Perusahaan: The Lancet

  • Tembakan Militer Israel Tewaskan 2 Warganya di Nahal Oz pada 7 Oktober 2023 – Halaman all

    Tembakan Militer Israel Tewaskan 2 Warganya di Nahal Oz pada 7 Oktober 2023 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Setelah 15 bulan konflik yang berlangsung di Gaza, militer Israel akhirnya mengakui bahwa mereka telah membunuh warganya sendiri dalam insiden tragis pada 7 Oktober 2023.

    Berdasarkan laporan dari Jerusalem Post, pada tanggal tersebut, serangan oleh Hamas menyebabkan militer Israel menembaki dua warganya, Tomer Eliaz Arava dan Dikla Arava, yang berasal dari kibbutz Nahal Oz.

    Investigasi militer Israel mengungkapkan bahwa pejuang Hamas telah membobol rumah keluarga Arava dan melepaskan tembakan ke ruang aman tempat keluarga itu berlindung.

    Tomer berhasil keluar dari rumah mereka, namun kemudian ditembak oleh pasukan keamanan Israel di daerah tersebut.

    Di sisi lain, Dikla tewas dalam mobilnya akibat tembakan tentara Israel, yang mengeklaim bahwa dia berada dalam kendaraan bersama pejuang Hamas.

    Setelah insiden tersebut, situasi di Gaza terus memburuk dengan sekitar 250 orang ditahan selama operasi Badai Al-Aqsa yang dilancarkan Hamas.

    Meski 105 tawanan berhasil dibebaskan selama gencatan senjata di bulan November, tekanan untuk mencapai kesepakatan antara Israel dan Hamas semakin meningkat.

    Bagaimana Perkembangan Gencatan Senjata?

    Perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas terus berlangsung, meskipun belum ada kemajuan yang berarti.

    Pada 10 Januari 2025, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengadakan pertemuan mendesak dengan menteri pertahanannya setelah Qatar menyampaikan pesan positif dari Hamas mengenai kesediaan untuk berunding.

    Sumber dari pihak Palestina menyatakan bahwa kedua belah pihak berada pada titik paling dekat untuk mencapai kesepakatan sejak negosiasi dimulai.

    Di tengah upaya tersebut, utusan Timur Tengah dari pemerintahan Donald Trump, Steve Witkoff, terbang ke Doha, Qatar untuk mempercepat perundingan.

    Para pejabat Trump menyatakan bahwa mereka ingin mencapai kesepakatan sebelum pelantikan Trump pada 20 Januari.

    Berapa Jumlah Korban Tewas di Gaza?

    Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal medis The Lancet, jumlah korban tewas di Gaza selama sembilan bulan pertama konflik diperkirakan jauh lebih tinggi dari angka resmi.

    Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa hingga 30 Juni tahun lalu, jumlah korban tewas tercatat sebanyak 37.877.

    Namun, studi tersebut memperkirakan bahwa militer Israel menewaskan antara 55.298 dan 78.525 orang antara Oktober 2023 dan Juni 2024.

    Perkiraan terbaik dari studi itu mencatat sekitar 64.260 korban, menunjukkan bahwa jumlah resmi mungkin kurang dari kenyataan hingga 41 persen.

    Hingga saat ini, angka resmi dari kementerian tersebut melaporkan 46.000 korban tewas di Gaza.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Setelah 15 Bulan, Israel Akui Bunuh Warganya Sendiri pada 7 Oktober 2023 – Halaman all

    Setelah 15 Bulan, Israel Akui Bunuh Warganya Sendiri pada 7 Oktober 2023 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Setelah 15 bulan sejak perang meletus di Gaza, militer Israel akhirnya mengakui telah membunuh warganya sendiri pada 7 Oktober 2023 lalu.

    Tembakan militer Israel menewaskan Tomer Eliaz Arava dan Dikla Arava dari Nahal Oz selama serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, kata tentara Israel pada Jumat (10/1/2025) setelah melakukan penyelidikan atas insiden tersebut, lapor Jerusalem Post.

    Investigasi militer Israel menyimpulkan bahwa pejuang Hamas membobol rumah keluarga Arava-Elyakim dan melepaskan tembakan ke ruang aman tempat keluarga itu berlindung.

    Menurut investigasi, Tomer berhasil keluar dari rumah, tetapi kemudian ia ditembak oleh pasukan keamanan di kibbutz (pemukiman) tersebut.

    Sementara itu, Dikla tewas oleh tembakan tentara Israel di dalam mobil.

    Militer mengklaim bahwa Dikla berada di mobil itu bersama pejuang Hamas.

    Sekitar 250 orang ditawan pada 7 Oktober tahun lalu selama operasi Badai Al-Aqsa, operasi balasan oleh kelompok perlawanan Gaza.

    Hamas membebaskan 105 tawanan selama gencatan senjata selama sepekan pada November lalu.

    Seorang personel militer Israel (IDF) membidik sasaran dalam agresi militer mereka di Gaza Utara. (khaberni/tangkap layar)

    Hamas mengatakan pihaknya hanya akan membebaskan tawanan jika Israel sepenuhnya menghentikan agresinya terhadap Gaza dan setuju untuk membebaskan ratusan warga Palestina yang ditahan di penjara Israel.

    Tekanan publik dan diplomatik telah meningkat pada rezim Benjamin Netanyahu untuk berbuat lebih banyak guna mencapai kesepakatan dalam upaya membebaskan tawanan yang masih ditahan di Jalur Gaza yang terkepung.

    Update Perundingan Gencatan Senjata Israel-Hamas

    Perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas masih berlangsung meskipun belum ada perkembangan berarti.

    Pada Jumat (10/1/2025), Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengadakan pertemuan mendesak dengan menteri pertahanannya setelah Qatar menyampaikan pesan positif dari Hamas tentang kesediaan untuk mencapai kesepakatan, menurut laporan lembaga penyiaran publik Israel, Kan.

    Kedua belah pihak disebut berada pada titik paling dekat untuk mencapai kesepakatan sejak negosiasi dimulai, kata seorang sumber Palestina kepada situs saudara The New Arab yang berbahasa Arab, Al-Araby Al-Jadeed.

    Kelompok tersebut mengharapkan tanggapan dari Israel segera.

    Donald Trump Campur Tangan

    Hal ini terjadi pada hari yang sama ketika utusan Timur Tengah Donald Trump, Steve Witkoff, terbang ke Doha dalam upaya mempercepat negosiasi.

    Para pejabat dalam pemerintahan Trump telah menegaskan bahwa mereka ingin kesepakatan dicapai sebelum Trump dilantik pada 20 Januari.

    Witkoff bertemu dengan Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, dan telah berunding dengan pejabat pemerintahan Biden serta anggota pemerintah Israel.

    Qatar, Mesir, dan AS telah berupaya merundingkan akhir perang selama berbulan-bulan.

    Namun, putaran perundingan berturut-turut di ibu kota Qatar gagal menghasilkan kesepakatan.

    Hamas dan Israel saling menyalahkan atas kegagalan mencapai kesepakatan.

    Korban Tewas di Gaza

    Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet pada hari Jumat (10/1/2025), jumlah korban tewas di Gaza selama sembilan bulan pertama perang ternyata sekitar 40 persen lebih tinggi dari angka resmi.

    Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan jumlah korban tewas sebanyak 37.877 hingga 30 Juni tahun lalu.

    Studi ini menunjukkan angka itu jauh lebih rendah dari yang sebenarnya. 

    Dengan menggunakan data dari kementerian, survei daring, dan berita kematian di media sosial, para peneliti memperkirakan bahwa militer Israel menewaskan antara 55.298 dan 78.525 orang antara Oktober 2023 dan 30 Juni 2024.

    Perkiraan terbaik studi tersebut adalah 64.260, yang berarti jumlah korban tewas resmi telah kurang dari yang sebenarnya hingga 41 persen.

    Hingga saat ini, menurut perhitungan resmi kementerian tersebut, jumlah korban tewas di Gaza saat ini mencapai 46.000 orang.

    (Tribunnews.com)

  • 3 Cara Sederhana Perpanjang Umur, Bisa Jadi Resolusi Sehat 2025

    3 Cara Sederhana Perpanjang Umur, Bisa Jadi Resolusi Sehat 2025

    Jakarta

    Banyak dari kita mungkin berharap untuk hidup panjang dan sehat. Jadi, apa saja faktor utama yang dapat membantu meningkatkan umur panjang dan kualitas hidup kita?

    Penelitian yang diterbitkan dalam 12 bulan terakhir mengidentifikasi tiga faktor utama agar panjang umur: diet, olahraga, dan kehidupan sosial. Membuat pilihan sehat dalam ketiga hal ini bisa menjadi kunci untuk menjalani hidup panjang dan memuaskan.

    Berikut penjelasannya dikutip dari Medical News Daily.

    Resolusi sehat panjang umur 2025

    1. Kontrol pola makan

    Berbagai studi terbaru menunjukkan pentingnya memilih pola makan untuk kesehatan secara keseluruhan, dengan bukti yang semakin banyak bahwa pilihan makanan sehat dapat meningkatkan umur panjang.

    Banyak penelitian mengaitkan konsumsi daging merah dengan peningkatan risiko penyakit kronis seperti kanker, diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan demensia. Sebuah studi yang diterbitkan di BMJ Global Health pada April 2024 menemukan bahwa mengganti daging merah dengan ikan bisa mencegah antara 500.000 hingga 750.000 kematian pada tahun 2050.

    Diet sehat juga memperhatikan jumlah garam tambahan dalam makanan. Penelitian dari Annals of Internal Medicine pada April 2024 menunjukkan bahwa mengurangi garam dapat mengurangi risiko kematian akibat penyakit jantung dan kematian secara umum.

    Jika ini adalah hal-hal yang perlu dihindari, jenis diet apa yang sebaiknya kita pilih? Sebuah tinjauan bukti yang diterbitkan di Nutrients pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa puasa intermiten, diet Mediterania, dan diet ketogenik (keto) dapat membantu memperlambat proses penuaan. Diet-diet ini berpengaruh positif pada perbaikan sel, peradangan, dan metabolisme tubuh.

    2. Olahraga!

    Olahraga adalah kebiasaan penting lainnya untuk umur panjang. Sebuah studi model menggunakan data dari Amerika Serikat, yang diterbitkan di British Journal of Sports Medicine pada November 2024, menemukan bahwa orang yang berusia di atas 40 tahun dan berjalan sebanyak rekan mereka yang paling aktif secara fisik, dapat menambah sekitar lima tahun pada hidup mereka.

    Manfaat olahraga paling terasa bagi individu yang tidak aktif, karena peningkatan kecil dalam aktivitas fisik dapat secara signifikan mengurangi risiko penyakit tidak menular dan kematian dini. Olahraga dapat meningkatkan kepadatan tulang, kekuatan, mengurangi lemak tubuh, serta meningkatkan kesehatan jantung dan fungsi kognitif.

    3. Jangan lupa bersosialisasi

    Namun, kesehatan jangka panjang tidak hanya bergantung pada diet dan olahraga. Penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas kehidupan sosial kita merupakan faktor penting dalam umur panjang.

    Banyak bukti menunjukkan bahwa kesepian dapat meningkatkan risiko penyakit kronis dan kematian dini. Sebuah studi yang diterbitkan di The Lancet eClinical Medicine pada Juli 2024 menemukan bahwa orang tua yang merasa kesepian memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke, dengan mereka yang merasa kesepian memiliki kemungkinan 25% lebih tinggi terkena stroke dibandingkan mereka yang lebih terhubung secara sosial.

    Kesepian dapat memengaruhi perilaku yang merugikan, seperti kurangnya aktivitas fisik, makan berlebihan, konsumsi makanan olahan, serta peningkatan konsumsi alkohol, merokok, atau obat-obatan. Ini meningkatkan risiko penyakit seperti stroke.

    (kna/kna)

  • Ternyata Tukang Bully dan Suka Mengejek Punya Otak Kecil, Begini Temuan Ahli

    Ternyata Tukang Bully dan Suka Mengejek Punya Otak Kecil, Begini Temuan Ahli

    Jakarta

    Tim ahli saraf di University Collage London memindai otak para pelaku perundungan atau bullying dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Otak para pelaku bullying ternyata lebih kecil secara fisik dibandingkan rata-rata.

    “Temuan kami mendukung gagasan bahwa, untuk sebagian kecil individu dengan perilaku antisosial yang terus-menerus sepanjang hidup, mungkin ada perbedaan dalam struktur otak mereka,” kata penulis utama studi Dr Christina Carlisi dikutip dari Futurism, Jumat (6/12/2024).

    Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet, peneliti menggunakan MRI untuk memeriksa otak 652 peserta. Mereka menemukan bahwa otak orang-orang dengan pola ‘mencuri, agresi, kekerasan, bullying, berbohong dan tidak punya tanggung jawab’ secara fisik berbeda dari otak peseta lainya.

    Korteks para pelaku bullying ditemukan lebih tipis dan otak mereka memiliki luas permukaan yang lebih sedikit dibandingkan otak non-bully. Singkatnya, perundung punya otak yang lebih kecil.

    Pengecualian utama: Otak orang-orang yang menunjukkan perilaku antisosial saat remaja tetapi tidak saat dewasa tidak menunjukkan kelainan seperti itu. Itu kabar baik bagi pelaku perundungan yang telah bertobat.

    “Kebanyakan orang yang menunjukkan perilaku antisosial melakukannya terutama pada masa remaja, kemungkinan sebagai akibat dari masa-masa sulit dalam bersosialisasi, dan orang-orang ini tidak menunjukkan perbedaan struktural otak,” kata Carlisi. “Orang-orang ini juga yang umumnya mampu bertobat dan menjadi anggota masyarakat yang berharga.”

    (kna/kna)

  • Separah Ini Efek Long COVID, Ada yang Masih Sakit Meski Negatif 4 Tahun Lalu

    Separah Ini Efek Long COVID, Ada yang Masih Sakit Meski Negatif 4 Tahun Lalu

    Jakarta

    Wachuka Gichohi (41) masih berjuang mengatasi long COVID yang diidapnya meski telah dinyatakan negatif 4 tahun lalu. Hingga saat ini dia masih mengalami kelelahan, serangan panik dan banyak gejala lainnya yang membuatnya takut mati di malam hari.

    Studi terbaru mengungkap pengalaman jutaan pasien seperti Gichohi. Mereka menunjukkan bahwa semakin lama seseorang sakit, semakin rendah peluangnya untuk pulih sepenuhnya.

    Waktu terbaik untuk pemulihan adalah enam bulan pertama setelah terkena COVID-19. Orang-orang yang gejalanya berlangsung antara enam bulan dan dua tahun cenderung tidak pulih sepenuhnya.

    Gichohi didiagnosis COVID-19 di tahun 2020. Empat tahun setelahnya, gejala yang dia alami tak hilang meski sudah dinyatakan negatif.

    “Bagi pasien yang telah berjuang selama lebih dari dua tahun, peluang untuk pulih sepenuhnya “akan sangat tipis,” kata Manoj Sivan, seorang profesor kedokteran rehabilitasi di Universitas Leeds dan salah satu penulis temuan yang diterbitkan di The Lancet dikutip dari Reuters.

    Long COVID didefinisikan sebagai gejala yang bertahan selama tiga bulan atau lebih setelah infeksi awal, melibatkan serangkaian gejala mulai dari kelelahan ekstrem hingga kabut otak, sesak napas, dan nyeri sendi.

    Gejalanya dapat berkisar dari ringan hingga sangat melumpuhkan, dan belum ada tes diagnostik atau perawatan yang terbukti, meskipun para ilmuwan telah membuat kemajuan dalam teori tentang siapa yang berisiko dan apa yang mungkin menyebabkannya.

    Secara global, diperkirakan ada 62 juta hingga 200 juta orang yang mengalami long COVID.

    “Itu bisa berarti antara 19,5 juta hingga 60 juta orang menghadapi gangguan selama bertahun-tahun berdasarkan perkiraan awal,” kata Sivan.

    Ada beberapa hipotesis mengenai long COVID. Riset menunjukkan mayoritas yang mengalami long COVID-19 ketika pertama kali terinfeksi, belum pernah atau belum berkesempatan mendapatkan vaksinasi.

    “Ini terjadi di semua negara, termasuk di Indonesia, di Indonesia hanya masalah data, tetapi kita bisa melihat sekeliling kita bahkan di keluarga sendiri, yang menjadi mudah sakit, sebelumnya saya bisa jalan lebih jauh, sekarang lebih capek, misalnya,” epidemiolog Dicky Budiman kepada detikcom.

    Di Indonesia sendiri, Fenomena Long COVID di Indonesia pernah diteliti oleh RSUP Persahabatan Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Gejala long COVID paling dominan antara lain:

    Kelelahan 29,41 persenBatuk 15,55 persenNyeri otot 11,7 persenSesak napas 11,2 persenSakit kepala 11 persenNyeri sendi 9 persen

    (kna/kna)

  • RI Dibayangi Fenomena Long COVID, Gejala Tak Hilang Meski Sudah Negatif

    RI Dibayangi Fenomena Long COVID, Gejala Tak Hilang Meski Sudah Negatif

    Jakarta

    Pakar epidemiologi Dicky Budiman mewanti-wanti risiko terjadinya ‘tsunami’ long COVID, efek jangka panjang dari wabah COVID-19 selama bertahun-tahun. Banyak yang kemudian tidak menyadari mengalami keluhan ‘menahun’ alias gejala yang ‘menetap’ pasca terpapar.

    Kondisi ini disebutnya paling rentan terjadi pada penyintas COVID-19 yang belum divaksinasi.

    “Riset menunjukkan mayoritas itu sebagian besar dari yang mengalami long COVID-19 ketika pertama kali terinfeksi, belum pernah atau belum berkesempatan mendapatkan vaksinasi,” tutur dia kepada detikcom Jumat (22/11/20240.

    “Adapun orang-orang yang ketika pertama terinfeksi sudah pernah mendapatkan vaksinasi, jauh lebih kecil peluang mendapatkan long COVID,” lanjut dia.

    Dicky membenarkan hal tersebut tidak hanya terjadi di berbagai negara maju yang melaporkan pendataan kasus long COVID-19. Indonesia juga menghadapi fenomena serupa.

    “Ini terjadi di semua negara, termasuk di Indonesia, di Indonesia hanya masalah data, tetapi kita bisa melihat sekeliling kita bahkan di keluarga sendiri, yang menjadi mudah sakit, sebelumnya saya bisa jalan lebih jauh, sekarang lebih capek, misalnya,” kata Dicky.

    Bukti lain tingginya kasus long COVID berkaitan dengan peningkatan kasus alzheimer, termasuk di kelompok muda. Sejumlah riset menunjukkan keterkaitan dampak dari COVID-19 pada alzheimer.

    “Termasuk pada mereka yang baru sekali terpapar, atau berulang kali terpapar. Dalam kasus berat, bahkan berkaitan dengan kasus-kasus kardiovaskular, neurologis, yang juga meningkat,” pungkasnya.

    Sebelumnya diberitakan, para peneliti di Inggris dan Amerika Serikat menemukan tren kasus long COVID meningkat.

    “Bagi pasien yang telah berjuang selama lebih dari dua tahun, peluang untuk pulih sepenuhnya akan sangat tipis,” kata Manoj Sivan, profesor kedokteran rehabilitasi di Universitas Leeds dan salah satu penulis temuan baru yang dipublikasikan di The Lancet.

    Mengacu riset tersebut, berikut gejala yang kerap dikeluhkan pengidap long COVID dan berisiko tak pulih:

    Kelelahan ekstremBrain fog atau sulit fokus pada sesuatu halSesak napasNyeri sendi

    (naf/kna)

  • Kabar Nggak Enak Buat ‘Alumni’ COVID-19, Gejala Ini Bisa Jadi Tak Akan Hilang

    Kabar Nggak Enak Buat ‘Alumni’ COVID-19, Gejala Ini Bisa Jadi Tak Akan Hilang

    Jakarta

    Seseorang yang pernah terkena COVID-19 dan masih mengalami gejala dalam enam bulan hingga dua tahun setelahnya, kemungkinan kecil ‘sembuh’ dari Long COVID. Kondisi ini dikaitkan dengan gejala yang menetap pasca terkena SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 hingga sistem imun melemah.

    Temuan baru para peneliti di Inggris dan Amerika Serikat menemukan tren kasus long COVID meningkat.

    “Bagi pasien yang telah berjuang selama lebih dari dua tahun, peluang untuk pulih sepenuhnya akan sangat tipis,” kata Manoj Sivan, profesor kedokteran rehabilitasi di Universitas Leeds dan salah satu penulis temuan baru yang dipublikasikan di The Lancet.

    Sivan menyebut sejumlah keluhan yang masih dialami penyintas COVID-19 adalah:

    Kondisi kronis ensefalomielitis mialgik/sindrom kelelahan kronisFibromyalgia

    Seseorang bahkan perlu waspada mengalami long COVID bila gejala tidak kunjung hilang lebih dari tiga bulan.

    Umumnya keluhan berikut akan terus bertahan. Apa saja?

    Kelelahan ekstremBrain fog atau sulit fokus pada sesuatu halSesak napasNyeri sendi

    Gejalanya bisa ringan hingga sangat parah, dan belum ada tes diagnostik atau perawatan yang bisa menunjukkan diagnosis tersebut.

    Satu studi di Inggris menunjukkan hampir sepertiga dari mereka yang melaporkan gejala pada 12 minggu, pulih setelah 12 bulan. Sementara yang lain, terutama di antara pasien dengan perawatan di rumah sakit, menunjukkan tingkat pemulihan jauh lebih rendah.

    Dalam sebuah studi Kantor Statistik Nasional Inggris, 2 juta orang melaporkan sendiri gejala COVID jangka panjang atau long COVID pada Maret lalu. Sekitar 700.000, atau 30,6 persen di antaranya mengatakan mereka pertama kali mengalami gejala setidaknya tiga tahun sebelumnya. Secara global, perkiraan yang diterima menunjukkan 65 juta hingga 200 juta orang mengalami long COVID.

    “Itu bisa berarti antara 19,5 juta hingga 60 juta orang menghadapi gangguan selama bertahun-tahun berdasarkan perkiraan awal,” kata Sivan.

    Amerika Serikat dan beberapa negara seperti Jerman terus mendanai riset long COVID. Namun, lebih dari dua 24 pakar, advokat pasien, dan eksekutif farmasi mengatakan kepada Reuters bahwa dana dan perhatian untuk kondisi tersebut semakin berkurang di negara-negara kaya lain, yang secara tradisional mendanai penelitian berskala besar.

    Pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, hal itu tidak pernah ada. “Perhatian telah bergeser,” kata Amitava Banerjee, seorang profesor di University College London yang memimpin uji coba besar obat-obatan yang digunakan kembali dan program rehabilitasi.

    Ia mengatakan long COVID harus dilihat sebagai kondisi kronis yang dapat diobati untuk meningkatkan kehidupan pasien daripada disembuhkan, seperti penyakit jantung atau radang sendi.

    “Sangat melumpuhkan,” demikian pengakuan Leticia Soares (39) dari Brasil, yang terinfeksi pada 2020 dan telah berjuang melawan kelelahan hebat dan nyeri kronis sejak saat itu.

    Pada hari yang baik, ia menghabiskan waktu lima jam di luar tempat tidur. Ketika ia dapat bekerja, Soares menjadi salah satu pemimpin dan peneliti di Patient-Led Research Collaborative, sebuah kelompok advokasi yang terlibat dalam tinjauan bukti COVID jangka panjang yang diterbitkan baru-baru ini di Nature.

    Soares mengatakan ia yakin pemulihan jarang terjadi lebih dari 12 bulan. Beberapa pasien mungkin mendapati gejala mereka mereda, lalu kambuh lagi, semacam remisi yang dapat disalahartikan sebagai pemulihan.

    “Ini sangat melumpuhkan dan mengisolasi. Seseorang bisa menghabiskan waktu setiap kali bertanya-tanya, ‘Apakah kondisi saya akan memburuk setelah ini?’” katanya, menggambarkan pengalamannya sendiri.

  • Ngeri Banget, Ilmuwan Perkirakan Ada 800 Juta Orang di Dunia Idap Diabetes

    Ngeri Banget, Ilmuwan Perkirakan Ada 800 Juta Orang di Dunia Idap Diabetes

    Jakarta

    Sebuah studi mengungkapkan persentase orang dewasa yang mengidap diabetes di seluruh dunia meningkat dua kali lipat selama tiga dekade atau 30 tahun terakhir. Peningkatan terbesar terjadi di negara-negara berkembang.

    Menurut analisis baru dalam jurnal The Lancet, kondisi kesehatan serius itu mempengaruhi sekitar 14 persen dari semua orang dewasa di seluruh dunia pada tahun 2022. Jumlah ini naik dua kali lipat dari tahun 1990.

    Dengan mempertimbangkan populasi global yang terus bertambah, tim peneliti memperkirakan bahwa lebih dari 800 juta orang saat ini mengalami diabetes. Angka ini mencakup kedua jenis diabetes utama, yakni tipe 1 dan tipe 2.

    Tipe 1 mempengaruhi pasien sejak usia muda dan lebih sulit diobati karena disebabkan oleh kekurangan insulin. Sementara tipe 2, lebih sering dialami orang yang lebih tua yang telah kehilangan sensitivitasnya terhadap insulin.

    Di balik angka global, angka nasional di setiap wilayah atau negara sangat bervariasi.

    “Angka diabetes tetap sama atau bahkan menurun di beberapa negara kaya, seperti Jepang, Kanada, atau negara-negara Eropa Barat seperti Prancis dan Denmark,” tulis penelitian tersebut yang dikutip dari The Straits News.

    “Beban diabetes dan diabetes yang tidak diobati semakin ditanggung oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah,” imbuhnya.

    Misalnya seperti yang terjadi di Pakistan. Hampir sepertiga wanita di sana saat ini mengidap diabetes, yang jumlahnya lebih besar dibandingkan pada tahun 1990.

    Kemungkinan Pemicu Naiknya Kasus Diabetes Global

    Para peneliti menekankan bahwa obesitas adalah pendorong penting atau salah satu pemicu diabetes tipe 2. Sama halnya seperti pola makan yang tidak sehat.

    Selain itu, kesenjangan pengobatan diabetes di negara-negara kaya dan miskin juga semakin melebar.

    Dari hasil studi ini, para peneliti memperkirakan tiga dari lima orang dengan diabetes yang berusia di atas 30 tahun tidak menerima pengobatan untuk diabetes pada tahun 2022. Sekitar hampir sepertiga dari kasus tersebut terjadi di India.

    Di Afrika sub-Sahara, hanya lima hingga 10 persen orang dewasa dengan diabetes yang menerima pengobatan pada tahun 2022. Beberapa negara berkembang seperti Meksiko berhasil dalam mengobati populasi mereka, tetapi secara keseluruhan kesenjangan global semakin melebar.

    “Hal ini terutama memprihatinkan karena orang dengan diabetes cenderung lebih muda di negara-negara berpenghasilan rendah dan, jika tidak ada pengobatan yang efektif, berisiko mengalami komplikasi seumur hidup,” kata penulis studi senior Majid Ezzati dari Imperial College London.

    Komplikasi tersebut termasuk amputasi, penyakit jantung, kerusakan ginjal atau kehilangan penglihatan. Bahkan, dalam beberapa kasus bisa memicu kematian dini, ” pungkasnya.

    (sao/suc)