Perusahaan: Amazon

  • 35 Juta Orang Tertipu, Ini Cara Kembaran Netflix Jebak Orang Langganan

    35 Juta Orang Tertipu, Ini Cara Kembaran Netflix Jebak Orang Langganan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amazon sepakat membayar denda dan ganti rugi sebesar US$2,5 miliar atau sekitar Rp41 triliun terkait tuduhan Federal Trade Commission (FTC) bahwa perusahaan menipu konsumennya demi meningkatkan pelanggan layanan streaming Prime.

    Sekitar 35 juta pelanggan Prime akan menerima kompensasi dari dana US$1,5 miliar. Sementara itu, US$1 miliar sisanya akan dibayarkan Amazon sebagai denda kepada FTC.

    Menurut dokumen pengadilan, pelanggan yang mendaftar antara 23 Juni 2019 hingga 23 Juni 2025 dan jarang menggunakan manfaat Prime akan otomatis menerima ganti rugi US$51, demikian dikutip dari Reuters, Jumat (26/9/2025).

    FTC menuduh Amazon secara sengaja membuat proses pendaftaran dan pembatalan Prime berbelit, sehingga banyak konsumen terjebak menjadi pelanggan. Dugaan praktik ini berlangsung sejak 2017 hingga 2022, sebelum perusahaan akhirnya melakukan perubahan setelah diselidiki FTC.

    Sebagai bagian dari penyelesaian kasus, Amazon diwajibkan menyediakan tombol jelas untuk menolak langganan, mempermudah pembatalan, memperjelas syarat berlangganan, serta menunjuk pengawas independen guna memastikan kepatuhan.

    Meski nilai penyelesaian ini besar, Lina Khan, mantan Ketua FTC, yang menggulirkan gugatan, menyebut dampaknya relatif kecil bagi Amazon. Perusahaan mampu meraup pendapatan setara US$2,5 miliar hanya dalam 33 jam. Saham Amazon pun tidak banyak berubah setelah pengumuman.

    “Hanya setetes air bagi Amazon dan jelas jadi kelegaan besar bagi para eksekutif yang sengaja merugikan pelanggan,” ujar Lina dalam unggahannya di X.

    Bagi FTC, kasus ini menjadi restitusi konsumen terbesar kedua sepanjang sejarah lembaga tersebut. Ketua FTC Andrew Ferguson menyebut kesepakatan ini sebagai kemenangan monumental bagi jutaan konsumen Amerika yang selama ini terjebak dalam praktik langganan menyesatkan.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Microsoft Blokir Layanan Cloud dan AI untuk Militer Israel

    Microsoft Blokir Layanan Cloud dan AI untuk Militer Israel

    Jakarta

    Microsoft memblokir akses militer Israel ke layanan cloud dan AI yang dipakai untuk memata-matai warga sipil Palestina. Microsoft mengatakan salah satu unit militer Israel telah melanggar ketentuan layanannya.

    Pemutusan ini diumumkan oleh Vice Chair dan President Microsoft Brad Smith dalam memo internal kepada karyawan. Keputusan ini diambil setelah laporan dari The Guardian bulan lalu yang menemukan pemerintah Israel menyimpan rekaman dan data panggilan telepon yang dilakukan warga Palestina di fasilitas cloud Azure.

    “Sementara peninjauan kami masih berlangsung, kami menemukan bukti yang mendukung elemen laporan The Guardian,” kata Smith, seperti dikutip dari The Verge, Jumat (26/9/2025).

    “Oleh karena itu, kami memberi tahu Kementerian Pertahanan Israel (IMOD) tentang keputusan Microsoft untuk menguntukkan dan menonaktifkan langganan IMOD tertentu dan layanan mereka, termasuk penggunaan penyimpanan cloud serta layanan dan teknologi AI tertentu,” sambungnya.

    Pemblokiran ini berlaku untuk seperangkat layanan yang digunakan oleh salah satu unit di dalam militer Israel, dan Smith menekankan bahwa Microsoft tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal warga sipil.

    Keputusan ini tidak mempengaruhi kontrak Microsoft lainnya dengan pemerintah Israel, dan Smith mengatakan hal ini tidak akan menghentikan pekerjaan Microsoft untuk melindungi keamanan siber Israel dan negara-negara lain di Timur Tengah.

    Microsoft mengambil keputusan ini setelah melakukan penyelidikan eksternal untuk meninjau penggunaan platform cloud Azure oleh unit mata-mata Israel. Keputusan ini juga muncul di tengah tekanan dari karyawan dan investor agar raksasa teknologi itu meninjau ulang hubungannya dengan Israel terkait serangan militer di Gaza.

    Pemblokiran ini disambut positif oleh kelompok aktivis ‘No Azure for Apartheid’ yang memprotes hubungan Microsoft dan Israel dalam setahun terakhir. Namun menurut mereka pemblokiran ini tidak cukup karena Microsoft hanya memutus sebagian kecil layanan untuk satu unit di dalam militer Israel.

    “Sebagian besar kontrak Microsoft dengan militer Israel tetap utuh. Keputusan hari ini justru semakin memotivasi kami untuk terus berorganisir sampai semua tuntutan kami dipenuhi, dan hingga Palestina merdeka,” ujar Hossam Nasr, salah satu anggota kelompok No Azure for Apartheid.

    Kerjasama ini dilaporkan dimulai pada tahun 2021, ketika CEO Microsoft Satya Nadella diduga menyetujui upaya penyimpanan data telepon warga Palestina secara pribadi setelah bertemu dengan komandan dari korps pengawasan militer elit Israel, Unit 8200.

    Nadella dilaporkan memberikan Israel area khusus dan terpisah dalam platform Azure untuk menyimpan panggilan telepon ini, tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari warga Palestina.

    The Guardian melaporkan militer Israel sudah memindahkan sekitar 8TB data dari Azure, tidak lama setelah Microsoft memulai penyelidikannya. Data itu rencananya akan dipindahkan ke platform cloud Amazon Web Services.

    (vmp/rns)

  • Trump Naikkan Biaya Visa Rp 1,6 M, Talenta Global Cari Alternatif

    Trump Naikkan Biaya Visa Rp 1,6 M, Talenta Global Cari Alternatif

    Jakarta

    Aditi Menon baru saja lulus dari jurusan teknik di sebuah perguruan tinggi di negara bagian Madhya Pradesh, India. Ia telah diterima di beberapa universitas tingkat menengah di Amerika Serikat (AS) untuk melanjutkan studi magister.

    Namun, rencananya untuk membangun masa depan di Amerika kini terguncang setelah Presiden Donald Trump mengusulkan biaya aplikasi baru sebesar $100.000 (Rp1,6 miliar) untuk visa H-1B, visa bagi tenaga kerja asing berketerampilan tinggi.

    Perusahaan teknologi AS selama ini mengandalkan program visa H-1B untuk merekrut talenta di bidang pemrograman dan pengembangan. Lebih dari 70% penerima visa ini berasal dari India, disusul Cina dengan 11%.

    Setiap tahun, hanya tersedia 85.000 visa melalui sistem undian, dengan 20.000 di antaranya khusus untuk lulusan asing dari perguruan tinggi AS yang memiliki gelar lanjutan. Saat ini, pelamar hanya membayar biaya kecil untuk masuk undian, dan jika terpilih, membayar lagi untuk proses aplikasi. Biasanya, perusahaan perekrut yang menanggung biaya ini, yang berkisar antara $2.000 (Rp33 juta) hingga $5.000 (Rp83 juta). Biaya baru yang diusulkan Trump berlaku satu kali untuk aplikasi baru.

    Amazon menjadi penerima visa H-1B terbanyak dengan 10.000 visa, diikuti Microsoft dan Meta masing-masing sekitar 5.000, serta Tata Consultancy Services dari Mumbai dengan jumlah serupa.

    Dengan kebijakan imigrasi yang semakin ketat, banyak pelamar merasa peluang mereka semakin kecil.

    “Saya sadar bahwa kecil kemungkinan ada perusahaan yang mau mensponsori saya, kecuali saya kuliah di universitas top atau punya keahlian yang sangat langka. Masa depan di AS terasa tidak pasti, terutama soal peluang kerja setelah lulus,” kata Menon kepada DW.

    Talenta global mulai cari alternatif

    Cecilia Hu, pengacara imigrasi di New York, mengatakan bahwa kliennya dari Cina yang mengincar visa H-1B kini panik dan mulai mencari opsi imigrasi lain.

    Menurut Hu, perubahan cepat dalam kebijakan visa H-1B bisa memperketat persaingan antara AS dan Cina dalam merebut talenta teknologi. Meski Trump mungkin tidak berniat mengusir talenta terbaik, dampak dari kebijakan barunya justru mengarah ke sana.

    “Kami juga melihat banyak mahasiswa Cina yang tidak lagi mempertimbangkan tinggal di AS setelah lulus,” ujar Hu.

    Kementerian Luar Negeri Cina menolak berkomentar soal kebijakan visa AS, tetapi menyatakan bahwa Cina “menyambut talenta unggul dari seluruh dunia.”

    Cina baru-baru ini membuka jalur visa baru bernama “K visa” untuk profesional muda di bidang sains dan teknologi, yang akan berlaku mulai Oktober 2025.

    “Ada kekhawatiran bahwa AS justru mengusir banyak individu berbakat, sementara Cina mungkin akan menyerap sebagian dari mereka,” kata Hu.

    AS dan India tak lagi saling percaya?

    Mantan duta besar India untuk AS, Meera Shankar, menilai kebijakan Trump ini merupakan praktik menghancurkan program H-1B.

    “Banyak pelajar India akan mencari negara lain untuk studi lanjut. Perusahaan India harus mulai diversifikasi, menggunakan lebih banyak otomatisasi dan AI, serta memindahkan pekerjaan ke pusat luar negeri. Ini langkah praktis, tapi semua ini makin mengikis kepercayaan antara India dan AS,” ujarnya.

    Inovasi AS akan terganggu

    Ram Krishnan, pengusaha teknologi di Boston, mengatakan bahwa jalur H-1B selama ini menjadi jembatan penting bagi pelajar India yang datang ke AS untuk studi STEM.

    “Seperti Vinod Khosla, pendiri Sun Microsystems, banyak lainnya yang memanfaatkan ekosistem inovasi AS dan membangun perusahaan yang mengubah infrastruktur teknologi global serta berkontribusi besar bagi ekonomi dan tenaga kerja AS,” kata Krishnan.

    Ia mencontohkan Perplexity AI, perusahaan yang kini bernilai hampir $20 miliar dan didirikan oleh Aravind Srinivas, yang masuk daftar TIME100 Tokoh Paling Berpengaruh di Bidang AI tahun 2024.

    “Aravind datang ke AS sebagai pelajar dan meraih gelar PhD dari UC Berkeley. Tanpa jalur H-1B, perusahaan seperti Perplexity dan dampak inovasi, lapangan kerja, serta pertumbuhan ekonomi yang mereka bawa mungkin tidak akan pernah ada,” ujar Krishnan.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Felicia Salvina dan Tezar Aditya Rahman

    Editor: Hani Anggraini

    Lihat juga Video ‘Canda Trump Puji Pidato Prabowo: Bagaimana Jika Kamu Marah? Tak Mudah’:

    (ita/ita)

  • ChatGPT Kebanjiran Uang Rp 1.600 Triliun dari Manusia Rp 2.500 Triliun

    ChatGPT Kebanjiran Uang Rp 1.600 Triliun dari Manusia Rp 2.500 Triliun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Nvidia baru saja mengumumkan investasi senilai US$5 miliar (Rp83 triliun) ke raksasa manufaktur chip Intel. Tak butuh waktu lama, perusahaan milik Jensen Huang tersebut kembali menggelontorkan dana ke OpenAI.

    Terbaru, Nvidia berkomitmen untuk berinvestasi senilai US$100 miliar (Rp1.666 triliun) ke OpenAI. Nvidia akan menyuplai chip data center untuk pengembangan AI perusahaan pencipta ChatGPT tersebut.

    Nvidia merupakan salah satu perusahaan yang paling diuntungkan dari booming AI. Saat ini, Nvidia tercatat sebagai perusahaan paling bernilai di dunia dengan kapitalisasi pasar US$4.470 triliun, mengalahkan Microsoft dan Apple.

    Jensen Huang tercatat sebagai orang terkaya ke-7 di dunia dengan estimasi harta US$159,5 miliar (Rp2.657 triliun), menurut laporan Forbes.

    Investasi terbaru Nvidia akan memberikan OpenAI kelonggaran uang tunai dan akses yang dibutuhkan untuk membeli chip canggih dalam mempertahankan dominasinya di industri yang makin kompetitif.

    Dikutip dari Reuters, Selasa (23/9/2025), berdasarkan sumber dalam OpenAI, kesepakatan dua perusahaan akan melibatkan dua transaksi berbeda yang saling berhubungan.

    Nvidia akan mulai berinvestasi di OpenAI untuk saham non-voting setelah kesepakatan selesai, dan OpenAI dapat menggunakan dana tersebut untuk membeli chip Nvidia, ujar sumber tersebut.

    “Semuanya dimulai dengan komputasi,” ujar CEO OpenAI Sam Altman dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters.

    “Infrastruktur komputasi akan menjadi dasar bagi perekonomian masa depan, dan kami akan memanfaatkan apa yang kami bangun bersama Nvidia untuk menciptakan terobosan AI baru sekaligus memberdayakan masyarakat dan bisnis dengan terobosan tersebut dalam skala besar,” ia menambahkan.

    Kedua perusahaan sudah menandatangani surat untuk merealisasikan setidaknya 10 gigawatt sisten Nvidia untuk OpenAI. Keduanya berencana menetapkan detail finalisasi kerja sama dalam beberapa pekan ke depan.

    Tenaga dari chip-chip tersebut setara dengan yang dibutuhkan 8 juta rumah di Amerika Serikat (AS).

    Berdasarkan kesepakatan baru, setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan definitif bagi OpenAI untuk membeli sistem Nvidia, Nvidia akan menginvestasikan dana awal sebesar US$10 miliar, ujar seorang narasumber yang mengetahui masalah tersebut. OpenAI baru-baru ini telah mencatat valuasi sebesar US$500 miliar (Rp8.330 triliun).

    Saham Nvidia naik 4,4% setelah pengumuman kerja sama dengan OpenAI. Sementara saham Oracle turut melonjak 6%.

    Oracle diketahui bekerja sama dengan OpenAI, SoftBank, dan Microsoft dalam proyek bernama Stargate senilai US$500 miliar. Proyek itu akan membangun data center AI raksasa di seluruh dunia.

    Nvidia akan mulai mengirimkan hardware paling cepat akhir tahun 2026. Kapasitas gigawatt daya komputasi pertama akan dikerahkan pada paruh kedua 2026 pada platform mendatang mereka, yang diberi nama Vera Rubin.

    Para analis mengatakan kesepakatan ini positif bagi Nvidia, tetapi juga menyuarakan kekhawatiran tentang apakah sebagian dana investasi Nvidia mungkin akan kembali dalam bentuk pembelian chip.

    “Di satu sisi, ini membantu OpenAI mencapai beberapa tujuan yang sangat aspiratif untuk infrastruktur komputasi, dan membantu Nvidia memastikan hal tersebut dibangun. Di sisi lain, kekhawatiran ‘berkepanjangan’ telah muncul di masa lalu, dan ini akan makin memperparah kekhawatiran tersebut,” kata analis Bernstein, Stacy Rasgon.

    OpenAI, seperti Google, Amazon, dan lainnya, telah mengerjakan rencana untuk membangun chip AI-nya sendiri, dengan tujuan mencari alternatif yang lebih murah daripada Nvidia.

    Seseorang yang mengetahui masalah ini mengatakan bahwa kesepakatan ini tidak mengubah rencana komputasi OpenAI yang sedang berjalan, termasuk upaya tersebut atau kemitraannya dengan Microsoft.

    OpenAI sedang mengerjakan chip khusus dengan desainer Broadcom dan Taiwan Semiconductor Manufacturing (TSMC), menurut laporan Reuters awal tahun ini. Saham Broadcom turun 0,8% setelah berita tersebut.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Biaya Visa Rp 1,6 Miliar, Orang Pintar Bisa Hindari Amerika

    Biaya Visa Rp 1,6 Miliar, Orang Pintar Bisa Hindari Amerika

    Jakarta

    Keputusan Donald Trump untuk mengenakan biaya USD 100.000 atau Rp 1,6 miliar pada visa H1-B bagi pekerja asing terampil, dapat merugikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Biaya visa H-1B itu 60 kali lipat dari biaya saat ini, dirancang untuk mendorong perusahaan mempekerjakan lebih banyak pekerja Amerika.

    Kenaikan ini merupakan pukulan bagi perusahaan teknologi besar, yang sangat bergantung pada visa tersebut untuk mempekerjakan insinyur, ilmuwan, dan programmer dari luar negeri, terutama India. Atakan Bakiskan, ekonom di bank investasi Berenberg, mengatakan langkah itu adalah contoh kebijakan anti pertumbuhan Trump.

    “Dengan membuat perusahaan sangat mahal untuk menarik bakat asing, dan dengan memaksa beberapa mahasiswa internasional untuk meninggalkan negara itu setelah lulus, brain drain akan sangat membebani produktivitas,” tambahnya yang dikutip detikINET dari Guardian, Selasa (23/9/2025).

    Hilangnya sumber daya manusia akibat kebijakan imigrasi yang ketat semacam itu dinilai akan merusak. “Secara keseluruhan, erosi kepercayaan terhadap institusi, hilangnya SDM, tarif, ketidakpastian kronis, dan kebijakan fiskal yang tidak berkelanjutan dapat meningkatkan risiko krisis keuangan di AS,” cetusnya.

    Pengumuman Trump sempat memicu kekacauan di industri teknologi, dengan beberapa bisnis di Silicon Valley mendesak staf tidak bepergian ke luar negeri. Gedung Putih lantas mengklarifikasi biaya baru yang lebih tinggi hanya berlaku untuk pelamar baru dan dibayar satu kali.

    Kathleen Brooks, direktur riset di broker XTB, mengatakan Amazon memiliki jumlah pekerja tertinggi dengan visa H-1B, diikuti Microsoft, Meta, Apple, dan Google. “Meski perusahaan-perusahaan ini punya uang untuk membayar visa, sektor lain yang juga bergantung pada visa H-1B mungkin kesulitan dengan rekrutmen di masa mendatang, misalnya sektor perawatan kesehatan dan pendidikan,” katanya.

    Paruh pertama 2025, Amazon mendapat persetujuan lebih dari 10.000 visa H-1B, sementara Microsoft dan Meta masing-masing memiliki lebih dari 5.000 persetujuan. Program H-1B menawarkan 65.000 visa setiap tahun ke pemberi kerja yang mendatangkan pekerja asing sementara di bidang-bidang khusus, dengan tambahan 20.000 visa untuk pekerja dengan gelar akademik lanjutan.

    India telah menjadi penerima manfaat terbesar dari visa H-1B, mencakup 71% dari visa yang disetujui tahun lalu. Pemerintah India memperingatkan aturan baru itu akan memiliki konsekuensi kemanusiaan terkait gangguan bagi banyak keluarga.

    (fyk/fay)

  • Paniknya Pekerja Asing di AS Usai Trump Naikkan Biaya Visa Jadi Rp 1,6 M

    Paniknya Pekerja Asing di AS Usai Trump Naikkan Biaya Visa Jadi Rp 1,6 M

    Jakarta

    Kepanikan, kebingungan, dan amarah merebak ketika para pekerja pemegang visa H-1B atau visa kerja sementara asal India dan China terpaksa membatalkan rencana perjalanan mereka dan bergegas kembali ke Amerika Serikat (AS).

    Hal ini terjadi imbas keputusan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan biaya visa baru sebagai bagian dari pengetatan kebijakan imigrasi. Sejumlah perusahaan teknologi dan bank mengirim memo darurat kepada karyawan.

    Dikutip dari Reuters, Senin (22/9/2025, perusahaan meminta karyawan segera kembali sebelum batas waktu pukul 12:01 dini hari waktu setempat pada Minggu, sekaligus mengingatkan agar tidak meninggalkan Negeri Paman Sam.

    Trump menuding banyak perusahaan di AS menyalahgunakan visa H-1B demi menekan pengeluaran mereka untuk upah. Hal ini dianggap merugikan pasar tenaga kerja bagi warga AS.

    “Sejumlah pemberi kerja, dengan praktik yang kini meluas di seluruh sektor, telah menyalahgunakan ketentuan H-1B dan regulasinya untuk menekan upah secara artifisial, sehingga merugikan pasar tenaga kerja bagi warga negara Amerika,” ujar Trump.

    Menteri Perdagangan Howard Lutnick sempat menyebut perusahaan harus membayar US$ 100.000 atau sekitar Rp 1,66 miliar per tahun untuk visa pekerja H-1B. Namun, juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengklarifikasi bahwa biaya itu bukan tahunan, melainkan hanya biaya satu kali yang berlaku untuk setiap pengajuan.

    Pihak Gedung Putih pada Sabtu kemarin menjelaskan bahwa aturan tersebut hanya berlaku bagi pemohon baru, bukan bagi pemegang visa yang sudah ada atau yang mengajukan perpanjangan. Namun, pernyataan Trump sehari sebelumnya telah lebih dulu menimbulkan kegelisahan, khususnya di Silicon Valley.

    Takut tak bisa kembali setelah aturan baru berlaku, sejumlah warga India di Bandara San Francisco mengaku mempersingkat liburan mereka. “Ini situasi di mana kami harus memilih antara keluarga atau tetap di sini,” ujar seorang insinyur di salah satu perusahaan teknologi besar.

    Penerbangan itu tertunda lebih dari tiga jam setelah beberapa penumpang India yang mendapat kabar mengenai aturan baru atau memo dari kantor mereka meminta turun dari pesawat. Menurut sumber yang enggan disebutkan namanya, sedikitnya lima penumpang akhirnya diizinkan turun.

    Sebuah video peristiwa tersebut beredar di media sosial, meski kebenarannya belum bisa diverifikasi secara independen. Istri sang insinyur, yang juga pemegang visa H-1B, memilih tetap menuju India untuk merawat ibunya yang sakit.

    “Ini benar-benar menyedihkan. Kami sudah membangun kehidupan di sini,” kata insinyur tersebut.

    Di aplikasi media sosial populer China, Rednote, banyak pemegang visa H-1B berbagi pengalaman mereka harus buru-buru kembali ke AS. Bahkan ada yang baru beberapa jam mendarat di China atau negara lain harus berangkat lagi ke AS.

    “Perasaan saya campur aduk antara kecewa, sedih, dan frustasi,” tulis seorang pengguna dengan nama Emily’s Life in NY.

    Ia menceritakan sudah berada di dalam pesawat United Airlines dari New York menuju Paris. Pesawat bahkan sudah bersiap lepas landas, tapi setelah bernegosiasi dengan pihak maskapai, kapten setuju kembali ke gerbang untuk menurunkannya.

    Merasa terguncang, ia akhirnya membatalkan perjalanannya ke Prancis, meninggalkan rencana bertemu teman-temannya, termasuk yang datang dari China, setelah menerima surat dari pengacara perusahaan yang meminta karyawan di luar negeri segera kembali ke AS.

    Perusahaan besar seperti Microsoft, Amazon, Alphabet, dan Goldman Sachs termasuk di antara yang mengirim surel darurat berisi imbauan perjalanan kepada karyawan.

    Amazon pada Sabtu memberikan arahan tambahan setelah ada kejelasan soal siapa yang terdampak. Menurut sumber yang mengakses portal internal perusahaan, karyawan yang sudah memegang visa H-1B tidak perlu mengambil tindakan. Hingga berita ini diturunkan, Amazon belum merespons permintaan komentar di luar jam kerja.

    Tonton juga video “China Kecam AS Buntut Kebijakan Pembatasan Visa” di sini:

    (ily/rrd)

  • Biaya Visa Tembus Rp 1,6 M, Microsoft-Amazon Suruh Pekerja Pulang!

    Biaya Visa Tembus Rp 1,6 M, Microsoft-Amazon Suruh Pekerja Pulang!

    Jakarta

    Sejumlah perusahaan Amerika Serikat (AS) mulai dari Microsoft, Amazon, Alfabet, hingga Goldman Sachs meminta para pekerja asingnya untuk kembali ke AS. Hal ini menyusul Presiden AS Donald Trump yang merilis kebijakan anyar berupa kenaikan biaya tahunan untuk visa H-1B sebesar US$ 100.000 atau sekitar Rp 1,6 miliar (kurs Rp 16.000).

    Menyusul kebijakan tersebut, perusahaan teknologi serta bank mengirimkan pemberitahuan agar pekerja pemegang visa tersebut segera kembali ke AS sebelum kebijakan berlaku. Perusahaan juga mengimbau agar para pekerja tidak meninggalkan AS untuk saat ini.

    Langkah ini dapat memberikan pukulan telak bagi perusahaan teknologi dan keuangan di mana bergantung pada pekerja imigran terampil, terutama dari India dan China. Dikutip dari CNBC, Minggu (21/9/2025), pekerja asing yang masuk pada program visa H-1B di Amazon mencapai 14.000 hingga akhir Juni.

    Sementara, di Meta, Apple, Alfabet, masing-masing mempunyai lebih dari 4.000 orang pekerja yang mempunyai bisa tersebut.

    Kebijakan ini juga memicu kepanikan serta kebingungan para pekerja asing pemegang bisa H-1B yang hendak pulang ke negara mereka. Sebagian besar, pekerja pemegang visa ini berasal dari India dan China.

    Beberapa pekerja asing asal India segera memperpendek waktu liburan mereka dan segera kembali ke AS. Mereka khawatir bahwa kebijakan tersebut membuat mereka tidak diizinkan ke AS.

    “Ini adalah situasi di mana kami harus memilih antara keluarga dan tinggal di sini,” kata seorang insinyur di sebuah perusahaan teknologi besar dikutip dari Reuters.

    Kondisi ini juga ramai di aplikasi media sosial populer China, Rednote. Para pekerja yang visa H-1B harus segera kembali ke AS bahkan ketika baru mendarat di China.

    Beberapa pekerja menyamakan kepanikan seperti saat pandemi Covid-19. Di mana saat itu mereka segera terbang kembali ke AS sebelum larangan perjalanan diberlakukan.

    Namun, seorang pejabat Gedung Putih menyampaikan aturan tersebut hanya berlaku bagi pemohon baru dan tidak berlaku pemegang visa maupun bagi yang ingin memperbarui visa.

    Sejak memimpin kembali pada Januari lalu, Trump berkomitmen untuk menindak keras imigrasi, termasuk langkah-langkah untuk membatasi beberapa bentuk imigrasi legal. Langkah untuk merombak program visa H-1B ini merupakan upaya paling menonjol dari pemerintahannya.

    Pejabat pemerintahan Trump mengatakan visa tersebut memungkinkan perusahaan untuk menekan upah serta membuka lebih banyak lapangan kerja bagi pekerja teknologi AS. Selain itu, program ini dinilai dapat membawakan pekerja berkeahlian tinggi yang penting untuk mengisi kesenjangan bakat dan menjaga daya saing perusahaan.

    Tonton juga video “China Kecam AS Buntut Kebijakan Pembatasan Visa” di sini:

    (rea/ara)

  • Modi Minta Warga India Singkirkan Produk Asing

    Modi Minta Warga India Singkirkan Produk Asing

    Jakarta

    Perdana Menteri India, Narendra Modi, menyerukan warga untuk berhenti menggunakan produk asing dan beralih ke barang lokal. Ajakan ini disampaikan dalam pidato publik pada Minggu, di tengah memburuknya hubungan dagang dengan Amerika Serikat (AS).

    Ketegangan meningkat setelah Presiden AS, Donald Trump, memberlakukan tarif 50% atas produk impor asal India. Sebagai respons, Modi semakin gencar mengampanyekan penggunaan produk Swadeshi, yakni barang buatan dalam negeri.

    Para pendukung Modi bahkan memulai kampanye boikot terhadap sejumlah merek Amerika seperti McDonald’s, Pepsi, dan Apple, yang selama ini populer di India.

    “Banyak produk yang kita gunakan sehari-hari ternyata buatan luar negeri. Meski sering tidak sadar, kita harus menyingkirkannya,” kata Modi, dikutip dari Reuters, Senin (22/9/2025).

    Meski tidak menyebut negara secara spesifik, Modi menyoroti ketergantungan India pada barang impor. Dengan populasi 1,4 miliar jiwa, India merupakan pasar besar bagi produk konsumsi asal AS, yang banyak dibeli lewat platform daring seperti Amazon.

    Selama bertahun-tahun, jangkauan merek-merek Amerika telah merambah hingga kota-kota kecil. Modi juga mendorong para pedagang agar lebih fokus menjual produk lokal, demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.

    Dalam beberapa pekan terakhir, banyak perusahaan meningkatkan promosi produk dalam negeri. Sementara itu, Menteri Perdagangan India, Piyush Goyal, dijadwalkan berkunjung ke Washington untuk membahas isu perdagangan-lawatan yang dilakukan di tengah upaya meredakan ketegangan bilateral.

    Tonton juga video “Peluncuran iPhone 17 Disambut Antrean Panjang di India” di sini:

    (ily/rrd)

  • Peneliti Peru Ungkap Fosil Mirip Lumba-lumba Berusia 8-12 Juta Tahun

    Peneliti Peru Ungkap Fosil Mirip Lumba-lumba Berusia 8-12 Juta Tahun

    JAKARTA – Para ahli paleontologi di Peru pada Hari Rabu mengungkap kerangka fosil makhluk purba mirip lumba-lumba yang diperkirakan berusia antara 8 dan 12 juta tahun.

    Sisa-sisa fosil tersebut ditemukan pada Bulan Juli di Gurun Ocucaje, Peru, wilayah di selatan ibu kota Lima yang dulunya merupakan bagian dari Samudra Pasifik.

    Ahli paleontologi Mario Urbina, yang terlibat dalam penemuan tersebut, menyebut situs kuno tersebut sebagai “hotel besar”, menjelaskan pegunungan pesisir menciptakan penghalang dari arus kuat, menjadikannya tempat yang ideal dan tenang bagi hewan laut untuk bereproduksi, dikutip dari Reuters 18 September.

    Dikatakan, wilayah tersebut merupakan laut selama kurang lebih 45 juta tahun.

    “Hewan-hewan pergi ke sana karena di bagian pantai ini terdapat pegunungan yang sejajar dengan pantai dan berfungsi sebagai penghalang arus laut,” ujarnya seperti dikutip dari BBC.

    Para peneliti dari Institut Geologi, Pertambangan, dan Metalurgi (INGEMET) Peru mencatat, penemuan ini membantu mereka memahami geografi masa lalu dan bagaimana garis pantai telah berubah selama ribuan tahun.

    Gurun-gurun Peru dianggap sebagai kuburan yang kaya bagi spesies laut purba, dengan fosil kerabat hiu putih besar berusia 9 juta tahun yang ditemukan awal tahun ini.

    Sisa-sisa prasejarah juga telah ditemukan di tempat lain di Peru, di wilayah yang jauh dari pantai. Pada April 2024, para ahli mempresentasikan tengkorak fosil lumba-lumba sungai terbesar yang diketahui, yang menghuni wilayah yang sekarang dikenal sebagai Amazon sekitar 16 juta tahun yang lalu.

  • Tanda Petaka Mucul di AS, Waspada Ekonomi Bisa Terguncang

    Tanda Petaka Mucul di AS, Waspada Ekonomi Bisa Terguncang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) mulai menunjukkan tanda-tanda kehilangan momentumnya.

    Data resmi dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS) mencatat bahwa tingkat pengangguran telah naik ke 4,1%, level tertinggi dalam empat tahun terakhir. Tren penciptaan lapangan kerja yang dulu kuat sejak pemulihan pasca pandemi kini melemah tajam.

    Sebagai contoh Pada Juni 2025, AS justru kehilangan sekitar 13.000 pekerjaan, sebuah anomali jika dibandingkan musim sebelumnya di mana penambahan pekerjaan seringkali mencapai ratusan ribu.

    Pada Agustus 2025, penciptaan lapangan kerja hanya 22.000 posisi, jauh di bawah ekspektasi publik dan analis.

    Sejak pemulihan pascapandemi, pasar tenaga kerja AS kerap menjadi pilar utama ketahanan ekonomi. Namun, tren sepanjang paruh pertama 2025 memperlihatkan perlambatan signifikan.

    Salah satu penyebab perlambatan ini adalah tingkat suku bunga tinggi yang membatasi ruang ekspansi perusahaan. Biaya pinjaman yang lebih mahal membuat korporasi menahan diri dalam melakukan investasi, termasuk ekspansi tenaga kerja.

    Selain itu, sejumlah perusahaan besar seperti Google, Amazon, hingga UPS mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran sejak 2024 hingga 2025. Hal ini memperparah pelemahan pasar tenaga kerja yang sudah rapuh.

    Fenomena “long-term unemployment” juga meningkat. Hampir 2 juta orang di AS kini menganggur dalam jangka panjang (lebih dari 27 minggu), hampir dua kali lipat dibandingkan awal 2023.

    Tren ini berpotensi menekan daya beli rumah tangga dan memperlambat konsumsi domestik yang selama ini menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi.

    Jika tren ini berlanjut, AS berisiko masuk ke periode perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Pasar tenaga kerja yang melemah dapat mengurangi daya saing global, memperlambat investasi, dan meningkatkan risiko resesi.

    Adapun, sejumlah analis menilai bahwa Federal Reserve berpotensi melonggarkan kebijakan moneter jika pelemahan pasar kerja makin tajam.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]