Perusahaan: PT Bank Central Asia Tbk

  • Pemangkasan Bunga BI jadi 5,75% Longgarkan Likuiditas Bank

    Pemangkasan Bunga BI jadi 5,75% Longgarkan Likuiditas Bank

    Jakarta, FORTUNE – Pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) pada awal tahun ini menjadi 5,75 persen disambut baik oleh para Perbankan. Sejumlah bank nasional berharap bahwa longgarnya kebijakan bunga acuan turut semakin melonggarkan likuiditas bank nasional. 

    “Secara gradual, penurunan suku bunga acuan akan meningkatkan likuiditas dan mendorong penurunan suku bunga kredit, yang diharapkan dapat memperkuat permintaan kredit di berbagai sektor,” kata Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara kepada Fortune Indonesia di Jakarta, Kamis (16/1). 

    Penurunan bunga acuan akan pacu DPK & kredit

    Ilustrasi Menara BCA/Dok BCA

    Di sisi lain, lanjut Ashidiq, peningkatan likuiditas di pasar juga berpotensi mendorong pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan berkontribusi pada pengurangan biaya dana atau cost of fund. “Sehingga memperkuat posisi Bank Mandiri dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Ashidiq. 

    Sementara itu, perbankan lainnya seperti BCA juga berharap kebijakan ini dapat menstimulasi permintaan kredit dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 

    “Pada prinsipnya, BCA akan sejalan dengan kebijakan suku bunga acuan BI. Selain suku bunga acuan, BCA juga mencermati parameter lainnya dalam menentukan kebijakan suku bunga kredit,” kata EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn. 

    Ia menyebut, parameter pemacu kredit tersebut antara lain indikator makroekonomi, kondisi likuiditas sektor perbankan, termasuk situasi pasar yang menyangkut aspek permintaan dan penawaran yang ada. 

    “Terkait cost of fund, berkat pendanaan BCA yang didukung dana giro dan tabungan (CASA), BCA optimistis mampu menjaga cost of fund secara keseluruhan,” kata Hera. 

    Ia menjelaskan, CASA secara bank only berkontribusi sekitar 82 persen dari total DPK atau tumbuh 5,6 persen mencapai Rp915 triliun per November 2024. Secara keseluruhan, total Dana Pihak Ketiga (DPK) secara bank only naik 3,5 persen mencapai Rp1.109 triliun per November 2024. 

    BI diramal masih akan turunkan bunga acuan

    Gedung HSBC. (Unsplash/Joshua Lawrence)

    Sementara itu, Chief Economist, India and Indonesia, HSBC Global Research, Pranjul Bhandari mengaku cukup kaget terkait keputusan bank sentral Indonesia. Menurutnya langkah mengejutkan ini untuk stabilisasi nilai tukar rupiah dan memacu pertumbuhan ekonomi. 

    Meski demikian, Pranjul memprediksi suku bunga acuan BI masih akan turun kembali di tahun ini. “Kami memperkirakan dua pemangkasan suku bunga 25 bps lagi di 2Q 2025, menjadikan suku bunga kebijakan menjadi 5,25 persen,” kata Pranjul. 

    Sementara itu, BI juga sedikit menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB RI 2025 dari 4,8-5,6 persen menjadi 4,7-5,5 persen dengan menyebutkan tren ekspor, konsumsi, dan investasi swasta yang lemah.

  • Pemilik Hotel Aruss Tersangka Judi Online, Polri Sita Rp 103,27 Miliar

    Pemilik Hotel Aruss Tersangka Judi Online, Polri Sita Rp 103,27 Miliar

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri menetapkan PT AJP dan seorang individu berinisial FH sebagai tersangka dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang berasal dari judi online. Penyidik juga berhasil menyita uang senilai Rp 103,27 miliar yang tersebar di 15 rekening bank.

    PT AJP, perusahaan properti yang mengelola Hotel Aruss di Semarang, diduga menerima aliran dana hasil judi online melalui rekening FH, yang juga menjabat sebagai komisaris perusahaan tersebut. Dana tersebut berasal dari rekening penampungan hasil judi online yang dikelola oleh platform Dafabet, Agen 138, dan judi bola.

    “PTAJP digunakan untuk menampung uang hasil judi online, yang kemudian dialihkan menjadi investasi pembangunan dan pengelolaan HotelAruss. Modus ini bertujuan menyamarkan asal-usul uang agar terlihat berasal dari sumber yang sah,” jelas Dirtipideksus Bareskrim Polri Helfi Assegaf

    Selama periode 2020-2022, PT AJP menerima dana sekitar Rp 40,56 miliar dari lima rekening penampungan. Uang tersebut digunakan untuk membangun hotel dan menjalankan operasionalnya, sementara keuntungan dari hotel itu kembali mengalir ke rekening PT AJP dan FH.

    FH dan PT AJP dikenakan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU serta KUHP. FH terancam hukuman 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar. Sementara itu, PT AJP sebagai korporasi menghadapi ancaman denda hingga Rp 100 miliar.

    Dalam proses penyidikan, Polri menyita uang senilai Rp 103,27 miliar dari 15 rekening milik FH dan PT AJP di Bank BCA. Penyidik menemukan aliran dana dari rekening penampungan judi online yang dikelola oleh individu berinisial OR, RF, MG, dan KB.

    “Kasus ini menjadi atensi khusus Presiden Prabowo, yang sangat serius dalam upaya pemberantasan perjudian online dan tindak pidana pencucian uang. Penetapan tersangka terhadap PT AJP dan FH dilakukan setelah penyidik mendapatkan dua alat bukti yang sah,” ujar Brigjen Helfi Assegaf.

    (dem/dem)

  • Bank Indonesia Pangkas BI Rate Demi Dorong Konsumsi, Bakal Ampuh?

    Bank Indonesia Pangkas BI Rate Demi Dorong Konsumsi, Bakal Ampuh?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelemahan konsumsi khususnya dari kelompok masyarakat kelas menengah menjadi salah satu alasan Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan menjadi 5,75% pada Januari 2025. Akankah kebijakan tersebut ampuh dorong daya beli?

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual melihat pemangkasan tersebut di luar ekspektasi seluruh ekonom yang tergabung dalam konsensus Bloomberg—yang seluruhnya sepakat BI akan menahan BI Rate di 6%.

    David memandang kebijakan tersebut tidak akan berpengaruhi banyak terhadap daya beli masyarakat.

    “Dari kebijakan moneter mungkin terbatas [efeknya]. Tetapi mungkin dari pemerintah bisa terus dorong memberikan iklim investasi yang kondusif di sektor riil,” ujarnya, Rabu (15/1/2025).

    David menyampaikan memang dari segi inflasi sangat terkendali sehingga masih ada ruang untuk menstimulasi pertumbuhan via kebijakan moneter, yakni pemangkasan suku bunga.

    Meski demikian, likuiditas relatif ketat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih cukup tertekan. Untuk itu, BI mencoba menarik rupiah melalui instrumen Sekuritas Rupiah BI (SRBI) dengan imbal hasil yang lebih menarik.

    “Likuiditas masih relatif ketat. Perlu terobosan lain lewat kebijakan struktural untuk dorong investasi,” tuturnya.

    Sementara dari sektor finansial, pemerintah dapat menyediakan instrumen investasi yang menarik untuk investor asing dan mendiversifikasi instrumen dan pendalaman pasar dengan biaya pendanaan yang relatif murah, misal dengan menerbitkan Dimsum Bonds seperti milik Hongkong untuk menarik investasi dari luar.

    Pada kesempatan berbeda, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto menyambut baik pemangkasan BI Rate yang mengarah kepada pro-growth atau mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Harapannya, dengan kebijakan tersebut dapat menstimulasi masyarakat maupun pengusaha untuk melakukan belanja. 

    “Kalau suku bunga deposito turun, masyarakat akan mengalihkan uangnya untuk investasi maupun usaha sehingga terjadi ekspansi,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (15/1/2025).

    Bank Indonesia resmi memangkas suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%, usai ditahan 6% sejak Oktober 2024.

    Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan keputusan tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan dari kondisi dinamika global maupun dalam negeri.

    Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi pertimbangan, yakni rupiah yang stabil, survei sejumlah indikator ekonomi yang menunjukkan pelemahan konsumsi, serta sudah lebih jelasnya arah kebijakan AS dan The Fed.

    “Oleh karena itu, ini adalah waktu untuk menurunkan suku bunga supaya bisa menciptakan mendorong ekonomi untuk menciptakan pertumbuhan,” tuturnya dalam konferensi pers, Rabu (15/1/2025). 

  • BI Rate Turun Jadi 5,75%, Ramai Ekonom Kaget

    BI Rate Turun Jadi 5,75%, Ramai Ekonom Kaget

    Jakarta, CNBC Indonesia – Keputusan dewan gubernur Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga BI Rate sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,75% pada Januari 2025 membuat sejumlah kalangan ekonom terkejut. Sebab, pemangkasan ini dilakukan BI tatkala kurs rupiah malah sedang tertekan di level .

    Pasca Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Januari 2025 pada pukul 14.00 WIB tadi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun langsung tertekan lebih dalam. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,34% di angka Rp16.315/US$ pada hari ini, Rabu (15/1/2025). Hal ini berbanding terbalik dengan posisi kemarin (14/1/2025) yang menguat 0,06%.

    Di sisi lain, konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 15 lembaga/institusi secara absolut memproyeksikan bahwa BI akan kembali menahan suku bunganya di level 6%. Maka, tak heran bahwa sejumlah ekonom kenamaan di dalam negeri terkejut dengan keputusan BI, karena BI juga telah menahan suku bunganya selama empat bulan beruntun.

    Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menjadi salah satu ekonom yang mengaku terkejut dengan keputusan dewan gubernur BI hari ini. Ia mengungkapkan, ini karena kurs rupiah saat ini tengah tertekan, meskipun dari sisi tekanan inflasi sangat terkendali.

    “Iya ini unexpected. Dari segi inflasi memang sangat terkendali, sehingga ada ruang untuk dorong pertumbuhan. Tapi, memang kurs juga agak tertekan,” tegas David kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/1/2025).

    Meski begitu, David mengakui untuk menghadapi tekanan kurs saat ini, BI memiliki banyak senjata, di antaranya ialah melalui instrumen operasi moneter Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang memiliki suku bunga atau imbal hasil sangat cukup menarik. Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan per 10 Januari 2025 di level 7,06%; 7,10%; dan 7,23%.

    “Jadi BI tampaknya akan mencoba jaga attractiveness Rupiah via SRBI rate yang relatif menarik,” tegas David.

    Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo juga menjadi salah satu ekonom yang mengungkapkan keterkejutannya. Namun, ia menitikberatkan bahwa kebijakan pemangkasan BI Rate ini dilakukan saat surat berharga di dalam negeri tengah dalam posisi tertekan.

    Sebagaimana diketahui, pada pekan kedua Januari 2025, berdasarkan catatan Bank Indonesia, pasar SBN Indonesia mulai bergejolak, karena para investor mulai melakukan aksi jual neto sebesar Rp 2,9 triliun, padahal pada pekan pertama Januari 2025 masih tercatat beli neto Rp 1,94 triliun.

    “Jadi timingnya cukup surprising, mengingat ada tekanan ke surat berharga dalam negeri. Upside nya memang masih ada ruang karena Fed Fund Rate (suku bunga Bank Sentral AS) dan BI rate ada gap 1,5%, dan ini membantu mengurangi beban utang pemerintah,” ucap Banjaran.

    Kendati demikian, Banjaran mengakui, keputusan penurunan BI Rate tersebut sejalan dengan pelemahan nilai tukar rupiah pada Januari 2025 yang lebih rendah dibandingkan pelemahan nilai tukar negara yang memiliki kapasitas ekonomi setara dengan Indonesia.

    BI pun mencatat nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS pada Januari 2025 (hingga 14 Januari 2025) hanya melemah sebesar 1,00% (ptp) dari level nilai tukar akhir 2024. Perkembangan ini relatif lebih baik dibandingkan dengan mata uang regional lainnya, seperti rupee India, peso Filipina, dan baht Thailand yang masing-masing melemah sebesar 1,20%; 1,33%; dan 1,92%.

    “⁠Keputusan tersebut juga didorong oleh tetap rendahnya perkiraan inflasi pada 2025 dan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ucap Banjaran.

    Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga mengaku terkejut atas keputusan hasil RDG BI bulan ini. Ia mengatakan, BI secara tak terduga memangkas suku bunga acuan menjadi 5,75% di tengah kondisi kurs yang tengah bergerak di level Rp 16.300/US$.

    “Dengan Rupiah yang berpotensi bergerak di sekitar 16.300 pada kuartal I-2025, mengikuti tren mata uang Asia lainnya seperti Baht Thailand, Peso Filipina, dan Rupee India, tekanan depresiasi berpotensi masih akan terus berlanjut,” ucap Hosianna.

    Ia menganggap, sebagai respons dari kebijakan BI Rate ini, di tengah tekanan kurs, BI akan mempertahankan penerbitan SRBI untuk menjaga stabilitas rupiah terhadap dolar AS. Hosianna memperkirakan penerbitan obligasi secara bruto instrumen itu akan meningkat menjadi Rp 1,44 triliun.

    “Untuk mengelola likuiditas, Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal, termasuk meningkatkan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder melalui pengalihan utang,” tuturnya.

    Di luar tiga ekonom itu, sebetulnya juga ada beberapa ekonom yang tak terkejut dengan keputusan BI, di antaranya ialah Head of Macroeconomic and Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman. Ia mengatakan, sebetulnya ruang keputusan pemangkasan suku bunga acuan oleh dewan gubernur BI itu telah terbuka sejak Desember 2024.

    “Keputusan BI dalam RDG bulan Januari 2025 untuk memotong BI-rate sebesar 25 bps ke 5,75% tidak terlalu mengejutkan. Karena sebenarnya ruang pemotongan sudah ada sejak Desember 2024 seperti penjelasan kami bulan Desember lalu,” tutur Faisal.

    Meski nilai tukar rupiah memang cenderung melemah bulan Januari 2025 ini, namun Faisal mengingatkan, permasalahan tekanan kurs ini ini merupakan fenomena global, karena dolar AS menguat hampir ke semua mata uang dunia, seiring dengan ketidakpastian global yang tetap berlangsung. BI pun menganggap tekanan kurs ini sudah mulai dapat terukur dan terkendali.

    Yang menjadi masalah adalah risiko pada sisi pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi pada 2025 menurutnya kemungkinan akan tertekan baik dari faktor dalam maupun luar negeri. Dari luar negeri, risiko Trade War akibat Trump 2.0 akan berisiko menurunkan kinerja ekspor Indonesia.

    Sementara itu, dari dalam negeri, risiko pelemahan tingkat permintaan akan berlanjut, seperti yang terindikasi dari inflasi yang sangat rendah mendekati batas bawah target sasaran, yang menunjukkan lemahnya tingkat permintaan.

    “Jadi langkah BI ini sebenarnya sudah sesuai dengan view kami sebelumnya, namun pemotongan di Desember tertunda ke Januari,” ucap Faisal.

    Ekonom Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga memiliki sikap serupa dengan Faisal. Ia mengaku tak terkejut dengan keputusan Perry Cs karena sinyal ekonomi melemah sudah ia wanti-wanti sedari lama, sehingga terus mendorong BI untuk menurunkan suku bunga acuannya.

    “Saya sebenarnya tidak kaget ya karena dari beberapa bulan yang lalu saya sih juga menyuarakan supaya suku bunga BI rate ini turun ya demi mendongkrak performa ekonomi Indonesia, terutama dari sisi sektor riil yang memang masyarakat kita butuh suku bunga yang lebih rendah, baik itu untuk kebutuhan bisnis maupun untuk kebutuhan terkait konsumsi,” kata Myrdal.

    Ia pun menganggap wajar BI Rate awal tahun ini turun, karena transmisi imported inflation dari pelemahan kurs beberapa waktu terakhir tidak terjadi, tercermin dari angka inflasi yang sangat rendah di level 1,57% pada 2024.

    “Dan gap antara BI rate dan inflasi juga sangat lebar jadi sebenarnya masih banyak ruang untuk BI rate turun dan ditambah lagi kita lihat pressure imported inflation ke depan nya pun juga so far so good, kalau kita lihat tidak terlalu melonjak,” ucapnya.

    “Apalagi kalau kita cermati dari pergerakan harga komoditas terutama minyak juga saat ini sulit untuk melonjak signifikan, walaupun ada perang di mana-mana tapi harga minyak masih konsisten di bawah level US$ 82 per barel,” tegas Myrdal.

    Ia menekankan, BI rate yang rendah saat ini sangat dibutuhkan Indonesia karena untuk menyinergikan antara kebijakan fiskal yang sudah sangat didesain tahun ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berpotensi melemah.

    Di sisi lain, program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto juga ia ingatkan sebetulnya butuh dukungan dari kebijakan moneter yang longgar dari BI, di antaranya ialah program pembangunan 3 juta rumah per tahun, dan berbagai program penyelamatan daya beli supaya penjualan barang tahan lama seperti otomotif dapat kembali bergeliat.

    “Jadi walaupun pemerintah sudah jor-joran beri insentif fiskal dan PPN yang naik hanya diberikan untuk beberapa golongan yang sangat selektif tapi kalau misalnya BI rate tidak turun ini kelihatannya kurang greget ya makanya kita apresiasi lah BI rate sudah turun,” ungkapnya.

    (arj/haa)

  • BI Rate Turun 25 Bps, Saham Big Banks Kompak Menguat

    BI Rate Turun 25 Bps, Saham Big Banks Kompak Menguat

    Jakarta, FORTUNE – Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 bps ke level 5,75 persen pada Rabu (15/1), dengan deposit facility dan lending facility masing-masing turun 25 bps ke level 5 persen dan 6,5 persen.

    Keputusan ini di luar ekspektasi pasar, yang memperkirakan BI Rate dipertahankan pada level 6 persen.

    Usai pengumuman pemangkasan suku bunga tersebut, sektor keuangan menguat 2,41 persen, yang juga diikuti dengan saham big banks yang serentak menguat.

    Saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mengalami penguatan terbesar dengan 280 poin (6,78%) ke level 4.410, dilanjutkan dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang naik 350 poin (6,48%) ke level 5.750.

    PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) melonjak 230 poin (6,05%) menuju 4.030, sementara PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menguat 250 poin (2,62%) ke level 9.775.

    Analis MNC Sekuritas, Herditya T Wicaksana, memperkirakan pemangkasan suku bunga ini ditujukan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, yang saat ini masih berada pada level Rp16.314.

    “Secara teknikal, apabila mencermati IDX Finance, terdapat peluang penguatan yg paling tidak akan menguji 1406-1417. Untuk emitennya BBCA (9800-10000), BBNI (4480-4570), BMRI (5775-5875), dan BBRI (4070-4120),” kata Herditya kepada Fortune Indonesia, Rabu (15/1).

    Sementara itu, analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan pergerakan Ihsg mengalami penguatan sangat signifikan di atas 1,6 persen menuju level 7.063,98 pada pukul 15.53, dipimpin IDXFINANCIALS yang menguat lebih dari 2,6 persen karena euforia keputusan BI tersebut. 

    “Dan apabila euforia tersebut berlanjut ke depan, maka peluang terjadinya January Effect pada 2025 ini mulai terbuka lebar,” katanya kepada Fortune Indonesia, Rabu (15/1).

    BI memandang nilai tukar rupiah masih terjaga sesuai dengan fundamental dan inflasi Indonesia yang saat ini cukup rendah, sehingga momentum ini sudah tepat untuk menerapkan rate cut demi optimalisasi pertumbuhan ekonomi domestik.  

    Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 ini diperkirakan cenderung lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, yaitu berkisar 4,7–5,5 persen, atau sedikit lebih rendah dari kisaran perkiraan sebelumnya, yakni 4,8–5,6 persen. 

    Nafan mengatakan konsumsi rumah tangga masih lemah, khususnya golongan menengah ke bawah sehubungan dengan belum kuatnya ekspektasi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja. 

    Di samping itu, ekspor juga diperkirakan lebih rendah sehubungan dengan melambatnya permintaan negara-negara mitra dagang utama, kecuali Amerika Serikat (AS). Pasalnya, pada era Trump 2.0 nanti, perekonomian AS diproyeksikan tumbuh lebih kuat berkat dukungan stimulus fiskal yang meningkatkan permintaan domestik, juga kenaikan investasi terutama pada bidang teknologi, yang mendorong peningkatan produktivitas. 

    Di sisi lain, ia juga mencermati bahwa dorongan investasi swasta ternyata belum kuat karena masih lebih besarnya kapasitas produksi dalam memenuhi permintaan, baik domestik maupun ekspor.  

  • Neraca Perdagangan Desember 2024 Surplus US,24 Miliar, 56 Bulan Beruntun!

    Neraca Perdagangan Desember 2024 Surplus US$2,24 Miliar, 56 Bulan Beruntun!

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan Indonesia surplus US$2,24 miliar pada Desember 2024. Realisasi tersebut melanjutkan tren surplus neraca dagang Indonesia dalam 56 bulan terakhir.

    Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan tren surplus tersebut sudah bertahanan sejak Mei 2020. Kendati demikian, realisasi tersebut turun dibandingkan November 2024

    “Nilainya kira-kira turun US$2,1 miliar dibandingkan bulan lalu,” ujar Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS RI, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2025).

    Komoditas yang memberikan sumbangsih surplus utama adalah bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, serta besi dan baja.

    Di samping itu, pada saat yang sama neraca perdagangan migas tercatat defisit sebesar US$1,6 miliar.

    “Yang komoditas penyumbang utama defisitnya adalah hasil minyak dan minyak mentah,” lanjut Amalia.

    Sebelumnya, nilai tengah estimasi neraca dagang Desember 2024 dari konsensus ekonom Bloomberg surplus senilai US$3,8 miliar atau sekitar US$32,67 miliar sepanjang tahun.

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual menjelaskan surplus pada Desember sejalan dengan proyeksi ekspor pada Desember masih akan tumbuh sebesar 7,6% (year on year/YoY) sementara impor tumbuh lebih tinggi mencapai 10,4%.

    “Untuk Desember sendiri ada faktor musiman sehingga secara nominal ekspor dan impor cenderung tinggi, terutama untuk impor,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/1/2025).

    Melihat secara historis, Indonesia mulai mencatatkan surplus pada masa awal pandemi Covid-19 atau Mei 2020 lalu yang mencapai US$2,09 miliar. Defisit neraca perdagangan terakhir terjadi pada April 2020, yaitu sebesar US$-0,37 miliar.

    Bahkan melihat periode 2018 dan 2019, neraca dagang kerap mencatatkan defisit. Surplus tertinggi hanya terjadi pada Juni 2018 senilai US$1,67 miliar.

  • Mirae Asset beberkan lima saham utama pilihan tahun 2025

    Mirae Asset beberkan lima saham utama pilihan tahun 2025

    Jakarta (ANTARA) – Head of Proprietary Investment PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Handiman Soetoyo menyatakan ada lima saham utama pilihan pihaknya dari 80 saham dengan dividen tinggi yang dapat menjadi prefensi baik untuk mendapatkan keuntungan investasi pada tahun ini di tengah ancaman potensi meluasnya dampak perang dagang global.

    Dia menyampaikan bahwa 80 saham perusahaan dengan dividen tinggi itu tersebar di seluruh sektor usaha yang ada di bursa, kecuali sektor properti.

    “Ada 80 saham yang dapat menjadi pilihan yang baik untuk mendapatkan keuntungan investasi ketika pasar saham penuh ketidakpastian tahun ini. Lima saham utama pilihan Mirae Asset dari 80 saham tersebut adalah PT BPD Jawa Timur Tbk (BJTM), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), dan PT Trans Power Marine Tbk (TPMA),” ujarnya dalam acara Media Day: January 2025 – Secure Greater Returns with Dividend Stocks in 2025, dikutip dari keterangan resmi, Jakarta, Rabu.

    Kelima saham ini diprediksi bakal menjadi penyumbang terbesar dari prediksi total dividen perusahaan penghuni bursa saham tahun ini, yakni Rp322,4 triliun. Dividen 2025 diprediksi menurun dibanding tahun sebelumnya karena disebabkan adanya kejadian yang di luar kebiasaan pada tahun 2024, terutama dari dividen spesial PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) senilai Rp41,53 triliun.

    Perusahaan-perusahaan dengan dividen tinggi tersebut dianggap berpotensi menawarkan dividen yang menarik tahun 2025, terutama berkaca pada catatan historis pembayaran dividen tahun 2024.

    Handiman mencatat nilai dividen yang dibagikan perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2024 kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, yakni Rp364,2 triliun atau meningkat 1,9 persen year on year (yoy).

    Nilai dividen Rp364,2 triliun yang dibagikan pada 2024 tersebut mencakup dividen tahun buku 2023, termasuk dividen interimnya.

    “Untuk musim dividen, puncak musim dividen setiap tahunnya jatuh pada Maret-Juni dan di sepanjang kuartal IV,” kata dia.

    Sepanjang 2024, lanjutnya, sektor keuangan dan energi masih menjadi dua sektor dengan kontribusi dividen terbesar dengan kontributor utama seperti ADRO, BBRI, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).

    “Hal ini mengonfirmasi kedua sektor tersebut masih menjadi sektor yang paling menarik bagi investor yang mengincar dividen,” ungkap Handiman.

    Tahun lalu, jumlah perusahaan tercatat yang membagikan dividen juga semakin meningkat, yaitu sebanyak 342 perusahaan dari 323 perusahaan pada 2023, seiring dengan emiten baru bertambah di pasar saham. Meskipun naik secara jumlah, rasio perusahaan pembagi dividen dengan total perusahaan yang listing di bursa turun 38,3 persen pada 2024 dari 39,4 persen pada 2023 seiring dengan lebih sedikitnya perusahaan tercatat baru yang membagikan dividen.

    Pada 2024, ADRO dan BBRI disebut menyandang predikat sebagai emiten pembagi dividen terbesar dari sisi nilai, masing-masing Rp54,4 triliun dan Rp48,1 triliun.

    Meninjau dari sisi imbal hasil dividen (dividend yield), emiten pembagi dividen terbesar adalah ADRO sebesar 49,4 persen, PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) 20,5 persen, dan PT Baramulti Suksessarana Tbk (BSSR) 19,8 persen.

    Dengan setoran dividen yang besar dari BBRI beserta dividen perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BMN) lain, setoran dividen perusahaan pelat merah ke pemerintah hingga November 2024 telah melebihi target, yakni senilai Rp86,4 triliun. Berdasarkan jumlah tersebut, perusahaan BUMN dengan saham tercatat di bursa berkontribusi sebanyak 68,6 persen dari total dividen yang disetorkan kepada kas negara. Secara sektoral, BUMN perbankan masih dominan dengan kontribusi 57,4 persen.

    “Mengingat target penerimaan dividen BUMN 2025 yang masih meningkat yaitu Rp90 triliun, kami meyakini BUMN yang listed akan tetap memberikan dividen yang besar tahun ini,” ucap dia.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Evi Ratnawati
    Copyright © ANTARA 2025

  • Berapa Harga 1 Lot Saham BBCA? Segini Kisarannya

    Berapa Harga 1 Lot Saham BBCA? Segini Kisarannya

    Di tengah fluktuasi pasar saham, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) muncul sebagai pilihan menarik untuk investasi. Kinerja perusahaan yang stabil menjadi salah satu keunggulan BBCA dibandingkan dengan emiten perbankan lainnya.

    Menurut laporan keuangan, BCA mencatatkan laba bersih sebesar Rp35,99 triliun, tumbuh 13,50% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY) pada Agustus 2024. Pertumbuhan laba ini lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 12,36% YoY.

    Performa BBCA tersebut membuat sahamnya selalu menarik bagi para investor. Lantas berapa harga 1 lot saham BBCA? Berikut penjelasan lengkapnya di bawah ini.

    Kinerja saham BBCA 2024

    Sejak awal tahun hingga November 2024, saham BBCA mengalami kenaikan sebesar 5,84%. Selain itu, analisis Bareksa juga menunjukkan bahwa saham BBCA memiliki rasio price to book value (PBV) yang tergolong premium, yakni sebesar 4,8 kali.

    Rasio tersebut diketahui hampir mencapai batas atas pergerakan PBV dalam lima tahun terakhir yang berkisar antara 3,9 kali hingga 5,4 kali.

    Diketahui, BCA resmi melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada 31 Mei 2000 dengan harga per lembar saham sebesar Rp1.400. Jika dilihat dari tren pergerakan harga sahamnya, saham BCA cenderung menunjukkan pola uptrend dalam jangka panjang.

    Saham BBCA menjadi emiten dengan kapitalisasi pasar modal terbesar di BEI hingga saat ini.

    Berapa harga 1 lot saham BBCA?

    Untuk memulai investasi saham di BBCA, Anda perlu mengetahui harga per lembar saham dan berapa jumlah minimal saham yang dapat dibeli, yaitu 1 lot. Di pasar modal Indonesia, 1 lot saham terdiri dari 100 lembar saham. Aturan mengenai jumlah lembar saham dalam 1 lot ini diatur oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).

    Harga per lembar saham BBCA pada Jumat, 10 Januari 2025, pukul 10.56 WIB terpantau naik 75 poin atau 0,75% menjadi Rp9.925 per lembar.

    Harga 1 lot = 100 lembar x Rp9.925 = Rp992.500

    Jadi, untuk membeli 1 lot saham BBCA, Anda harus mengeluarkan sekitar Rp992.500 dengan asumsi harga saham per lembar adalah Rp9.925. Sebagai catatan, harga saham BBCA bisa berfluktuasi, jadi pastikan untuk memeriksa harga terkini sebelum Anda melakukan pembelian.

  • Biaya Admin dan Limit Transaksi BCA per Januari 2025, Ini Rinciannya

    Biaya Admin dan Limit Transaksi BCA per Januari 2025, Ini Rinciannya

    Jakarta

    BCA merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia yang menawarkan berbagai layanan perbankan. Dalam menggunakan layanan ini, penting untuk memahami dua aspek utama, yaitu biaya administrasi bulanan dan limit transaksi.

    Biaya administrasi bulanan adalah sejumlah biaya yang dikenakan untuk pemeliharaan rekening, sementara, limit transaksi mengacu pada batas maksimum yang bisa dilakukan dalam satu hari dalam melakukan transaksi, seperti tarik tunai hingga pembayaran. Berikut informasi mengenai biaya admin dan limit transaksi BCA.

    Biaya Administrasi Bulanan Transaksi BCA

    Biaya administrasi bulanan dalam transaksi BCA berbeda sesuai dengan jenis kartu yang dimiliki nasabah. Menurut laman resmi BCA, berikut daftarnya.

    Tabunganku: GratisDebit BCA Silver/Blue (Mastercard): Rp 15.000Tahapan Xpresi BCA: Rp 10.000Debit BCA Gold (Mastercard): Rp 17.000Debit BCA Gold (GPN): Rp 16.000Debit BCA Silver/Blue (GPN): Rp 14.000Debit BCA Platinum (Mastercard) : Rp 20.000Debit BCA Platinum (GPN): Rp 19.000Tapres: Rp 17.000BCA Dollar: US$ 1Rincian Limit Transaksi BCA

    Pemilik kartu Debit BCA Silver/Blue bisa melakukan transaksi tarik tunai hingga Rp 15 juta per hari. Transaksi debit kartu ini juga bisa dilakukan hingga limit Rp 100 juta per hari. Berikut informasi lengkapnya.

    1. Tabunganku

    Tarik tunai: Rp 7 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 25 jutaTransfer antar bank: -Transaksi debit: –

    2. Debit BCA Silver/Blue (Mastercard)

    Tarik tunai: Rp 15 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 100 jutaTransfer antar bank: Rp 30 juta dari Rp 15 jutaTransaksi debit: Rp 100 juta

    3. Tahapan Xpresi BCA

    Tarik tunai: Rp 10 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 50 jutaTransfer antar bank: Rp 20 jutaTransaksi debit: Rp 50 juta

    4. Debit BCA Gold (Mastercard)

    Tarik tunai: Rp 15 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 125 jutaTransfer antar bank: Rp 40 jutaTransaksi debit: Rp 125 juta

    5. Debit BCA Gold (GPN)

    Tarik tunai: Rp 15 juta dari Rp 10 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 125 jutaTransfer antar bank: Rp 40 jutaTransaksi debit: Rp 125 juta

    6. Debit BCA Silver/Blue (GPN)

    Tarik tunai: Rp 15 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 100 jutaTransfer antar bank: Rp 30 jutaTransaksi debit: Rp 100 juta

    7. Debit BCA Platinum (Mastercard)

    Tarik tunai: Rp 15 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 150 jutaTransfer antar bank: Rp 50 jutaTransaksi debit: Rp 150 juta

    8. Debit BCA Platinum (GPN)

    Tarik tunai: Rp 15 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 150 jutaTransfer antar bank: Rp 50 jutaTransaksi debit: Rp 150 juta

    9. Tapres

    Tarik tunai: Rp 15 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 125 jutaTransfer antar bank: Rp 40 jutaTransaksi debit: Rp 125 juta

    10. BCA Dollar

    Tarik tunai: Rp 15 jutaTransfer antar rekening BCA: Rp 100 jutaTransfer antar bank: -Transaksi debit: -Update Biaya Admin dan Limit Transaksi BCA

    Informasi yang tertera ditulis berdasarkan kenaikan biaya administrasi dan limit yang diberlakukan BCA kepada nasabah per 19 Januari 2024. Kenaikan limit transaksi berlaku untuk Kartu Tahapan Xpresi BCA, Debit BCA Silver/Blue, Platinum, dan Gold; serta Tapres dan BCA Dollar, sementara kenaikan biaya admin hanya berlaku untuk Tahapan Xpresi BCA.

    Hingga kini, BCA belum memberlakukan kenaikan biaya administrasi dan limit seperti tahun lalu. Hal tersebut dikonfirmasi oleh admin BCA.

    “Untuk kenaikan limit transaksi kartu ATM dan biaya administrasi bulanan rekening BCA sampai saat ini belum ada informasi untuk kenaikannya,” kata admin BCA melalui Halo BCA saat dihubungi detikcom.

    (elk/row)

  • Ini Keuntungan Masuknya Indonesia Ke BRICS

    Ini Keuntungan Masuknya Indonesia Ke BRICS

    Jakarta, FORTUNE – Meskipun hubungan ekonomi Indonesia dengan beberapa negara anggota BRICS, seperti India dan Cina, sudah berlangsung baik dan cukup erat, namun keanggotaan resmi Indonesia diperkirakan akan semakin memperkuat hubungan tersebut.

    Kepala Ekonom BCA, David Sumual, mengatakan “bargaining chip” Indonesia dalam negosiasi perjanjian perdagangan dan investasi bakal semakin menguat. Namun, sayangnya, secara daya saing produk, posisi Indonesia sebenarnya kurang menguntungkan. Ini karena produk yang dijual hampir mirip di antara negara-negara Selatan-Selatan anggota BRICS.

    “Cina justru lebih diuntungkan dalam hal bargaining position karena ekspor komoditas kebanyakan ke Cina,” katanya kepada Fortune Indonesia, Kamis (9/1).

    Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menambahkan BRICS juga menawarkan alternatif dari dominasi ekonomi Barat. Resminya Indonesia menjadi anggota BRICS akan semakin memperkuat kerja sama dengan Tiongkok, India, dan negara anggota lainnya untuk meningkatkan perdagangan dan investasi di sektor strategis seperti teknologi dan energi.

    Selain itu Indonesia akan mendapat akses ke New Development Bank (NDB) BRICS untuk pembiayaan proyek infrastruktur yang bisa dimanfaatkan untuk energi dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

    “NDB menawarkan pendanaan tanpa conditionality yang ketat, memberikan fleksibilitas kepada Indonesia,” kata Josua kepada Fortune Indonesia, Kamis (9/1).

    Di samping itu, Josua menilai penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional dapat mengurangi ketergantungan pada dolar AS, sehingga mendukung stabilitas ekonomi jangka panjang.

    Kendati demikian, bergabungnya Indonesia dalam BRICS dapat dilihat oleh negara-negara Barat sebagai keberpihakan pada blok alternatif, berpotensi memengaruhi hubungan dengan AS dan mitra Barat lainnya.

    “Perbedaan kepentingan ekonomi di antara negara anggota BRICS dapat membatasi efektivitas kolaborasi. Selain itu, ekonomi negara seperti Rusia, Brasil, dan Afrika Selatan saat ini menghadapi tantangan yang signifikan, yang dapat memengaruhi stabilitas blok,” kata Josua.

    Dengan demikian manfaat ekonomi nyata bagi Indonesia dari keanggotaan BRICS diperkirakan tidak akan langsung terlihat dalam jangka pendek, terutama karena perdagangan intra-BRICS masih rendah dan sebagian besar berpusat pada Tiongkok.

    Jadi secara keseluruhan, bergabungnya Indonesia ke BRICS menawarkan peluang untuk diversifikasi ekonomi dan promosi agenda Global South, namun juga menghadirkan tantangan dalam bentuk risiko geopolitik dan ketergantungan yang lebih besar pada Tiongkok.