Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha telekomunikasi meminta kepada pemerintah untuk membebankan kewajiban yang sama kepada penyelanggara layanan over the top (OTT) seperti yang diterapkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) kepada operator telekomunikasi.
Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Dian Siswarini mengatakan saat ini operator telekomunikasi dibebankan biaya regulasi yang cukup besar.
Biaya tersebut meliputi berbagai komponen, salah satunya adalah biaya sewa spektrum frekuensi dan USO. Dengan beban yang terus meningkat dan di sisi lain kondisi industri telekomunikasi makin menantan, membuat rasio beban regulasi terhadap pendapatan telah mencapai 12%.
ATSI meminta pemerintah untuk bersikap lebih adil dengan menerapkan skema fair share, dimana beban regulasi tidak hanya dipikul oleh perusahaan telekomunikasi tetapi juga perusahaan OTT seperti YouTube, Google, TikTok, dan lain sebagainya.
Fair share merujuk pada prinsip bahwa semua pihak yang memanfaatkan jaringan dan infrastruktur digital ikut menanggung biaya secara proporsional dengan beban trafik atau nilai ekonomi yang mereka ciptakan.
Operator berargumen bahwa pemain digital besar perlu membayar “fair share” atas penggunaan masif terhadap jaringan mereka, bukan hanya membiarkan seluruh biaya ditanggung oleh operator dan pelanggan.
Dian berpendapat saat ini mungkin para OTT tidak memikul beban yang sama. ATSI ingin ada sikap yang lebih adil.
“Menurut saya [fair share] bagus bukan cuma untuk industri, tapi juga untuk ini apa pendapatan pemerintah,” kata Dian kepada Bisnis, Rabu (10/12/2025).
Dian menambahkan selain fair share, ATSI juga menyarankan adanya insentif kepada perusahaan telekomunikasi yang membangun infrastruktur digital di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Menurutnya, ongkos penggelaran di wilayah tersebut cukup mahal.
“Di Pulau Terpencil sebenarnya kalau di Kalimantan, Sulawesi, Papua juga banyak daerah yang sulit dijangkau. Itu memerlukan investasi yang jauh lebih besar,” kata Dian.
ATSI juga merekomendasikan lima arah strategis bagi industri telekomunikasi nasional untuk ke depan guna memastikan konektivitas yang “bermakna”, tidak hanya dari sisi jangkauan tetapi juga kualitas pengalaman pengguna yang stabil.
Fokus pertama adalah penguatan infrastruktur dan backbone melalui perluasan fiber backbone nasional serta peningkatan interkoneksi data center dan infrastruktur cloud-ready.
Kedua, modernisasi seluler dan broadband dengan mengakselerasi implementasi 5G Standalone, network slicing, edge computing, serta densifikasi BTS dan peningkatan core network.
Ketiga, ATSI menekankan pentingnya fokus pada pengalaman pengguna (Quality of Experience/QoE) dengan memprioritaskan kualitas layanan (QoS) berupa latency rendah, throughput stabil, dan cakupan yang konsisten.
Keempat, perluasan jangkauan dan inklusi digital lewat pengembangan fixed dan mobile broadband hingga wilayah 3T, layanan broadband rumah dan B2B, serta paket layanan yang terjangkau.
“Kelima, penguatan ekosistem digital dan layanan melalui integrasi jaringan seluler dengan layanan cloud, enterprise, smart city, Internet of Things (IoT), dan berbagai layanan publik digital,” kata Dian.









