Perusahaan: The Guardian

  • Apple Mendadak Mau Setop Jualan di Negara Ini, Capek Diatur Pemerintah

    Apple Mendadak Mau Setop Jualan di Negara Ini, Capek Diatur Pemerintah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Apple akhirnya bersikap tegas melawan regulasi ‘Digital Markets Act’ (DMA) yang dicanangkan Komisi Eropa dan berlaku untuk perusahaan teknologi yang menjual produknya di kawasan Uni Eropa.

    Bahkan, Apple mengancam akan berheni menjual produk-produknya, termasuk iPhone, ke pasar Eropa yang mencakup 27 negara.

    Apple mengatakan DMA menurunkan pengalaman pengguna dalam menjajal produk-produk buatannya. Selain itu, ada risiko keamanan yang lebih besar bagi pengguna produk Apple jika DMA tetap dicanangkan.

    Sebagai informasi, DMA memberikan beberapa batasan kepada raksasa teknologi dalam menjalankan bisnis demi menghindari praktik monopoli. Salah satunya mewajibkan raksasa teknologi untuk membuka akses ke produk dan layanannya secara terbuka ke perusahaan lain.

    Selama ini, Apple dikenal sebagai perusahaan yang eksklusif dan tertutup dalam membangun ekosistem produk. Terbaru, Apple mengatakan pihaknya menunda peluncuran fitur-fitur seperti live translation di AirPods yang mirroring ke layar iPhone dan laptop.

    Pasalnya, DMA mengharuskan Apple untuk membuka fungsi serupa ke produk-produk non-Apple.

    “DMA menyebabkan banyak fitur yang peluncurannya tertunda di Uni Eropa. Pengalaman pengguna produk Apple di Uni Eropa akan tertinggal jauh,” kata Apple, dikutip dari The Guardian, Senin (29/9/2025).

    Lebih lanjut, Apple mengatakan Brussel telah menciptakan kompetisi yang tak adil, sebab DMA tak berlaku bagi Samsung yang notabene merupakan penyedia smartphone terbesar di Uni Eropa.

    Di antara beberapa syarat DMA, salah satunya mewajibkan Apple untuk membuka akses dukungan dari headphone pihak ketiga untuk terhubung ke iPhone. Apple menilai mekanisme ini akan menciptakan masalah privasi pengguna.

    Apple mengatakan DMA harus dihapus, atau setidaknya diganti dengan aturan yang lebih layak. Apple tak memperinci produk-produk apa saja yang diancam diblokir ke pasar Uni Eropa di masa mendatang.

    Namun, Apple Watch dikatakan menjadi salah satu produk yang tak akan lagi dirilis ke pasar Uni Eropa.

    Ini adalah perselisihan terbaru antara perusahaan yang berbasis di California dan Komisi Eropa. Awal tahun ini, Apple mengajukan banding atas denda €500 juta yang dijatuhkan oleh Uni Eropa karena diduga mencegah pengembang aplikasi mengarahkan pengguna ke penawaran yang lebih murah di luar toko aplikasi Apple.

    Pada Agustus 2025, Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif terhadap negara-negara yang tidak disebutkan namanya sebagai balasan terhadap aturan yang mengikat perusahaan teknologi AS.

    Menurut Apple, DMA tak menciptakan iklim persaingan sehat melalui inovasi. Sebaliknya, DMA dinilai menghancurkan eksistensi perusahaan-perusahaan yang sudah sukses demi kepentingan mereka sendiri, yakni untuk mengumpulkan lebih banyak data dari warga Uni Eropa, atau untuk mendapatkan teknologi Apple secara gratis.

    Apple menyebut aturan dalam undang-undang tersebut memengaruhi cara Apple memberikan akses kepada pengguna ke aplikasi.

    “Aplikasi pornografi bisa tersedia di iPhone dari marketplace lain, padahal aplikasi itu tidak pernah kami izinkan di App Store karena risiko yang ditimbulkannya, terutama bagi anak-anak,” Apple menuturkan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Instagram Tanpa Iklan Segera Meluncur, Begini Syaratnya

    Instagram Tanpa Iklan Segera Meluncur, Begini Syaratnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Meta menyiapkan layanan tanpa iklan untuk dua aplikasi Facebook dan Instagram. Namun layanan itu tidak gratis, alias berbayar.

    Selain itu, baru pengguna di Inggris yang bisa memanfaatkannya. Layanan tanpa iklan itu akan diumumkan selama beberapa minggu ke depan di dalam aplikasi.

    “Dalam beberapa minggu ke depan, kami akan memberi pilihan pada orang-orang di Inggris untuk berhenti melihat iklan di Facebook dan Instagram,” tulis Meta dalam laman About FB, dikutip Senin (29/9/2025).

    Pengguna dengan akun pertama yang berminat akan dikenakan biaya 2,99 poundsterling per bulan untuk web. Sementara aplikasi, baik iOS dan Android, sebesar 3,99 poundsterling/bulan.

    Meta mengklaim data pribadi pengguna tidak akan digunakan untuk menampilkan iklan saat mereka berlangganan.

    Bagi mereka yang tidak ingin berlangganan, tetap akan melihat iklan dalam dua aplikasi tersebut. Termasuk menggunakan semua alat dan pengaturan untuk mengontrol iklan.

    Salah satunya Preferensi Iklan untuk pengguna mengatur iklan apa yang bisa dilihat, dan data yang digunakan dalam iklan seperti Informasi Aktivitas dari Mitra Iklan.

    Selain itu juga ada penjelasan mengenai mengapa pengguna melihat suatu iklan dan cara mengelola pengalaman beriklan. Meta mengklaim tidak menjual data pribadi pada pengiklan.

    Meta beralasan layanan itu hadir sebagai respon dari permintaan dari ICO atau Kantor Komisioner Informasi Inggris. Lembaga itu membuat panduan pada regulasi terbarunya, yang menurut Perusahaan memberikan opsi jelas pada masyarakat Inggris apakah data akan digunakan untuk iklan yang dipersonalisasi.

    Mengutip The Guardian, ICO menyambut baik langkah Meta. Juru bicara menyebut dengan perubahan ini membuat raksasa teknologi tak lagi menargetkan iklan pengguna dalam syarat meggunakan layanannya.

    “Ini membuat Meta tidak lagi menargetkan pengguna dengan iklan pada bagian dari syarat dan ketentuan standar menggunakan layanan Facebook dan Instagram, yang menurut kami tidak sejalan dengan hukum Inggris,” kata juru bicara ICO.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Microsoft Putus Akses Layanan Cloud Militer Israel, Ini Alasannya

    Microsoft Putus Akses Layanan Cloud Militer Israel, Ini Alasannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), Microsoft, memutus akses layanan teknologi komputasi awan atau cloud Azure terhadap militer Israel.

    Keputusan itu diambil setelah Unit 8200 atau badan mata-mata elit militer, kedapatan melanggar ketentuan layanan perusahaan dengan menyimpan sejumlah besar data pengawasan masyarakat sipil Palestina di platform cloud Azure.

    Berdasarkan laporan The Guardian, Unit 8200 mengumpulkan jutaan panggilan telepon warga sipil Palestina yang dilakukan setiap hari di Gaza dan Tepi Barat, serta melakukan pengawasan ketat terhadap data yang dikumpulkan itu.

    Keputusan untuk menghentikan layanan terhadap Unit 8200 dalam menggunakan beberapa teknologi Microsoft merupakan hasil respons langsung perusahaan terhadap investigasi yang dipublikasikan oleh The Guardian bulan lalu.

    “Investigasi tersebut mengungkap bagaimana Azure digunakan untuk menyimpan dan memproses data komunikasi Palestina dalam program pengawasan massal,” dikutip dari laporan The Guardian, Sabtu (27/9/2025).

    Guardian mengungkapkan bagaimana Microsoft dan Unit 8200 sebetulnya telah bekerja sama dalam rencana untuk memindahkan sejumlah besar materi intelijen sensitif ke Azure.

    Proyek ini dimulai setelah pertemuan pada tahun 2021 antara kepala eksekutif Microsoft, Satya Nadella, dan komandan Unit 8200 saat itu, Yossi Sariel.

    Menanggapi investigasi tersebut, Microsoft memerintahkan penyelidikan eksternal yang mendesak untuk meninjau hubungannya dengan Unit 8200. Temuan awal tersebut kini telah mendorong perusahaan untuk membatalkan akses unit tersebut ke beberapa layanan penyimpanan cloud dan AI miliknya.

    Dilengkapi dengan kapasitas penyimpanan dan daya komputasi Azure yang hampir tak terbatas, Unit 8200 telah membangun sistem baru tanpa pandang bulu yang memungkinkan petugas intelijennya mengumpulkan, memutar ulang, dan menganalisis konten panggilan seluler seluruh populasi.

    Unit 8200 dilaporkan mampu mengumpulkan data satu juta panggilan per jam. Penyimpanan data panggilan yang disadap dalam jumlahnya mencapai 8.000 terabyte disimpan di pusat data Microsoft di Belanda.

    Beberapa hari setelah Guardian menerbitkan investigasi tersebut, Unit 8200 dilaporkan dengan cepat memindahkan data pengawasan tersebut ke luar kawasan Uni Eropa.

    Transfer data besar-besaran itu terjadi pada awal Agustus. Sumber intelijen mengatakan Unit 8200 berencana mentransfer data tersebut ke platform cloud Amazon Web Services. Baik Pasukan Pertahanan Israel (IDF) maupun Amazon tidak menanggapi permintaan komentar.

    Keputusan Microsoft untuk mengakhiri akses badan mata-mata tersebut ke teknologi utama dibuat di tengah tekanan dari karyawan dan investor terhadap kerja sama perusahaan dengan militer Israel dan peran teknologinya dalam serangan hampir dua tahun di Gaza.

    Komisi penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Israel tetapi didukung oleh banyak ahli hukum internasional.

    Investigasi gabungan The Guardian memicu protes di kantor pusat Microsoft di AS dan salah satu pusat datanya di Eropa, serta tuntutan oleh kelompok kampanye yang dipimpin pekerja bernama No Azure for Apartheid untuk mengakhiri semua hubungan dengan militer Israel.

    Pada hari Kamis lalu, wakil ketua dan presiden Microsoft, Brad Smith, memberi tahu staf tentang keputusan tersebut. Dalam surel yang dilihat oleh Guardian, ia mengatakan perusahaan telah “menghentikan dan menonaktifkan serangkaian layanan untuk sebuah unit di Kementerian Pertahanan Israel”, termasuk layanan penyimpanan cloud dan AI.

    Smith menulis: “Kami tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil. Kami telah menerapkan prinsip ini di setiap negara di dunia, dan kami telah berulang kali menekankannya selama lebih dari dua dekade.”

    Keputusan ini mengakhiri secara tiba-tiba periode tiga tahun kerja badan mata-mata tersebut dengan Microsoft dalam mengoperasikan program pengawasannya menggunakan teknologi perusahaan teknologi raksasa asal AS itu.

    Menurut sebuah dokumen yang dilihat oleh Guardian, seorang eksekutif senior Microsoft mengatakan kepada Kementerian Pertahanan Israel akhir pekan lalu: “Meskipun peninjauan kami masih berlangsung, pada titik ini kami telah mengidentifikasi bukti yang mendukung unsur-unsur pelaporan Guardian.”

    Pihak eksekutif mengatakan kepada pejabat Israel bahwa Microsoft “tidak bergerak di bidang bisnis yang memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil” dan memberi tahu mereka bahwa mereka akan “menonaktifkan” akses ke layanan yang mendukung proyek pengawasan Unit 8200 dan menangguhkan penggunaan beberapa produk AI.

    Penghentian ini merupakan kasus pertama perusahaan teknologi AS menarik layanan yang diberikan kepada militer Israel sejak dimulainya perang di Gaza.

    Keputusan ini tidak memengaruhi hubungan komersial Microsoft yang lebih luas dengan IDF, yang merupakan klien lama dan akan tetap memiliki akses ke layanan lainnya. Penghentian ini sebatas menimbulkan pertanyaan di Israel tentang kebijakan penyimpanan data militer sensitif di cloud pihak ketiga yang di hosting di luar negeri.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Microsoft Putus Akses Layanan Cloud Militer Israel, Ini Alasannya

    Microsoft Putus Akses Layanan Cloud Militer Israel, Ini Alasannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), Microsoft, memutus akses layanan teknologi komputasi awan atau cloud Azure terhadap militer Israel.

    Keputusan itu diambil setelah Unit 8200 atau badan mata-mata elit militer, kedapatan melanggar ketentuan layanan perusahaan dengan menyimpan sejumlah besar data pengawasan masyarakat sipil Palestina di platform cloud Azure.

    Berdasarkan laporan The Guardian, Unit 8200 mengumpulkan jutaan panggilan telepon warga sipil Palestina yang dilakukan setiap hari di Gaza dan Tepi Barat, serta melakukan pengawasan ketat terhadap data yang dikumpulkan itu.

    Keputusan untuk menghentikan layanan terhadap Unit 8200 dalam menggunakan beberapa teknologi Microsoft merupakan hasil respons langsung perusahaan terhadap investigasi yang dipublikasikan oleh The Guardian bulan lalu.

    “Investigasi tersebut mengungkap bagaimana Azure digunakan untuk menyimpan dan memproses data komunikasi Palestina dalam program pengawasan massal,” dikutip dari laporan The Guardian, Sabtu (27/9/2025).

    Guardian mengungkapkan bagaimana Microsoft dan Unit 8200 sebetulnya telah bekerja sama dalam rencana untuk memindahkan sejumlah besar materi intelijen sensitif ke Azure.

    Proyek ini dimulai setelah pertemuan pada tahun 2021 antara kepala eksekutif Microsoft, Satya Nadella, dan komandan Unit 8200 saat itu, Yossi Sariel.

    Menanggapi investigasi tersebut, Microsoft memerintahkan penyelidikan eksternal yang mendesak untuk meninjau hubungannya dengan Unit 8200. Temuan awal tersebut kini telah mendorong perusahaan untuk membatalkan akses unit tersebut ke beberapa layanan penyimpanan cloud dan AI miliknya.

    Dilengkapi dengan kapasitas penyimpanan dan daya komputasi Azure yang hampir tak terbatas, Unit 8200 telah membangun sistem baru tanpa pandang bulu yang memungkinkan petugas intelijennya mengumpulkan, memutar ulang, dan menganalisis konten panggilan seluler seluruh populasi.

    Unit 8200 dilaporkan mampu mengumpulkan data satu juta panggilan per jam. Penyimpanan data panggilan yang disadap dalam jumlahnya mencapai 8.000 terabyte disimpan di pusat data Microsoft di Belanda.

    Beberapa hari setelah Guardian menerbitkan investigasi tersebut, Unit 8200 dilaporkan dengan cepat memindahkan data pengawasan tersebut ke luar kawasan Uni Eropa.

    Transfer data besar-besaran itu terjadi pada awal Agustus. Sumber intelijen mengatakan Unit 8200 berencana mentransfer data tersebut ke platform cloud Amazon Web Services. Baik Pasukan Pertahanan Israel (IDF) maupun Amazon tidak menanggapi permintaan komentar.

    Keputusan Microsoft untuk mengakhiri akses badan mata-mata tersebut ke teknologi utama dibuat di tengah tekanan dari karyawan dan investor terhadap kerja sama perusahaan dengan militer Israel dan peran teknologinya dalam serangan hampir dua tahun di Gaza.

    Komisi penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Israel tetapi didukung oleh banyak ahli hukum internasional.

    Investigasi gabungan The Guardian memicu protes di kantor pusat Microsoft di AS dan salah satu pusat datanya di Eropa, serta tuntutan oleh kelompok kampanye yang dipimpin pekerja bernama No Azure for Apartheid untuk mengakhiri semua hubungan dengan militer Israel.

    Pada hari Kamis lalu, wakil ketua dan presiden Microsoft, Brad Smith, memberi tahu staf tentang keputusan tersebut. Dalam surel yang dilihat oleh Guardian, ia mengatakan perusahaan telah “menghentikan dan menonaktifkan serangkaian layanan untuk sebuah unit di Kementerian Pertahanan Israel”, termasuk layanan penyimpanan cloud dan AI.

    Smith menulis: “Kami tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil. Kami telah menerapkan prinsip ini di setiap negara di dunia, dan kami telah berulang kali menekankannya selama lebih dari dua dekade.”

    Keputusan ini mengakhiri secara tiba-tiba periode tiga tahun kerja badan mata-mata tersebut dengan Microsoft dalam mengoperasikan program pengawasannya menggunakan teknologi perusahaan teknologi raksasa asal AS itu.

    Menurut sebuah dokumen yang dilihat oleh Guardian, seorang eksekutif senior Microsoft mengatakan kepada Kementerian Pertahanan Israel akhir pekan lalu: “Meskipun peninjauan kami masih berlangsung, pada titik ini kami telah mengidentifikasi bukti yang mendukung unsur-unsur pelaporan Guardian.”

    Pihak eksekutif mengatakan kepada pejabat Israel bahwa Microsoft “tidak bergerak di bidang bisnis yang memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil” dan memberi tahu mereka bahwa mereka akan “menonaktifkan” akses ke layanan yang mendukung proyek pengawasan Unit 8200 dan menangguhkan penggunaan beberapa produk AI.

    Penghentian ini merupakan kasus pertama perusahaan teknologi AS menarik layanan yang diberikan kepada militer Israel sejak dimulainya perang di Gaza.

    Keputusan ini tidak memengaruhi hubungan komersial Microsoft yang lebih luas dengan IDF, yang merupakan klien lama dan akan tetap memiliki akses ke layanan lainnya. Penghentian ini sebatas menimbulkan pertanyaan di Israel tentang kebijakan penyimpanan data militer sensitif di cloud pihak ketiga yang di hosting di luar negeri.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pidato Netanyahu di PBB Disiarkan via Pengeras Suara ke Gaza, Untuk Apa?

    Pidato Netanyahu di PBB Disiarkan via Pengeras Suara ke Gaza, Untuk Apa?

    Gaza City

    Sistem pengeras suara militer Israel telah menyiarkan pidato Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dalam forum Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke wilayah Jalur Gaza. Operasi yang belum pernah terjadi sebelumnya ini langsung memicu kontroversi dan kemarahan.

    Juru bicara pemerintah Israel, seperti dilansir The Guardian, Sabtu (27/9/2025), menyebut penggunaan pengeras suara untuk menyiarkan pidato Netanyahu di Sidang Umum PBB itu sebagai “bagian dari upaya diplomasi publik”.

    “Sebagai bagian dari upaya diplomasi publik, kantor Perdana Menteri telah memerintahkan unsur-unsur sipil, bekerja sama dengan Angkatan Bersenjata Israel, untuk memasang pengeras suara di belakang truk-truk di sisi wilayah Israel di perbatasan Gaza sehingga pidato bersejarah Perdana Menteri Netanyahu di Majelis Umum PBB dapat didengar di Jalur Gaza,” demikian pernyataan juru bicara pemerintah Israel.

    Selain sistem pengeras suara, kantor Netanyahu menyebut bahwa militer Israel telah mengambil alih telepon-telepon warga Gaza dan sejumlah anggota Hamas untuk menyiarkan pidato tersebut. Namun tidak ada bukti dari dalam wilayah Jalur Gaza bahwa hal ini benar-benar terjadi.

    “Perdana Menteri telah mengimbau para penduduk Gaza dan menegaskan bahwa perang dapat segera berakhir setelah para sandera dipulangkan, Hamas dilucuti senjatanya, dan Jalur Gaza mengalami demiliterisasi … (dan) menekankan bahwa siapa pun yang melakukannya akan hidup, sementara yang tidak, akan diburu,” sebut pemerintah Israel dalam pernyataannya.

    Laporan media lokal Israel, yang mengutip pernyataan para perwira militer Israel, menyebut sejumlah tentara diperintahkan sejak Kamis (25/9) malam untuk memasang pengeras suara di dalam Jalur Gaza dan di area perbatasan. Pada Jumat (26/9) pagi, sejumlah tentara Israel di wilayah Jalur Gaza dikerahkan untuk melindungi pengeras suara tersebut.

    Surat kabar The Times of Israel, dengan mengutip juru bicara militer, melaporkan bahwa kampanye siaran itu bertujuan untuk membantu memulangkan 50 sandera yang masih ditahan oleh Hamas di Jalur Gaza.

    Pengeras suara dipasang pada salah satu truk yang diparkir di dekat perbatasan Israel-Gaza pada Jumat (26/9) waktu setempat Foto: Rami Amichay/Reuters

    Pidato Netanyahu yang disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada Jumat (26/9) waktu AS berlangsung pada pukul 16.00 sore di Palestina dan Israel. Dalam pidatonya, dia mengkritik negara-negara Barat karena mengakui negara Palestina dan berjanji akan melanjutkan serangan Israel terhadap Jalur Gaza.

    Netanyahu juga sempat membahas soal penggunaan pengeras suara di Jalur Gaza untuk menyiarkan pidatonya di PBB. Dia mengatakan dirinya ingin berbicara dalam bahasa Ibrani kepada para sandera yang masih ditahan Hamas di Jalur Gaza.

    “Kini, hadirin sekalian, saya ingin melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya — saya ingin berbicara langsung dari forum ini kepada para sandera melalui pengeras suara. Saya telah mengelilingi Gaza dengan pengeras suara yang besar yang terhubung dengan mikrofon ini dengan harapan para sandera terkasih kita akan mendengar pesan saya,” ucapnya

    “Para pahlawan pemberani kita — Ini Perdana Menteri Netanyahu, berbicara langsung kepada Anda dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami tidak melupakan Anda. Bahkan sedetik pun. Rakyat Israel bersama Anda. Kami tidak akan goyah, dan kami tidak akan beristirahat, hingga kami membawa Anda semua pulang,” kata Netanyahu dalam bahasa Ibrani dalam pidatonya, seperti dilansir The Times of Israel.

    Penggunaan Pengeras Suara Siarkan Pidato Netanyahu Tuai Kritikan

    Pemasangan pengeras suara oleh personel militer Israel baik di dalam Jalur Gaza maupun di area perbatasan itu menuai kritikan. Sejumlah sumber militer Israel, seperti dikutip Channel 12 dan dilansir Anadolu Agency, menyebut langkah semacam itu “dapat menimbulkan risiko operasional bagi para tentara, yang harus meninggalkan posisi pertahanan untuk memasang pengeras suara”.

    “Ini ide gila, tidak ada yang mengerti apa manfaat militernya,” kritik seorang perwira senior militer Israel, seperti dikutip harian Haaretz.

    Seorang sumber Israel lainnya mengatakan kepada Haaretz bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari “perang psikologis”.

    Lihat juga Video: Pakai ‘Sound Horeg’, Pidato Netanyahu di PBB Disiarkan ke Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Amerika Blokir Israel, Aktivitas Gelap Incar Warga Palestina Terungkap

    Amerika Blokir Israel, Aktivitas Gelap Incar Warga Palestina Terungkap

    Jakarta, CNBC Indonesia – Raksasa teknologi Amerika Serikat (AS) Microsoft mengungkapkan telah menyetop sejumlah layanan pada Kementerian Pertahanan Israel. Pengumuman itu terjadi setelah laporan mengenai penyimpanan panggilan telepon masyarakat Palestina menyebar ke publik.

    Laporan The Guardian pada Agustus lalu mengatakan Unit 8200 Pasukan Pertahanan Israel membangun sistem untuk melakukan pelacakan telepon. Presiden dan wakil ketua Microsoft Brad Smith mengungkapkan pihaknya menemukan bukti dari sejumlah elemen laporan tersebut.

    “Sementara peninjauan masih berlangung, kami menemukan bukti yang mendukung beberapa elemen laporan The Guardian,” jelasnya dalam surat kepada karyawan perusahaan, dikutip CNBC Internasional, Jumat (26/9/2025).

    “Bukti mencakup informasi soal konsumsi IMOD atas kapasitan penyimpanan Azure di Belanda dan penggunaan layanan AI,” dia menambahkan.

    Smith mengatakan Microsoft telah menonaktifkan layanan penyimpanan berbasis cloud dan langganan kecerdasan buatan untuk Kementerian Pertahanan Israel.

    Tidak ada data pelanggan pada jenis tinjauan yang dilakukan, ungkapnya. Tak lupa, Smith juga berterima kasih kepada The Guardian atas laporannya.

    Menurutnya, Microsoft punya kepentingan bersama untuk melindungi privasi. Termasuk memastikan pelanggan bisa mengandalkan layanan dengan kepercayaan yang kuat.

    “Sebagai karyawan, kita semua punya kepentingan bersama dalam perlindungan privasi, mengingat nilai bisnis yang diciptakannya untuk memastikan pelanggan kami bisa mengandalkan layanan dengan kepercayaan yang kuat,” ucap Smith.

    The Guardian juga telah melaporkan Unit 8200 akan memindahkan pasokan panggilan teleponnya ke raksasa layanan cloud dunia Amazon Web Services. Namun pihak perusahaan belum berkomentar soal laporan tersebut.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Microsoft Blokir Layanan Cloud dan AI untuk Militer Israel

    Microsoft Blokir Layanan Cloud dan AI untuk Militer Israel

    Jakarta

    Microsoft memblokir akses militer Israel ke layanan cloud dan AI yang dipakai untuk memata-matai warga sipil Palestina. Microsoft mengatakan salah satu unit militer Israel telah melanggar ketentuan layanannya.

    Pemutusan ini diumumkan oleh Vice Chair dan President Microsoft Brad Smith dalam memo internal kepada karyawan. Keputusan ini diambil setelah laporan dari The Guardian bulan lalu yang menemukan pemerintah Israel menyimpan rekaman dan data panggilan telepon yang dilakukan warga Palestina di fasilitas cloud Azure.

    “Sementara peninjauan kami masih berlangsung, kami menemukan bukti yang mendukung elemen laporan The Guardian,” kata Smith, seperti dikutip dari The Verge, Jumat (26/9/2025).

    “Oleh karena itu, kami memberi tahu Kementerian Pertahanan Israel (IMOD) tentang keputusan Microsoft untuk menguntukkan dan menonaktifkan langganan IMOD tertentu dan layanan mereka, termasuk penggunaan penyimpanan cloud serta layanan dan teknologi AI tertentu,” sambungnya.

    Pemblokiran ini berlaku untuk seperangkat layanan yang digunakan oleh salah satu unit di dalam militer Israel, dan Smith menekankan bahwa Microsoft tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal warga sipil.

    Keputusan ini tidak mempengaruhi kontrak Microsoft lainnya dengan pemerintah Israel, dan Smith mengatakan hal ini tidak akan menghentikan pekerjaan Microsoft untuk melindungi keamanan siber Israel dan negara-negara lain di Timur Tengah.

    Microsoft mengambil keputusan ini setelah melakukan penyelidikan eksternal untuk meninjau penggunaan platform cloud Azure oleh unit mata-mata Israel. Keputusan ini juga muncul di tengah tekanan dari karyawan dan investor agar raksasa teknologi itu meninjau ulang hubungannya dengan Israel terkait serangan militer di Gaza.

    Pemblokiran ini disambut positif oleh kelompok aktivis ‘No Azure for Apartheid’ yang memprotes hubungan Microsoft dan Israel dalam setahun terakhir. Namun menurut mereka pemblokiran ini tidak cukup karena Microsoft hanya memutus sebagian kecil layanan untuk satu unit di dalam militer Israel.

    “Sebagian besar kontrak Microsoft dengan militer Israel tetap utuh. Keputusan hari ini justru semakin memotivasi kami untuk terus berorganisir sampai semua tuntutan kami dipenuhi, dan hingga Palestina merdeka,” ujar Hossam Nasr, salah satu anggota kelompok No Azure for Apartheid.

    Kerjasama ini dilaporkan dimulai pada tahun 2021, ketika CEO Microsoft Satya Nadella diduga menyetujui upaya penyimpanan data telepon warga Palestina secara pribadi setelah bertemu dengan komandan dari korps pengawasan militer elit Israel, Unit 8200.

    Nadella dilaporkan memberikan Israel area khusus dan terpisah dalam platform Azure untuk menyimpan panggilan telepon ini, tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari warga Palestina.

    The Guardian melaporkan militer Israel sudah memindahkan sekitar 8TB data dari Azure, tidak lama setelah Microsoft memulai penyelidikannya. Data itu rencananya akan dipindahkan ke platform cloud Amazon Web Services.

    (vmp/rns)

  • Microsoft Putus Akses Layanan untuk Militer Israel, Ini Alasannya

    Microsoft Putus Akses Layanan untuk Militer Israel, Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Microsoft memutus akses Kementerian Pertahanan Israel ke sejumlah layanan teknologi dan cloud setelah investigasi internal menemukan dugaan penyalahgunaan untuk menyimpan data hasil penyadapan panggilan warga Palestina.

    Dalam pernyataannya pada Kamis (25/9/2025) perusahaan teknologi asal AS itu mengumumkan telah menghentikan dan menonaktifkan beberapa langganan layanan, termasuk penyimpanan cloud Azure dan layanan kecerdasan buatan (AI).

    “Kami tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil,” tulis Wakil Ketua sekaligus Presiden Microsoft, Brad Smith dikutip dari laman TechCrunch pada Jumat (26/9/2025).

    Dia menegaskan prinsip tersebut telah menjadi kebijakan perusahaan selama lebih dari dua dekade di berbagai negara. Keputusan ini menyusul investigasi yang dimulai pada Agustus lalu, setelah The Guardian melaporkan Unit 8200 yang merupakan satuan intelijen militer elite Israel memanfaatkan layanan Azure untuk menyimpan data hasil penyadapan komunikasi warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.

    Smith juga mengapresiasi laporan awal The Guardian, karena tanpa laporan tersebut Microsoft tidak akan mengetahui adanya dugaan pelanggaran, mengingat perusahaan tidak memiliki akses ke konten pelanggan demi menjaga privasi.

    “Sebagai karyawan, kami semua punya kepentingan bersama dalam melindungi privasi. Itu penting untuk memastikan pelanggan dapat mempercayai layanan kami,” tulis Smith.

    Meski sudah mengambil langkah penghentian layanan, Microsoft menyatakan peninjauan internal masih berlangsung. Langkah Microsoft ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan dari karyawan dan publik atas hubungan perusahaan dengan Israel. 

    Pada April lalu, aksi protes menandai perayaan ulang tahun ke-50 Microsoft, sementara pada Agustus sejumlah pegawai menggelar aksi duduk di kantor Smith hingga menyebabkan gedung terkunci. Beberapa karyawan juga dilaporkan dipecat akibat aktivisme mereka yang menentang kontrak perusahaan dengan Israel.

  • FIFA Bantah Usulan Piala Dunia 2030 Diikuti 64 Tim

    FIFA Bantah Usulan Piala Dunia 2030 Diikuti 64 Tim

    JAKARTA – Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) membantah rumor soal penambahan jumlah peserta Piala Dunia 2030. Sebelumnya, memang beredar rumor bahwa pada 2030, Piala Dunia akan menampilkan 64 tim.

    Piala Dunia 2030 dijadwalkan berlangsung di Spanyol, Portugal, Maroko, serta sebagian pertandingan di Amerika Selatan. Namun, untuk jumlah tim peserta, masih akan sama seperti pada edisi 2026, yaitu menggunakan format 48 tim.

    Dikutip dari The Guardian, soal rumor jumlah tim yang bertambah menjadi 64 hal ini ternyata tidak mendapat dukungan dari Dewan FIFA.

    “Gianni (Infantino) tidak akan bisa meloloskan usulan itu (penambahan peserta) di Dewan sekalipun dia menginginkannya.”

    “Mayoritas pandangan di meja–dan bukan hanya dari Eropa–bahwa 64 tim akan merusak Piala Dunia. Akan ada terlalu banyak laga yang tidak kompetitif dan berisiko merusak model bisnis,” demikian laporan The Guardian dikutip Kamis, 25 September 2025.

    Sebelumnya, rumor penambahan jumlah tim peserta ini muncul usai pertemuan di Trump Tower yang menyebut FIFA tengah mempertimbangkan menambah peserta menjadi 64 tim.

    Konsekuensinya, bertambah jumlah grup dari 12 menjadi 16 serta lebih banyak laga yang nantinya akan digelar di Argentina, Paraguay, dan Uruguay.

    Saat ini terdapat 211 tim nasional yang diakui FIFA. Dengan format 64 tim, sekitar 30 persen dari total anggota akan ikut serta dalam Piala Dunia.

    Namun, hal itu sepertinya hanya akan membuat jalannya turnamen tak kondusif sehingga bantahan pun diutarakan FIFA.

  • Awas Perang, Negara NATO Serukan Eropa Siap Lawan Rusia

    Awas Perang, Negara NATO Serukan Eropa Siap Lawan Rusia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Negara-negara Eropa Barat harus siap melawan Rusia jika mereka menawarkan jaminan keamanan kepada Kyiv sebagai bagian dari potensi penyelesaian konflik Ukraina. Hal ini ditegaskan kata Presiden negara NATO, Finlandia Alexander Stubb.

    Dalam wawancara dengan The Guardian yang dirilis akhir pekan kemarin, Stubb menekankan bahwa jika Barat memutuskan untuk memberikan jaminan apa pun kepada Kyiv, mereka harus tetap berpegang pada sebuah gagasan. Bahwa “jaminan keamanan pada dasarnya merupakan pencegah”.

    Ketika ditanya apakah jaminan tersebut berarti negara-negara Eropa mengatakan mereka siap untuk terlibat secara militer dengan Rusia jika terjadi serangan terhadap Ukraina, Stubb pun menjawab “itulah definisi dari jaminan keamanan”. Ia menambahkan bahwa jaminan tersebut tidak akan berarti apa-apa tanpa kekuatan nyata di belakangnya.

    Ia pun mengatakan bahwa Rusia seharusnya tidak memiliki suara dalam masalah ini. Jadi, tegas dia, bukan masalah apakah Rusia akan setuju dengan jaminan yang diberikan kepada Ukraina atau tidak.

    “Tentu saja mereka tidak akan setuju, tetapi bukan itu intinya,” tambahnya.

    Perdebatan tentang potensi jaminan keamanan untuk Ukraina telah berlangsung selama berbulan-bulan. Awal bulan ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan bahwa 26 negara berjanji untuk membentuk “pasukan penenang” baik di darat, laut, dan udara, yang akan dikerahkan ke Ukraina hanya setelah kesepakatan damai atau gencatan senjata tercapai. Macron mengklaim bahwa ‘pasukan’ tersebut tidak akan dirancang untuk berperang melawan Rusia.

    Namun, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengesampingkan kemungkinan pengerahan pasukan darat AS ke Ukraina.

    Sementara itu, Rusia mengatakan pada prinsipnya tidak menentang jaminan keamanan Barat untuk Kyiv. Tetapi Moskow bersikeras bahwa jaminan tersebut harus mempertimbangkan kepentingan Rusia dan tidak boleh ditujukan untuk membendung Rusia.

    Para pejabat Rusia juga telah memperingatkan agar tidak mengerahkan pasukan NATO ke Ukraina dengan dalih apa pun. Alasannya pergerakan blok tersebut menuju perbatasan Rusia merupakan salah satu alasan utama konflik tersebut.

    Moskow juga telah memperingatkan bahwa setiap personel militer asing tanpa izin yang ditempatkan di Ukraina akan dianggap sebagai “target yang sah”.

    Finlandia resmi menjadi anggota NATO ke-31 pada April 2023. Hal tersebut menjadi perubahan strategis bersejarah yang dipicu oleh perang Rusia di Ukraina.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]