Perusahaan: Bloomberg

  • iPhone Bisa Dipakai Tanpa Internet, Tak Cuma Buat Kirim Chat

    iPhone Bisa Dipakai Tanpa Internet, Tak Cuma Buat Kirim Chat

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Konektivitas internet berbasis satelit menjadi salah satu teknologi yang berkembang pesat saat ini, selain teknologi kecerdasan buatan. Selain Starlink milik Elon Musk, sudah banyak perusahaan lain yang mengembangkan satelit untuk mengalirkan konektivitas ke area remot.

    Bahkan, Starlink juga membawa tren untuk menghubungkan langsung koneksi satelit ke HP. Operator seluler T-Mobile sudah bermitra dengan Starlink untuk menawarkan koneksi satelit ke konsumen.

    Selain itu, pabrikan HP juga sudah mulai menggenjot teknologi koneksi satelit. Salah satunya Apple yang sudah meluncurkan fitur ‘Emergency SOS’ via satelit di iPhone sejak 2022.

    Konsepnya relevan dengan skenario masalah di masyarakat. Ketika sedang bepergian ke tempat yang susah sinyal atau di tengah situasi darurat, pengguna iPhone bisa memanfaatkan Emergency SOS untuk menghubungi orang lain tanpa memerlukan jaringan internet seluler atau Wi-Fi.

    Selanjutnya, pada sistem operasi iOS 18, Apple juga menelurkan fitur pesan singkat dengan memanfaatkan koneksi satelit, tanpa internet mobile.

    Menurut analis Bloomberg, Mark Gurman, Apple juga sudah menyiapkan beberapa rencana besar untuk mengekspansi kemampuan konektivitas satelit di iPhone. Berikut rangkumannya:

    Peningkatan penggunaan di berbagai kondisi

    Apple ingin meningkatkan kemampuan koneksi satelit tanpa harus terhambat dengan beragam halangan fisik yang ada. Saat ini, ada beberapa kendala akses koneksi satelit, misalnya ketika mengakses di wilayah banyak pohon atau di dalam gedung.

    Sinyal satelit mungkin susah terjangkau. Namun, dengan peningkatan ‘penggunaan natural’, Apple ingin konektivitas satelitnya tetap stabil di berbagai situasi.

    Apple Maps via satelit

    Setelah terhubung ke satelit di lebih banyak tempat, fitur-fitur baru lainnya akan menjadi lebih bermanfaat. Salah satunya adalah versi baru Apple Maps yang mendukung satelit, yang memungkinkan pengguna menggunakan aplikasi tanpa perlu Wi-Fi atau koneksi mobile.

    Pengguna bisa mencari petunjuk arah di area dengan sinyal rendah atau bahkan tanpa sinyal.

    Kirim foto via satelit

    Perpesanan adalah area lain yang kabarnya akan mengalami beberapa peningkatan. Meskipun saat ini pengguna dapat mengirim pesan teks melalui satelit, Gurman mengatakan Apple sedang berupaya mendukung pengiriman foto melalui satelit.

    Dukungan pihak ketiga

    Bukan hanya aplikasi dan layanan Apple sendiri yang akan diuntungkan. Gurman mengatakan Apple sedang mengembangkan API yang memungkinkan pengembang pihak ketiga menambahkan dukungan satelit ke aplikasi mereka.

    Software Apple sendiri mungkin menawarkan pengalaman terbaik, tetapi juga membuka peluang untuk dukungan yang lebih luas. Aplikasi navigasi lain, seperti Google Maps, berpotensi terhubung ke satelit dengan cara ini.

    Jika pengguna lebih menyukai aplikasi pihak ketiga daripada Apple Maps, tidak perlu lagi menggunakan aplikasi peta bawaan iPhone saat tidak ada sinyal seluler.

    Cakupan lebih luas

    Meskipun tidak akan memengaruhi pemilik iPhone saat ini, iPhone 18 kemungkinan akan mendukung 5G NTN, yang memungkinkan menara seluler terhubung ke satelit untuk meningkatkan jangkauan.

    Berbagai bocoran dari Gurman belum dikonfirmasi langsung oleh Apple. Peningkatan konektivitas satelit ini juga belum jelas kapan akan direalisasikan.

    Menurut Gurman, Apple membutuhkan Globalstar, perusahaan yang membangun infrastruktur satelitnya, untuk melakukan peningkatan hardware. Dengan asumsi hal itu terjadi, tak akan ada lagi drama hilang sinyal dan putus kontak di berbagai situasi berkat dukungan koneksi satelit. Kita tunggu saja!

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Laptop Apple Turun Harga, Paling Murah Setara Chromebook

    Laptop Apple Turun Harga, Paling Murah Setara Chromebook

    Jakarta, CNBC Indonesia – Apple dikabarkan sedang menyiapkan laptop Mac dengan harga lebih murah untuk bersaing langsung dengan Chromebook dan laptop Windows kelas entry-level. Perangkat ini disebut akan meluncur paling cepat pada 2026.

    Laporan Bloomberg menyebut Apple tengah mengembangkan laptop baru dengan harga jauh di bawah US$1.000 atau di bawah Rp 16 juta. Laptop tersebut saat ini berada dalam tahap produksi awal dengan nama sandi J700.

    Rumor mengenai MacBook versi murah sebenarnya sudah pernah muncul, bahkan disebut akan dijual di kisaran US$599.

    Harga ini akan membuat MacBook langsung dalam persaingan dengan Chromebook yang selama ini mendominasi pasar perangkat murah, terutama di sektor pendidikan.

    Apple belum memberikan komentar resmi terkait kabar tersebut.

    Menurut laporan yang ditulis jurnalis Mark Gurman, Apple akan menekan harga dengan menggunakan panel LCD berukuran lebih kecil dibanding MacBook Air 13,6 inci, kemungkinan menjadi 12 inci.

    Selain itu, Apple juga akan memakai chip seri A yang biasa digunakan pada iPhone, bukan chip M-series seperti di MacBook Air dan Pro terbaru.

    Chip tersebut kemungkinan merupakan varian dari A19 Pro, yang debut di iPhone 17 Pro dan iPhone Air, dan diklaim mampu memberikan performa mendekati laptop untuk penggunaan sehari-hari.

    CNET mencatat langkah ini cukup agresif, mengingat MacBook Air M4 saat ini dijual mulai US$ 999, sementara MacBook Air M1 yang lebih lama masih dipasarkan sekitar US$ 600 di beberapa ritel.

    Laptop terjangkau ini diperkirakan menyasar para pelajar dan mahasiswa, pengguna umum untuk kebutuhan browsing dan dokumen, pembeli iPad yang menginginkan pengalaman laptop tradisional, dan pasar bisnis kelas entry-level.

    Namun, masuk ke sektor pendidikan bukanlah hal mudah bagi Apple. Sejak pandemi, Chromebook telah mendominasi ruang kelas karena harganya yang murah dan kemudahan pengelolaan perangkat.

    “Jika langkah ini murni untuk menarik konsumen agar memilih MacBook berkualitas dengan harga lebih rendah yang menjalankan MacOS daripada iPad dengan keyboard, maka ya, Apple kemungkinan dapat merebut sebagian pasar itu,” kata Josh Goldman, managing editor CNET, dikutip dari CNET, Selasa (11/11/2025).

    “Namun masuk ke pasar pendidikan saat ini akan menantang, karena Chromebook telah mendominasi sejak masa pandemi. Meski begitu, saya yakin bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi Apple dengan dana besar,” lanjutnya.

    Jika benar MacBook akan dijual di rentang harga US$300 hingga US$600, ini akan menjadi pergeseran strategi signifikan dari Apple yang biasanya fokus pada segmen premium.

    Tekanan ekonomi global, seperti inflasi, tarif impor, hingga gelombang PHK di berbagai sektor, membuat permintaan perangkat terjangkau meningkat. Kondisi inilah yang dinilai dapat mendorong Apple masuk ke pasar laptop murah.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Senat AS Bahas Paket Anggaran Sementara untuk Akhiri Shutdown Pemerintah

    Senat AS Bahas Paket Anggaran Sementara untuk Akhiri Shutdown Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemimpin Partai Republik di Senat AS, John Thune, menyebut kesepakatan untuk mengakhiri penutupan pemerintahan (government shutdown) selama 40 hari mulai mengerucut, dengan rencana pemungutan suara uji coba pada Minggu (9/11/2025) waktu setempat untuk paket anggaran terbatas.

    Namun, belum jelas apakah Partai Demokrat akan mendukung langkah tersebut. Sebagian besar anggota Demokrat tetap bersikeras agar perpanjangan subsidi Obamacare bagi warga berpenghasilan rendah selama satu tahun dimasukkan dalam kesepakatan pembukaan kembali pemerintahan.

    Melansir Bloomberg pada Senin (10/11/2025), Thune mengatakan di Gedung Capitol bahwa dia akan mengamati hasil pemungutan suara untuk melihat apakah ada 10 suara tambahan dari Demokrat yang mendukung. 

    Dia menambahkan, teks paket baru tersebut akan segera dirilis, dan pemungutan suara diperkirakan berlangsung dalam 4 hingga 6 jam setelahnya.

    Sementara itu, Menteri Perhubungan Sean Duffy memperingatkan lalu lintas udara bisa melambat drastis selama libur Thanksgiving jika kebuntuan anggaran tidak segera berakhir. 

    Senat menyiapkan rancangan undang-undang sementara yang akan mendanai Departemen Pertanian, Departemen Urusan Veteran, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA), serta lembaga legislatif hingga 30 September 2026. Lembaga pemerintah lainnya kemungkinan akan mendapatkan dana hingga 31 Januari 2026.

    Untuk pertama kalinya sejak penutupan dimulai, para senator tetap berada di Washington selama akhir pekan setelah Presiden Donald Trump menegur mereka agar tidak meninggalkan kota sebelum kebuntuan anggaran terselesaikan.

    Partai Demokrat, yang baru saja meraih kemenangan besar dalam pemilu lokal di sejumlah negara bagian, sempat melunakkan tuntutan mereka dengan menawarkan perpanjangan kredit pajak untuk subsidi Obamacare selama satu tahun sebagai imbalan pembukaan kembali pemerintahan. 

    Namun, Partai Republik langsung menolak usulan itu, meski kedua kubu mulai melakukan pembicaraan informal untuk mencari jalan tengah.

    Trump terus menekan senator Partai Republik melalui media sosial agar menghapus aturan filibuster, sehingga partainya bisa meloloskan RUU dengan suara mayoritas sederhana tanpa memerlukan 60 suara dukungan. 

    Dia juga melontarkan ide memberikan bantuan langsung kepada warga untuk membayar biaya kesehatan, tanpa menunjukkan keinginan bernegosiasi dengan Demokrat.

    “Selama beberapa minggu terakhir, ia lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan golf ketimbang berbicara dengan anggota Demokrat yang mewakili setengah populasi negara ini untuk mencari solusi bipartisan,” ujar Pemimpin Demokrat di DPR Hakeem Jeffries.

    Dampak penutupan pemerintahan kian terasa seiring berlarutnya krisis ini. Pegawai federal belum menerima gaji, sementara dana darurat untuk membiayai tunjangan dan membayar personel militer semakin menipis. Tumpukan permohonan pengembalian pajak, pinjaman usaha kecil, dan aplikasi federal lainnya juga terus meningkat.

    Para anggota parlemen memperingatkan sejumlah titik kritis — mulai dari kekacauan penerbangan hingga keterlambatan bantuan pangan — yang bisa menjadi pemicu diakhirinya shutdown. Namun, sejauh ini belum ada tanda-tanda jelas kapan kebuntuan tersebut akan berakhir, meningkatkan ketidakpastian politik dan ekonomi.

    Penutupan pemerintahan ini diperkirakan menelan biaya sekitar US$15 miliar per pekan bagi perekonomian AS. Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperkirakan, shutdown dapat memangkas pertumbuhan PDB riil tahunan sebesar 1,5% pada kuartal keempat tahun ini. 

    Sentimen konsumen juga turun ke level terendah dalam tiga tahun pada Jumat lalu di tengah kekhawatiran terhadap harga, pekerjaan, dan dampak penutupan pemerintahan yang berkepanjangan.

  • Miliarder Dubai Pro Trump Beli Kapal Mewah Superyacht Amadea, Segini Nilainya

    Miliarder Dubai Pro Trump Beli Kapal Mewah Superyacht Amadea, Segini Nilainya

    Liputan6.com, Jakarta – Dunia bisnis dan politik internasional kembali ramai setelah terungkap sebuah perusahaan yang terkait dengan miliarder Dubai, Hussain Sajwani, membeli superyacht Amadea, kapal pesiar mewah yang sebelumnya disita oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) dari oligarki Rusia Suleiman Kerimov.

    Pembelian ini menjadi sorotan bukan hanya karena nilai transaksinya yang fantastis, tetapi juga karena hubungan dekat Sajwani dengan mantan Presiden AS Donald Trump, yang kini kembali menjadi figur politik berpengaruh menjelang pemilihan mendatang. Demikian mengutip Business Insider, Sabtu (8/11/2025).

    Amadea, kapal sepanjang 106 meter yang bernilai sekitar USD 230 juta, atau Rp 3,83 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.689) menjadi pusat kontroversi karena selama disita, biaya perawatan bulanannya mencapai USD 1 juta atau sekitar Rp 16 miliar, yang dibebankan melalui pajak rakyat Amerika Serikat.

    Pemerintah AS melalui Departemen Kehakiman akhirnya memutuskan untuk melelang kapal tersebut pada September lalu, dan transaksi pembelian diselesaikan pada Oktober 2025.

    Dokumen pendaftaran terbaru menunjukkan kapal tersebut kini dimiliki oleh Beyond Holdings Group Limited, perusahaan yang berbasis di Kepulauan Virgin Britania Raya, tetapi beralamat di kantor pusat Damac Group di Dubai, konglomerasi besar milik Hussain Sajwani. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa miliarder pro-Trump tersebut berada di balik pembelian kapal supermewah itu.

    Menurut data dari Bloomberg Legal Entity Identifier, Beyond Holdings Group Limited beralamat di lantai 20 gedung Executive Heights, Dubai, alamat yang sama dengan kantor pusat Damac Group milik Sajwani. Nama lama perusahaan tersebut, AHS Four Company Limited, juga terkait dengan keluarga Sajwani. Yacht pribadi putra Sajwani, Abbas Sajwani, bernama AHS dan dimiliki oleh perusahaan lain bernama AHS One Company Limited.

  • Periode Libur Panjang Dorong Kenaikan Inflasi China pada Oktober 2025

    Periode Libur Panjang Dorong Kenaikan Inflasi China pada Oktober 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Indeks harga konsumen atau inflasi China mengalami kenaikan tak terduga pada Oktober 2025. Hal ini didorong oleh meningkatnya permintaan perjalanan, makanan, dan transportasi selama periode libur panjang.

    Melansir Bloomberg pada Senin (10/11/2025), Biro Statistik Nasional China (NBS) melaporkan bahwa inflasi naik 0,2% secara year-on-year (yoy), berbalik arah dari penurunan 0,3% pada September. Kenaikan tersebut melampaui perkiraan ekonom dalam survei Bloomberg yang memperkirakan penurunan 0,1%.

    Sementara itu, inflasi inti, yang tidak memasukkan komponen bergejolak seperti harga pangan dan energi, meningkat 1,2%.

    Biro statistik mencatat, biaya jasa naik 0,2%, setelah turun 0,3% pada bulan sebelumnya, dan menjadi salah satu pendorong utama peningkatan inflasi.

    Di sisi lain, tekanan deflasi di tingkat produsen mulai mereda meski masih berlangsung selama 37 bulan berturut-turut. Indeks harga produsen (PPI) turun 2,1% secara tahunan, dibandingkan penurunan 2,3% pada September.

    China menghadapi tekanan deflasi selama beberapa bulan terakhir, dengan harga konsumen sempat turun pada Agustus dan September sebelum akhirnya kembali ke wilayah inflasi pada Oktober.

    Deflasi yang berkepanjangan berisiko menahan konsumsi karena rumah tangga menunda belanja, memperberat beban utang, serta menekan margin keuntungan perusahaan — menciptakan potensi spiral penurunan belanja dan investasi.

    Mengakhiri siklus tersebut kini menjadi prioritas utama kebijakan ekonomi Beijing. Pemerintah meluncurkan kampanye “anti-involution”, yang bertujuan menghentikan perang harga di berbagai sektor, mulai dari kendaraan listrik hingga layanan pengantaran makanan.

    Namun, kemajuan masih terbatas karena pemerintah berhati-hati terhadap risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

    Meski China diperkirakan mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi sekitar 5% tahun ini, ekspansi produk domestik bruto (PDB) nominal berjalan lebih lambat akibat tekanan harga yang menurun.

    Deflator PDB — ukuran harga paling luas dalam perekonomian — telah mencatat penurunan selama lebih dari dua tahun, menjadi periode terpanjang sejak data triwulanan mulai diterbitkan pada 1993.

    Pemerintah China juga menurunkan target inflasi resmi menjadi sekitar 2% pada 2025, level terendah dalam lebih dari dua dekade. Kendati demikian, laju kenaikan harga konsumen sebagian besar tahun ini masih mendekati nol bahkan negatif.

  • Pemerintah Batasi Izin Smelter Nikel Baru, Sejumlah Proyek Diproyeksi Bisa Batal

    Pemerintah Batasi Izin Smelter Nikel Baru, Sejumlah Proyek Diproyeksi Bisa Batal

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi membatasi izin investasi baru untuk pembangunan pabrik pemurnian atau smelter nikel yang memproduksi produk antara tertentu di Indonesia. Kebijakan ini berpotensi berdampak pada proyek-proyek yang direncanakan setelah 2027. 

    Hal ini sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Dalam beleid yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni 2025 itu, pemerintah meminta komitmen perusahaan smelter untuk melanjutkan kegiatan hilirisasi yang tidak berhenti pada produk antara (intermediate) bijih nikel.

    Oleh karena itu, beleid itu juga mengatur agar industri pembuatan logam dasar bukan besi tak membangun proyek smelter baru yang khusus memproduksi produk antara nikel, seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).

    “Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi pirometalurgi memiliki dan menyampaikan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNi, dan nickel matte,” demikian tertulis dalam lampiran 1.F 3534 beleid tersebut dikutip Sabtu (8/11/2025).

    Masih dalam lampiran yang sama, pemerintah juga membatasi investasi baru pembangunan smelter dengan teknologi hidrometalurgi atau berbasis high pressure acid leach (HPAL) yang hanya memproduksi MHP. Adapun, MHP umumnya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

    “Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi hidrometalurgi, memiliki dan menyampaikan tidak memproduksi mixed hydroxide precipitate [MHP],” demikian bunyi lampiran itu.

    Lebih lanjut, jika mengacu pada klasifikasi bisnisnya, smelter yang dimaksud termasuk dalam kategori industri manufaktur. Artinya, bukan pertambangan.

    Dengan kata lain, aturan ini berlaku untuk perusahaan smelter nikel yang mendapat izin usaha industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

    Analis Citigroup Inc., Ryan Davis dalam laporannya menyebutkan bahwa kebijakan ini berpotensi menyebabkan penundaan, bahkan pembatalan sejumlah proyek yang sedang direncanakan.

    Dia menyebut, kebijakan ini juga menegaskan niat pemerintah untuk mengatasi kelebihan pasokan nikel yang terus terjadi di dalam negeri.

    “Namun, detail implementasinya masih cair, termasuk seberapa ketat regulasi ini akan diterapkan,” tulis Davis seperti dikutip dari Bloomberg.

    Dia memperkirakan sejumlah perusahaan yang telah memperoleh IUI untuk proyek yang tengah dibangun tidak akan terdampak secara langsung. Namun, aturan baru ini bisa berpengaruh terhadap proyek yang diproyeksikan selesai setelah 2027.

    Kebijakan baru ini sebenarnya telah diterbitkan sejak Juni 2025, tetapi baru belakangan ini menjadi topik pembahasan di pasar.

  • Trump Bakal Kunjungi India, Hubungan Dagang dengan Modi Mencair

    Trump Bakal Kunjungi India, Hubungan Dagang dengan Modi Mencair

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden AS Donald Trump menyatakan kesiapannya berkunjung ke India atas undangan Perdana Menteri Narendra Modi. Hal itu menandai kemungkinan membaiknya hubungan dagang kedua negara setelah sempat memanas akibat tarif tinggi.

    “Dia teman saya, kami sering berbicara, dan dia ingin saya datang ke sana. Kami akan mengatur itu, saya akan pergi,” kata Trump kepada wartawan dikutip dari Bloomberg pada Jumat (7/11/2025).

    Dia juga menyebut Modi sebagai “sosok hebat.” Trump mengatakan kunjungan tersebut mungkin akan dilakukan tahun depan, meski belum memberikan jadwal pasti.

    Sebelumnya, awal tahun ini Trump memberlakukan tarif sebesar 50% terhadap ekspor India ke AS, sebagian untuk menekan New Delhi agar menghentikan pembelian minyak dari Rusia. 

    Langkah tersebut menambah ketegangan dalam negosiasi yang sudah alot terkait tudingan AS terhadap tingginya bea masuk dan hambatan perdagangan India terhadap produk-produk Amerika.

    Dalam beberapa pekan terakhir, Trump menyebut Modi telah berjanji untuk mengurangi pembelian minyak mentah dari Rusia dan menyampaikan optimisme atas kemajuan pembicaraan dagang.

    Namun, belum jelas apakah hubungan hangat tersebut akan bertahan lama. 

    Kedekatan politik antara Trump dan Modi yang sebelumnya terjalin erat juga sempat terganggu oleh klaim Trump bahwa dirinya pantas mendapat pujian atas upaya perdamaian dalam konflik bersenjata empat hari antara India dan Pakistan.

    Kunjungan kenegaraan terakhir Trump ke India dilakukan pada Februari 2020, saat masa jabatan pertamanya sebagai Presiden AS.

  • Pejabat The Fed Ragu Lanjutkan Pemangkasan Bunga Imbas Government Shutdown

    Pejabat The Fed Ragu Lanjutkan Pemangkasan Bunga Imbas Government Shutdown

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Federal Reserve Bank of Chicago Austan Goolsbee mengaku cemas atas rendahnya angka inflasi selama penutupan pemerintahan Amerika Serikat (government shutdown). Menurutnya, hal tersebut membuat langkah pemangkasan suku bunga lanjutan menjadi lebih berisiko.

    “Jika ada masalah yang berkembang di sisi inflasi, butuh waktu cukup lama sebelum kita bisa melihatnya. Hal itu membuat saya semakin tidak tenang,” ujar Goolsbee dalam sebuah wawancara dikutip dari Bloomberg, Jumat (7/11/2025).

    Goolsbee menambahkan, sumber data sektor swasta terkait inflasi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan data pasar tenaga kerja, sehingga pembuat kebijakan tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai pergerakan harga selama shutdown, seperti halnya pada data ketenagakerjaan.

    “Saya memiliki beberapa kekhawatiran, dan saya lebih cenderung berpikir bahwa ketika situasinya masih berkabut, sebaiknya kita berhati-hati dan melangkah lebih lambat,” katanya.

    Bulan lalu, The Fed kembali menurunkan suku bunga untuk kedua kalinya secara beruntun guna memperkuat pasar tenaga kerja setelah perlambatan tajam perekrutan selama musim panas. 

    Namun, inflasi yang tercatat 3% pada September, masih di atas target 2% The Fed, menimbulkan kekhawatiran bahwa proses penurunan harga mungkin memakan waktu lebih lama dari perkiraan.

    Goolsbee mengaku waspada terhadap kenaikan inflasi inti sektor jasa karena menunjukkan tekanan harga masih bertahan, bahkan di luar kategori yang langsung terdampak tarif. Dia menilai inflasi jasa cenderung lebih sulit dikendalikan.

    Harga jasa, tidak termasuk energi, naik 3,5% dalam setahun hingga September. 

    Sementara itu, indikator pengangguran waktu nyata yang diterbitkan The Fed Chicago pada Kamis, berdasarkan sumber data sektor swasta, menunjukkan tingkat pengangguran berada di 4,36% pada Oktober, nyaris tidak berubah dari estimasi 4,35% pada September.

    Pasar obligasi AS merespons positif pernyataan tersebut. Imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun turun 8 basis poin menjadi 4,08%, sementara obligasi 2 tahun — yang paling sensitif terhadap perubahan kebijakan moneter — turun ke kisaran 3,55%.

  • Investasi Melambat pada Kuartal III/2025, Pengusaha Masih Tahan Ekspansi

    Investasi Melambat pada Kuartal III/2025, Pengusaha Masih Tahan Ekspansi

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi perlambatan pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi pada kuartal III/2025, secara kuartalan maupun tahunan.

    Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud mengungkapkan investasi tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan (year on year/YoY) pada kuartal III/2025. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 6,99% YoY pada kuartal II/2025 dan 5,16% YoY pada periode yang sama tahun sebelumnya. Ia menjelaskan sejumlah komponen investasi memang mengalami perlambatan pertumbuhan.

    “Pertumbuhan [komponen] PMTB yang secara year on year adalah bangunan serta mesin dan perlengkapan. Nah kalau secara QtQ [kuartalan] yang mengalami pertumbuhan melambat dibandingkan Q2/2025 adalah jenis barang modal mesin dan perlengkapan,” ujar Edy dalam konferensi pers di Kantor BPS, Rabu (5/11/2025).

    PMTB atau investasi merupakan komponen pengeluaran kedua terbesar dalam struktur produk domestik bruto (PDB), setelah konsumsi rumah tangga. Pada kuartal III/2025, konsumsi rumah tangga tercatat memberikan kontribusi sebesar 29,09% terhadap PDB nasional.

    Sementara itu, BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2025 sebesar 5,04% YoY, sedikit naik dibandingkan 4,95% YoY pada periode yang sama tahun lalu, namun melambat dari 5,12% pada kuartal sebelumnya.

    Edy menjelaskan, PDB Indonesia atas dasar harga berlaku mencapai Rp6.060 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan mencapai Rp3.444,8 triliun. “Ditopang oleh aktivitas domestik dan permintaan luar negeri, ekonomi Indonesia kuartal III/2025 tumbuh sebesar 5,04%,” ujarnya.

    Pertumbuhan tersebut berada di atas proyeksi para analis. Sebanyak 30 ekonom yang dihimpun Bloomberg sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2025 hanya mencapai 5% YoY.

    Pengusaha Tahan Ekspansi

    Perlambatan investasi, khususnya pada sektor bangunan dan mesin, mencerminkan masih banyak pelaku usaha yang menahan ekspansi. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menuturkan, margin keuntungan perusahaan semakin menipis karena kenaikan biaya produksi.

    “Selama biaya logistik, energi, dan pembiayaan masih tinggi, ruang napas industri tetap sempit,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (4/11/2025).

    Dalam laporan S&P Global, PMI Manufaktur Indonesia tercatat berada di level 51,2 pada Oktober 2025. Meskipun masih berada di zona ekspansi, laporan itu menunjukkan kenaikan biaya input paling tajam dalam delapan bulan terakhir serta waktu pengiriman yang memanjang akibat gangguan distribusi.

    Shinta menambahkan, banyak produsen menahan kenaikan harga jual untuk menjaga daya saing di pasar. “Mereka bertahan lewat efisiensi operasional, negosiasi harga pasokan, hingga menunda ekspansi besar, tetapi kemampuan untuk menahan margin jelas terbatas,” ujarnya.

    Apindo menilai pemerintah perlu mempercepat kebijakan penurunan biaya logistik, yang saat ini mencapai 23 persen terhadap PDB, serta meninjau kembali harga listrik dan gas industri yang masih tinggi. Selain itu, bunga kredit yang mahal juga menjadi faktor penghambat daya saing dan profitabilitas industri.

    “Di sisi lain, akses pembiayaan juga belum longgar. Tak heran, minat ekspansi dunia usaha saat ini cenderung selektif. Tak sedikit perusahaan menahan investasi besar karena margin tertekan dan prospek permintaan yang belum kuat,” ujar Shinta.

    Ia menegaskan, pelaku usaha akan kembali agresif berinvestasi apabila terdapat kepastian kebijakan dan peningkatan efisiensi biaya. “Namun, mereka siap bergerak begitu sinyal stabilitas kebijakan dan efisiensi biaya semakin nyata,” katanya.

  • Trump Ingatkan MA, Pembatalan Kebijakan Tarif Bakal Jadi Bencana Ekonomi AS

    Trump Ingatkan MA, Pembatalan Kebijakan Tarif Bakal Jadi Bencana Ekonomi AS

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengingatkan bahwa keputusan Mahkamah Agung untuk membatalkan kebijakan tarif globalnya akan menjadi bencana bagi ekonomi AS.

    Komentar Trump muncul setelah para hakim Mahkamah Agung AS mempertanyakan dasar hukumnya dalam sidang terbaru.

    Dalam wawancara dengan Fox News, Trump mengatakan telah diberi tahu bahwa proses persidangan berjalan baik. Namun, dia menegaskan dunia akan jatuh ke dalam depresi jika dia tidak diberi kewenangan untuk memberlakukan tarif terhadap negara mitra dagang AS.

    “Saya pikir ini salah satu kasus terpenting, mungkin yang paling penting, dalam sejarah negara kita,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, Kamis (6/11/2025).

    Trump juga mengklaim bahwa kebijakan tarif tersebut memungkinkan dirinya menekan China untuk membatalkan rencana pembatasan ekspor logam tanah jarang. “Itu bukan ancaman terhadap kami, tetapi terhadap seluruh dunia. Saya melakukan ini untuk dunia,” katanya.

    Sebelumnya, dalam sidang yang berlangsung hampir tiga jam, para hakim Mahkamah Agung dari berbagai spektrum ideologi mempertanyakan penggunaan undang-undang darurat oleh Trump untuk memungut puluhan miliar dolar tarif setiap bulan.

    Tiga hakim konservatif mempertanyakan dasar hukum penggunaan Undang-Undang Kewenangan Ekonomi Darurat Internasional atau International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) yang digunakan Trump untuk mengenakan tarif senilai puluhan miliar dolar per bulan.

    Ketua Mahkamah Agung John Roberts menyebut tarif itu sebagai pajak terhadap warga AS yang seharusnya menjadi wewenang Kongres. Sementara itu, Hakim Neil Gorsuch dan Amy Coney Barrett — yang juga merupakan hakim pilihan Trump — turut menyoroti keabsahan langkah tersebut.

    Apabila Mahkamah Agung memutuskan menentang Trump, pemerintah AS bisa dipaksa mengembalikan lebih dari US$100 miliar tarif impor kepada pelaku usaha, menghapus beban besar bagi importir AS, serta melemahkan instrumen utama yang selama ini digunakan Trump dalam menekan mitra dagang global.

    Kebijakan yang dipersoalkan adalah tarif “Liberation Day” yang diberlakukan sejak April, dengan besaran 10%–50% untuk sebagian besar impor tergantung asal negara. 

    Trump beralasan tarif tersebut diperlukan untuk mengatasi defisit perdagangan serta membatasi peredaran fentanyl dari Kanada, Meksiko, dan China.

    Namun, beberapa hakim mempertanyakan apakah undang-undang darurat tersebut benar-benar memberi kewenangan kepada presiden untuk menetapkan tarif.