para militan dan masyarakat yang dianggap melindungi mereka.

    Turki, Amerika Serikat, dan negara-negara lain menganggap PKK sebagai organisasi teroris.

    Saat ini, pendiri PKK yang dipenjara, Abdullah Öcalan, menyerukan kepada para pejuang Kurdi untuk meletakkan senjata dan menyatakan gencatan senjata.

    Namun, belum jelas apakah konflik selama 40 tahun ini akan berakhir dan apa yang ditawarkan pemerintah Turki kepada kelompok tersebut sebagai imbalannya.

    Mengutip The New York Times, berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui tentang PKK dan konfliknya dengan Turki.

    1. Mengenal PKK

    PKK mulai melancarkan perlawanan terhadap negara Turki pada awal 1980-an.

    Awalnya, PKK memperjuangkan kemerdekaan bagi suku Kurdi, yang diperkirakan berjumlah sekitar 15 persen atau lebih dari populasi Turki.

    Dari pegunungan di Turki timur dan selatan, para pejuang PKK menyerang pangkalan militer dan kantor polisi Turki, yang memicu respons keras dari pemerintah.

    Konflik kemudian menyebar ke bagian lain negara itu.

    Pengeboman dahsyat yang dilakukan PKK di kota-kota Turki telah menewaskan banyak warga sipil.

    Selama dekade terakhir, militer Turki telah berhasil memukul mundur pasukan PKK dari kota-kota besar Kurdi di tenggara Turki, menggunakan pesawat tanpa awak untuk menargetkan para pemimpin dan pejuangnya, sehingga menghambat kemampuan mereka untuk mengatur dan melancarkan serangan.

    Konflik ini terus memanas selama bertahun-tahun, meskipun serangan PKK yang sporadis telah menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi konflik yang lebih luas.

    Tahun lalu, sekelompok kecil militan PKK menyerbu kantor pusat perusahaan kedirgantaraan milik negara dengan senjata api dan bahan peledak, menewaskan lima karyawan sebelum pasukan keamanan berhasil mengendalikan situasi.

    2. Sosok Abdullah Öcalan

    Abdullah Öcalan adalah pendiri dan pemimpin PKK.

    Ia telah dipenjara di Turki selama seperempat abad.

    Banyak warga Kurdi di Turki memandang Öcalan sebagai simbol kuat perjuangan hak-hak Kurdi.

    Meskipun dipenjara, ia masih memiliki pengaruh besar terhadap PKK dan milisi afiliasinya di Suriah, Irak, dan Iran.

    Öcalan mendirikan PKK pada akhir 1970-an bersama dengan sekelompok pemberontak lainnya.

    Ia memimpin organisasi tersebut sebagian besar dari negara tetangga Suriah sambil melancarkan serangan di wilayah tenggara Turki dan kemudian di kota-kota besar Turki lainnya.

    Pada tahun 1998, Suriah memaksanya keluar, dan ia mencari suaka di Yunani, Italia, dan Rusia.

    Kemudian, pada 15 Februari 1999, agen intelijen Turki, dengan bantuan dari rekan-rekan mereka di AS, menangkap Öcalan di dalam pesawat di bandara Nairobi, Kenya.

    Setelah ditangkap pada tahun 1999, Öcalan dipenjara di Pulau İmralı di Laut Marmara, sebelah selatan Istanbul, di mana ia menjadi satu-satunya tahanan selama bertahun-tahun.

    Pada tahun yang sama, Turki menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

    Hukuman tersebut diubah menjadi penjara seumur hidup setelah Turki menghapus hukuman mati sebagai bagian dari upaya mereka untuk bergabung dengan Uni Eropa.

    Sejak penahanannya, Öcalan mengubah ideologinya dari separatisme menjadi perjuangan hak-hak Kurdi di dalam kerangka negara Turki.

    3. Pandangan Turki terhadap Öcalan

    Bagi sebagian besar warga Turki, Öcalan tetap menjadi tokoh teroris yang paling dibenci di negara itu.

    Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengkritik isolasinya di Pulau İmralı.

    Pada tahun 2009, lima tahanan lainnya dikirim ke fasilitas tersebut, dan Öcalan diizinkan untuk bertemu dengan mereka beberapa kali seminggu, menurut laporan media Turki.

    Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Öcalan dan tahanan lainnya di pulau itu tidak diizinkan menerima kunjungan, termasuk dari pengacara mereka, atau melakukan panggilan telepon dengan anggota keluarga.

    Oktober lalu, seorang sekutu politik Presiden Recep Tayyip Erdoğan membuat pernyataan publik yang mengejutkan mengenai Öcalan.

    Ia meminta Öcalan untuk memerintahkan para pejuangnya agar meletakkan senjata dan mengakhiri konflik.

    Setelah itu, Öcalan menerima kunjungan terbatas dari kerabat dan sekutu politiknya, yang menjajaki kemungkinan proses perdamaian baru antara Turki dan PKK.

    4. Mengenal Suku Kurdi

    Suku Kurdi adalah kelompok etnis yang diperkirakan berjumlah sekitar 40 juta orang.

    Mereka terkonsentrasi di Iran, Irak, Suriah, dan Turki.

    Suku Kurdi berbicara dalam berbagai dialek bahasa Kurdi, bahasa yang tidak terkait langsung dengan bahasa Turki atau Arab.

    Sebagian besar suku Kurdi adalah Muslim Sunni.

    Suku Kurdi pernah dijanjikan negara sendiri oleh negara-negara adidaya setelah Perang Dunia I, tetapi janji itu tidak pernah terwujud.

    Pemberontakan suku Kurdi terjadi di berbagai negara selama beberapa generasi berikutnya, dan suku Kurdi menghadapi penindasan negara terhadap bahasa dan budaya mereka.

    Di Suriah, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin oleh suku Kurdi, yang para pemimpinnya berakar pada PKK dan mengikuti ideologi Öcalan, menguasai bagian timur laut negara tersebut.

    SDF didukung selama bertahun-tahun oleh Amerika Serikat dan memainkan peran penting dalam mengalahkan ISIS.

    Namun, perubahan politik di Suriah telah membuat status masa depan mereka tidak jelas.

    SDF terlibat bentrok dengan pemberontak Arab Suriah yang didukung Turki, dan tetap berada di luar kendali pemerintah Suriah di Damaskus.

    Sejak Perang Teluk 1991, wilayah utara Irak yang sebagian besar dihuni oleh suku Kurdi telah menjadi semi-otonom.

    Kepemimpinan PKK sekarang bermarkas di Pegunungan Qandil di Irak utara.

    Dalam beberapa tahun terakhir, Turki telah melancarkan serangan terhadap kelompok tersebut dan milisi afiliasinya di Irak dan Suriah, sambil melobi pemerintah Irak untuk mengusir mereka.

    5. Upaya Damai Sebelumnya

    Berbagai upaya telah dilakukan untuk membekukan atau mengakhiri konflik Turki-PKK, dimulai dengan gencatan senjata pada tahun 1993.

    Namun, semua upaya tersebut gagal, sering kali berujung pada pertumpahan darah yang lebih besar.

    Kekerasan terus berlanjut hingga putaran baru perundingan perdamaian dimulai pada tahun 2011.

    Saat itu, perwira intelijen Turki bertemu dengan Öcalan di penjara untuk merancang rencana bagi para pejuangnya untuk melucuti senjata.

    Politisi Kurdi menyampaikan pesan antara Öcalan dan rekan-rekannya di Irak utara.

    Namun, proses tersebut gagal pada pertengahan 2015, dengan masing-masing pihak saling menyalahkan atas kegagalan tersebut.

    Salah satu fase konflik yang paling mematikan terjadi setelahnya, dengan pertempuran sengit di kota-kota di tenggara Turki yang menewaskan lebih dari 7.000 orang, menurut International Crisis Group.

    6. Perbedaan dengan Gencatan Senjata Kali Ini

    Meskipun Turki masih menganggap PKK sebagai kelompok teroris separatis yang tidak mewakili masyarakat Kurdi, Turki telah mengakui beberapa pelanggaran hak-hak Kurdi di masa lalu dan memperluas batasan bahasa dan budaya Kurdi.

    Turki telah memberikan izin untuk siaran televisi dan radio berbahasa Kurdi dan mengizinkan bahasa Kurdi sebagai mata pelajaran pilihan di beberapa sekolah.

    Namun, pada saat yang sama, pemerintah telah mencopot lebih dari 150 wali kota Kurdi terpilih dari jabatan mereka sejak 2015, menurut Partai Kesetaraan Rakyat dan Demokrasi, yang mewakili gerakan pro-Kurdi secara politik dan memiliki kursi di Parlemen.

    Sebagian besar wali kota yang dicopot dituduh, dan beberapa di antaranya dihukum, atas kejahatan yang terkait dengan PKK.

    Human Rights Watch menyebut pencopotan wali kota Kurdi bermotif politik dan merupakan pelanggaran hak pemilih.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Gelombang PHK Amerika Berlanjut, Petugas Pajak Jadi Korban

    Gelombang PHK Amerika Berlanjut, Petugas Pajak Jadi Korban

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan Donald Trump resmi membubarkan tim pegawai negeri sipil yang berperan dalam pengembangan sistem layanan pajak Internal Revenue Service (IRS) serta perbaikan berbagai situs web pemerintah. Juru bicara General Service Administration (GSA) mengonfirmasi pembubaran tim tersebut pada Sabtu (2/3/2025).

    Melansir Reuters, Direktur Teknologi Transformasi GSA Thomas Shedd memberi tahu anggota tim digital 18F bahwa pekerjaan mereka dihentikan karena dianggap “tidak kritis.” Sekitar 90 pegawai tim tersebut langsung kehilangan akses ke perangkat kerja mereka setelah keputusan itu diumumkan.

    GSA menyatakan bahwa langkah ini diambil sebagai bagian dari implementasi sejumlah perintah eksekutif. Salah satunya adalah “Inisiatif Optimalisasi Tenaga Kerja Departemen Efisiensi Pemerintahan Presiden,” yang ditandatangani pada 11 Februari.

    Miliarder Elon Musk, yang memimpin tim Efisiensi Pemerintahan di bawah administrasi Trump, sebelumnya menanggapi sebuah unggahan di platform X yang menyebut 18F sebagai “kantor komputer yang jauh milik pemerintah.” Musk membalas unggahan tersebut dengan mengatakan bahwa kelompok itu telah “dihapus.”

    Tim 18F pertama kali dibentuk pada 2014 di bawah pemerintahan Barack Obama dan beroperasi di bawah naungan GSA. Tim ini bertugas meningkatkan aksesibilitas situs web pemerintah, memodernisasi teknologi, serta memperbaiki layanan bagi masyarakat.

    Selain itu, 18F juga membantu meningkatkan akses data dan mendukung inisiatif transparansi informasi publik. Hingga saat ini, layanan pengisian pajak daring IRS yang dikembangkan oleh tim tersebut masih dapat diakses.

    Sementara itu, The Washington Post melaporkan bahwa tim di bawah kepemimpinan Musk tertarik menggunakan data pajak pribadi untuk meninjau potensi penipuan dalam pembayaran tunjangan federal. Di sisi lain, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) dilaporkan meminta IRS mengungkapkan alamat rumah sekitar 700.000 imigran tanpa dokumen yang sedang dalam proses deportasi.

    Menurut laporan The New York Times dan The Washington Post pada Jumat (1/3/2025), IRS sejauh ini menolak permintaan DHS terkait akses data tersebut. Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Gedung Putih mengenai langkah lanjutan terkait keputusan tersebut.

    (hsy/hsy)

  • Analisis – di Bawah Trump, Amerika Punya Teman Baru: Rusia, Korea Utara, dan Belarus – Halaman all

    Analisis – di Bawah Trump, Amerika Punya Teman Baru: Rusia, Korea Utara, dan Belarus – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Langkah terbaru Presiden AS Donald Trump mungkin menunjukkan siapa saja sekutu barunya dalam masa jabatan keduanya, menurut analisis dari The New York Times.

    Dalam sebuah keputusan yang tak biasa, Trump meminta Amerika Serikat untuk memberikan suara menentang resolusi Majelis Umum PBB yang mengutuk invasi Rusia ke Ukraina pada peringatan tiga tahun perang tersebut.

    Beberapa negara yang berpihak kepada Rusia dalam hal ini antara lain Korea Utara, Belarus, dan Sudan.

    Sebaliknya, negara-negara seperti Inggris, Prancis, Jerman, Kanada, Italia, Jepang, dan mayoritas dunia, mendukung resolusi tersebut.

    Hanya sebulan setelah menjabat, Trump mulai menggeser posisi Amerika di panggung internasional.

    AS kini berada di kubu negara-negara yang dianggap terisolasi oleh dunia, dan menjauh dari negara-negara sahabat tradisionalnya sejak Perang Dunia II.

    Pegeseran hubungan dengan sekutu lama ini memiliki dampak besar bagi kebijakan luar negeri Amerika di masa depan. 

    Meski para pemimpin Eropa seperti dari Polandia, Prancis, dan Inggris berusaha mendekati Trump, mereka kini menghadapi kenyataan bahwa nilai-nilai Trump berbeda dengan mereka, atau bahwa prioritas AS kini tidak sejalan dengan kepentingan mereka.

    Jika Amerika Serikat terus merangkul negara-negara yang terisolasi secara internasional seperti Rusia, maka Eropa, Kanada, dan sekutu Asia seperti Jepang dan Korea Selatan mungkin terpaksa mencari aliansi baru.

    Sementara itu, kedekatan Trump dengan Rusia memberikan kesempatan bagi Moskow untuk keluar dari isolasi diplomatik yang berusaha dibangun oleh Barat sejak invasinya ke Ukraina.

    Susan E. Rice, mantan duta besar PBB di bawah Barack Obama, menuduh Trump terang-terangan menuruti kehendak Rusia.

    “Trump menyelaraskan Amerika dengan musuh-musuh kita dan melawan sekutu-sekutu perjanjian kita,” kata Rice.

    “Kita semua harus bertanya mengapa?”

    Langkah Amerika untuk menentang resolusi PBB pada hari Senin (24/2/2025) mengejutkan para pemimpin Eropa.

    AS, bersama China dan Rusia, memberikan suara mentang resolusi, sementara Inggris, Prancis, dan sebagian besar negara Eropa lainnya abstain.

    Bahkan di dalam Partai Republik, beberapa anggota terpaksa menyuarakan ketidakpuasan mereka secara terbuka.

    Senator John Curtis dari Utah mengungkapkan kekhawatirannya.

    “Saya sangat prihatin dengan hasil pemungutan suara di PBB hari ini yang menempatkan kita di pihak yang sama dengan Rusia dan Korea Utara,” katanya di media sosial.

    Penasihat Trump berargumen bahwa sang presiden sedang melakukan negosiasi rumit untuk mengakhiri perang.

    Mereka mengklaim bahwa pendekatan Trump, yang berbeda dari presiden sebelumnya, pasti akan menghasilkan kesepakatan yang lebih baik.

    “Presiden Trump tahu cara membuat kesepakatan lebih baik dari siapa pun yang pernah memimpin negara ini,” kata Karoline Leavitt, juru bicara Gedung Putih.

    Namun, Trump tampaknya lebih memilih untuk mendekati Putin, bahkan menyalahkan Ukraina atas perang tersebut, dan menyebut Presiden Zelensky sebagai “diktator tanpa pemilihan umum.”

    Sikap Trump yang lebih ramah terhadap otokrat seperti Putin dan Kim Jong Un semakin jelas ketika ia mengabaikan kritik terhadap Rusia.

    Sementara Trump dengan ramah menjamu Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, harapan Eropa untuk meyakinkan Trump tetap rendah.

    Pada akhirnya, Trump terlihat lebih tertarik pada aliansi dengan Rusia dan Korea Utara, daripada mempertahankan hubungan dengan sekutu tradisional Amerika.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Mata Buta, Luka Bakar Imbas Bahan Kimia Korosif

    Mata Buta, Luka Bakar Imbas Bahan Kimia Korosif

    PIKIRAN RAKYAT – Penyiksaan terhadap tahanan Palestina oleh pasukan Israel terus terjadi. Kali ini, warga Palestina, Mohammed Abu Tawila yang baru dibebaskan setelah setahun ditahan memperlihatkan bukti kebiadaban pasukan Israel.

    Abu Tawila ditahan di penjara Sde Teiman di Israel selatan selama setahun dan baru dibebaskan seminggu lalu. Kini, dia kembali ke Palestina dengan kondisi yang memprihatinkan.

    Hal ini terungkap lewat gambar-gambar yang dibagikan para jurnalis Gaza Wissam Nassar dan Walid Huran. Terlihat sekujur tubuh Abu Tawila mengalami luka bakar serius akibat bahan kimia.

    Penjara Sde Teiman memang telah dikenal sebagai tempat tahanan disiksa. Abu Tawila mendekam di penjara tersebut dan telah mengalami penyiksaan fisik dan psikologis.

    Abu Tawila yang juga seorang insinyur mengungkap bahwa di penjara tersebut pasukan Israel menggunakan bahan kimia untuk menyiksa warga Palestina yang ditahan.

    Selain bahan kimia korosif, pasukan Israel juga menggunakan sengatan listrik, direndam di air dingin bertekanan, dan pemukulan brutal. Abu Tawila harus kehilangan salah satu matanya serta mengalami luka bakar serius akibat siksaan ini.

    Cara pasukan Israel membebaskan Abu Tawila dan warga Palestina lainnya juga menjadi sorotan. Abu Tawila dipaksa berjalan jauh untuk tiba di Gerbang Perbatasan Kerem Abu Salim. Kondisi kesehatannya juga sangat kritis.

    Saat tiba, Abu Tawila langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung mendapatkan penanganan medis dan psikologis. Namun, kondisi di Jalur Gaza yang fasilitas kesehatannya lumpuh membuat Abu Tawila harus dirawat di luar Gaza.

    Karena kondisinya yang memprihatinkan, lembaga dan organisasi internasional diminta untuk memindahkan Abu Tawila. Hal ini guna memulihkan kesehatan fisik dan psikologisnya.

    Penjara yang mengerikan

    Berdasarkan laporan The New York Times, warga Gaza yang ditahan di penjara Sde Teiman diborgol dan dipaksa duduk diam di tanah area terbuka selama 18 jam sehari pada bulan lalu.

    Warga Palestina yang dibawa ke penjara tersebut akan ditahan di sana selama tiga bulan dan menjadi sasaran perlakuan tak manusiawi pasukan Israel Penyiksaan biasanya dilakukan ketika proses interogasi.

    Beberapa warga Gaza yang ditahan di sini dan kemudian dibebaskan berbicara tentang penyiksaan yang mereka alami di Sde Teiman.

    Sementara itu dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA, lebih dari 640 tahanan Palestina dibebaskan dari penjara Israel pada Kamis, 27 Februari 2025 malam. Ini merupakan bagian dari gelombang ketujuh dan terakhir dari kesepakatan pertukaran fase pertama perjanjian gencatan senjata Gaza.

    Pembebasan itu awalnya dijadwalkan Sabtu pekan sebelumnya tetapi ditunda.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Pelucutan Senjata Hamas Adalah ‘Sangat Mustahil’, Hamas Siap Berbagi Kursi dengan PA di Gaza – Halaman all

    Pelucutan Senjata Hamas Adalah ‘Sangat Mustahil’, Hamas Siap Berbagi Kursi dengan PA di Gaza – Halaman all

    Mau Berbagi Kursi dengan PA di Gaza, Pejabat Hamas: Pelucutan Senjata Adalah ‘Sangat Mustahil’ 
     

    TRIBUNNEWS.COM – Melucuti senjata Hamas adalah “hal yang mustahil” dan tidak dapat dinegosiasikan, kata seorang anggota pimpinan politik kelompok tersebut pada Selasa (25/2/2025).

    Pernyataan itu dilontarkan beberapa hari setelah faksi militan Palestina tersebut menyambut baik wacana “pengawasan terpadu” entitas Palestina atas Gaza.

    Pengawasan terpadu itu berarti Hamas mau berbagi pemerintahan Gaza dengan Otoritas Palestina dan faksi atau partai Palestina lainnya.

    Komentarnya menyusul pernyataan Hamas yang membantah pernyataan yang dikaitkan dengan anggota politbiro gerakan tersebut, Mousa Abu Marzouq dalam sebuah wawancara dengan The New York Times .

    Pernyataan yang dipublikasikan tersebut mengisyaratkan bahwa Abu Marzouq telah menyatakan keberatannya soal serangan 7 Oktober yang dilakukan gerakan tersebut terhadap Israel dan menyiratkan kesediaannya untuk merundingkan masa depan persenjataan Hamas di Gaza.

    “Kemungkinan melucuti senjata Hamas adalah sesuatu yang mustahil,” kata anggota senior Hamas Bassam Khalaf kepada The National.

    “Hamas dengan tegas menolak membahas masalah pelucutan senjata dalam negosiasi apa pun,” katanya

    Perang Israel terhadap Hamas di Gaza telah menewaskan lebih dari 48.300 warga Palestina sejak dimulai setelah serangan di Israel selatan pada Oktober 2023.

    Meskipun skala kerusakannya belum pernah terjadi sebelumnya, Hamas masih menguasai wilayah pesisir tersebut.

    Israel telah menjadikan pemberantasan kelompok tersebut sebagai salah satu tujuan utama perang, tetapi Hamas, yang masih menyandera puluhan warga Israel , belum terkalahkan.

    Dalam sejumlah putaran negosiasi, khususnya menjelang berakhirnya gencatan senjata tahap pertama (Fase I) pada Sabtu (28/2/2025), Israel meminta Hamas dilucuti sebagai bagian dari rencana ‘The Day After’ di Gaza.

    “Saya tidak dapat membayangkan pejabat, pemimpin, atau pejuang mana pun dalam gerakan perlawanan yang bersedia meletakkan senjata, terutama di dalam Hamas, yang telah kita lihat menghadapi agresi dan terus melakukannya,” kata pejabat Hamas lainnya.

    “Perlawanan ini telah memaksa Israel untuk bernegosiasi meskipun pendudukan telah menolak selama berbulan-bulan selama perang – bagaimana mungkin Israel sekarang membahas penyerahan senjatanya?” kata dia.

    OGAH DILUCUTI – Pejuang bersenjata dari Hamas di Gaza. Para anggota mengatakan sangat tidak mungkin kelompok itu akan menyerahkan senjata mereka namun bersedia berbagi kekuasaan dengan Otoritas Palestina (PA) di Jalur Gaza.

    Mau Berbagi Kursi dengan PA

    Pemerintahan Gaza di masa depan tetap menjadi isu utama dalam upaya mediasi yang berkelanjutan, karena pihak-pihak yang bertikai dan negosiator mencari solusi jangka panjang yang dapat mengubah gencatan senjata yang rapuh menjadi proses perdamaian yang lebih luas.

    Salah satu jalan yang mungkin untuk mengakhiri perang adalah dengan menyerahkan kekuasaan Hamas dan kemungkinan melucuti senjata di Gaza.

    Minggu lalu, kelompok itu menyatakan terbuka untuk berbagi pemerintahan Gaza dengan Otoritas Palestina dan faksi-faksi Palestina lainnya tetapi menolak penyerahan kekuasaan sepenuhnya, setidaknya untuk saat ini.

    Ayman Shannaa, seorang anggota pimpinan politik Hamas di Lebanon, menegaskan kelompoknya belum memberikan sinyal kesediaan untuk menyerahkan kendali wilayah tersebut kepada Otoritas Palestina (PA) atau Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

    Namun, ia menekankan bahwa Hamas, yang telah memerintah Gaza selama hampir dua dekade, terbuka terhadap perjanjian pembagian kekuasaan yang dapat membantu “menyatukan” warga Palestina melawan apa yang ia gambarkan sebagai usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk “memiliki” Gaza dan menggusur penduduknya .

    “Jika ada orang di dunia ini yang dapat menjamin berdirinya negara Palestina dan pembebasan warga Palestina, mereka dipersilakan untuk melangkah maju,” tegas sumber Hamas.

    “Namun hingga saat itu tiba, warga Palestina tidak dapat meninggalkan satu-satunya cara mereka untuk membela diri,” imbuhnya, merujuk pada senjata.

     

    (oln/thntnl/*)