Perusahaan: The Lancet

  • Wanita Kena Stroke di Usia 28 Tahun gegara Stres, Ini Gejala Awalnya

    Wanita Kena Stroke di Usia 28 Tahun gegara Stres, Ini Gejala Awalnya

    Jakarta

    Wanita bernama Khanh Linh tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis di usia 28 tahun. Semua berawal pada 12 Juni 2025, saat ia tiba-tiba merasa sakit kepala hebat seperti terbelah saat duduk di meja kerja setelah makan siang.

    Tak lama kemudian, semuanya gelap. Sekitar satu jam kemudian, dokter di sebuah rumah sakit di Thai Nguyen mendiagnosis Linh mengalami stroke akibat pecahnya aneurisma otak, yang dipicu kelainan pembuluh darah bawaan.

    Kondisinya kritis sampai dirujuk ke Rumah Sakit Militer Pusat 108 di Hanoi, Vietnam, untuk menjalani operasi darurat.

    “Aku tidak ingat apapun selama seminggu itu,” ujar Linh, dikutip dari VNExpress.

    Semua yang ia ketahui tentang masa tersebut berasal dari cerita keluarganya yang setia mendampingi. Linh menjalani operasi endovaskular modern dengan biaya ratusan juta.

    Setelah operasi, perjuangannya belum selesai. Ia harus menjalani perawatan lebih dari 20 hari di rumah sakit, sebelum akhirnya pulang dan rehabilitasi.

    Sekitar lima bulan kemudian, kondisinya belum sepenuhnya pulih. Mulutnya masih mencong sehingga sulit berbicara, mata kirinya tidak bisa tertutup sempurna, tubuhnya lemah, dan belum mampu berjalan sendiri.

    Stroke tersebut menyebabkan kelumpuhan wajah. Bahkan, aktivitas sederhana menjadi sulit. Mulutnya tidak bisa menutup rapat dan air liur sering keluar tanpa disadari.

    “Saat itu aku butuh dua orang untuk merawatku. Satu orang bahkan harus terus di sampingku hanya untuk menyeka air liur,” kenangnya.

    Ibu dan kakaknya bergantian menjaga Linh. Di awal pemulihan, ia juga harus menggunakan selang makan.

    Berat badannya turun drastis dari 47-48 kg menjadi hanya 40 kg. Setelah menjalani terapi intensif, berat badannya perlahan mulai naik kembali.

    Sebelum stroke, Linh merasa hidupnya normal. Ia hanya sempat mengalami sakit kepala ringan beberapa hari sebelumnya, dan mengira itu akibat perubahan cuaca.

    “Aku punya banyak kebiasaan buruk, sering begadang, telat makan, dan stres karena pekerjaan,” bebernya.

    Ia kini menyadari bahwa gaya hidup tersebut bisa ikut berperan pada kondisi kesehatannya. Masa-masa awal pascastroke menjadi periode paling berat secara mental.

    Linh mengaku sempat diliputi pikiran negatif, merasa tidak berdaya, menjadi beban keluarga, dan takut menghadapi masa depan.

    Sebuah analisis di jurnal medis The Lancet menyebut sekitar sepertiga penyintas stroke mengalami depresi dalam lima tahun pertama. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada psikologis, tapi juga berkaitan dengan kerusakan otak yang mengatur emosi, serta dapat memperlambat pemulihan dan meningkatkan risiko kematian.

    Pada pasien muda seperti Linh, dampak mentalnya bisa lebih berat. Stroke datang tiba-tiba dan merenggut kemandirian, karier, hingga rasa aman sosial.

    “Keluargaku yang menarikku kembali,” kata Linh.

    Ibu dan kakaknya selalu ada, bukan hanya membantu secara fisik, tapi juga memberikan dukungan emosional. Saat Linh hancur, mereka duduk diam sambil menggenggam tangannya.

    Untuk menjaga kesehatan mentalnya, Linh mulai membagikan proses pemulihannya lewat video singkat di TikTok. Awalnya hanya catatan pribadi, tapi perlahan ia menerima banyak pesan dukungan dari orang lain.

    “Saat aku sadar ceritaku bisa membantu orang lain, perjuangan ini terasa bermakna,” sambungnya.

    Kini, Linh menjalani jadwal rehabilitasi ketat setiap hari, mulai dari akupunktur, pijat terapi, hingga latihan berjalan. Setiap kemajuan kecil, ia dianggap sebagai kemenangan.

    “Aku belajar menghargai hal-hal kecil yang dulu terasa sepele,” tutur dia.

    Data menunjukkan kasus stroke pada usia muda terus meningkat. Studi The Lancet mencatat angka stroke pada orang di bawah 45 tahun naik signifikan secara global.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 15 persen kasus stroke terjadi pada kelompok usia ini. Faktor pemicunya antara lain stres kronis, pola makan buruk, kurang gerak, serta penyakit seperti hipertensi, obesitas, dan diabetes yang kerap tidak terdeteksi.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Neurolog Ungkap Sakit Kepala Seperti Ini Bisa Jadi Tanda Gejala Stroke”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/naf)

  • Kisah Pria 20 Tahun Mendadak Kena Stroke saat Mandi, Ini Gejala Awalnya

    Kisah Pria 20 Tahun Mendadak Kena Stroke saat Mandi, Ini Gejala Awalnya

    Jakarta

    Seorang pria di Thai Nguyen utara, Vietnam, tiba-tiba mengalami stroke hemoragik setelah mandi larut malam. Ia tidak memiliki riwayat penyakit apapun.

    Kondisi ini terjadi pada 19 Februari 2019. Malam itu, ia kembali ke apartemen sewaannya setelah bekerja lembur, dan seperti biasa mandi pukul 23.00 waktu setempat.

    Namun, saat ia berbaring di tempat tidur, pria bernama Au Van Hieu itu tiba-tiba merasakan beberapa gejala. Mulai dari sakit kepala, mual, kehilangan kendali, dan lemas di sisi kiri tubuhnya sebelum akhirnya pingsan.

    Dilarikan ke UGD Keesokan Harinya

    Teman-temannya baru mengetahuinya keesokan paginya, dan segera membawanya ke UGD di Rumah Sakit Umum Provinsi Bac Giang. Dokter memberikan prognosis yang suram, memperkirakan kemungkinan ia bertahan hidup hanya 1-2 persen.

    Tak mau menyerah, keluarga Hieu segera membawanya ke Rumah Sakit Bach Mai di Hanoi. Di sana, dokter mendiagnosisnya dengan stroke hemoragik.

    Kondisi ini seringkali fatal akibat pecahnya pembuluh darah otak. Tetapi, jarang terjadi pada anak muda tanpa kondisi tertentu, meskipun ada lonjakan kasus baru-baru ini seiring dengan munculnya gaya hidup modern.

    Untuk melarutkan gumpalan darah dan mengurangi tekanan intrakranial, dokter terpaksa melakukan kraniotomi pada Hieu. Itu merupakan prosedur bedah saraf di mana sebagian tulang tengkorak (kranium), diangkat untuk mengurangi tekanan berlebih di dalam otak akibat pembengkakan parah atau perdarahan.

    Meskipun tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya, Hieu memang menjalani gaya hidup tidak sehat seperti sering begadang, stres akibat pekerjaan, makan di waktu yang tidak teratur, dan mandi larut malam.

    Sadar Setelah 20 Hari Koma

    Hieu sadar kembali setelah koma selama 20 hari, tetapi kehilangan sebagian besar fungsi kognitif dan motoriknya. Empat bulan setelah operasi pertamanya, ia kembali ke Rumah Sakit Bach Mai untuk menjalani cangkok kranial.

    Dalam beberapa minggu terakhir, Rumah Sakit Militer Pusat 108 telah melaporkan banyak kasus serupa. Termasuk pasien muda tanpa riwayat medis.

    Sempat Ingin Mengakhiri Hidup

    Hieu harus mempelajari kembali keterampilan dasar seperti makan, berbicara, dan berjalan dari awal. Tetapi, stroke tidak hanya berdampak pada tubuhnya.

    Bagi seorang pemuda di puncak masa mudanya, kehilangan kendali atas tubuh dan status sosialnya merupakan pukulan telak. Hieu mengaku pernah mengalami depresi dan bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupnya demi meringankan beban keluarganya.

    “Saya merasa seperti beban yang sangat berat,” dikutip dari VNExpress.

    Setelah enam tahun menjalani perawatan, Hieu masih belum dapat kembali berintegrasi ke dalam kehidupan sosial. Ia mengatakan lengannya masih memiliki fungsi terbatas, dan diperkirakan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk kembali ke kondisi 70-80 persen.

    Mengingat kondisinya, Hieu berharap hal ini menjadi peringatan bagi kaum muda. Terutama mereka yang tidak memiliki gaya hidup yang sehat.

    Penjelasan Kemenkes Vietnam

    Menurut Kementerian Kesehatan Vietnam, mandi dengan air dingin di malam hari dapat memicu vasospasme dan lonjakan tekanan darah. Kondisi itu yang dapat berujung pada pecahnya pembuluh darah dan stroke hemoragik.

    Suhu dingin juga dapat mengentalkan darah dan meningkatkan produksi sel darah merah dan putih, sehingga memicu pembentukan gumpalan darah yang dapat menyumbat pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral.

    Maka dari itu, pihaknya menyarankan untuk tidak mandi setelah pukul 22.00, terutama dengan air hangat selama bulan-bulan yang lebih dingin.

    Direktur departemen terapi fisik dan okupasi di Rumah Sakit Hanoi Frenc, Dr Nguyen Thi Dung, mengatakan bahwa harga yang harus dibayar untuk stroke seringkali berupa gejala sisa permanen.

    Statistik menunjukkan hanya 25-30 persen pasien stroke yang pulih dan menjadi mandiri. Sisanya harus hidup bergantung, dengan 15-20 persen membutuhkan bantuan orang lain bahkan untuk tugas sehari-hari.

    Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan di The Lancet menunjukkan bahwa hampir sepertiga penyintas stroke harus menghadapi depresi dalam lima tahun pertama. Depresi pasca-stroke bukan hanya respons psikologis terhadap situasi, tetapi berasal dari kerusakan fisik di bagian otak yang mengatur emosi, menciptakan lingkaran setan yang menghambat proses pemulihan dan meningkatkan risiko kematian.

    Halaman 2 dari 3

    (sao/naf)

  • Hati-hati yang Sering Konsumsi Ultra Processed Food, Berisiko Kena 12 Penyakit Ini

    Hati-hati yang Sering Konsumsi Ultra Processed Food, Berisiko Kena 12 Penyakit Ini

    Jakarta

    Sebuah makalah terbaru yang diterbitkan di jurnal The Lancet, sebagai bagian dari seri berisi tiga publikasi, mengungkapkan konsumsi Ultra Processed Food (UPF) terus meningkat di seluruh dunia.

    UPF merupakan salah satu kategori dalam klasifikasi NOVA, yang diperkenalkan pada 2009 oleh Prof Carlos Monteiro dari Universitas Sao Paulo, Brasil. Kategori ini mencakup produk makanan industri yang mengandung banyak bahan tambahan.

    Makalah tersebut, yang merujuk pada studi terbaru, tinjauan ilmiah, dan meta-analisis, memberikan bukti tambahan mengenai hubungan antara konsumsi UPF dan meningkatnya risiko sejumlah masalah kesehatan utama.

    Makalah kedua dalam seri The Lancet ini menekankan perlunya kebijakan global untuk mengatur UPF, sementara makalah ketiga menyerukan mobilisasi respons kesehatan masyarakat terhadap meningkatnya konsumsi UPF dalam pola makan dunia.

    Dalam kajian ini, para peneliti menggunakan definisi UPF berdasarkan sistem klasifikasi NOVA. UPF termasuk dalam Grup 4 NOVA, yaitu “formulasi berbagai bahan yang sebagian besar hanya digunakan secara industri, dan biasanya dibuat melalui serangkaian teknik serta proses industri.”

    Adapun contoh umum ultra processed food meliputi:

    sup kalenganproduk roti komersialmakanan beku siap sajimakanan prepackaged atau siap saji kemasandaging olahansoda dan minuman energicamilan seperti keripik, cookies, dan crackerssereal sarapan manis

    “Konsumsi ultra-processed foods yang semakin meningkat telah mengubah pola makan global, menggantikan makanan segar dan minim proses,” ujar Carlos A. Monteiro, MD, profesor nutrisi dan kesehatan masyarakat dari University of São Paulo, Brasil, sekaligus penulis utama studi tersebut, dalam siaran persnya, dikutip dari Medical News Today.

    “Perubahan ini didorong oleh korporasi global besar yang meraih keuntungan besar dari produk ultra-processed, didukung pemasaran masif dan lobi politik untuk menghambat kebijakan kesehatan masyarakat yang mendukung pola makan sehat,” tambah Monteiro.

    Dalam makalahnya, para peneliti juga meninjau 104 studi jangka panjang dan menemukan bahwa 92 di antaranya menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi UPF dan peningkatan risiko terhadap total 12 kondisi serta luaran kesehatan berikut:

    obesitas abdominalkematian dari segala penyebab (all-cause mortality)penyakit kardiovaskularpenyakit ginjal kronispenyakit serebrovaskularpenyakit jantung koronerpenyakit Crohndepresitekanan darah tinggi (hipertensi)kolesterol tinggi (dislipidemia)overweight atau obesitasdiabetes tipe 2

    Bagaimana cara mengurangi konsumsi ultra-processed food (UPF)?

    Banyak orang ingin mengurangi konsumsi ultra-processed foods (UPF), tetapi sering kali merasa tertekan karena harus menghindari terlalu banyak hal sekaligus. Menurut ahli gizi, Monique Richard, MS, RDN, LDN, langkah awal justru bukan tentang melarang diri sendiri, melainkan memahami kondisi pribadi.

    Richard menekankan pentingnya menilai akses, kemampuan, dan kesadaran sebelum melakukan perubahan. Ia mengingatkan setiap orang memiliki latar belakang berbeda, dengan keterbatasan dan tantangan masing-masing.

    “Sebagai seorang ahli gizi, tugas saya adalah bertemu klien di titik mereka berada sekarang, bukan pada versi ideal diri mereka atau apa yang masyarakat pikir seharusnya mereka lakukan. Kami membantu menerjemahkan bukti ilmiah menjadi kebiasaan sederhana yang bisa dilakukan sehari-hari, dan dapat mengubah arah kesehatan serta meningkatkan kualitas hidup,” ucapnya.

    Salah satu prinsip utamanya adalah ‘tambah dulu, baru kurangi’. Alih-alih langsung menyingkirkan UPF, coba tambahkan makanan yang lebih padat nutrisi. Satu porsi buah utuh, segenggam kacang, kacang-kacangan, atau sedikit sayur setiap kali makan perlahan akan menggantikan makanan ultra-proses secara alami.

    Richard menyarankan mengganti pilihan makanan dengan opsi yang lebih sehat, tapi tetap praktis. Jika sebuah produk dipenuhi gula, pati, minyak, emulsifier, atau stabilizer, besar kemungkinan itu UPF. Carilah alternatif yang sedikit lebih baik, seperti air dengan tambahan irisan buah atau herbal sebagai pengganti minuman manis, atau bubuk lemon/lime sebagai flavor infuser tanpa gula.

    Untuk sumber protein, pilih yang minim pengolahannya, seperti ayam rotisserie, kacang-kacangan, yogurt, atau tahu. Hidangan yang dipanggang atau dibakar juga lebih baik daripada yang dibalur tepung atau digoreng.

    Richard juga menyarankan untuk sering memasak di rumah dan tidak perlu rumit. Bahkan satu kali makan buatan rumah dalam sehari dapat memberi manfaat. Penelitian pun menunjukkan kebiasaan memasak dan makan bersama keluarga punya dampak positif jangka panjang, melampaui sekadar asupan nutrisi.

    “Penelitian menunjukkan banyak manfaat jangka panjang dari kebiasaan memasak dan makan bersama keluarga yang melampaui sekadar asupan nutrisi saat itu. Gunakan bahan-bahan sederhana seperti sayuran, kacang-kacangan, telur, biji-bijian utuh, rempah, dan bumbu. Bangun makanan Anda dari bahan makanan utuh, bukan daftar bahan yang tidak menyerupai makanan asli,” lanjutnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/up)

  • Gejala Sakit Ginjal Kronis yang Sering Tak Terlihat dan Kerap Terlewatkan

    Gejala Sakit Ginjal Kronis yang Sering Tak Terlihat dan Kerap Terlewatkan

    Jakarta

    Jumlah orang dewasa yang hidup dengan penyakit ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD) meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 1990, dan kini mencapai hampir 800 juta jiwa di seluruh dunia, menurut riset terbaru yang diterbitkan di The Lancet. Temuan ini berasal dari studi Global Burden of Disease (GBD) 2023, yang menelusuri tren CKD pada populasi usia 20 tahun ke atas di 204 negara dan wilayah selama periode 1990-2023..

    Kondisi ini membuat deteksi dini menjadi sangat penting. Meski perubahan urine adalah tanda yang paling dikenal, ginjal sebenarnya memberikan sinyal lain jauh sebelum kerusakan bertambah parah. Berikut sejumlah gejala ‘senyap’ yang sering terlewatkan:

    1. Mudah Lelah atau Sulit Berkonsentrasi

    Merasa kurang energi atau sulit fokus dapat menjadi tanda awal penyakit ginjal. Ketika fungsi ginjal menurun, racun dan limbah menumpuk dalam darah, sehingga memicu rasa lelah dan gangguan konsentrasi. Menurut National Kidney Foundation, CKD juga bisa menyebabkan anemia yang membuat tubuh semakin mudah lelah.

    2. Kulit Kering dan Gatal

    Banyak orang mengira kulit kering dan gatal hanya akibat kurang pelembap atau masalah kulit semata. Namun, kondisi ini bisa menjadi sinyal gangguan fungsi ginjal. Ginjal yang sehat membantu menjaga keseimbangan mineral, memproduksi sel darah merah, serta membuang limbah dari tubuh. Ketika fungsi tersebut terganggu, kulit bisa menjadi sangat kering dan gatal.

    3. Sulit Tidur

    Jangan abaikan gangguan tidur. Ketika ginjal tidak menyaring racun dengan baik, zat sisa tetap berada dalam darah dan dapat mengganggu kualitas tidur. Sebuah tinjauan sistematis tahun 2022 di jurnal Kidney Medicine menemukan bahwa gangguan tidur dan insomnia sangat umum terjadi pada pasien CKD stadium lanjut.

    4. Bengkak di Sekitar Mata

    Bangun tidur dengan mata bengkak bisa menjadi tanda ginjal tidak bekerja optimal. Kondisi ini berkaitan dengan kebocoran protein ke dalam urine (proteinuria). Ginjal yang terganggu tidak mampu mempertahankan protein dalam tubuh sehingga menyebabkan penumpukan cairan yang tampak sebagai bengkak pada mata.

    5. Bengkak pada Kaki dan Pergelangan Kaki

    Pembengkakan pada pergelangan kaki dan kaki merupakan tanda lain gangguan ginjal. Kondisi yang dikenal sebagai edema ini terjadi akibat retensi cairan dan natrium ketika fungsi ginjal menurun. Menurut National Health Service UK (NHS), pembengkakan pada ekstremitas bawah juga bisa terkait penyakit kronis lain, seperti gangguan jantung, hati, atau masalah vena.

    Jika mengalami tanda-tanda di atas, segera konsultasikan ke tenaga kesehatan. Gejala ini bisa berkaitan dengan kondisi lain, namun mengenalinya sejak dini dapat membantu mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Makin Banyak Penduduk Dunia Kena Gagal Ginjal Kronis, Ini Biang Keroknya

    Makin Banyak Penduduk Dunia Kena Gagal Ginjal Kronis, Ini Biang Keroknya

    Jakarta

    Penyakit ginjal kronis kini menjadi ancaman kesehatan global yang perlu diwaspadai. Hasil analisis besar yang dipublikasikan di The Lancet mengungkapkan kasus penyakit ini naik menjadi penyebab kematian ke-9 di dunia pada 2023, yang merenggut hampir 1,5 juta jiwa.

    Studi ini disusun oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), sebagai bagian dari Global Burden of Disease Study 2023. Lebih dari 788 juta orang dewasa kini hidup dengan penyakit ginjal kronis, jumlahnya naik dua kali lipat dibandingkan pada 1990.

    Lonjakan kasus ini bukan hanya tren statistik, tetapi mencerminkan epidemi senyap yang menghantam negara maju maupun berkembang. Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi paling tinggi, dengan hampir 16 persen orang dewasa yang hidup dengan gangguan fungsi ginjal.

    Namun, China dan India menyumbang jumlah kasus terbesar.

    Temuan lain yang menjadi sorotan adalah penyakit ginjal kronis berkontribusi pada 11,5 persen kematian akibat penyakit kardiovaskular. Artinya, gangguan ginjal tidak hanya merusak organ penyaring tubuh, tetapi juga memperburuk risiko penyakit jantung.

    Faktor Penyebab Terbesar

    Dikutip dari Times of India, studi menunjukkan beban penyakit ginjal kronis meningkat stabil selama tiga dekade terakhir. Beberapa faktor penyebab terbesarnya, seperti:

    Faktor risiko metabolik, seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas yang dapat merusak struktur penyaring ginjal secara perlahan.Seiring bertambahnya usia, kapasitas penyaringan ginjal memang menurun.Akses kesehatan yang tidak merata, seperti skrining dan deteksi dini, yang menyebabkan banyak kasus terdiagnosis pada stadium lanjut.

    Dengan prevalensi usia mencapai 14,2 persen, lebih dari 1 dari 10 orang dewasa diperkirakan hidup dengan penurunan fungsi ginjal. Banyak di antaranya tanpa gejala yang bisa terlihat.

    Mengapa Harus Jadi Perhatian?

    Ginjal bekerja tanpa henti menyaring limbah, menyeimbangkan cairan, hingga mengatur tekanan darah. Saat fungsinya mulai menurun, gejala seringkali samar.

    Banyak orang baru menyadari saat kerusakan ginjal sudah stadium lanjut dan pilihan pengobatan semakin terbatas. Lebih jauh lagi, gangguan fungsi ginjal dapat memperparah tekanan darah, memicu penumpukan cairan, hingga mempengaruhi jantung, sehingga meningkatkan risiko serangan jantung hingga stroke.

    Tanda Awal yang Tak Boleh Diabaikan

    Penyakit ginjal kronis berkembang secara perlahan, tetapi beberapa sinyal perlu diwaspadai. Terutama bila mengidap diabetes, hipertensi, obesitas, atau riwayat keluarga. Gejalanya meliputi:

    1. Perubahan pola buang air kecil.

    Lebih sering atau lebih jarang buang air kecil, terutama di malam hari. Urine berbuih atau mengandung darah juga merupakan tanda kebocoran protein.

    2. Pembengkakan atau edema

    Pembengkakan yang terjadi di pergelangan kaki, tangan, atau sekitar mata akibat retensi cairan.

    3. Kelelahan yang berkepanjangan

    Penumpukan limbah dapat menimbulkan rasa lelah, konsentrasi memburuk, hingga rasa lemas.

    4. Kulit kering, gatal, atau mual

    Kondisi ini bisa terjadi akibat akumulasi racun yang ada di dalam tubuh, yang tidak bisa dikeluarkan oleh ginjal.

    5. Sesak napas atau hilang nafsu makan

    Kondisi ini sering muncul pada orang dengan penyakit ginjal kronis tahap atau stadium yang lebih lanjut.

    Apa yang Bisa Dilakukan?

    Gejala-gejala ini tidak boleh dianggap sekadar efek stres atau penuaan biasa. Para ahli menyarankan langkan pencegahan yang lebih agresif, seperti:

    Skrining rutin, seperti pemeriksaan LFG atau albumin urine yang membantu dalam mendeteksi penyakit ginjal kronis pada fase awal.Mengontrol faktor risiko, termasuk menjaga gula darah, tekanan darah, berat badan, serta memperbaiki pola makan.Peningkatan edukasi publik perlu dilakukan, agar lebih sadar bahwa penyakit ginjal bisa berkaitan erat dengan risiko jantung dinilai krusial untuk menekan beban global.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

  • Studi Temukan Makin Banyak Orang Kena Penyakit Gagal Ginjal, Ini Biang Keroknya

    Studi Temukan Makin Banyak Orang Kena Penyakit Gagal Ginjal, Ini Biang Keroknya

    Jakarta

    Sebuah studi global terbaru menunjukkan peningkatan signifikan pada kasus penyakit ginjal kronis (PGK) atau gagal ginjal, kondisi ketika ginjal secara bertahap kehilangan kemampuan untuk menyaring limbah dan cairan berlebih dari darah.

    Untuk pertama kalinya, PGK kini menjadi 10 penyebab utama kematian di seluruh dunia, menduduki peringkat kesembilan.

    Data yang dipimpin oleh peneliti dari NYU Langone Health, University of Glasgow, dan IHME University of Washington ini mengungkapkan:

    Kasus PGK global melonjak dari 378 juta orang pada tahun 1990 menjadi 788 juta orang pada tahun 2023, seiring dengan pertumbuhan dan penuaan populasi dunia.

    “Pekerjaan kami menunjukkan bahwa Penyakit Ginjal Kronis adalah penyakit yang umum, mematikan, dan semakin memburuk sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama,” kata Dr Josef Coresh, salah satu penulis senior studi dari NYU Langone.

    Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis

    Laporan baru yang diterbitkan di jurnal The Lancet ini adalah perkiraan paling komprehensif mengenai PGK dalam hampir satu dekade. Selain membunuh secara langsung, penelitian ini menemukan PGK memiliki dampak ganda:

    Risiko Penyakit Jantung: Gangguan fungsi ginjal adalah faktor risiko utama penyakit jantung, berkontribusi pada sekitar 12 persen kematian kardiovaskular global.

    Kualitas Hidup: Pada tahun 2023, PGK adalah penyebab ke-12 terbesar dari penurunan kualitas hidup akibat disabilitas.

    Tiga faktor risiko terbesar untuk gagal ginjal adalah: gula darah tinggi (Diabetes), tekanan darah tinggi (Hipertensi), dan indeks massa tubuh tinggi (Obesitas).

    Sebagian besar pasien PGK dalam studi ini berada pada tahap awal penyakit. Ini adalah kabar penting, karena pengobatan cepat dengan obat-obatan dan perubahan gaya hidup dapat mencegah kebutuhan akan intervensi dramatis dan mahal seperti dialisis dan transplantasi ginjal.

    Namun, Dr. Morgan Grams, salah satu penulis utama, menekankan bahwa penyakit gagal ginjal saat ini kurang terdiagnosis dan kurang terobati.

    “Laporan kami menggarisbawahi perlunya lebih banyak tes urine untuk mendeteksinya lebih awal dan perlunya memastikan pasien mampu membayar dan mengakses terapi setelah mereka didiagnosis,” ujar Dr. Grams.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Setengah Juta Warga di Singapura Kena Penyakit Ginjal “
    [Gambas:Video 20detik]
    (kna/kna)

  • Hampir 800 Juta Orang di Dunia Kena Penyakit Ginjal Kronis, Inikah Pemicunya?

    Hampir 800 Juta Orang di Dunia Kena Penyakit Ginjal Kronis, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Penyakit ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD) merupakan salah satu penyakit paling umum terjadi dan kini menempati peringkat teratas penyebab kematian dan kesakitan global, menurut laporan terbaru di jurnal The Lancet.

    Temuan ini berasal dari studi Global Burden of Disease (GBD) 2023, yang menelusuri tren CKD pada populasi usia 20 tahun ke atas di 204 negara dan wilayah selama periode 1990 hingga 2023. Penelitian dipimpin oleh tim dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), University of Washington, bekerja sama dengan New York University Grossman School of Medicine dan University of Glasgow.

    Studi tersebut menemukan jumlah kasus CKD telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1990 dan kini memengaruhi hampir 800 juta orang di seluruh dunia. Bahkan kini peringkat 9 penyebab kematian terbesar di dunia pada 2023, dengan hampir 1,5 juta kematian, serta peringkat 12 penyebab kecacatan.

    Adapun China dan India mencatat jumlah pengidap tertinggi,masing-masing sekitar 152 juta dan 138 juta orang. Namun penyakit ini juga tersebar luas di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Brasil, Rusia, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Bangladesh, Iran, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Turki, yang masing-masing melaporkan lebih dari 10 juta orang dewasa hidup dengan CKD.

    “Penyakit ginjal kronis merupakan krisis kesehatan global yang terus berkembang, namun sebagian besar dampaknya dapat dicegah. Mengurangi angka kematian sangat penting untuk mencapai target WHO, yaitu mengurangi kematian dini akibat penyakit tidak menular hingga sepertiganya sebelum tahun 2030,” ujar Lauryn Stafford, salah satu penulis dan peneliti di IHME, dikutip dari News Medical Net, Senin (10/11/2025).

    Apa pemicunya?

    Studi tersebut juga menegaskan CKD merupakan kontributor besar terhadap penyakit kardiovaskular. Pada 2023, gangguan fungsi ginjal berperan dalam hampir 12 persen kematian kardiovaskular global, menempati peringkat 7 faktor risiko kematian jantung, ebih tinggi dibandingkan diabetes maupun obesitas.

    Peneliti mengidentifikasi 14 faktor risiko utama CKD. Di antaranya, diabetes, tekanan darah tinggi, dan obesitas menjadi penyebab terbesar hilangnya tahun hidup sehat. Pola makan rendah buah-sayur serta tingginya konsumsi natrium (garam) juga memberikan kontribusi signifikan.

    “Penyakit ginjal kronis merupakan faktor risiko utama bagi penyebab utama penurunan kesehatan lainnya sekaligus beban penyakit yang signifikan. Namun, penyakit ini masih kurang mendapat perhatian kebijakan dibandingkan penyakit tidak menular lainnya, meskipun dampaknya tumbuh paling cepat di wilayah-wilayah yang sudah menghadapi kesenjangan kesehatan terbesar,” ucap Dr Theo Vos, penulis senior dan Profesor Emeritus IHME.

    Tak hanya itu, meningkatnya angka obesitas dan diabetes, ditambah dengan penuaan populasi global, menjadi pendorong utama lonjakan kasus CKD. Pada 2023, prevalensi terseragam usia CKD mencapai sekitar 14 persen pada orang dewasa usia 20 tahun ke atas.

    Prevalensi tertinggi ditemukan di Afrika Utara dan Timur Tengah (18 persen), Asia Selatan (15,8 persen), Afrika Sub-Sahara (15,6 persen), serta Amerika Latin dan Karibia (15,4 persen). Negara dengan prevalensi tertinggi mencakup Iran, Haiti, Panama, Nigeria, Mauritius, Seychelles, Grenada, Meksiko, Libya, dan Kosta Rika.

    Sebagian besar pengidap CKD masih berada pada tahap awal (stadium 1-3). Kondisi ini menegaskan pentingnya skrining rutin dan strategi pencegahan, termasuk pengendalian gula darah dan tekanan darah dengan terapi yang mudah diakses.

    Pendekatan tersebut dapat menurunkan risiko kematian akibat komplikasi jantung serta menunda kebutuhan terapi pengganti ginjal seperti dialisis atau transplantasi.

    Namun, akses terhadap terapi pengganti ginjal masih sangat terbatas dan tidak merata di berbagai wilayah dunia. Karena itu, para ahli menekankan perlunya fokus pada pencegahan progresivitas penyakit dan pemerataan akses layanan kesehatan.

    Perluasan deteksi dini, ketersediaan perawatan terjangkau, pengendalian faktor risiko utama, serta investasi pada strategi yang memperlambat kerusakan ginjal akan menjadi langkah penting untuk mengurangi beban CKD terhadap pasien, keluarga, dan sistem kesehatan global.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/naf)

  • Hampir 800 Juta Orang di Dunia Idap Penyakit Ginjal, Negara Ini Penyumbang Terbanyak

    Hampir 800 Juta Orang di Dunia Idap Penyakit Ginjal, Negara Ini Penyumbang Terbanyak

    Jakarta

    Jumlah orang dewasa yang hidup dengan penyakit ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD) meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 1990, dan kini mencapai hampir 800 juta jiwa di seluruh dunia, menurut riset terbaru yang diterbitkan di The Lancet.

    Temuan ini berasal dari studi Global Burden of Disease (GBD) 2023, yang menelusuri tren CKD pada populasi usia 20 tahun ke atas di 204 negara dan wilayah selama periode 1990 hingga 2023. Penelitian dipimpin oleh tim dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), University of Washington, bekerja sama dengan New York University Grossman School of Medicine dan University of Glasgow.

    Dengan menganalisis 2.230 sumber data, studi ini menjadi penilaian paling komprehensif sejauh ini mengenai beban penyakit ginjal kronis, baik yang berujung kematian maupun yang tidak fatal, di seluruh dunia.

    Negara Penyumbang Kasus Penyakit Ginjal Terbanyak

    Pada 2023, CKD menjadi penyebab kematian ke-9 terbesar secara global, dengan hampir 1,5 juta kematian, serta penyebab ke-12 terbesar kecacatan. Berbeda dengan sebagian besar penyebab kematian utama lain, angka kematian global terseragam usia akibat CKD justru meningkat, dari 24,9 per 100.000 jiwa pada 1990 menjadi 26,5 per 100.000 jiwa pada 2023.

    China dan India, dengan beberapa negara dengan populasi terbesar di dunia, mencatat jumlah pengidap CKD tertinggi, masing-masing 152 juta dan 138 juta jiwa. Namun, penyakit ini juga meluas di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Brasil, Rusia, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Bangladesh, Iran, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Turki, yang masing-masing melaporkan lebih dari 10 juta orang dewasa hidup dengan CKD.

    “Penyakit ginjal kronis merupakan krisis kesehatan global yang terus berkembang, namun sebagian besar dampaknya dapat dicegah. Mengurangi angka kematian sangat penting untuk mencapai target WHO, yaitu mengurangi kematian dini akibat penyakit tidak menular hingga sepertiganya sebelum tahun 2030,” ujar Lauryn Stafford, salah satu penulis dan peneliti di IHME, dikutip dari News Medical Net, Senin (10/11/2025).

    Penelitian ini juga menyoroti CKD sebagai kontributor besar terhadap penyakit kardiovaskular, sekaligus mengungkap berbagai faktor risikonya. Pada 2023, gangguan fungsi ginjal menyumbang hampir 12 persen kematian kardiovaskular global, menempati peringkat ketujuh di antara faktor risiko kematian jantung, bahkan di atas diabetes dan obesitas.

    Studi ini mengidentifikasi 14 faktor risiko terperinci untuk CKD, dengan diabetes, tekanan darah tinggi, dan obesitas sebagai faktor penyebab hilangnya tahun-tahun hidup sehat terbesar. Faktor-faktor pola makan, seperti rendahnya asupan buah dan sayur serta tingginya konsumsi natrium, juga memberikan kontribusi yang substansial.

    “Penyakit ginjal kronis merupakan faktor risiko utama bagi penyebab utama penurunan kesehatan lainnya sekaligus beban penyakit yang signifikan. Namun, penyakit ini masih kurang mendapat perhatian kebijakan dibandingkan penyakit tidak menular lainnya, meskipun dampaknya tumbuh paling cepat di wilayah-wilayah yang sudah menghadapi kesenjangan kesehatan terbesar,” ucap Dr Theo Vos, penulis senior dan Profesor Emeritus IHME.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/naf)

  • Nasib Pengungsi Anak di Laut: Perjalanan Sendirian yang Mematikan

    Nasib Pengungsi Anak di Laut: Perjalanan Sendirian yang Mematikan

    Jakarta

    “Tak seorang pun akan mempertaruhkan nyawanya di laut jika ada cara yang lebih baik. Tapi tidak ada alternatif. Itulah mengapa kami mempertaruhkan nyawa kami.”

    Itulah kata-kata seorang bocah berusia 15 tahun dari Guinea yang diselamatkan sebagai anak yang tidak didampingi di laut oleh NGO yang berbasis di Berlin, SOS Humanity.

    Organisasi yang telah menyelamatkan pengungsi dan migran di laut selama satu dekade ini memperingatkan bahwa semakin banyak anak-anak dan remaja yang berangkat sendirian dari Libya atau Tunisia menuju Eropa dengan kapal yang terlalu penuh dan sering kali tidak layak laut. Sekitar seperlima dari mereka yang diselamatkan adalah anak di bawah umur.

    Esther, seorang psikolog klinis asal Jerman, menjadi relawan sebagai petugas kesehatan mental dalam misi penyelamatan di Mediterania pada November dan Desember 2024.

    Dalam konferensi pers di Berlin pada Selasa, di mana Esther tidak menyebutkan nama belakangnya, ia mengatakan bahwa selama berada di laut, enam kapal yang membawa 347 orang berhasil diselamatkan. Di antara mereka terdapat 43 orang muda, sebagian besar anak yang tidak didampingi, dalam kondisi fisik dan mental yang buruk.

    “Sering kali mereka berada di laut tanpa makanan atau minuman selama beberapa hari dan malam, mengalami dehidrasi, mabuk laut, dan sering memiliki luka bakar akibat bahan bakar dan air laut. Banyak juga yang menderita scabies atau infeksi dan luka lainnya, karena mereka telah berada di kamp-kamp di Libya dalam waktu lama. Semua mereka kelelahan secara emosional,” ujarnya.

    Anak-anak sangat berisiko di kamp-kamp Libya

    Selama bertahun-tahun, Libya, yang berdasarkan kesepakatan multimiliar euro dengan Uni Eropa seharusnya mengambil alih pengendalian perbatasan dan secara drastis mengurangi jumlah migran, menghadapi kritik keras atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
    “Orang muda menceritakan kepada saya tentang kekerasan seksual ekstrem, penyiksaan, kerja anak, kehilangan anggota keluarga, dan kasus perdagangan manusia yang melibatkan perempuan,” kenang Esther. “Beberapa dari mereka menunjukkan bukti fisik dari apa yang mereka alami. Beberapa memiliki bekas luka akibat penyiksaan, serta foto dan video yang diambil di kamp-kamp Libya yang menunjukkan mereka diikat dan dipukuli.”

    Lebih dari 3.500 anak hilang atau meninggal

    Anak-anak yang berhasil melarikan diri dari kamp menghadapi bahaya yang lebih besar selama perjalanan.

    Menurut perkiraan UNICEF pada April, sekitar 3.500 anak telah meninggal atau hilang dalam 10 tahun terakhir saat mencoba mencapai Italia melalui rute Mediterania tengah. Ini berarti hampir satu anak meninggal atau hilang setiap hari selama satu dekade penuh.

    Statistik ini membuat SOS Humanity menyerukan penghentian segera kerja sama UE dengan Libya dan Tunisia.

    “Proporsi anak-anak di antara mereka yang melarikan diri sebenarnya meningkat secara stabil selama 10 tahun terakhir. Sekitar seperlima dari semua kedatangan di Italia adalah anak-anak. Dalam penyelamatan kami, rata-ratanya bahkan lebih dari sepertiga,” kata Till Rummenhohl, direktur pelaksana SOS Humanity.

    “Kami baru-baru ini mengevakuasi seluruh kapal yang hanya berisi anak-anak, 120 orang. Mereka adalah anak-anak yang benar-benar panik, bepergian sendirian dan meloncat ke air karena takut terhadap penjaga pantai Libya,” tambahnya.

    Kebijakan Trump potong bantuan USAID berdampak dramatis

    Jumlah anak-anak dan remaja yang semakin banyak menempuh perjalanan berbahaya ke Eropa kemungkinan akan meningkat di masa depan, kata Lanna Idriss, kepala SOS Children’s Villages Worldwide. Penyebabnya: pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump telah membubarkan badan bantuan pembangunan USAID, dengan konsekuensi dramatis.

    Dalam sebuah studi yang diterbitkan musim panas ini, jurnal medis The Lancet menghitung bahwa pemotongan USAID dapat mengakibatkan lebih dari 14 juta kematian global dalam lima tahun ke depan, termasuk hingga 5 juta anak di bawah usia 5 tahun. Jerman juga telah memotong bantuan pembangunan hampir €1 miliar (sekitar Rp19,3 triliun).

    “Kita sedang memasuki siklus buruk yang akan membuat lebih banyak anak-anak menempuh rute ini,” kata Idriss, dengan mengutip Somalia sebagai contoh. “Negara itu 80% bergantung pada USAID. Tahun lalu, kami menjangkau 4,5 juta anak-anak dan remaja di Somalia; tahun ini, hanya 1,3 juta. Mengapa? Karena kamp-kamp yang seharusnya mendukung anak-anak ini kosong sejak musim panas.”

    Vera Magali Keller memimpin firma hukum di Berlin yang berspesialisasi mendukung organisasi kemanusiaan, termasuk yang melakukan penyelamatan di laut.

    Anak-anak dan remaja harus diberikan perlindungan dan evakuasi prioritas selama penyelamatan di laut, kata pengacara itu kepada DW, merujuk pada Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang telah disepakati semua negara anggota PBB.

    “Di beberapa negara Eropa, ada prospek khusus untuk mendapatkan izin tinggal, hak perlindungan, dan hak reunifikasi keluarga. Di Italia, misalnya, hal ini sering berlaku sampai usia dewasa secara hukum. Secara umum, anak-anak dan remaja harus ditempatkan terpisah dari orang dewasa dan diberi perlindungan khusus. Penahanan harus dihindari sejauh mungkin,” kata Keller.

    Pemerintah Jerman memotong dana untuk penyelamatan laut

    SOS Humanity telah mengumumkan rencana untuk mengerahkan kapal penyelamat lain di Mediterania pada 2026. Kapal ini akan beroperasi terutama di lepas pantai Tunisia, mencari kapal migran dan memantau pelanggaran hak asasi manusia.

    Untuk melakukannya, organisasi penyelamatan laut ini akan mengandalkan donasi, karena pemerintah Jerman telah menghentikan dana tahunan €2 juta (sekitar Rp38,6 miliar) untuk penyelamatan laut sipil. Ini menjadi salah satu alasan Keller pesimis tentang masa depan.

    “Mengingat perkembangan politik dan hukum saat ini, saya tidak melihat prospek yang positif. Saya khawatir kriminalisasi dan penindasan terhadap penyelamatan laut sipil akan meningkat di bawah koalisi saat ini. Standar perlindungan dan penerimaan bagi pengungsi di Eropa yang sudah buruk kemungkinan akan terus memburuk,” katanya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga Video: Alasan Pengungsi Perang Thailand-Kamboja Tak Mau Kembali ke Rumah

    (ita/ita)

  • Spanyol Jadi Negara Paling Sehat di Dunia, Ini 7 Kebiasaan Warganya

    Spanyol Jadi Negara Paling Sehat di Dunia, Ini 7 Kebiasaan Warganya

    Jakarta

    Menurut Indeks Kesehatan Global Bloomberg tahun 2024, Spanyol menjadi negara paling sehat nomor satu di dunia. Negeri Matador melampaui Italia, dengan rata-rata harapan hidup 86 tahun.

    Spanyol memang memiliki sistem layanan kesehatan publik yang kuat dan akses ke layanan pencegahan, namun gaya hidup dan pola makan memiliki kontribusi yang setara dalam pencapaian tersebut.

    Lalu, apa ‘rahasia’ masyarakat Spanyol dalam menjaga kesehatan mereka? Berikut jawabannya, dikutip dari Times of India.

    1. Minyak Zaitun di Tiap Masakan

    Masakan Spanyol mengandalkan minyak zaitun extra virgin, salah satu bahan utama diet tradisional Mediterania. Minyak zaitun kaya akan lemak tak jenuh tunggal dan polifenol, senyawa yang terbukti melindungi kesehatan jantung dan mengurangi peradangan.

    Dalam sebuah penelitian, menemukan bahwa peserta yang menjalani diet Mediterania dengan suplemen minyak zaitun extra virgin mengalami penurunan signifikan dalam insidensi kejadian kardiovaskular mayor, penurunan angka mortalitas secara keseluruhan, serta perbaikan profil lipid dan faktor risiko kardiovaskular lainnya.

    2. Hidup Lebih ‘Lambat’

    Sebuah studi yang diterbitkan di ScienceDirect mencatat bahwa budaya yang lebih santai, seperti Spanyol, mengalami tingkat stres yang lebih rendah dan kesejahteraan yang lebih baik secara keseluruhan karena memprioritaskan waktu bersosialisasi dan istirahat daripada produktivitas yang konstan.

    Ritme kehidupan orang Spanyol jauh lebih lambat. Waktu makan tidak terburu-buru, bersifat sosial, dan sering kali disantap bersama. Tradisi siesta (istirahat siang singkat) dan makan siang bersama yang panjang mendorong gaya hidup seimbang yang memungkinkan pemulihan dan mengurangi tingkat stres.

    3. Budaya Tapas

    Budaya tapas di Spanyol adalah gaya makan berupa hidangan porsi kecil dan dinikmati sambil bersosialisasi.

    Menurut penelitian dari Harvard School of Public Health, makan di lingkungan yang santai dan sosial mendorong konsumsi yang penuh kesadaran dan meningkatkan hasil metabolisme. Hal ini nantinya akan berdampak pada pencernaan yang baik.

    4. Spanyol Kaya Akan Vitamin D

    Iklim Spanyol menyediakan vitamin D yang melimpah, yang penting untuk kesehatan tulang, fungsi kekebalan tubuh, dan pengaturan suasana hati. Paparan sinar matahari setiap hari dan aktivitas luar ruangan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup masyarakat di sana.

    5. Saling Terkoneksi

    Koneksi merupakan kebiasaan sehat di Spanyol. Dari pertemuan di lingkungan sekitar hingga pertemuan di kafe, ikatan sosial sangat erat, dan komunitas merupakan elemen penentu budaya Spanyol.

    Sebuah studi kohort besar di Spanyol yang disebut Proyek SUN menemukan bahwa partisipan dengan hubungan sosial yang kuat memiliki risiko depresi dan kematian dini yang jauh lebih rendah.

    6. Merawat Orang Tua

    Menurut The Lancet, isolasi sosial telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian. Sebaliknya, budaya hidup antargenerasi di Spanyol membuat lansia tetap terlibat secara emosional dan aktif secara mental.

    Salah satu studi terlama yang dilakukan oleh Harvard menemukan bahwa hubungan merupakan prediktor terbesar umur panjang.

    7. Ritual Paseo

    Paseo merupakan aktivitas jalan kaki santai di sore hari. Biasanya masyarakat di sana akan mengitari alun-alun atau daerah pesisir.

    erjalan kaki secara teratur dikaitkan dengan banyak manfaat kesehatan. Menurut WHO, bahkan berjalan kaki dengan kecepatan sedang pun dapat mengurangi risiko penyakit jantung, diabetes, dan kematian dini.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Kemenkes Ungkap Masalah Kesehatan Tertinggi dari Hasil CKG”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/naf)