Perusahaan: Bloomberg

  • Bank Sentral Thailand Solid Putuskan Tahan Suku Bunga

    Bank Sentral Thailand Solid Putuskan Tahan Suku Bunga

    Bisnis.com, JAKARTA — Komite Kebijakan Moneter (MPC) Bank of Thailand (BOT) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan dalam pertemuan hari ini. Rabu (26/6/2025). Komite juga merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025, meskipun masih menghadapi sejumlah risiko eksternal seperti tarif AS dan konflik di Timur Tengah.

    Dalam rapat kebijakan moneter, tujuh anggota MPC BOT memilih dengan suara 6 berbanding 1 untuk mempertahankan suku bunga repo satu hari di level 1,75%. Keputusan ini setelah dua kali pemangkasan berturut-turut sejak Oktober 2024. Bloomberg melaporkan keputusan BOT untuk menahan suku bunga mencerminkan keterbatasan ruang kebijakan di tengah ketidakpastian global. 

    Gubernur BOT Sethaput Suthiwartnarueput sebelumnya memperingatkan bahwa cadangan amunisi kebijakan bank sentral sudah menipis setelah pemangkasan total 75 basis poin sejak akhir tahun lalu. MPC menilai bahwa pelonggaran suku bunga sebelumnya telah memberikan bantalan terhadap risiko yang ada. 

    “Kebijakan moneter sebaiknya tetap akomodatif untuk mendukung pemulihan ekonomi,” tulis MPC dalam pernyataan resminya dikutip dari Bloomberg.

    Adapun, BOT kini memperkirakan pertumbuhan ekonomi Thailand pada 2025 akan mencapai 2,3%, sedikit membaik dari perkiraan sebelumnya pada April di kisaran 1,3%–2%. 

    Sakkapop Panyanukul, Asisten Gubernur BOT mengatakan revisi tersebut didorong oleh membaiknya ekspor dan sektor manufaktur pada paruh pertama 2025, terutama akibat percepatan pengiriman barang sebelum tarif diberlakukan.

    Adapun, untuk 2026, BOT memproyeksikan pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 1,7%.

    “Ke depan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan melambat pada paruh kedua tahun ini karena ekspor barang menghadapi tekanan dari tarif AS, serta konsumsi domestik cenderung melemah seiring penurunan pendapatan dan kepercayaan konsumen,” tulis MPC

    BOT menyatakan pandangan optimistis terhadap pertumbuhan tahun ini juga ditopang oleh asumsi bahwa perang dagang dengan AS tidak akan separah perkiraan sebelumnya. Skenario dasar BOT memperkirakan tarif terhadap Thailand hanya sebesar 18%, atau setengah dari tarif 36% yang diumumkan pada April.

    Meski begitu, dewan mencatat bahwa konsumsi dalam negeri mulai melemah, jumlah wisatawan asing menurun, dan pelaku usaha menghadapi tekanan dari masuknya barang impor murah.

    Meskipun demikian, krisis politik dalam negeri turut menambah ketidakpastian. Retaknya koalisi pemerintahan pekan lalu bertepatan dengan negosiasi pemerintah Thailand guna menghindari ancaman tarif 36% dari AS. 

    Di sisi lain, ketegangan yang masih berlangsung antara Iran dan Israel turut memicu lonjakan harga minyak dunia—sebuah risiko besar bagi Thailand yang bergantung pada impor energi.

    UBS Group AG baru-baru ini memangkas rekomendasi atas saham Thailand menjadi netral dari overweight karena kekhawatiran arah kebijakan dan melemahnya sentimen investor.

    Dari sisi harga, tekanan inflasi diperkirakan tetap rendah. Inflasi utama diproyeksikan hanya sebesar 0,5% pada 2025 dan 0,8% pada 2026—jauh di bawah target BOT sebesar 1%–3%. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan berada di level 1% pada 2025 dan 0,9% pada 2026.

    “MPC menilai prospek ekonomi masih sangat tidak pasti. Kami siap menyesuaikan kebijakan moneter sesuai perkembangan risiko ekonomi dan inflasi di masa depan,” jelas MPC

    Thailand masih menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling lambat di kawasan Asia Tenggara. Namun, ekspor negara tersebut melonjak tajam pada Mei 2025—tertinggi sejak awal 2022—karena perusahaan mempercepat pengiriman barang sebelum tarif AS diberlakukan.

    Keputusan suku bunga hari ini menjadi salah satu yang terakhir di bawah kepemimpinan Gubernur BOT Sethaput Suthiwartnarueput, yang masa jabatannya akan berakhir pada 30 September. 

    Panel seleksi independen telah menyaring dua kandidat kuat pengganti Sethaput, yakni Presiden Government Savings Bank Vitai Ratanakorn dan Deputi Gubernur BoT Roong Mallikamas dari enam pelamar yang diwawancarai kemarin.

  • Negosiasi Buntu, Uni Eropa Bersiap Kenakan Tarif Balasan untuk Donald Trump

    Negosiasi Buntu, Uni Eropa Bersiap Kenakan Tarif Balasan untuk Donald Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Uni Eropa bersiap memberlakukan tarif balasan terhadap impor dari Amerika Serikat, karena Presiden Donald Trump tetap mengenakan tarif dasar atas produk-produk dari blok tersebut seperti yang diperkirakan banyak pihak.

    Melansir Bloomberg pada Rabu (25/6/2025), pejabat UE memperkirakan Amerika Serikat (AS) akan tetap mempertahankan sebagian tarif meskipun negosiasi dagang selesai. Hingga kini, Komisi Eropa—yang bertanggung jawab atas urusan perdagangan UE—belum memberikan sinyal apakah hal itu akan memicu aksi balasan.

    “Kami perlu melakukan pembalasan dan penyeimbangan di sejumlah sektor utama jika AS tetap ngotot pada kesepakatan yang timpang, termasuk jika hasil negosiasi tetap mempertahankan tarif 10%,” ujar Komisaris Industri UE Stephane Sejourne.

    UE kini tengah berpacu dengan waktu untuk mencapai kesepakatan sebelum hampir seluruh ekspor ke AS dikenakan tarif hingga 50% pada 9 Juli. Trump sebelumnya mengkritik keras UE yang menurutnya diciptakan untuk merugikan AS, serta menyebut surplus barang dan hambatan dagang sebagai alasan utama kebijakan tarifnya. 

    UE memperkirakan bahwa saat ini tarif AS telah mencakup 380 miliar euro (US$439 miliar), atau sekitar 70% dari total ekspor UE ke AS.

    Menurut seorang pejabat UE yang enggan disebutkan namanya, negosiasi belakangan ini menunjukkan percepatan, dan Komisi Eropa tengah berupaya keras mencari solusi yang saling menguntungkan.

    Namun, pekan lalu Komisi Eropa juga menyampaikan kepada negara-negara anggota bahwa AS masih mengajukan tuntutan yang berpotensi menciptakan kesepakatan yang tidak adil.

    Komisi Eropa akan mengevaluasi hasil akhir dan menentukan sejauh mana ketimpangan yang dapat diterima, jika ada. Keputusan soal aksi balasan harus dikonsultasikan dan disepakati bersama negara-negara anggota.

    Beberapa permintaan AS termasuk kuota ekspor perikanan yang dinilai bertentangan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), langkah-langkah tarif yang tidak bersifat timbal balik, serta tuntutan terkait keamanan ekonomi yang oleh pejabat UE disebut tidak realistis.

    Banyak pihak di UE memprediksi bahwa sebagian besar tarif AS akan tetap berlaku, termasuk tarif dasar 10%, meskipun kesepakatan dicapai. Inggris pun telah menandatangani kesepakatan dengan AS bulan ini yang tetap membebankan tarif 10% atas hampir seluruh ekspor dari Inggris.

    Komisaris Perdagangan UE Maros Sefcovic mengatakan pihaknya memahami bahwa AS menggunakan tarif 10% sebagai baseline. Oleh karena itu, dia menyebut Uni Eropa juga sedang menyiapkan langkah penyeimbangan yang akan melindungi bisnis dan pekerja Eropa apabila kesepakatan yang adil tidak tercapai.

    Sektor Terdampak Tarif Trump

    Salah satu sektor yang rentan dalam konflik dagang ini adalah industri penerbangan sipil. Sejourne menekankan bahwa Airbus SE yang berbasis di Toulouse, Prancis, tidak boleh dirugikan oleh kompetisi tidak adil dari Boeing yang berbasis di Virginia, AS, terutama karena tambahan tarif 10% terhadap Airbus.

    “Jika kita tidak melakukan penyeimbangan, maka kita akan membiarkan sektor-sektor utama tidak terlindungi. Maka dari itu, langkah ini juga penting dari sisi ekonomi,” ujarnya.

    Meskipun negosiasi berjalan positif, sejumlah pejabat Eropa memandang skenario terbaik adalah tercapainya kesepakatan prinsip sebelum tenggat 9 Juli, yang memungkinkan negosiasi diperpanjang dan gencatan tarif tetap berlaku.

    Adapun, Uni Eropa telah menyetujui tarif atas 21 miliar euro produk AS sebagai tanggapan atas tarif Trump terhadap ekspor baja dan aluminium. Tarif tersebut menyasar negara bagian yang sensitif secara politik, termasuk produk kedelai dari Louisiana—kampung halaman Ketua DPR AS Mike Johnson—serta produk pertanian, unggas, dan sepeda motor.

    Selain itu, blok tersebut juga menyiapkan daftar tambahan tarif terhadap produk AS senilai 95 miliar euro, sebagai respons atas kebijakan tarif timbal balik dan bea masuk otomotif Trump. Daftar ini masih dapat berubah sesuai masukan dari negara-negara anggota dan pelaku industri yang ingin melindungi sektor mereka.

    AS telah lebih dahulu mengenakan tarif terhadap mobil Eropa, baja, dan aluminium, serta mengumumkan rencana ekspansi tarif ke sektor lain seperti farmasi, semikonduktor, dan pesawat komersial.

    Kepada wartawan bulan ini dalam perjalanan pulang dari KTT G7 di Kanada, Trump menyatakan belum melihat tawaran yang adil dari UE.

    “Mereka harus membuat kesepakatan yang bagus, atau mereka akan membayar sesuai dengan apa yang kami tentukan,” ujarnya.

  • Bos The Fed Lapor ke Parlemen AS, Bahas Alasan Tahan Suku Bunga

    Bos The Fed Lapor ke Parlemen AS, Bahas Alasan Tahan Suku Bunga

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Federal Reserve Jerome Powell dijadwalkan akan memberikan kesaksian di hadapan parlemen AS pekan ini. 

    Melansir Bloomberg pada Selasa (24/6/2025) Powell akan mencoba menjelaskan alasan bank sentral tetap mempertahankan suku bunga acuan hingga setidaknya September, meski terus ditekan oleh Presiden Donald Trump agar segera menurunkannya.

    Powell akan tampil di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR AS pada Selasa pukul 10.00 waktu setempat dan kembali bersaksi keesokan harinya di Komite Perbankan Senat. 

    Kesaksian ini dilakukan hanya beberapa hari setelah The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga untuk keempat kalinya secara berturut-turut. Kondisi ini juga terjadi di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik menyusul serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran yang memicu kekhawatiran lonjakan harga minyak dan guncangan terhadap ekonomi global.

    Dalam pernyataan resminya nanti, Powell diperkirakan akan mengulangi pesan dari konferensi pers pekan lalu, bahwa bank sentral masih dalam posisi cukup baik untuk menunggu dan melihat arah ekonomi sebelum mengambil langkah lebih lanjut terhadap suku bunga.

    “Kami ingin mendapatkan lebih banyak data. Selama ekonomi tetap dalam kondisi solid, kami punya ruang untuk menunggu,” ujar Powell pekan lalu. 

    Dia juga menegaskan bahwa beban tarif impor pada akhirnya akan ditanggung oleh konsumen akhir.

    Hingga saat ini, kebijakan tarif pemerintahan Trump belum menunjukkan dampak signifikan terhadap lonjakan harga maupun peningkatan pengangguran yang dikhawatirkan sejumlah pembuat kebijakan. Bahkan, data inflasi inti pilihan The Fed diperkirakan hanya naik 0,1% pada Mei, menandai periode inflasi paling jinak dalam tiga bulan sejak 2020.

    Dua gubernur The Fed, Christopher Waller dan Michelle Bowman, menyatakan dampak tarif terhadap harga kemungkinan bersifat sementara dan membuka peluang pemangkasan suku bunga pada Juli.

    “Powell tampaknya enggan mengambil sikap tegas soal arah inflasi karena menilai risikonya terlalu tinggi jika penilaian keliru,” ujar James Egelhof, Kepala Ekonom AS di BNP Paribas.

    Dampak Konflik Iran

    Konflik antara Iran dan Israel yang kini turut melibatkan AS juga diprediksi akan menjadi topik pertanyaan dari anggota parlemen. AS baru saja melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, namun harga minyak belum menunjukkan lonjakan signifikan.

    Dalam konferensi pers sebelumnya, Powell bersikap hati-hati dalam menanggapi isu tersebut. 

    “Kami memantau situasi, seperti semua orang. Biasanya konflik di Timur Tengah memang memicu lonjakan harga energi, tapi biasanya bersifat sementara,” ujarnya. 

    Powell menambahkan, gejolak harga minyak semacam itu jarang berdampak permanen terhadap inflasi.

    Tekanan Politik dari Partai Republik

    Sejumlah anggota parlemen dari Partai Republik diperkirakan akan mendesak Powell memberikan pembelaan lebih tegas atas kebijakan menahan suku bunga. Meskipun demikian, sebagian di antaranya mengambil pendekatan lebih moderat dibandingkan Presiden Trump.

    Dan Meuser, anggota Komite Jasa Keuangan dari Pennsylvania, melalui media sosial mengatakan, Powell layak diapresiasi karena mampu menavigasi tantangan ekonomi yang sangat berat. 

    “Namun dengan inflasi mulai turun dan pasar tenaga kerja masih kuat, manfaat dari penurunan suku bunga menjadi semakin jelas,” lanjutnya.

    Sementara itu, Trump terus melancarkan serangan verbal terhadap Powell, termasuk menyebutnya sebagai salah satu orang paling bodoh dan merusak di pemerintahan.

    Dalam pertemuan dengan Trump pada Mei lalu, Powell menegaskan bahwa keputusan Federal Open Market Committee (FOMC) selalu didasarkan pada analisis yang hati-hati, objektif, dan bebas dari unsur politik.

    “Dia akan tetap tenang dan tak tergoyahkan,” ujar Mark Gertler, profesor ekonomi dari New York University.

    Di sisi lain, dukungan mungkin akan datang dari anggota Partai Demokrat yang khawatir independensi The Fed sedang terancam oleh tekanan politik dari kubu Republik.

    Regulasi Perbankan dan Cadangan Bank

    Isu lainnya yang juga mungkin dibahas dalam kesaksian Powell adalah arah regulasi sektor keuangan. Pemerintahan Trump mendorong pelonggaran aturan, termasuk dengan menunjuk Michelle Bowman sebagai penanggung jawab kebijakan pengawasan di The Fed. 

    Bowman baru-baru ini menyarankan agar regulator meninjau kembali aturan rasio leverage tambahan yang diberlakukan sejak krisis 2008.

    Aturan tersebut mengharuskan bank untuk menahan modal dalam jumlah tertentu terhadap aset yang dimilikinya. Menurut laporan Bloomberg, The Fed dan regulator lainnya tengah mempertimbangkan pelonggaran aturan ini untuk meningkatkan likuiditas pasar obligasi pemerintah AS senilai US$29 triliun.

    Powell juga diprediksi akan mendapat pertanyaan mengenai usulan kontroversial dari Senator Republik Ted Cruz yang ingin melarang The Fed membayar bunga atas cadangan bank. 

    Cruz mengklaim kebijakan itu bisa menghemat anggaran hingga US$1,1 triliun dalam satu dekade, meski banyak analis menilai hal tersebut akan melemahkan kendali The Fed atas suku bunga jangka pendek.

    Ketua Komite Perbankan Senat Tim Scott memang sempat menggagalkan penggabungan usulan tersebut ke dalam paket kebijakan fiskal Trump, namun tidak sepenuhnya menolaknya.

    Mekanisme pembayaran bunga atas cadangan bank saat ini berfungsi sebagai batas bawah suku bunga pasar uang harian, dan menghindari bank melakukan pinjaman di bawah target The Fed.

  • Trump Panik Harga Minyak Melonjak Pasca AS Serang Iran, Selat Hormuz Jadi Titik Kritis

    Trump Panik Harga Minyak Melonjak Pasca AS Serang Iran, Selat Hormuz Jadi Titik Kritis

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendesak produsen energi untuk menurunkan harga minyak mentah setelah serangan militer AS terhadap Iran.

    Melansir Bloomberg pada Selasa (24/6/2025), desakan tersebut dikeluarkan di tengah kekhawatiran bahwa konflik Timur Tengah yang memburuk dan potensi gangguan pasokan akan memperpanjang reli harga di pasar minyak global.

    “Semuanya, jaga harga minyak tetap rendah. Saya memantau! Jangan mainkan Senjata musuh, Jangan lakukan itu!” tulis Trump melalui media sosial pada Senin waktu setempat.

    Dalam unggahan lanjutan, Trump juga memerintahkan Departemen Energi untuk segera meningkatkan produksi. “Bor, saatnya bor!!! dan saya maksudkan sekarang juga!!!” ujarnya.

    Menanggapi perintah tersebut, Menteri Energi AS Chris Wright melalui platform X, mengatakan bahwa upaya tersebut telah dimulai.

    Unggahan Trump di media sosial menunjukkan bahwa tekanan dari potensi lonjakan harga minyak — dan dampaknya terhadap ekonomi domestik — mulai membebani pemerintahannya. 

    Sebelumnya, Trump sempat memuji penurunan harga minyak, meski hal itu sempat memicu ketidakpuasan dari para eksekutif energi yang mendanai kampanye pilpres 2024-nya.

    Namun, Trump memiliki opsi terbatas untuk menahan lonjakan harga di dalam negeri. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan cadangan strategis minyak AS, tetapi saat ini stok tersebut telah susut menjadi sekitar 400 juta barel — hanya setengah dari kapasitas maksimumnya.

    Sejumlah analis juga memperingatkan bahwa sekalipun cadangan tersebut dilepas ke pasar, dampaknya tidak akan cukup untuk menggantikan potensi kehilangan jutaan barel minyak per hari jika Iran benar-benar menebar ranjau laut di Selat Hormuz untuk mengganggu jalur pelayaran.

    Tutup Selat Hormuz

    Sementara itu, Iran memperingatkan keputusan Trump untuk ikut serta dalam serangan militer Israel dengan menyerang tiga fasilitas nuklir utama di negaranya akan memicu aksi balasan. Militer Iran menyatakan akan memberikan respons yang proporsional terhadap serangan AS.

    Salah satu langkah balasan yang paling dikhawatirkan adalah penutupan Selat Hormuz — jalur strategis di muara Teluk Persia yang dilintasi sekitar seperempat perdagangan minyak laut dunia.

    Meski fokus utama tertuju pada Selat Hormuz, potensi serangan balasan Iran juga dikhawatirkan dapat menyasar infrastruktur lain yang penting bagi pengolahan dan pengiriman minyak di kawasan. 

    Colby Connelly, peneliti senior di Middle East Institute mengatakan, sekitar 70%–75% minyak mentah, kondensat, dan produk hasil olahan dari Teluk mengalir melalui sembilan fasilitas utama yang berisiko menjadi titik hambatan.

    Penasihat ekonomi utama Gedung Putih, Kevin Hasset menyebut bahwa pasar minyak masih terlihat stabil.

    “Untuk saat ini belum ada tanda-tanda gangguan serius,” katanya.

    Namun, kenaikan harga minyak — termasuk bensin dan bahan bakar jet — berisiko menekan daya beli konsumen AS yang sebelumnya sudah terbebani inflasi. Kondisi ini juga bisa berdampak secara politik terhadap Trump dan Partai Republik menjelang pemilu.

    Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak mentah bisa melampaui US$130 per barel, menurut perkiraan Bloomberg Economics. 

    Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt menyatakan bahwa pemerintah AS sedang memantau secara aktif dan cermat situasi di Selat Hormuz serta memperingatkan bahwa rezim Iran akan bodoh jika benar-benar mengambil langkah tersebut.

    Harga minyak global saat ini tercatat sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan posisi sebelum Israel menyerang Iran awal bulan ini. Namun, pada perdagangan Senin, pasar mulai memangkas kenaikan tersebut seiring meredanya kekhawatiran akan gangguan pasokan dalam waktu dekat. 

    Harga minyak jenis Brent sempat melonjak ke level US$81,40 per barel, sebelum turun kembali ke bawah US$77. Menurut Connelly, lonjakan harga saat ini lebih mencerminkan reaksi pasar terhadap potensi gangguan pasokan ketimbang kehilangan pasokan riil. 

    “Namun, dampaknya mulai terasa di sejumlah wilayah, dan prospek makroekonomi global akan tertekan jika situasi ini berlangsung lebih lama — bahkan tanpa gangguan pasokan yang nyata,” ujar Connelly.

    Meski Trump telah mendorong peningkatan pengeboran domestik, langkah tersebut tidak serta-merta mampu mendorong produksi baru. Dalam beberapa tahun terakhir, pelaku industri energi AS cenderung enggan melakukan ekspansi besar-besaran karena harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat berada di bawah biaya produksi di beberapa lokasi.

    Secara umum, perusahaan minyak lebih cenderung mengambil keputusan investasi berdasarkan proyeksi harga jangka panjang ketimbang lonjakan harga sesaat akibat ketegangan geopolitik.

    Bahkan sebelum serangan AS terhadap Iran terjadi, pejabat pemerintahan Trump sudah membahas kemungkinan gangguan pasokan minyak yang bisa memicu lonjakan harga, termasuk opsi-opsi mitigasinya.

  • Apple Dikabarkan Tertarik Akuisisi Perplexity AI, Pencarian di Safari Turun

    Apple Dikabarkan Tertarik Akuisisi Perplexity AI, Pencarian di Safari Turun

    Bisnis.com, JAKARTA —  Apple, perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), dikabarkan berencana mengakuisisi perusahaan startup, Perplexity AI.

    Perplexity AI merupakan salah satu mesin pencari bertenaga AI (Artificial Intelligence) yang menggunakan Large Language Models (LLMs) untuk menyediakan jawaban langsung atas permintaan pencarian, lengkap dengan kutipan sumber.

    Perusahaan pengembangnya, Perplexity AI, Inc. sudah berdiri sejak 2022, dan berkantor pusat di San Francisco, Amerika Serikat.

    Dilansir Bloomberg, diskusi terkait akuisisi ini berkaitan dengan rencana Apple untuk menambahkan opsi pencarian bertenaga AI ke peramban Safari yang mengalami penurunan penelusuran karena semakin banyaknya pengguna yang beralih ke AI, bahkan menyebabkan saham Apple turun 1.1%.

    Diskusi yang masih berjalan di tahap awal berkemungkinan tidak akan menghasilkan penawaran apapun, para eksekutif Perplexity pun berkomentar bahwa mereka tidak mengetahui adanya diskusi terkait merger dan akuisisi saat ini atau masa mendatang yang melibatkan perusahaan mereka.

    Tantangan Apple dalam kesepakatan akuisisi Perplexity 

    Selain diskusi yang masih harus melalui tahapan panjang berikutnya, Apple juga menghadapi sejumlah tantangan besar lainnya. 

    Salah satunya adalah besarnya nilai perusahaan Perplexity, yang telah memacu antusiasme investor sehingga saat ini nilai perusahaan mereka sudah mencapai US$14 miliar atau Rp231 triliun (kurs: Rp16.505). 

    Diperkirakan nantinya apabila Apple berhasil mencapai kesepakatan akuisisi, itu akan menjadi jumlah investasi terbesar yang dilakukan perusahaan tersebut.

    Perusahaan-perusahaan seperti Meta dan Samsung juga menambah rintangan yang dihadapi. Reuters melaporkan Meta sudah mencoba untuk membeli Perplexity pada awal tahun ini. 

    Sementara itu, Samsung juga sudah melakukan pembicaraan lanjutan dengan Perplexity untuk mengintegrasikan beberapa fiturnya ke dalam ekosistemnya, meskipun mereka masih memilah hal-hal spesifik dengan Perplexity seperti misalnya opsi untuk menjadikan Perplexity sebagai alternatif default mesin pencarian AI selain Google Gemini.

    Adapun Perplexity sempat berminat untuk membeli TikTok, yang menghadapi tenggat waktu untuk melepaskan diri dari pemiliknya di China atau dilarang di Amerika Serikat.

    Perplexity dalam postingan blognya menguraikan visi untuk mengintegrasikan kemampuan pencarian internet berbasis AI-nya dengan aplikasi berbagi video pendek yang populer tersebut.

    “Menggabungkan mesin jawaban Perplexity dengan perpustakaan video TikTok yang luas akan memungkinkan kami membangun pengalaman pencarian terbaik di dunia,” tulis Perplexity di blog.

    Perplexity menyampaikan mereka dalam posisi menarik untuk membangun kembali algoritma TikTok tanpa menciptakan monopoli, menggabungkan kemampuan teknis kelas dunia dengan independensi Little Tech. 

    Perplexity mengatakan akan membangun infrastruktur untuk TikTok di pusat data di Amerika Serikat dan melakukan perawatan dengan pengawasan AS.

    Perusahaan rintisan AI tersebut juga mengusulkan untuk membangun kembali algoritma kemenangan TikTok “dari bawah ke atas”, membuat umpan rekomendasi “Untuk Anda” aplikasi tersebut menjadi sumber terbuka. (Muhamad Rafi Firmansyah Harun)

  • IMF: Konflik AS-Iran Picu Risiko Baru bagi Ekonomi Global

    IMF: Konflik AS-Iran Picu Risiko Baru bagi Ekonomi Global

    Bisnis.com, JAKARTA — Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memperingatkan serangan udara Amerika Serikat terhadap Iran dapat menimbulkan dampak yang lebih luas dari sekadar kenaikan harga energi, seiring dengan meningkatnya ketidakpastian global.

    Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva melihat serangan Amerika Serikat (AS) tersebut sebagai sumber ketidakpastian tambahan di tengah kondisi global yang sudah sangat tidak pasti.

    Menurutnya, guncangan terbesar sejauh ini memang terjadi di harga energi, yang tengah dipantau ketat oleh IMF, tetapi tidak menutup kemungkinan munculnya dampak sekunder maupun tersier.

    “Misalnya, jika gejolak ini memukul prospek pertumbuhan di negara-negara ekonomi besar, maka bisa memicu revisi turun terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global,” ujar Georgieva dikutip dari Bloomberg pada Senin (23/6/2025).

    Harga minyak jenis Brent sempat melonjak hingga 5,7% ke level US$81,40 per barel pada awal perdagangan Asia, sebelum memangkas penguatannya akibat aksi ambil untung di tengah volume perdagangan yang tinggi.

    IMF sebelumnya telah memangkas proyeksi pertumbuhan global pada April lalu, dengan memperingatkan bahwa pengaturan ulang perdagangan global yang dipimpin AS akan menahan laju ekspansi ekonomi. Georgieva menyebut tren tersebut masih berlanjut sepanjang dua kuartal pertama tahun ini.

    Meski dunia kemungkinan bisa menghindari resesi, dia menegaskan bahwa lonjakan ketidakpastian global akan tetap menekan prospek pertumbuhan.

    Dunia kini tengah menanti respons Iran setelah serangan udara AS yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap fasilitas nuklir negara tersebut memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dan pemerintah global.

    Langkah Presiden AS Donald Trump menggunakan bom penembus bunker untuk menghantam situs-situs strategis Iran dinilai telah mendorong kawasan Timur Tengah ke dalam ketidakpastian baru, di saat perekonomian global masih dibayangi ketegangan perdagangan.

    Dalam jangka pendek, Georgieva mengatakan bahwa IMF akan terus memantau perkembangan risiko premi minyak dan gas. Di pasar minyak, volume opsi melonjak tajam dan kurva futures telah menyesuaikan mencerminkan kekhawatiran akan keketatan pasokan dalam waktu dekat.

    Georgieva menuturkan, pihaknya akan memantau bagaimana peristiwa tersebut akan berkembang ke depannya. Dia menambahkan, IMF juga mengamati kemungkinan terganggunya jalur distribusi energi maupun dampaknya terhadap negara-negara lain. 

    “Saya hanya bisa berdoa agar tidak terjadi,” imbuhnya.

    Terkait perekonomian AS, Georgieva menilai tren disinflasi masih berlanjut, meskipun saat ini belum ada kondisi yang cukup meyakinkan bagi The Fed untuk mulai memangkas suku bunga.

    Georgieva memperkirakan menjelang akhir tahun, The Fed mungkin akan menilai bahwa waktunya sudah tepat untuk menurunkan suku bunga. Dia juga mencermati kekuatan pasar tenaga kerja dan kenaikan upah yang menopang daya beli konsumen AS.

    Namun demikian, Georgieva mengingatkan bahwa peningkatan volatilitas akan menjadi hambatan besar bagi dunia usaha.

    “Jika ketidakpastian meningkat, apa yang terjadi? Investor enggan berinvestasi, konsumen menunda belanja, dan itu semua menahan prospek pertumbuhan,” pungkasnya.

  • Konflik AS-Iran Memanas, Sektor Pelayaran Terancam

    Konflik AS-Iran Memanas, Sektor Pelayaran Terancam

    Bisnis.com, JAKARTA — Industri pelayaran global berada dalam siaga tinggi setelah muncul peringatan bahwa Iran dapat membalas serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklirnya dengan menyerang kapal-kapal komersial.

    Salah satu negara dengan kapasitas armada tanker minyak terbesar di dunia, Yunani memperingatkan para pemilik kapal untuk meninjau ulang rencana pelayaran mereka menuju Teluk Persia. 

    Dalam surat edaran yang dikutip dari Bloomberg pada Senin (23/6/2025), Kementerian Perkapalan Yunani meminta kapal-kapal yang hendak melintasi Selat Hormuz agar mengkaji ulang rute pelayaran mereka hingga situasi kembali normal. Pemerintah juga menyarankan agar kapal-kapal menunggu di pelabuhan aman terdekat.

    Peringatan dari Yunani menjadi sinyal terbaru atas tekanan yang meningkat di pasar pelayaran seiring eskalasi serangan terhadap Iran. Pendapatan tanker tercatat melonjak hampir 90% sejak Israel memulai serangan udara pada 13 Juni lalu. 

    Sebagai salah satu negara dengan kepemilikan kapal terbesar di dunia, imbauan kepada pemilik kapal Yunani memiliki dampak besar terhadap pasar pengangkutan komoditas, terutama minyak.

    Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan pemilik kapal akan mengabaikan imbauan tersebut karena Teluk Persia merupakan kawasan vital yang tidak mudah dihindari, dan tarif pelayaran yang tinggi bisa mengimbangi risiko yang dihadapi. 

    Kementerian Perkapalan Yunani menambahkan kapal-kapal yang tetap memilih melintasi Hormuz harus menerapkan tingkat keamanan tertinggi dan menjaga jarak sejauh mungkin dari perairan Iran.

    Dalam pernyataan resminya, Kementerian Perkapalan Yunani menyatakan kekhawatiran atas potensi penutupan Selat Hormuz menjadi alasan utama di balik peringatan tersebut.

    Juru bicara pemerintah Yunani, Pavlos Marinakis, mengatakan bahwa melalui Kementerian Perkapalan, pemerintah telah mengimbau kapal berbendera dan/atau dimiliki Yunani yang berada di sekitar Selat Hormuz untuk segera menuju pelabuhan aman sampai situasi kembali stabil.

    Respons industri pelayaran terhadap risiko ini akan menjadi faktor krusial pascaserangan, mengingat kedekatan Iran dengan Selat Hormuz—jalur penting yang dilewati sekitar 20% pasokan minyak dunia dan merupakan akses utama menuju Teluk Persia.

    Sejumlah perusahaan tanker Yunani menyatakan masih menilai perkembangan situasi. Salah satu pejabat mengatakan kemungkinan tetap mengizinkan kapal-kapalnya berlayar ke kawasan tersebut, sementara yang lain menyatakan akan menghindari pelayaran ke wilayah tersebut untuk sementara waktu.

    Perusahaan pelayaran raksasa A.P. Moller – Maersk A/S menyatakan masih melanjutkan pelayaran melalui Selat Hormuz, namun siap mengevaluasi kembali keputusan tersebut seiring perkembangan situasi.

    Pasukan angkatan laut yang beroperasi di kawasan tersebut turut mengingatkan bahwa kapal-kapal, khususnya yang memiliki afiliasi dengan Amerika Serikat, menghadapi peningkatan risiko serangan. 

    Risiko Lebih Luas

    Peringatan juga datang dari kelompok-kelompok angkatan laut internasional. Pusat Informasi Maritim Gabungan (Joint Maritime Information Center/JMIC), yang menjadi penghubung antara angkatan laut dan industri pelayaran niaga di kawasan tersebut, menyatakan serangan udara AS meningkatkan risiko serangan terhadap kapal-kapal komersial dan militer yang terkait dengan AS di Laut Merah dan Teluk Aden.

    Kelompok pemberontak Houthi di Yaman turut mengeluarkan ancaman baru terhadap kapal-kapal AS pada hari yang sama. Sebelumnya, telah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara AS dan Houthi pada Mei lalu untuk mengurangi serangan terhadap armada laut AS. 

    Dalam pembaruan informasinya, JMIC menyarankan agar kapal-kapal yang berafiliasi dengan AS mempertimbangkan untuk mengubah jalur pelayaran.

    Meski demikian, beberapa kapal yang terkait dengan AS dilaporkan berhasil melintasi Selat Hormuz dengan aman—yang dinilai sebagai sinyal positif jangka pendek.

    Secara terpisah, Pasukan Angkatan Laut Uni Eropa yang beroperasi di kawasan juga meningkatkan level ancaman terhadap kapal-kapal terkait AS menyusul serangan udara tersebut. Saat ini, mereka menilai kapal yang terhubung dengan AS dan Israel menghadapi ancaman serius, sementara risiko terhadap kapal lain tergolong rendah.

    “Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa seluruh kapal niaga dapat menjadi target di masa mendatang,” tulis peringatan resmi yang dipublikasikan oleh MICA Center, lembaga yang berbasis di Prancis dan bertugas mengoordinasikan keamanan maritim global.

  • Sinyal Waspada Ekonomi Global Imbas Serangan AS ke Iran

    Sinyal Waspada Ekonomi Global Imbas Serangan AS ke Iran

    Bisnis.com, JAKARTA – Serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir Iran berisiko menimbulkan efek berantai yang dapat berdampak buruk terhadap perekonomian global.

    Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva yang mengingatkan bahwa serangan udara AS dapat memicu dampak lanjutan yang meluas, jauh melampaui sektor energi.

    “Ini kami lihat sebagai sumber ketidakpastian tambahan dalam lingkungan yang sudah sangat tidak stabil,” kata Georgieva seperti dilansir Bloomberg, Senin (23/6/2025).

    Ia menyebut gejolak terbesar sejauh ini tercermin pada lonjakan harga energi, yang kini tengah diawasi ketat oleh IMF. Namun, ia menambahkan bahwa bisa saja muncul dampak sekunder dan tersier dari lonjakan harga energi tersebut.

    ”Misalnya, jika turbulensi ini mulai memukul prospek pertumbuhan ekonomi besar, maka kita berhadapan dengan risiko revisi turun terhadap proyeksi pertumbuhan global,” lanjutnya.

    Harga acuan minyak dunia, Brent, sempat melesat hingga 5,7% ke US$81,40 per barel pada perdagangan pagi di Asia, sebelum terkoreksi sebagian akibat aksi jual intensif.

    IMF sendiri telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini pada April lalu, ketika memperingatkan bahwa upaya “reboot” perdagangan global yang dipimpin AS justru memperlambat laju pertumbuhan.

    Georgieva mengatakan, data kuartal pertama dan kedua menunjukkan tren tersebut masih berlangsung. Meskipun dunia diperkirakan terhindar dari resesi, lonjakan ketidakpastian terus menekan ruang pertumbuhan.

    Ketegangan geopolitik meningkat tajam setelah Presiden Donald Trump memerintahkan serangan dengan bom penembus bunker ke situs nuklir Iran. Langkah ini mendorong kawasan Timur Tengah ke wilayah risiko yang belum terpetakan, dan mengguncang sentimen global di saat perekonomian dunia masih belum pulih dari tekanan perang dagang.

    Secara spesifik, Georgieva menyatakan IMF kini tengah mencermati premi risiko energi — terutama di pasar minyak dan gas. Volume transaksi opsi meningkat tajam, sementara kurva kontrak berjangka mengalami pergeseran mencerminkan kekhawatiran terhadap potensi keketatan pasokan jangka pendek.

    “Kita masih harus melihat bagaimana peristiwa ini akan berkembang,” ujarnya, seraya menyampaikan kekhawatiran akan kemungkinan terganggunya jalur distribusi energi atau meluasnya dampak ke negara-negara lain. “Saya hanya bisa berdoa agar itu tidak terjadi.”

    Mengenai kondisi ekonomi AS, Georgieva melihat tren disinflasi masih berjalan, namun The Fed belum berada dalam posisi untuk segera memangkas suku bunga.

    “Menjelang akhir tahun, kami memperkirakan The Fed mungkin akan menilai bahwa waktunya telah tiba untuk melakukan penyesuaian ke bawah pada suku bunga,” tuturnya. Ia menunjuk pada kekuatan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan upah yang menopang daya beli rumah tangga sebagai faktor utama.

    Namun, Georgieva menegaskan bahwa semakin tinggi gejolak dan ketidakpastian, semakin besar pula tekanan yang dihadapi dunia usaha.

    “Dalam situasi tidak pasti, apa yang terjadi? Investor menunda investasi, konsumen menahan belanja, dan prospek pertumbuhan pun tertahan,” pungkasnya.

    Antisipasi Balasan Iran

    Sebagai langkah awal, Iran membalas dengan meluncurkan gelombang rudal ke wilayah Israel, menimbulkan puluhan korban luka dan meratakan sejumlah bangunan di Tel Aviv.

    Kendati belum ada aksi langsung terhadap pangkalan militer AS atau penutupan jalur minyak global, para pengamat menilai bahwa situasi dapat berubah sewaktu-waktu.

    Dalam pernyataannya di Istanbul, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi menegaskan bahwa segala opsi masih di atas meja. Jalur diplomasi, kata dia, hanya akan dibuka setelah Teheran memberikan respons militer.

    “Amerika telah menginjak-injak hukum internasional. Mereka hanya paham bahasa ancaman dan kekuatan,” ujar Araqchi, dikutip Reuters, Senin (23/6/2025).

    Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yakni Ali Shamkhani, menulis di platform X (dulu Twitter): “Kejutan akan terus berlanjut!”

    Di sisi lain, Departemen Luar Negeri AS memerintahkan evakuasi keluarga staf diplomatik dari Lebanon dan mengimbau warganya di Timur Tengah untuk membatasi mobilitas dan menjaga profil rendah. Peringatan keamanan domestik juga diperketat, dengan patroli dan pengamanan ditingkatkan di lokasi-lokasi strategis, keagamaan, dan diplomatik.

    Ancaman Penutupan Selat Hormuz

    Parlemen Iran telah menyetujui langkah awal untuk menutup Selat Hormuz—jalur strategis yang dilalui hampir 25% dari total perdagangan minyak dunia dan berbatasan langsung dengan Oman serta Uni Emirat Arab.

    Meski keputusan akhir masih berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran yang diketuai oleh pejabat pilihan Ayatollah Khamenei, upaya ini dipandang sebagai potensi pemicu gejolak besar di pasar minyak global.

    Penutupan jalur ini diperkirakan akan mengerek harga minyak secara drastis, mengguncang perekonomian dunia, dan meningkatkan risiko konfrontasi langsung dengan Armada Kelima Angkatan Laut AS yang ditugaskan menjaga kelancaran lalu lintas di kawasan Teluk.

    Analis keamanan juga memperingatkan bahwa bila Iran terdesak, mereka dapat beralih ke strategi tidak konvensional, termasuk serangan bom atau siber.

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam wawancara dengan Sunday Morning Futures menegaskan bahwa jika Iran membalas, itu akan menjadi kesalahan terburuk yang pernah mereka buat.

    Dalam pernyataan terpisah kepada CBS, Rubio menambahkan bahwa meskipun tidak ada rencana operasi lanjutan saat ini, AS memiliki target lain yang siap diserang jika diperlukan.

    “Tidak ada rencana aksi militer tambahan terhadap Iran, kecuali mereka bertindak sembrono,” ujarnya.

    Sementara itu, Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar pertemuan darurat pada Minggu malam waktu New York atas permintaan Iran. Teheran menyerukan agar badan beranggotakan 15 negara itu mengecam tindakan AS yang dinilai sebagai agresi terang-terangan dan ilegal.

  • Dua Kapal Tanker Raksasa Putar Balik di Selat Hormuz Usai AS Serang Iran

    Dua Kapal Tanker Raksasa Putar Balik di Selat Hormuz Usai AS Serang Iran

    Bisnis.com, JAKARTA — Dua supertanker berkapasitas 2 juta barel minyak mentah putar balik di Selat Hormuz. Hal ini dilakukan usai Amerika Serikat (AS) menyerang tiga fasilitas nuklir Iran.

    Serangan itu membuat konflik di Timur Tengah semakin memanas. Bahkan, jalur pengiriman minyak di Selat Hormuz pun terancam dan dihindari.

    Dilansir dari Bloomberg, dua supertanker itu adalah Coswisdom Lake dan South Loyalty. Data pelacakan menunjukan dua kapal raksasa itu mengubah arah sebelum memasuki Selat Hormuz, Minggu (22/6/2025) waktu setempat.

    Dua kapal yang belum terisi muatan itu lantas berlayar ke arah selatan, menjauh dari muara Teluk Persia. Langkah yang diambil kedua kapal tersebut menjadi sinyal pertama pengalihan rute imbas serangan AS.

    Bloomberg melaporkan, kapal-kapal pengangkut minyak lain diprediksi turut menghindari Selat Hormuz. Apalagi, Pemilik dan pedagang kapal tanker minyak mencermati dengan saksama tanda-tanda bahwa eskalasi di Timur Tengah akan memengaruhi rute pelayaran.

    Kementerian Perkapalan Yunani bahkan sudah mengeluarkan pemberitahuan yang menyarankan kapal-kapalnya untuk menghindari Selat Hormuz. Sebagai gantinya, kapal-kapal itu diminta berlindung di pelabuhan yang aman sampai situasi tenang.

    Di satu sisi, Pemerintahan Iran sedang dalam pembahasan untuk menutup Selat Hormuz. Penutupan ini telah dibahas oleh Parlemen Republik Islam Iran pada Minggu, di mana mereka telah menyetujui usulan penutupan Selat Hormuz bagi seluruh kegiatan pelayaran. 

    “Parlemen telah mencapai kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup,” kata Mayor Jenderal Esmaeli Kowsari, anggota Komisi Keamanan Nasional di Parlemen Iran, sebagaimana disiarkan televisi Iran Press TV.

    Selat Hormuz merupakan salah satu jalur laut yang paling penting bagi lalu lintas pasokan minyak dunia.

    “Keputusan akhir mengenai hal tersebut akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan Tertinggi Nasional,” kata dia, merujuk pada otoritas keamanan tertinggi di Iran.

    Selat Hormuz, yang terletak di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Selat ini memiliki panjang hampir 161 kilometer (km) dan lebar 34 km pada titik tersempitnya, dengan jalur pelayaran di setiap arah hanya selebar 3 km. 

    Selat Hormuz cukup dalam dan lebar untuk dilalui kapal tanker minyak mentah terbesar di dunia dan merupakan salah satu jalur minyak paling penting di dunia. 

    Volume minyak yang mengalir melalui selat ini sangat besar. Jika selat ditutup, hanya sedikit jalur alternatif perdagangan minyak yang tersedia.

    Berdasarkan data U.S. Energy Information Administration (EIA), pada 2024, aliran minyak melalui Selat Hormuz rata-rata mencapai 20 juta barel per hari (bph), atau setara dengan sekitar 20% dari konsumsi minyak bumi global.

  • AS Ikut Perang Israel-Iran, Pemerintah Perlu Jaga Rupiah & Harga Minyak

    AS Ikut Perang Israel-Iran, Pemerintah Perlu Jaga Rupiah & Harga Minyak

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyoroti perlunya langkah darurat dan sigap dari pemerintah untuk menghadapi potensi volatilitas rupiah dan kenaikan harga minyak usai Amerika Serikat terjun ke medan perang Israel—Iran.

    Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengungkapkan perang terbuka antara Israel dan Iran yang kini melibatkan langsung Amerika Serikat dan harus menjadi alarm serius bagi Indonesia. 

    Dirinya menekankan bahwa Indonesia tidak boleh menonton dalam diam. Ketika AS mengerahkan B-2 bomber untuk menghancurkan infrastruktur nuklir Iran, dampaknya tak hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga menggoyang fondasi ekonomi dan geopolitik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Pemerintah Indonesia harus segera bertindak, bukan sekadar membuat pernyataan normatif. Presiden dan jajarannya harus mempersiapkan langkah darurat menghadapi lonjakan harga minyak dunia,” ujarnya, Minggu (22/6/2025).  

    Syafruddin memandang ketergantungan Indonesia pada impor energi akan menjadi beban fiskal besar jika harga minyak menembus US$100 per barel. Dalam APBN 2025, pemerintah mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia pada level US$82 per barel. 

    Per 20 Juni 2025, harga minyak mentah Indonesia berada di level US$65,29 per dolar AS. Mengacu data Bloomberg, harga minyak Brent telah mencapai puncaknya pada 19 Juni 2025 di angka US$78,85 per barel usai serangan Israel ke Iran. 

    Sementara Kementerian Keuangan telah mewaspadai konflik Israel dan Iran yang memburuk dapat mengganggu pasokan dan mendorong lonjakan harga minyak mentah Indonesia. Di samping harga minyak, Syafruddin menuturkan bahwa menunda revisi kebijakan subsidi energi hanya akan memperparah defisit APBN. 

    Selain itu, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan harus memperkuat koordinasi stabilisasi rupiah. Dengan kondisi saat ini, potensi capital outflow akibat dapat menekan nilai tukar dan mengerek inflasi. Untuk itu, intervensi moneter harus disertai penajaman komunikasi kebijakan agar pasar tetap tenang.

    Terlebih pada pekan ini, Bank Indonesia melaporkan adanya aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan Tanah Air senilai Rp2,04 triliun untuk periode 16—19 Juni 2025 atau pekan ketiga Juni.

    Syafruddin melihat saat Presiden Trump mengonfirmasi serangan udara terhadap situs nuklir Iran, termasuk penghancuran fasilitas Fordow, eskalasi konflik berubah drastis dari serangan regional menjadi pertarungan terbuka antara kekuatan global. 

    Saat ini, pemerintah Indonesia Indonesia belum memberikan pernyataan secara khusus terkait langkah menghadapi aksi teranyar Presiden AS Donald Trump. 

    Pasukan militer Amerika Serikat (AS) telah menyerang tiga situs nuklir Iran, termasuk Fordow, Natanz, dan Esfahan, pada Sabtu (21/6/2025) malam.  

    Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan serangan yang sangat sukses. Kini, seluruh awak pesawat yang membawa bom ke Iran telah berhasil keluar.  

    “Muatan penuh bom dijatuhkan di situs utama, Fordow. Semua pesawat dalam perjalanan pulang dengan selamat. Selamat kepada Prajurit Amerika kita yang hebat. Tidak ada militer lain di dunia yang bisa melakukan ini,” ujar Trump, dikutip dari akun resmi @WhiteHouse, Minggu (22/6/2025).   

    Lewat aksi ini, Trump disebut bertujuan untuk menghentikan perang yang terjadi dalam sepekan terakhir antara Iran dan Israel.