Perusahaan: Bloomberg

  • OpenAI Putus Kerja Sama dengan Scale AI Usai Investasi Besar Meta Rp472 Triliun

    OpenAI Putus Kerja Sama dengan Scale AI Usai Investasi Besar Meta Rp472 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT, mengumumkan pemutusan kerja sama dengan Scale AI, startup penyedia data labeling, hanya beberapa hari setelah Meta (induk Facebook) menginvestasikan US$14,3 miliar atau Rp472 triliun dan mengambil 49% saham di Scale AI.

    Selain suntikan dana besar, Meta juga merekrut CEO Scale AI, Alexandr Wang, untuk memimpin unit “superintelligence” barunya.

    Dilansir dari Techcrunch dan Bloomberg, Kamis (19/6/2025) menurut juru bicara OpenAI, keputusan untuk menghentikan kerja sama ini sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak 6 hingga 12 bulan terakhir, jauh sebelum pengumuman investasi Meta.

    OpenAI menyatakan bahwa mereka tengah mencari penyedia data lain yang lebih spesifik dan mampu memenuhi kebutuhan pengembangan model AI terbaru yang semakin canggih

    Scale AI selama ini dikenal sebagai mitra utama bagi perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti OpenAI, Google, dan Meta, dalam menyediakan data untuk pelatihan model AI. Namun, akuisisi besar-besaran oleh Meta memunculkan kekhawatiran di kalangan pelanggan lain, terutama terkait potensi akses Meta terhadap data sensitif milik kompetitornya.

    Tak hanya OpenAI, Google juga dilaporkan tengah mempertimbangkan untuk memutus kerja sama dengan Scale AI. Hal ini menimbulkan ketidakpastian besar bagi masa depan bisnis inti Scale AI di bidang data labeling.

    Beberapa pesaing Scale AI bahkan melaporkan adanya lonjakan permintaan dari pengembang model AI yang kini mencari mitra data yang dianggap lebih “netral”.

    Menanggapi kekhawatiran tersebut, Scale AI menegaskan bahwa Meta tidak akan mendapatkan perlakuan khusus atau akses ke informasi rahasia pelanggan lain. Alexandr Wang juga disebut tidak akan terlibat dalam operasional harian perusahaan setelah bergabung dengan Meta. Meski demikian, langkah para klien besar yang mulai meninggalkan Scale AI menandakan perlunya perubahan strategi bisnis bagi startup ini.

    Dalam blog terpisah, CEO interim Scale AI, Jason Droege, menyatakan perusahaan akan memperkuat bisnis aplikasi AI, khususnya dalam membangun solusi AI kustom untuk pemerintah dan perusahaan besar.

  • Rupiah terhadap Dolar AS Hari Ini 18 Juni 2025 Lesu Gara-Gara Perang Iran Israel – Page 3

    Rupiah terhadap Dolar AS Hari Ini 18 Juni 2025 Lesu Gara-Gara Perang Iran Israel – Page 3

    Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) membocorkan salah satu strateginya dalam menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah ketidakpastian pasar global.

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso mengungkapkan, salah satu strategi andalan Bank Indonesia saat ini adalah kebijakan smart intervention, yaitu melalui intervensi cermat dan terukur yang difokuskan pada pasar non-deliverable forward (NDF) dan pasar offshore. Denny mengungkapkan, pendekatan ini mulai menunjukkan hasil yang positif.

    Rupiah (IDR) terus menunjukkan penguatan dalam beberapa hari terakhir, ketika pasar global tengah dilanda ketidakpastian. Data Bloomberg pada Senin, 26 Mei 2025 menunjukkan, Rupiah telah menguat hingga 5,50 poin atau 0,03 persen ke level Rp 16.212 per dolar AS (USD).

    “BI akan all out untuk membuat rupiah itu lebih stabil, dan tentunya BI sudah akan mengoptimalkan instrumen yang ada, melakukan intervensi di pasar offshore, melakukan intervensi di pasar sport, pasar DNDF, dan juga apabila diperlukan BI akan melakukan transaksi, terutama pembelian di pasar SBN di dalam negeri,” ungkap Denny.

  • Bank Sentral Global Kian Agresif Tambah Cadangan Emas

    Bank Sentral Global Kian Agresif Tambah Cadangan Emas

    Bisnis.com, JAKARTA — Jumlah bank sentral global yang berencana menambah cadangan emasnya dalam 12 bulan ke depan mencetak rekor tertinggi, didorong oleh performa emas saat krisis serta kemampuannya melindungi nilai dari inflasi.

    Melansir Bloomberg pada Selasa (17/6/2025), berdasarkan survei yang dilakukan World Gold Council (WGC) bersama YouGov terhadap 72 otoritas moneter mencatat bahwa 43% responden berniat meningkatkan cadangan emasnya. 

    Angka tersebut melonjak dari 29% pada tahun lalu dan menjadi yang tertinggi dalam delapan tahun terakhir. Tak satu pun bank sentral dalam survei tersebut berencana mengurangi kepemilikan emas.

    Mayoritas responden memperkirakan cadangan emas bank sentral secara global akan terus meningkat selama 12 bulan ke depan. Alasan utama kepemilikan emas mencakup kinerjanya dalam masa krisis, perannya dalam diversifikasi portofolio, serta kemampuannya sebagai penyimpan nilai.

    Bank sentral menjadi pendorong utama reli harga emas dalam beberapa tahun terakhir, yang nilainya telah melonjak dua kali lipat sejak akhir 2022. Laju pembelian emas meningkat drastis setelah invasi Rusia ke Ukraina, ketika cadangan devisa Moskow dibekukan, mendorong banyak negara beralih ke emas sebagai aset cadangan alternatif.

    “Terjadi pergeseran besar. Negara-negara Barat berhenti menjual, sementara pasar negara berkembang mulai membeli dan mengejar ketertinggalan dalam membangun cadangan emas,” kata Shaokai Fan, Kepala Global untuk Urusan Bank Sentral di WGC.

    Menurut konsultan Metals Focus, bank sentral telah membeli lebih dari 1.000 ton emas setiap tahun selama tiga tahun terakhir dan diperkirakan akan mempertahankan laju tersebut tahun ini. Tren pembelian ini telah berlangsung selama 15 tahun terakhir, membalikkan tren penjualan bersih yang terjadi selama dekade 1990-an.

    Gelombang pembelian emas ini bahkan membuat emas melampaui euro sebagai aset cadangan terbesar kedua di bank sentral dunia pada akhir tahun lalu. Sementara itu, porsi aset dolar AS, terutama obligasi pemerintah (Treasury), terus turun dan kini hanya mencakup 46% dari total cadangan global.

    Faktor-faktor yang berpotensi mempercepat penurunan dominasi dolar AS antara lain defisit fiskal AS yang membengkak, risiko penyitaan aset, serta spekulasi bahwa kreditur asing tidak lagi diperlakukan secara adil.

    Kondisi ini menjadi keuntungan tersendiri bagi emas. Lebih dari separuh bank sentral di negara berkembang menyebut absennya risiko politik sebagai alasan mereka menambah cadangan emas. Sebanyak 78% juga menganggap emas bebas dari risiko gagal bayar (default).

    Meski demikian, dominasi dolar AS sebagai aset cadangan utama dunia masih belum tergoyahkan. “Bank sentral kini memantau dolar dan pasar Treasury dengan lebih cermat dibanding sebelumnya. Namun ini bukan berarti mereka berbondong-bondong keluar dari dolar,” ujar Fan.

  • Treasury AS Tertekan Dampak Konflik Israel-Iran, Picu Kekhawatiran Inflasi

    Treasury AS Tertekan Dampak Konflik Israel-Iran, Picu Kekhawatiran Inflasi

    Bisnis.com, JAKARTA — imbal hasil atau yield obligasi Treasury AS bergerak naik seiring lonjakan harga minyak akibat konflik Israel-Iran, yang turut memicu kekhawatiran inflasi.

    Dilansir dari Bloomberg, Senin (16/5/2025), yield obligasi AS tenor 10 tahun naik tiga basis poin (bps) menjadi 4,43%, bergerak lebih tinggi dibandingkan obligasi Jerman. Sementara itu, para pelaku pasar memangkas ekspektasi pemangkasan Fed Fund Rate, dengan proyeksi total penurunan sebesar 46 bps hingga akhir tahun, turun dari 49 bps pada akhir pekan lalu.

    Pergerakan ini makin menegaskan tekanan jual terhadap Treasury AS sejak ketegangan antara Israel dan Iran berubah menjadi konflik terbuka pada Jumat (13/6/2025). Analisis Bloomberg menunjukkan bahwa serangan langsung Iran pada April 2024 dan bentrokan ulang pada Oktober 2024 juga sempat mendorong yield obligasi AS naik tajam dan bertahan tinggi selama 30 hari berikutnya.

    “Pasar cukup volatil, dengan investor beralih ke aset safe-haven sekaligus mendorong harga minyak naik,” ujar Kepala Ekonom Asia di Union Bancaire Privée Carlos Casanova, Senin (16/6/2025).

    Adapun harga minyak sempat melonjak setelah Israel dan Iran berbalas meluncurkan rudal selama akhir pekan lalu, meski tekanan tersebut mereda menjelang penutupan pasar. Hanya saja, kekhawatiran peningkatan harga energi berkepanjangan semakin menambah tekanan inflasi, sehingga obligasi AS dan Eropa terus tertekan.

    “Dalam jangka pendek, sikap aversi risiko akan mencegah penurunan imbal hasil yang signifikan, sementara kenaikan harga minyak dan ekspektasi inflasi membatasi reli yield,” tulis Kepala Strategi Eropa di Jefferies International Mohit Kumar dalam catatan risetnya.

    Selain ketegangan geopolitik, investor Treasury kini juga dihadapkan pada tekanan inflasi akibat perang dagang yang diinisiasi oleh Presiden AS Donald Trump dan kekhawatiran utang pemerintah AS yang membengkak. Permintaan premi risiko yang lebih tinggi diperkirakan akan terus mendorong imbal hasil naik, khususnya ketika ketegangan di Timur Tengah berdampak pada pasokan energi.

    Yield di seluruh tenor AS memang naik, namun kenaikan pada tenor pendek relatif lebih kecil, sehingga kurva yield semakin menukik. Imbal hasil obligasi AS tenor 2 tahun tercatat naik dua basis poin menjadi 3,96% pada hari yang sama.

    Investor kini menantikan lelang obligasi tenor 20 tahun yang akan digelar pada hari ini, Senin (16/6/2025). Pekan lalu, lelang obligasi tenor 30 tahun mendapat permintaan yang lebih kuat dari perkiraan, meredam kekhawatiran bahwa investor akan menghindari surat utang jangka panjang pemerintah AS.

    Ahli Strategi Makro di DBS Group Holdings, Wei Liang Chang, pun meyakini tekanan lonjakan kurva yield Treasury kemungkinan akan berlanjut.

    “Investor mungkin mempertimbangkan kenaikan belanja militer jangka panjang karena lingkungan geopolitik yang lebih tidak pasti, serta risiko inflasi yang melekat jika harga minyak tetap tinggi,” jelasnya.

    Efek perang Israel-Iran terhadap imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat atau US Treasury. / dok Bloomberg

  • Begini Mitigasi Impor Minyak Pertamina saat Konflik Iran-Israel Memanas

    Begini Mitigasi Impor Minyak Pertamina saat Konflik Iran-Israel Memanas

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) mengungkapkan memanasnya konflik antara Iran dan Israel belum memberikan efek apapun terhadap harga maupun pasokan impor minyak ke Indonesia. 

    Kendati demikian, perusahaan migas pelat merah itu bakal tetap melakukan mitigasi jika konflik kian memanas. Eskalasi konflik Iran-Israel memunculkan risiko bagi ketahanan energi nasional. Pasalnya, hingga kini Indonesia masih menjadi net importir minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan nasional.

    VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, pasokan dan keberlangsungan impor minyak masih aman. Perseroan pun terus melakukan pengawasan terhadap situasi yang berlangsung.

    “Sampai saat ini, belum ada informasi terkait adanya gangguan pasokan crude [minyak mentah] untuk Pertamina,” kata Fadjar kepada Bisnis, Senin (16/6/2025).

    Fadjar menekankan bahwa Pertamina tetap memiliki beberapa strategi di tengah konflik Timur Tengah. Salah satunya, mengalihkan rute jalan yang lebih aman untuk kapal jika konflik kian memanas.

    Dalam hal ini, dia menyebut, subholding Pertamina, PT Pertamina International Shipping dan PT Pertamina Patra Niaga, yang akan menganalisis dampak lebih lanjut dari konflik Timur Tengah tersebut.

    “Tentu kapal-kapal kita akan kita cek jalur pelayarannya. Jika jalur reguler berpotensi mengalami gangguan, biasanya akan kita re-route ke jalur yang lebih aman,” ucap Fadjar.

    Selain itu, Fadjar menyebut, saat ini impor minyak mentah juga terbilang lebih fleksibel sehingga tidak terlibat dengan kontrak panjang. 

    Belakangan, pasokan minyak mentah dari Timur Tengah menghadapi tantangan berat seiring dengan eskalasi konflik antara Israel dan Iran. 

    Melansir Bloomberg, Senin (16/6/2025), harga minyak berjangka Brent untuk kontrak pengiriman Agustus 2025 menguat 2,8% menjadi US$76,29 per barel pada pukul 05.30 WIB, setelah menguat 7% pada akhir pekan.

    Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli 2025 menguat 2,7% ke US$74,95 per barel.

    Tim Analis RBC Capital Markets LLC. yang termasuk Helima Croft mengatakan, kondisi Israel dan Iran yang sama-sama menargetkan infrastruktur energi satu sama lain pada serangan hari kedua menjadi perhatian utama pelaku pasar. 

    Beberapa skenario yang memungkinkan, Israel bisa saja menyerang hub di Kharg Island milik Teheran untuk membatasi aliran minyak mentah. Sementara itu, proksi Iran bisa menyerang fasilitas di Irak.

    “Gedung Putih kemungkinan sudah mencari cara untuk membujuk PM Israel Netanyahu untuk tidak menyerang Kharg Island, mengingat hal itu bisa menghapus 90% ekspor minyak Iran,” Tim Analis RBC Capital Markets LLC. dalam catatan, dikutip dari Bloomberg.

    Tim Analis RBC melanjutkan, apabila perubahan rezim menjadi agenda utama serangan Israel kali ini, sepertinya para pemimpin di Iran tidak akan terlalu mementingkan soal pasokan minyak mentah. Adapun, krisis ini dikhawatirkan bisa berujung mengganggu aliran minyak di Selat Hormuz. 

    “Kami pikir penutupan Selat Hormuz sudah menjadi skenario [yang diperbincangkan] pelaku pasar belakangan ini,” tulis Tim Analis RBC.

  • IHSG Jatuh 0,68 Persen, Rupiah Menguat

    IHSG Jatuh 0,68 Persen, Rupiah Menguat

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh pada perdagangan hari ini, Senin (16/6/2025).

    IHSG pada awal perdagangan sebetulnya dibuka menguat. Namun, jelang penutupan sesi I, IHSG jatuh.

    IHSG hari ini ditutup melemah 0,68% atau sebesar 48,47 poin ke level 7.117,5. Sepanjang hari ini, indeks bergerak dalam kisaran 7.117  hingga 7.210.

    Sebanyak 232 saham tercatat mengalami kenaikan, 338 saham mengalami penurunan, dan 186 saham tidak mengalami perubahan atau stagnan.

    Volume transaksi saham tercatat mencapai 24,5 miliar dengan total nilai perdagangan sebesar Rp 14,9 triliun dari 1,49 juta kali transaksi.

    Pada saat IHSG hari ini jatuh, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat. Menurut data Bloomberg di pasar spot exchange, rupiah ditutup menguat 38,5 poin atau 0,24% ke level Rp 16.265 per dolar AS.

  • Jeda Siang, IHSG dan Rupiah Turun Tipis

    Jeda Siang, IHSG dan Rupiah Turun Tipis

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh ke zona merah pada akhir sesi I perdagangan hari ini, Senin (16/6/2025). Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis.

    IHSG sejak awal perdagangan sebetulnya langsung menguat, tetapi mulai menurun jelang akhir sesi I. IHSG sesi ini tercatat turun tipis 0,01% atau 1 poin ke level 7.165.

    Sepanjang sesi ini, IHSG bergerak dalam rentang 7.158-7.211.

    Volume transaksi pada sesi ini mencapai 13,3 miliar lembar saham. Nilai perdagangan tercatat sebesar Rp 7,84 triliun dari total 790.783 kali transaksi.

    Dari seluruh saham yang diperdagangkan, sebanyak 269 saham menguat, 322 saham melemah, dan 211 saham stagnan.

    Pada saat IHSG sesi I melemah, nilai tukar rupiah bergerak stagnan. Berdasarkan data Bloomberg di pasar spot exchange, rupiah siang ini berada di level Rp 16.307 per dolar AS atau melemah 4 poin (0,02%).

  • Rupiah Pagi Ini Bergerak Stagnan pada Level Rp 16.306 Per Dolar AS

    Rupiah Pagi Ini Bergerak Stagnan pada Level Rp 16.306 Per Dolar AS

    Jakarta, Beritasatu.com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tidak mengalami banyak perubahan pada perdagangan Senin (16/6/2025) pagi.

    Berdasarkan data Bloomberg pada pukul 09.44 WIB di pasar spot exchange, nilai tukar rupiah melemah tipis 2,5 poin atau 0,02% ke posisi Rp 16.306 per dolar AS.

    Untuk mata uang Asia lainnya, Yen Jepang tercatat melemah 0,26% terhadap dolar AS, Yuan China menguat 0,03%, dolar Singapura melemah 0,04, Hong Kong stagnan, sedangkan ringgit Malaysia menguat 0,23%.

    Sementara itu di pasar saham, indeks harga saham gabungan (IHSG) menguat pada pembukaan perdagangan hari ini.

    IHSG pada pukul 09.53 WIB menguat 0,49% atau 35,10 poin ke level 7.202,8. Sebanyak 217 saham tercatat mengalami kenaikan, 205 saham turun, dan 157 saham tidak mengalami perubahan atau stagnan.

  • Timur Tengah Memanas, Sederet Bank Sentral Diproyeksikan Tahan Suku Bunga

    Timur Tengah Memanas, Sederet Bank Sentral Diproyeksikan Tahan Suku Bunga

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank sentral berbagai negara diproyeksi akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya jelang pengumuman beberapa pekan ke depan.

    Dilansir dari Bloomberg, Minggu (15/6/2025), para pejabat bank sentral dari Washington hingga London telah menyatakan kewaspadaannya atas potensi peningkatan inflasi dan ketidakpatuhan arus perdagangan. Ketegangan baru di Timur Tengah antara Israel dan Iran juga menambah kekhawatiran mereka.

    Para investor sendiri akan memfokuskan perhatian ke bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed yang akan mengambil keputusan pada Rabu (18/6/2025) waktu setempat.

    Para ekonom Bloomberg memperkirakan para pejabat The Fed masih perlu waktu beberapa bulan lagi untuk dapat membuat penilaian yang pasti tentang implikasi kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap perekonomian negeri Paman Sam. Oleh sebab itu, The Fed diperkirakan masih akan menahan suku bunganya.

    Secara keseluruhan, bank-bank sentral yang bertanggung jawab atas enam dari 10 mata uang yang paling banyak diperdagangkan di dunia akan mengambil keputusan dalam waktu dekat.Di antara mereka, hanya bank sentral Swedia dan Swiss yang diperkirakan para ekonom akan menurunkan suku bunganya.

    Asia

    Pekan ini merupakan minggu yang penting bagi bank sentral di Asia, dengan sebagian besar diperkirakan tidak mengubah suku bunganya di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan dan ketegangan di Timur Tengah.

    Pada Senin, bank sentral Pakistan diperkirakan akan mempertahankan suku bunga, diikuti oleh Jepang pada hari Selasa. Suku bunga diperkirakan akan tetap dipertahankan setelah Gubernur Kazuo Ueda mengisyaratkan inflasi masih belum mencapai target.

    Bank Indonesia diperkirakan tidak mengubah suku bunga pada Rabu, demikian pula Taiwan pada Kamis karena ekonominya mengalami volatilitas mata uang yang membuat dolar Taiwan mencapai titik tertinggi dalam tiga tahun.

    Sementara China diperkirakan akan mempertahankan suku bunga pinjaman pada Jumat. Filipina adalah satu-satunya bank sentral di kawasan tersebut yang terlihat memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin karena meredanya inflasi.

    Eropa, Timur Tengah, Afrika

    Bank Sentral Eropa mengumumkan keputusan suku bunganya pada Kamis, sehari setelah angka inflasi Inggris dirilis. Para ekonom memproyeksikan suku bunga akan bertahan di 4,25%.

    Riksbank Swedia sudah memangkas suku bunga sebesar 175 basis poin sejak Mei 2024. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi yang melambat dan angka inflasi yang rendah, dikombinasikan dengan ketidakpastian perdagangan, membuat bank sentral negara yang bergantung kepada ekspor itu kemungkinan akan melakukan pelonggaran kembali pada Rabu.

    Di Namibia pada hari yang sama, para pejabat juga kemungkinan akan menurunkan suku bunga mereka pada saat inflasi berada di batas bawah kisaran target 3% hingga 6%.

    Sementara Bank sentral Norwegia akan ambil putusan Kamis. Norges Bank diperkirakan akan mempertahankan suku bunganya di 4,5%.

    Pada hari yang sama, Bank Nasional Swiss juga diperkirakan akan menurunkan suku bunga sebesar seperempat poin. Itu akan membawa suku bunga ke nol, level yang belum pernah disentuh oleh para pejabat sebelumnya—meskipun sebelumnya sudah pernah ada di wilayah negatif.

    Botswana juga mungkin memangkas suku bunga pada Kamis untuk membantu menopang perekonomian karena inflasi diperkirakan akan tetap rendah.

    Bank sentral Turki diperkirakan akan mempertahankan suku bunganya pada 46% pada hari yang sama. Para pejabat telah menggunakan cara lain untuk melonggarkan kebijakan di tengah melambatnya inflasi, seperti menurunkan biaya pendanaan rata-rata dari hampir 50% menjadi mendekati suku bunga acuan.

    Amerika Latin

    Bank sentral Chili, yang dipimpin oleh Gubernur Rosanna Costa, pada Selasa kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuannya pada 5%.

    Bank sentral Brasil turut diproyeksikan tidak terburu-buru memangkas suku bunga acuannya pada Rabu. Saat ini, suku bunga acuannya berada di 14,75%.

  • Bank Sentral Negara Ini Minta Perbankan Setop Bagi Dividen dan Bonus

    Bank Sentral Negara Ini Minta Perbankan Setop Bagi Dividen dan Bonus

    Bisnis.com, JAKARTA – Bank Sentral Nigeria (The Central Bank of Nigeria) telah meminta perbankan di bawah pengawasannya untuk menyetop pembagian dividen, bonus untuk direksi, serta investasi ke negara lain.

    Dilansir Bloomberg pada Minggu (15/6/2025), kebijakan itu bertujuan untuk meningkatkan penyangga dan memperkuat resilien perbankan di tengah berbagai tantangan ekonomi.

    Menurut surat edaran Bank Sentral, bank-bank yang terdampak harus menangguhkan dividen pemegang saham dan bonus direktur serta menghindari investasi di anak perusahaan asing hingga mereka sepenuhnya keluar dari masa penangguhan.

    Perbankan juga harus memenuhi standar modal dan penyisihan yang diverifikasi oleh penilaian independen.

    Langkah tersebut bertujuan untukmemastikan bahwa bank mempertahankan sumber daya internal untuk memenuhi kewajiban.

    Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi yang lebih luas untuk memperkuat sektor keuangan, karena negara Afrika Barat tersebut bergulat dengan inflasi yang tinggi, ekonomi yang melemah, dan devaluasi mata uang setelah reformasi tahun 2023.

    Sebelumnya, bank sentral juga melarang bank menggunakan keuntungan revaluasi mata uang asing untuk dividen dan memberikan keringanan regulasi kepada mereka yang melanggar batasan pinjaman.

    Bank Sentral juga telah menaikkan persyaratan modal minimum sepuluh kali lipat pada tahun 2024 dan memberi bank waktu dua tahun untuk mematuhinya.