Perusahaan: The Lancet

  • 4 Tren Jalan Kaki Viral yang Bisa Dicoba, Termasuk Japanese Walking

    4 Tren Jalan Kaki Viral yang Bisa Dicoba, Termasuk Japanese Walking

    Jakarta

    Media sosial selalu punya trennya, termasuk soal jalan kaki yang membuat penasaran untuk dicoba. Bahkan, metode-metode jalan kaki viral ini diklaim lebih efektif memangkas berat badan hingga menyehatkan jantung.

    Metode-metode ini tentu memiliki ‘pasar’-nya masing-masing. Hal ini disesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing orang. Berikut adalah sederet tren jalan kaki yang viral di media sosial.

    1. Japanese Walking

    Tren Japanese Walking menjanjikan manfaat kesehatan yang luar biasa dengan peralatan dan waktu yang minimal. Berdasarkan rangkaian jalan cepat dan lambat dengan interval, japanese walking dikembangkan oleh Profesor Hiroshi Nose dan Profesor Madya Shizue Masuki di Universitas Shinshu di Matsumoto, Jepang.

    Jalan kaki ini melibatkan bergantian antara tiga menit jalan kaki dengan intensitas lebih tinggi, dan tiga menit dengan intensitas lebih rendah. Kegiatan ini diulang setidaknya selama 30 menit, sebanyak empat kali seminggu.

    Jalan kaki dengan intensitas lebih tinggi harus dilakukan pada tingkat yang ‘agak sulit’. Pada tingkat ini, seseorang masih dapat berbicara.

    Dikutip dari Science Alert, jalan kaki dengan intensitas lebih rendah harus dilakukan pada tingkat yang ‘ringan’. Pada tingkat ini, berbicara seharusnya terasa nyaman, meskipun sedikit lebih melelahkan daripada percakapan yang mudah.

    Japanese walking juga mudah dilakukan dan hanya membutuhkan stopwatch serta ruang untuk berjalan. Jalan kaki ini lebih hemat waktu dibandingkan jalan kaki lainnya, seperti mencapai 10 ribu langkah.

    2. Jalan Kaki 6-6-6

    Personal trainer dan pegiat kebugaran Mike Julom menjelaskan metode 6-6-6 melibatkan jalan kaki selama 60 menit, baik pukul 6 pagi atau 6 sore. Latihan ini juga mencakup pemanasan selama 6 menit dengan kecepatan rendah untuk memulai berjalan, dan pendinginan selama 6 menit untuk membantu pemulihan.

    “Sebagian besar latihan dilakukan dengan kecepatan yang lebih cepat dan sigap untuk meningkatkan detak jantung dan melatih sistem kardio,” terang Julom, dikutip dari Healthline.

    “Latihan ini dirancang singkat dan sederhana, terutama bagi orang yang ingin memasukkan olahraga ke dalam kesibukan sehari-hari,” tambahnya.

    Menurut Dr McDowell, hal ini menjadikan program 6-6-6 sebagai cara untuk mendapatkan lebih dari 150 menit olahraga per minggu. Ini seperti yang direkomendasikan oleh American College of Sports Medicine dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS.

    “Dengan melakukan lebih awal (pukul 6 pagi) atau lebih lambat (pukul 6 sore), hal ini membantu pejalan kaki menemukan waktu untuk menyempatkan diri berjalan sebelum hari atau jadwal mereka menjadi padat,” bebernya.

    Dr McDowell menjelaskan berjalan kaki dengan tren ini membantu membakar lebih banyak lemak sebagai bahan bakar, yang dapat membantu penurunan berat badan. Selain itu, berjalan kaki juga memiliki dampak lebih kecil pada sendi dan jaringan tubuh.

    3. Tren 12-3-30

    Dikutip dari Eating Well, latihan 12-3-30 pertama kali dipopulerkan oleh YouTuber Lauren Giraldo (24). Latihan ini terdiri dari pengaturan treadmill dengan kemiringan 12 derajat dan berjalan dengan kecepatan 3 mil (sekitar 4 km/jam) selama 30 menit.

    “(Latihan 12-3-30) adalah formula yang mudah diingat. Hanya membutuhkan waktu 30 menit, dan meskipun menantang karena kemiringan dan durasinya, latihan ini seperti berjalan kaki, yang menarik bagi mereka yang tidak suka berlari atau yang tidak bisa berlari,” jelas personal trainer dan spesialis kesehatan Julie Floyd Jones.

    Menambah kemiringan 12 persen ke rutinitas treadmill ini meningkatkan detak jantung, meniru pendakian seperti menanjak. Dengan latihan seperti ini, dapat meningkatkan detak jantung, laju pernapasan, dan kemungkinan pembakaran kalori.

    “Anda pasti akan meningkatkan kesehatan kardiovaskular. Karena kemiringannya, Anda juga akan meningkatkan kekuatan tubuh bagian bawah,” sambung Jones.

    Untuk melakukannya, hal terpenting adalah mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan sedikit protein 1-3 jam sebelum latihan. Hal ini dapat membantu menstabilkan kadar gula darah dan memberikan energi.

    Lakukan peregangan sebelum latihan untuk mengaktifkan otot bokong, betis, paha belakang, dan pinggul. Setelah berada di treadmill, mulailah dengan kemiringan nol hingga 12 derajat secara perlahan.

    Meski begitu, pastikan tidak memaksakan diri agar dapat menyesuaikan kecepatan dan durasinya. Selama 30 menit itu, luangkan waktu untuk beristirahat sejenak untuk menurunkan risiko cedera.

    4. Jalan Kaki 7.000 Langkah

    Harvard Health melaporkan dan menafsirkan hasil tinjauan sistematis terbaru yang menemukan bahwa berjalan sekitar 7.000 langkah per hari berkaitan dengan penurunan signifikan risiko penyakit kardiovaskular atau cardiovascular disease (CVD) dan kematian.

    Temuan ini dipandang sebagai target realistis yang didukung bukti ilmiah, sekaligus lebih rendah dari pesan populer yang selama ini mendorong 10.000 langkah per hari.
    Liputan tersebut merangkum studi besar yang dipublikasikan di The Lancet Public Health. Studi ini merupakan tinjauan sistematis dan meta-analisis dosis-respon yang menggabungkan data dari berbagai penelitian menggunakan perangkat pelacak aktivitas.

    Hasilnya menunjukkan dibandingkan dengan jumlah langkah yang sangat rendah (misalnya hanya 2.000 langkah per hari), mencapai 7.000 langkah per hari secara signifikan menurunkan risiko CVD dan kematian dari segala penyebab.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Mitos atau Fakta: Lari Lebih Efektif Bakar Lemak Dibanding Jalan Kaki”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/kna)

    Tren Japanese Walking

    4 Konten

    Berbagai tren jalan kaki bermunculan, banyak digemari karena lebih low impact dibanding olahraga lain seperti lari. Salah satu yang diklaim ampuh menurunkan berat badan adalah Japanese Walking.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Ternyata Olahraga Ini Bisa Cegah Demensia-Alzheimer, Bikin Otak Awet Muda

    Ternyata Olahraga Ini Bisa Cegah Demensia-Alzheimer, Bikin Otak Awet Muda

    Jakarta

    Bersepeda ternyata terbukti menurunkan risiko demensia hingga 19 persen dan alzheimer 22 persen, dibandingkan mereka yang terbiasa memakai moda transportasi nonaktif seperti mobil, bis, kereta api..

    Studi dilakukan pada hampir 480.000 peserta dari Inggris Raya dan diterbitkan dalam jurnal JAMA Network Open.

    Olahraga sudah lama diketahui bermanfaat bagi otak. Jurnal The Lancet pada 2024 bahkan menyebut aktivitas fisik sebagai salah satu dari 14 faktor utama yang bisa mencegah atau menunda sekitar 45 persen kasus demensia. Saat ini lebih dari 55 juta orang di dunia hidup dengan demensia dan jumlahnya diprediksi hampir tiga kali lipat pada 2050.

    Bagaimana Studi Ini Dilakukan?

    Peserta penelitian berusia 40 hingga 69 tahun, direkrut antara 2006 sampai 2010 lewat program UK Biobank. Mereka mengisi kuesioner tentang moda transportasi yang paling sering digunakan dalam empat pekan terakhir, di luar perjalanan kerja. Pilihan transportasi dibagi menjadi:

    nonaktif (mobil, bus, kereta),berjalan kaki,kombinasi jalan kaki dan moda nonaktif,bersepeda,kombinasi bersepeda dengan moda lain.

    Setelah diteliti selama rata-rata 13 tahun, tercatat 8.845 orang mengalami demensia dan 3.956 orang terkena Alzheimer.

    Hasil Penelitian

    Bersepeda, baik dilakukan sendiri maupun campuran, paling kuat dikaitkan dengan risiko demensia lebih rendah. Peserta kelompok ini juga punya hipokampus lebih besar, bagian otak yang berperan dalam memori dan pembelajaran.

    Berjalan kaki memang menurunkan risiko demensia 6 persen, tetapi justru dikaitkan dengan risiko alzheimer 14 persen lebih tinggi. Hal ini kemungkinan karena sebagian peserta sudah memiliki masalah kesehatan atau mobilitas.

    Faktor genetik berperan besar. Peserta tanpa gen risiko Alzheimer APOE ε4 memiliki risiko demensia 26 persen lebih rendah, sementara pembawa gen tersebut risikonya turun 12 persen.

    “Studi ini adalah yang pertama menunjukkan bahwa bersepeda tidak hanya terkait dengan risiko demensia yang lebih rendah tetapi juga dengan hipokampus yang lebih besar,” kata dr Joe Verghese, profesor dan ketua neurologi di Stony Brook University di New York, dikutip dari CNN.

    Namun, para peneliti mengingatkan ada beberapa keterbatasan:

    Data transportasi hanya dikumpulkan sekali, jadi tidak mencerminkan perubahan kebiasaan jangka panjang. Mayoritas peserta adalah kulit putih dan relatif sehat, sehingga hasilnya belum tentu berlaku untuk semua populasi.

    Karena ini studi observasional, hubungan yang ditemukan tidak membuktikan sebab dan akibat secara langsung.

    Secara keseluruhan, olahraga seperti bersepeda memang terbukti meningkatkan kebugaran kardiovaskular, memperlancar aliran darah ke otak, mendukung neuroplastisitas (kemampuan otak membentuk koneksi baru), dan meningkatkan metabolisme.

    Selain itu, bersepeda menuntut koordinasi tubuh dan otak yang lebih kompleks dibanding jalan santai, sehingga memberi tantangan kognitif tambahan yang bisa membantu menjaga fungsi otak.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Kesepian Ternyata Tingkatkan Risiko Pikun”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Cerita Pasien Positif COVID-19 Lebih dari 750 Hari, Gejala Tak Sembuh-sembuh

    Cerita Pasien Positif COVID-19 Lebih dari 750 Hari, Gejala Tak Sembuh-sembuh

    Jakarta

    Seorang pria di Amerika Serikat mencatat rekor baru sebagai pasien positif COVID-19 terlama. Diketahui, ia mengidap COVID-19 yang berkelanjutan selama lebih dari 750 hari.

    Pasien tersebut memiliki riwayat positif HIV. Ia termasuk kelompok yang lebih rentan tertular virus SARS-CoV-2.

    Akibat infeksi COVID itu, pasien tidak bisa menerima terapi antiretroviral (ART). Ia juga tidak dapat mengakses perawatan medis yang diperlukan, meski mengalami sejumlah gejala pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, hingga lemas.

    Diketahui, pria berusia 41 tahun itu memiliki jumlah sel T pembantu imun hanya 35 sel per mikroliter darah. Normalnya, jumlah sel tersebut berkisar antara 500 hingga 1.500 sel per mikroliter.

    Selama lebih dari 750 hari itu, pasien mengalami gejala pernapasan yang persisten atau berkelanjutan dan dirawat di rumah sakit sebanyak lima kali. Meski durasi infeksinya panjang, kondisi yang dialaminya ini berbeda dengan long COVID.

    Itu karena gejala yang dialaminya bukanlah gejala yang menetap setelah virus menghilang dari tubuh. Kondisi itu adalah fase virus SARS-CoV-2 yang berlanjut selama lebih dari dua tahun.

    Hasil Penelitian

    Menurut ahli epidemiologi Universitas Harvard, William Hanage, kondisi ini biasanya terjadi hanya pada orang yang rentan. Namun, kondisi serupa bisa terjadi pada siapa saja.

    “Infeksi jangka panjang memungkinkan virus untuk mengeksplorasi cara menginfeksi sel secara lebih efisien. Dan (studi ini) menambah bukti bahwa varian yang lebih mudah menular telah muncul dari infeksi semacam itu,” terang Hanage, yang dikutip dari ScienceAlert.

    “Oleh karena itu, menangani kasus-kasus seperti itu secara efektif merupakan prioritas bagi kesehatan individu dan masyarakat,” sambungnya.

    Dugaan Penyebab Kondisi

    Analisis genetik Joseline Velasquez-Reyes, ahli bioinformatika Universitas Boston dan rekan-rekannya melakukan penelitian lebih lanjut terkait kondisi pasien. Mereka mengumpulkan sampel virus dari pasien di periode Maret 2021 dan Juli 2022 untuk melihat pergerakan virus selama invasi yang meluas.

    “Hanya dalam satu orang, jenis mutasi yang sama yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang berkembang biak lebih cepat sedang dalam proses pengulangan,” jelas mereka dalam studi yang dipublikasikan di The Lancet.

    “Hal ini mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang dari tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh kita.”

    Meski infeksinya masih menetap pada pasien, para ahli melihat tidak adanya infeksi lanjutan. Menurut Velasquez-Reyes, itu mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama adaptasi terhadap satu inang.

    Namun, bukan berarti infeksi lain tidak bisa menetap di dalam tubuh dalam jangka panjang. Temuan ini membuat para ahli waspada dan menyerukan pemantauan ketat COVID-19 yang berkelanjutan dan akses layanan kesehatan untuk semua orang.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)

  • Cerita Pasien Positif COVID-19 Lebih dari 750 Hari, Gejala Tak Sembuh-sembuh

    Catat Rekor Baru, Pria Ini Positif COVID-19 Selama 2 Tahun!

    Jakarta

    Seorang pria dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah mengidap COVID-19 akut yang berkelanjutan selama lebih dari 750 hari. Selama periode ini, ia mengalami gejala pernapasan yang persisten dan dirawat di rumah sakit sebanyak lima kali.

    Meski durasinya panjang, kondisi pria ini berbeda dengan long COVID. Sebab, gejalanya bukanlah gejala yang menetap setelah virus menghilang, melainkan fase virus SARS-CoV-2 yang berlanjut selama lebih dari dua tahun.

    Kondisi ini mungkin hanya terjadi pada orang yang rentan. Tetapi, para ahli di Amerika Serikat memperingatkan dalam studi baru mereka.

    “Infeksi jangka panjang memungkinkan virus untuk mengeksplorasi cara menginfeksi sel secara lebih efisien. Dan (studi ini) menambah bukti bahwa varian yang lebih mudah menular telah muncul dari infeksi semacam itu,” terang ahli epidemiologi Universitas Harvard, William Hanage, yang dikutip dari ScienceAlert.

    “Oleh karena itu, menangani kasus-kasus seperti itu secara efektif merupakan prioritas bagi kesehatan individu dan masyarakat,” sambungnya.

    Analisis genetik Joseline Velasquez-Reyes, ahli bioinformatika Universitas Boston dan rekan-rekannya terhadap sampel virus yang dikumpulkan dari pasien antara Maret 2021 dan Juli 2022, mengungkapkan apa yang dilakukan virus tersebut selama invasi yang meluas.

    “Hanya dalam satu orang, jenis mutasi yang sama yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang berkembang biak lebih cepat sedang dalam proses pengulangan,” jelas mereka.

    “Hal ini mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang dari tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh kita.”

    Pasien Didiagnosis HIV-1

    Pasien yang telah mengalami HIV-1 stadium lanjut ini yakin telah tertular SARS-CoV-2 pada pertengahan Mei 2020. Selama masa tersebut, ia tidak menerima terapi antiretroviral (ART).

    Ia juga tidak dapat mengakses perawatan medis yang diperlukan, meskipun mengalami gejala pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, dan lemas.

    Pria berusia 41 tahun itu memiliki jumlah sel T pembantu imun hanya 35 sel per mikroliter darah, yang menjelaskan bagaimana virus tersebut dapat bertahan begitu lama. Kisaran normalnya adalah 500 hingga 1.500 sel per mikroliter.

    Untungnya, setidaknya dalam kasus ini virus COVID-19 yang membandel ini tidak terlalu menular.

    “Tidak adanya infeksi lanjutan yang diduga terjadi mungkin mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama adaptasi terhadap satu inang,” beber Velasquez-Reyes dan tim yang dipublikasikan di The Lancet.

    Namun, tidak ada jaminan bahwa infeksi lain yang menetap dalam jangka panjang di dalam tubuh kita akan mengikuti jalur evolusi yang sama. Hal ini yang membuat para ahli waspada dan menyerukan pemantauan ketat COVID-19 yang berkelanjutan dan akses layanan kesehatan yang memadai bagi semua orang.

    “Membersihkan infeksi ini harus menjadi prioritas bagi sistem layanan kesehatan,” simpul para peneliti.

    Untuk mengurangi kemungkinan mutasi yang bermasalah, dokter dan peneliti mengimbau masyarakat untuk terus melakukan vaksinasi dan tetap menggunakan masker di area tertutup yang ramai.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Sembuh dari Covid Bukan Berarti Aman”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/kna)

  • Viral di India, Ini Alasan Dokter Obgyn Senior Lakukan 21 Operasi Caesar dalam 10 Jam

    Viral di India, Ini Alasan Dokter Obgyn Senior Lakukan 21 Operasi Caesar dalam 10 Jam

    Jakarta

    Dokter spesialis obgyn senior di India belum lama ini ramai disorot pasca melakukan 21 operasi caesar hanya dalam satu shift yakni 10 jam. Hal ini memicu kekhawatiran keamanan proses bersalin, mengingat dilakukan dalam waktu singkat, pemerintah setempat juga mempertanyakan pertimbangan dokter bernama Kantheswar Bordoloi tersebut sembari meminta bukti detail rekam medis.

    Kejadian ini juga dinilai menggambarkan adanya ‘epidemi operasi caesar’ yang terus meningkat di India. Dalam sebuah makalah tahun 2023, angka persalinan caesar di India meningkat secara signifikan setiap tahun.

    Dari sekitar 17 persen pada akhir tahun 90-an, menjadi 21 persen pada 2023. Data tersebut juga menunjukkan persalinan caesar umum dilakukan orang yang berasal dari kalangan ekonomi ke atas, tinggal di perkotaan, dan memiliki riwayat pendidikan lebih tinggi.

    Epidemi operasi caesar sempat dibahas dalam artikel The Lancet 2018, epidemi tersebut didefinisikan sebagai peningkatan kasus operasi caesar dalam proses bersalin, yang rupanya tidak melulu berkaitan dengan alasan medis.

    Penggunaan operasi caesar untuk alasan non-medis patut dikhawatirkan karena prosedur ini dikaitkan dengan efek jangka pendek dan jangka panjang serta biaya kesehatan cukup besar.

    “Penggunaan operasi caesar telah meningkat selama 30 tahun terakhir, melebihi 10-15 persen kelahiran yang dianggap optimal, dan tanpa manfaat maternal maupun perinatal yang signifikan,” demikian laporan studi tersebut.

    Sementara kasus dr Bordoloi tengah di-investigasi lebih lanjut. Ia berdalih melakukan operasi caesar atas permintaan yang tiba-tiba melonjak dalam satu hari tersebut.

    “Saya menangani kasus-kasus darurat satu demi satu, dan jumlahnya tiba-tiba melonjak. Saya bekerja cepat, tetapi semua prosedur medis yang diperlukan tetap diikuti,” ujarnya, menurut laporan media India, The Assam Tribune.

    “Apa yang saya lakukan bukanlah hal yang aneh, dan dokter lain juga melakukan banyak operasi dengan kecepatan seperti itu. Mungkin ada yang mengeluhkan saya,” cerita dia.

    Menurutnya, 19 dari 21 ibu dan bayi baru lahir telah dipulangkan dalam kondisi stabil, sementara dua masih dirawat di rumah sakit, termasuk satu yang dipindahkan ke Gauhati Medical College and Hospital, salah satu institusi medis terkemuka di wilayah tersebut.

    (naf/naf)

  • Heboh Kasus Dokter Diinvestigasi usai 21 Kali Operasi Caesar dalam 10 Jam

    Heboh Kasus Dokter Diinvestigasi usai 21 Kali Operasi Caesar dalam 10 Jam

    Jakarta

    Dokter spesialis obgyn senior di India tengah diinvestigasi pasca melakukan 21 persalinan secara caesar atau (C-section) dalam satu shift yang berdurasi sekitar 10 jam. Adalah dr Kantheswar Bordoloi, yang menjabat sebagai petugas medis senior di Rumah Sakit Sipil Morigaon.

    Ia melakukan 21 persalinan operasi caesar antara pukul 15.40 waktu setempat pada tanggal 5 September hingga pukul 01.50 pada tanggal 6 September.

    Pemerintah daerah setempat mengeluarkan surat pernyataan resmi kepada dokter tersebut. Mempertanyakan keputusan di balik seluruh persalinan dilakukan secara caesar.

    Informasi yang diminta termasuk prosedur sterilisasi yang tepat telah diikuti, apakah ada kasus gawat janin yang terdokumentasi, detail perawatan bayi baru lahir di unit perawatan neonatal rumah sakit yang sakit, dan peran staf medis yang mendampingi.

    “Hal ini menimbulkan beberapa kekhawatiran serius dan oleh karena itu, sehubungan dengan ini, Anda diarahkan untuk menyerahkan laporan komprehensif untuk setiap kasus yang disebutkan di atas,” ujar Komisaris Kesehatan Distrik Tambahan, Nitisha Bora, dalam pemberitahuan surat kepada dokter tersebut.

    Para pejabat mengatakan rekam medis praoperasi dan pascaoperasi tidak tercatat dengan baik, yang dapat membahayakan langkah-langkah pengendalian infeksi dan meningkatkan risiko komplikasi ibu serta bayi. Terlebih dilakukan dalam waktu singkat.

    “Dokumentasi terperinci seperti itu sangat penting untuk memperkuat protokol pengendalian infeksi dan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi,” tambah pemberitahuan tersebut.

    Namun, dr Bordoloi memastikan dirinya sudah menjalani seluruh tindakan medis sesuai prosedur.

    “Saya menangani kasus-kasus darurat satu demi satu, dan jumlahnya tiba-tiba melonjak. Saya bekerja cepat, tetapi semua prosedur medis yang diperlukan tetap diikuti,” ujarnya, menurut laporan media India, The Assam Tribune.

    “Apa yang saya lakukan bukanlah hal yang aneh, dan dokter lain juga melakukan banyak operasi dengan kecepatan seperti itu. Mungkin ada yang mengeluhkan saya,” cerita dia.

    Ia menambahkan bahwa 19 dari 21 ibu dan bayi baru lahir telah dipulangkan dalam kondisi stabil, sementara dua masih dirawat di rumah sakit, termasuk satu yang dipindahkan ke Gauhati Medical College and Hospital, salah satu institusi medis terkemuka di wilayah tersebut.

    Menurut sebuah makalah pada 2023, tingkat persalinan caesar di India telah meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu, meningkat dari sekitar 17 persen pada tahun 1998-1999 menjadi lebih dari 21 persen dalam beberapa tahun terakhir.

    Makalah tersebut juga mencatat perempuan berpendidikan lebih tinggi yang telah menjalani setidaknya empat pemeriksaan pranatal, berasal dari keluarga kaya, atau tinggal di kota, jauh lebih mungkin menjalani operasi caesar.

    Pada 2018, sebuah artikel di The Lancet memperingatkan tentang apa yang disebutnya sebagai ‘epidemi operasi caesar’, saat kasusnya meningkat. Artikel tersebut menyatakan operasi caesar menjadi operasi paling umum di banyak negara dunia.

    Prosedur yang dapat menyelamatkan nyawa perempuan juga bayi ketika komplikasi terjadi selama kehamilan atau persalinan.

    “Namun, penggunaan operasi caesar untuk alasan yang tidak diindikasikan secara medis merupakan penyebab kekhawatiran karena prosedur ini dikaitkan dengan efek jangka pendek dan jangka panjang yang cukup besar serta biaya perawatan kesehatan,” sorot para pakar di artikel terkait.

    “Penggunaan operasi caesar telah meningkat selama 30 tahun terakhir, melebihi 10-15 persen kelahiran yang dianggap optimal, dan tanpa manfaat maternal atau perinatal yang signifikan.”

    Bulan lalu di Assam, adapula seorang dokter palsu yang melakukan lebih dari 50 operasi caesar dan operasi ginekologi selama satu dekade. Ia ditangkap saat berpraktik di sebuah rumah sakit swasta. Surat keterangan dokter milik Pulok Malakar terbukti palsu, sehingga memicu tindakan keras oleh petugas setempat.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Banyak Gen Z Nggak Sadar ‘Diam-diam’ Idap Diabetes, Waspadai Gejala Awalnya

    Banyak Gen Z Nggak Sadar ‘Diam-diam’ Idap Diabetes, Waspadai Gejala Awalnya

    Jakarta

    Riset baru di jurnal The Lancet Diabetes & Endocrinology menunjukkan banyak gen Z tidak menyadari dirinya terkena diabetes. Dialami sekitar 44 persen orang berusia 15 tahun ke atas.

    Studi yang dirilis Senin (7/9/2025) mengkaji data dari 204 negara dan wilayah periode 2000 hingga 2023, dalam sebuah tinjauan sistematis terhadap literatur dan survei yang dipublikasikan.

    “Mayoritas pengidap diabetes yang kami laporkan dalam studi ini mengalami diabetes tipe 2,” kata Lauryn Stafford, penulis utama studi tersebut, dikutip dari CNN.

    Sekitar 1 dari 9 orang dewasa di seluruh dunia hidup dengan diabetes, menurut International Diabetes Foundation. Di Amerika Serikat, 11,6 persen orang Amerika mengidap diabetes, menurut data 2021 dari American Diabetes Association.

    “Kami menemukan bahwa 56 persen pengidap diabetes menyadari mereka mengidap kondisi tersebut, sementara sisanya tidak sama sekali,” kata Stafford, seorang peneliti di Institute for Health Metrics and Evaluation.

    “Secara global, terdapat banyak variasi geografis, dan juga berdasarkan usia. Jadi, secara umum, negara-negara berpenghasilan tinggi lebih baik dalam mendiagnosis pengidap diabetes dibandingkan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.”

    Gen Z Paling Banyak

    Lebih banyak orang yang berusia di bawah 35 tahun tidak menyadari kondisi diabetesnya, dibandingkan usia paruh baya atau lansia. Hal ini dikarenakan minimnya skrining pada kelompok usia muda.

    “Hanya 20 persen kelompok dewasa muda yang mengetahui dirinya mengidap diabetes,” kata Stafford.

    Alasan lainnya adalah skrining rutin tidak dipromosikan semaksimal untuk dewasa muda dibandingkan untuk dewasa lebih tua. Banyak organisasi lebih besar, seperti American Diabetes Association, menyarankan skrining rutin tahunan untuk orang dewasa berusia 35 tahun ke atas.

    “Anda dapat bertahan hidup dengan kadar glukosa tinggi selama bertahun-tahun, sampai tiba-tiba mengalami komplikasi,” kata Stafford.

    Dampak kesehatannya dapat bervariasi, tergantung pada berapa lama seseorang mengidap diabetes sebelum terdeteksi.

    “Mendiagnosis diabetes sejak dini penting karena memungkinkan penanganan yang tepat waktu untuk mencegah atau menunda komplikasi jangka panjang seperti penyakit jantung, gagal ginjal, kerusakan saraf, dan kehilangan penglihatan,” kata Dr. Rita Kalyani, kepala ilmiah dan medis di American Diabetes Association.

    Sekitar sepertiga orang dewasa didiagnosis diabetes lebih lambat daripada gejala awal mereka, menurut sebuah studi pada 2018.

    Apa Gejala yang Perlu Diwaspadai?

    “Gejala diabetes meliputi peningkatan rasa haus atau lapar, sering buang air kecil, penglihatan kabur, penurunan berat badan yang tidak terduga, dan kelelahan. Namun, pada tahap awal, kebanyakan pengidap diabetes tidak menunjukkan gejala, yang menyoroti pentingnya skrining dan diagnosis,” kata Kalyani, seorang profesor kedokteran di divisi endokrinologi, diabetes, dan metabolisme di Universitas Johns Hopkins.

    Jika mengalami salah satu gejala ini atau memiliki riwayat diabetes dalam keluarga, para ahli menyarankan untuk menjalani skrining glukosa.

    Secara global, pada 2023, sekitar 40 persen pengidap diabetes yang diobati lebih awal mendapatkan hasil optimal untuk menurunkan gula darah mereka, kata Stafford. Itulah mengapa penting bahwa upaya di masa depan difokuskan untuk memastikan lebih banyak orang menerima dan mengikuti pengobatan yang tepat pascadiagnosis.

    Hanya 4 dari 10 pasien yang mendapatkan hasil optimal merupakan hal yang mengejutkan, mengingat beberapa pengobatan yang sudah mapan, termasuk insulin, Metformin, dan obat-obatan lain seperti GLP-1, sudah tersedia.

    Pengidap diabetes kemungkinan juga memiliki masalah kesehatan lain, seperti hipertensi atau penyakit ginjal kronis, yang dapat membuat pengobatan menjadi rumit, tambah Stafford.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Awas! Ini Gejala Anak Kena Diabetes”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • China Digulung Malapetaka, Cuaca “Neraka” & Banjir Bandang Mengepung

    China Digulung Malapetaka, Cuaca “Neraka” & Banjir Bandang Mengepung

    Jakarta, CNBC Indonesia – China menghadapi musim panas terpanas sejak 1961, sementara wilayah utara negara itu mencatat musim hujan terpanjang dalam periode yang sama. Kondisi cuaca ekstrem ini memicu banjir mematikan, mengganggu pasokan listrik, serta menekan sektor pertanian dan ekonomi.

    “Musim hujan plum tahun ini dimulai satu minggu lebih awal dari biasanya. Curah hujan yang tinggi di wilayah utara telah berlangsung terpanjang sejak 1961,” kata Huang Zhou, Wakil Direktur Badan Meteorologi China, dalam konferensi pers, Selasa (9/9/2025).

    Huang menambahkan, suhu rata-rata nasional mencapai 22,3 derajat Celcius pada periode Juni-Agustus, naik 1,1 derajat dari normal, dan menyamai rekor tertinggi pada 2024.

    “China mencatat total 13,7 hari dengan suhu ekstrem, 5,7 hari lebih banyak dari rata-rata historis,” ujarnya, seperti dikutip Reuters.

    Cuaca ekstrem ini menimbulkan kerugian besar. Distrik Huairou di utara Beijing dan distrik Miyuan dilanda hujan deras setara curah hujan satu tahun hanya dalam sepekan pada akhir Juli. Banjir bandang menghancurkan desa-desa dan menewaskan 44 orang, menjadi yang paling mematikan sejak 2012.

    Selain banjir, panas ekstrem juga menimbulkan ancaman serius. Meski pemerintah tidak merilis angka resmi, laporan The Lancet pada 2023 memperkirakan 50.900 orang meninggal akibat gelombang panas di China pada 2022, dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

    Secara global, data Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa menunjukkan Agustus 2025 merupakan Agustus terpanas ketiga, dengan suhu rata-rata 0,49 derajat Celcius di atas periode 1991-2020. Lautan pun mencatat anomali panas, dengan permukaan Pasifik utara mencapai rekor tertinggi di banyak wilayah.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Sehat dan Bugar dengan Jalan Kaki, Nggak Perlu 10 Ribu Langkah Sehari

    Sehat dan Bugar dengan Jalan Kaki, Nggak Perlu 10 Ribu Langkah Sehari

    Jakarta

    Kebanyakan orang tahu agar tubuh sehat harus berjalan 10 ribu langkah. Dengan sedikit atau tanpa bukti ilmiah yang mendukung patokan harian ini, masih belum jelas berapa langkah yang harus dicapai setiap harinya.

    Namun, semua itu berubah karena sebuah studi baru yang menemukan bahwa 7 ribu langkah mungkin merupakan target ideal. Sebelumnya, 10 ribu langkah dianggap sebagai jumlah optimal.

    “Kebanyakan target tanpa bukti yang jelas menemukan 10 ribu langkah per hari, ini dikaitkan dengan risiko yang jauh lebih rendah untuk kematian akibat semua penyebab. Seperti insiden penyakit kardiovaskular, kematian akibat kanker, demensia, dan gejala depresi,” jelas para penulis studi yang dipublikasikan di The Lancet Public Health.

    “Dibandingkan 7 ribu langkah per hari, peningkatan bertahap di atas 7 ribu langkah per hari tergolong kecil, dan tidak ada perbedaan statistik antara 7 ribu langkah per hari. Dan jumlah langkah yang lebih tinggi untuk semua hasil lainnya,” sambungnya, dikutip dari IFLScience, Senin (28/7/2025).

    Untuk mencapai kesimpulan ini, tim meninjau hasil dari 57 studi yang dilakukan selama 11 tahun terakhir, di mana hasil kesehatan dibandingkan dengan jumlah langkah yang diambil per hari.

    Partisipan studi menggunakan pedometer atau alat pelacak langkah lainnya. Hal ini memungkinkan para peneliti untuk mengamati bagaimana setiap peningkatan seribu langkah memengaruhi kesejahteraan secara keseluruhan.

    Hasil Penelitian

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan target dasar 2 ribu langkah per hari, 7 ribu langkah per hari dikaitkan dengan risiko kematian akibat penyebab apapun sebesar 47 persen lebih rendah. Serta penurunan risiko penyakit kardiovaskular sebesar 25 persen dan penurunan risiko kematian akibat kanker sebesar 37 persen.

    Penurunan kemungkinan demensia sebesar 38 persen juga dilaporkan, demikian pula penurunan kemungkinan mengalami depresi sebesar 22 persen.

    “Menargetkan 7 ribu langkah adalah tujuan yang realistis berdasarkan temuan kami, yang menilai hasil kesehatan di bagian area yang belum pernah diteliti sebelumnya,” terang penulis studi, Profesor Melody Ding.

    “Namun, bagi mereka yang belum dapat mencapai 7 ribu langkah per hari, bahkan peningkatan kecil dalam jumlah langkah, seperti peningkatan dari 2 ribu menjadi 4 ribu langkah per hari, dikaitkan dengan peningkatan kesehatan signifikan,” lanjutnya.

    Menurut Profesor Melody Ding, memang peningkatan moderat dalam jumlah langkah per hari ini dikaitkan dengan risiko kematian sebesar 36 persen lebih rendah.

    Meskipun lebih banyak langkah umumnya sama dengan kesehatan yang lebih baik, penulis studi Dr Katherine Owen menjelaskan bahwa manfaatnya cenderung berkurang setelah melewati titik tertentu.

    “Bagi orang yang sudah aktif, 10 ribu langkah sehari sudah bagus. Tetapi, di atas 7 ribu langkah masih memberikan manfaat tambahan yang masih relatif kecil bagi kesehatan,” tulis para ahli.

    “Daripada terobsesi pada jumlah langkah, cobalah untuk berjalan kaki sebanyak mungkin. Setiap langkah mampu menekan masalah kesehatan pada masyarakat, terlepas dari target kuantitatif spesifiknya,” sambungnya.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

  • Nggak Kaleng-kaleng, Ternyata Ini Manfaat Jalan Kaki 7.000 Langkah Per Hari

    Nggak Kaleng-kaleng, Ternyata Ini Manfaat Jalan Kaki 7.000 Langkah Per Hari

    Jakarta

    Orang yang rutin berjalan kaki 7.000 langkah per hari memiliki risiko jauh lebih rendah terhadap berbagai masalah kesehatan serius, menurut ulasan terbesar sejauh ini yang dipublikasikan pada Kamis lalu.

    Selama ini, target 10.000 langkah sehari sering digadang-gadang sebagai angka ideal, padahal angka tersebut awalnya berasal dari kampanye pemasaran pedometer di Jepang pada tahun 1960-an, bukan dari penelitian ilmiah.

    Untuk menemukan target yang lebih berdasar secara ilmiah, tim peneliti internasional menganalisis 57 studi sebelumnya yang melibatkan 160.000 orang. Hasilnya, yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Public Health, menunjukkan berjalan 7.000 langkah per hari hampir memangkas separuh risiko kematian dini akibat berbagai penyebab, dibandingkan hanya berjalan 2.000 langkah.

    Studi ini juga menelusuri hubungan antara jumlah langkah dengan sejumlah kondisi kesehatan yang sebelumnya jarang diteliti. Hasilnya, berjalan 7.000 langkah per hari dikaitkan dengan penurunan risiko demensia sebesar 38 persen, depresi 22 persen, dan diabetes 14 persen. Penurunan risiko kanker dan jatuh juga ditemukan, meski dengan bukti yang masih terbatas.

    “Anda tidak perlu mencapai 10.000 langkah sehari untuk mendapatkan manfaat kesehatan yang signifikan,” ujar Paddy Dempsey, salah satu penulis studi dan peneliti medis di Cambridge University kepada AFP, dikutip dari Hindu Times.

    “Peningkatan terbesar terjadi sebelum 7.000 langkah, dan setelah itu manfaatnya cenderung menurun,” ujarnya lagi.

    Meski kecepatan berjalan tiap orang berbeda, 7.000 langkah kira-kira setara dengan berjalan kaki selama satu jam dalam sehari. Dempsey juga menyarankan agar orang yang sudah mencapai 10.000 langkah tetap mempertahankan kebiasaan sehat tersebut.

    Namun bagi yang merasa angka 7.000 langkah terasa berat, Dempsey mengatakan jangan berkecil hati.

    “Jika Anda hanya berjalan 2.000-3.000 langkah sehari, usahakan untuk menambah 1.000 langkah. Itu hanya 10-15 menit jalan kaki ringan yang tersebar sepanjang hari,” ujarnya.

    Andrew Scott, peneliti dari Portsmouth University yang tidak terlibat dalam studi ini, menambahkan semakin aktif bergerak, semakin baik. Namun, penting juga untuk tidak terlalu terpaku pada angka, terutama pada hari-hari ketika aktivitas fisik lebih terbatas.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga merekomendasikan minimal 150 menit aktivitas fisik intensitas sedang hingga tinggi setiap minggu. Sayangnya, hampir sepertiga populasi dunia belum memenuhi rekomendasi tersebut.

    (suc/suc)