Perusahaan: Amazon

  • 730 Satelit Starlink Jatuh ke Bumi Setiap Tahun, Ini Penyebabnya

    730 Satelit Starlink Jatuh ke Bumi Setiap Tahun, Ini Penyebabnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pensiunan astrofisikawan Harvard Jonathan McDowell memperkirakan setidaknya ada satu hingga dua satelit Starlink yang jatuh kembali ke Bumi setiap harinya. Artinya, dalam setahun, sekitar 730 satelit orbit rendah Starlink menghantam atmosfer bumi akibat beberapa hal.

    Saat ini, terdapat lebih dari 8.000 satelit Starlink di langit dan jumlah itu terus bertambah. Satelit-satelit tersebut merupakan produk dari perusahaan transportasi luar angkasa SpaceX. 

    Selain itu, semakin banyak perusahaan dan negara lain yang juga menyebarkan satelit, menambah jumlah satelit di orbit Bumi. Banyak di antaranya berada di orbit rendah Bumi, yang membentang hingga ketinggian 2.000 km di atas planet kita. Seperti Starlink, umur satelit orbit rendah Bumi, hanya sekitar 5 hingga 7 tahun.

    Jonathan mengatakan dalam waktu dekat akan ada hingga lima satelit yang memasuki orbit per hari. Dengan semua konstelasi yang dikerahkan, dia memperkirakan sekitar 30.000 satelit orbit rendah Bumi – seperti Starlink, Amazon Kuiper, dan lainnya – dan mungkin 20.000 satelit lagi pada jarak 1.000 kilometer dari sistem China.

    “Untuk satelit orbit rendah, kami memperkirakan siklus penggantian 5 tahun, yang berarti 5 kali masuk kembali setiap hari. Belum jelas apakah China akan menurunkan orbit satelit mereka atau hanya mempercepat kita ke sindrom Kessler reaksi berantai,” tutur Jonathan, melansir earthsky.org, Sabtu (4/10/2025).

    Sindrom Kessler adalah skenario di mana kepadatan objek di orbit rendah Bumi cukup tinggi sehingga tabrakan antar objek menyebabkan serangkaian tabrakan beruntun, dengan setiap tabrakan menghasilkan puing-puing antariksa yang meningkatkan kemungkinan tabrakan selanjutnya.

    Seiring SpaceX meluncurkan semakin banyak satelit Starlink, semakin banyak pula satelit yang jatuh kembali ke Bumi. Kendati begitu, tidak semua satelit jatuh dari orbit karena alasan yang sama. 

    Selain fakta bahwa beberapa satelit telah mencapai akhir masa pakainya, ada alasan lain mengapa satelit dapat kembali ke orbit. Misalnya, aktivitas matahari yang tinggi dapat memperpendek umur satelit, dan kita baru saja melewati maksimum matahari dan masih dalam periode aktivitas matahari tinggi. 

    Badai matahari memanaskan atmosfer atas Bumi, menyebabkannya ‘mengembang’. Hasilnya adalah peningkatan hambatan atmosfer: satelit orbit rendah Bumi seperti Starlink (dan ISS, serta satelit pengamat Bumi) mendapati diri mereka terbang di udara yang lebih tebal dari biasanya. 

    Kepadatan udara ekstra ini menciptakan hambatan aerodinamis, yang memperlambat satelit dan menyebabkannya kehilangan ketinggian.

    Operator mungkin dapat meningkatkan beberapa satelit kembali. Namun, jika tidak, satelit tersebut dapat memasuki kembali atmosfer sebelum waktunya. Itulah yang terjadi pada awal 2022, ketika badai matahari menghancurkan 40 satelit Starlink yang baru diluncurkan.

    Aktivitas matahari bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan satelit jatuh. Malfungsi juga dapat terjadi. Misalnya, pada 12 Juli 2024, roket Falcon 9 mengalami kegagalan pada tahap kedua, menyebabkan 20 satelit Starlink berada di orbit yang ‘salah’.

    “Semua kecuali dua satelit masuk kembali pada hari peluncuran, dan yang terakhir masuk kembali pada tanggal 20 Juli, delapan hari setelah peluncuran,” ujar Jonathan.

    Laporan lain mengungkap lebih dari 500 satelit Starlink diketahui telah jatuh kembali ke Bumi dalam lima tahun terakhir, terutama akibat aktivitas Matahari dan perubahan atmosfer yang menyebabkan satelit kehilangan orbit dan terbakar di atmosfer.

    Sejak tahun 2020 hingga 2024, tercatat sekitar 523 satelit Starlink mengalami “reentry” dan hancur di atmosfer, meskipun hampir seluruhnya terbakar habis sebelum mencapai permukaan.

    Sementara itu di Kanada puing Starlink seberat 2,5 kilogram ditemukan di darat, menunjukkan risiko kecil Starlink tak terbakar hangus di Atmosfer masih ada, sekaligus mengancam keselamatan. 

    Dampak Hancurnya Satelit Terhadap Atmosfer Bumi

    Pada 2023, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) merilis sebuah penelitian ilmiah tentang stratosfer Bumi. Stratosfer merupakan lapisan atmosfer yang berada lebih dari 11 km di atas permukaan Bumi, tempat pesawat jet terbang dan lapisan ozon berada.

    NOAA menyatakan bahwa stratosfer mengandung partikel dalam jumlah tak terduga dengan beragam logam eksotis. Para ilmuwan yakin partikel-partikel tersebut berasal dari satelit dan pendorong roket bekas yang menguap akibat panas intens saat memasuki atmosfer.

    Para peneliti menemukan partikel yang mengandung unsur langka niobium dan hafnium. Mereka juga menemukan sejumlah besar partikel mengandung tembaga, lithium, dan aluminium dalam konsentrasi yang jauh melebihi kelimpahan yang ditemukan dalam debu antariksa. 

    Penggunaan unsur-unsur ini dalam paduan tahan panas dan berkinerja tinggi menunjukkan bahwa industri penerbangan antariksa adalah penyebabnya.

    Partikel-partikel kecil ini dapat menyerap dan memantulkan sinar matahari. Partikel-partikel ini juga dapat berfungsi sebagai permukaan untuk reaksi kimia perusak ozon. 

    Selain itu, partikel-partikel ini dapat mengubah atmosfer Bumi dengan cara yang masih belum sepenuhnya di pahami. Penelitian di bidang ini masih berlangsung.

  • Transformasi infrastruktur Indonesia, bersiap untuk lompatan paradigma

    Transformasi infrastruktur Indonesia, bersiap untuk lompatan paradigma

    Jakarta (ANTARA) – Infrastruktur merupakan fondasi dari kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Jika dahulu istilah ini hanya identik dengan jalan raya, jembatan, dan pelabuhan, kini definisinya berkembang jauh lebih luas.

    Infrastruktur modern mencakup jaringan digital, energi terbarukan, pusat data, hingga koridor pengisian kendaraan listrik. Perubahan ini tidak bisa diabaikan oleh Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau, 270 juta penduduk, dan ambisi untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia.

    Pertanyaannya, apakah Indonesia siap melakukan lompatan paradigma dalam pembangunan infrastrukturnya, atau justru terjebak dalam pendekatan lama yang hanya berfokus pada beton dan baja?

    Menurut McKinsey, kebutuhan investasi infrastruktur global hingga 2040 mencapai 106 triliun dolar AS. Asia diperkirakan menyerap lebih dari separuhnya, terutama akibat urbanisasi cepat dan pertumbuhan ekonomi.

    Indonesia sendiri menghadapi tantangan besar. Kementerian PPN/Bappenas memperkirakan kebutuhan investasi infrastruktur nasional mencapai Rp6.445 triliun pada periode 2020–2024, sementara kemampuan pembiayaan pemerintah hanya sekitar 37 persen dari total kebutuhan tersebut.

    Artinya, terdapat kesenjangan pembiayaan sekitar Rp4.000 triliun yang harus diisi melalui partisipasi swasta, BUMN, maupun skema kemitraan publik-swasta (public private partnership/PPP). Tanpa strategi inovatif, Indonesia akan kesulitan mengejar ketertinggalan.

    Pembangunan infrastruktur Indonesia dalam satu dekade terakhir memang menunjukkan kemajuan signifikan. Jalan tol sepanjang lebih dari 2 ribu kilometer berhasil dibangun sejak 2015, disertai pembangunan bandara, pelabuhan, dan bendungan.

    Fokus besar pada proyek fisik ini seharusnya dilengkapi dengan investasi pada infrastruktur modern: jaringan digital, energi bersih, dan fasilitas logistik cerdas. Faktanya, hingga kini akses internet cepat baru menjangkau sekitar 70 persen desa, dan kualitas jaringan masih timpang antarwilayah. Padahal, digitalisasi adalah tulang punggung ekonomi masa depan, terutama di era perdagangan elektronik dan kecerdasan buatan.

    Selain itu, sektor energi juga menuntut perubahan besar. Indonesia masih bergantung pada batu bara yang menyumbang lebih dari 60 persen pembangkit listrik nasional. Padahal, komitmen transisi energi menuju net zero emission pada 2060 membutuhkan investasi besar dalam energi terbarukan.

    International Energy Agency (IEA) memperkirakan Indonesia membutuhkan lebih dari 20 miliar dolar AS per tahun untuk mempercepat transisi energi. Salah satu langkah strategis adalah memperluas pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan panas bumi, serta mengembangkan jaringan listrik pintar (smart grid) yang mampu mengintegrasikan sumber energi terbarukan dengan konsumsi masyarakat.

    Pusat data juga menjadi bagian tak terpisahkan dari infrastruktur masa depan. Lonjakan penggunaan kecerdasan buatan dan layanan digital mendorong kebutuhan kapasitas pusat data yang diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat secara global pada 2030.

    Indonesia sendiri mulai dilirik sebagai hub pusat data di Asia Tenggara, dengan investasi raksasa teknologi, seperti Google, Microsoft, dan Amazon. Namun, pusat data membutuhkan pasokan energi besar dan stabil, sehingga pengembangan sektor ini harus diiringi dengan kebijakan energi hijau agar tidak justru menambah beban karbon.

    Keterhubungan antar-sektor juga semakin nyata. Misalnya, pembangunan koridor kendaraan listrik (EV) memerlukan integrasi antara otoritas jalan tol, PLN sebagai penyedia listrik, serta perusahaan teknologi finansial untuk sistem pembayaran.

    Hingga pertengahan 2025, jumlah kendaraan listrik di Indonesia baru mencapai sekitar 100.000 unit, masih jauh dari target 13 juta unit pada 2030. Salah satu hambatannya adalah keterbatasan stasiun pengisian daya, yang baru mencapai sekitar 2.000 unit di seluruh negeri. Jika tidak ada percepatan investasi, target elektrifikasi transportasi akan sulit tercapai.

    Maka, yang dibutuhkan Indonesia bukan hanya pembangunan infrastruktur sektoral, melainkan pola pikir lintas sektor (cross-vertical thinking). Infrastruktur energi harus terhubung dengan transportasi, digital dengan sosial, serta pertanian dengan pengelolaan limbah.

    Sebagai contoh, limbah pertanian dapat diolah menjadi biogas untuk mendukung pembangkit listrik lokal. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya menambah aset fisik, tetapi juga menciptakan ekosistem berkelanjutan.

    Di sinilah peran modal swasta menjadi krusial. Data menunjukkan bahwa aset infrastruktur swasta global yang dikelola melonjak dari 500 miliar dolar AS pada 2016 menjadi 1,5 triliun dolar AS pada 2024.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Jeff Bezos Tiba-Tiba Beri Sinyal Buat Data Center di Luar Angkasa

    Jeff Bezos Tiba-Tiba Beri Sinyal Buat Data Center di Luar Angkasa

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pendiri Amazon Jeff Bezos membuat prediksi yang ambisius dengan menyatakan bahwa pusat data berskala gigawatt akan dibangun di luar angkasa dalam 10 hingga 20 tahun ke depan. Ia meyakini bahwa dengan energi surya yang tersedia secara terus-menerus, pusat data tersebut pada akhirnya akan mengungguli pusat data yang ada di Bumi.

    Pernyataan ini disampaikannya dalam acara Italian Tech Week di Turin, Italia, pada Jumat (3/10/2025). Dalam kesempatan tersebut, Bezos juga membahas lonjakan kecerdasan buatan (AI) yang mengingatkannya pada booming internet di awal tahun 2000-an. Ia mendorong optimisme meskipun ada risiko gelembung spekulatif di sektor tersebut.

    Bezos membandingkan gelombang AI saat ini dengan era dot-com, di mana antusiasme besar diikuti oleh kehancuran pasar. Namun, ia percaya dampak jangka panjang dari AI akan sangat positif dan permanen, sama seperti internet yang telah mengubah dunia secara fundamental.

    “Kita harus sangat optimis bahwa konsekuensi sosial dan manfaat dari AI, seperti yang kita alami dengan internet 25 tahun yang lalu, adalah nyata dan akan tetap ada,” kata Bezos.

    Bezos kemudian menekankan pentingnya untuk tidak mencampuradukkan potensi gelembung pasar dengan realitas kemajuan teknologi yang sebenarnya. Menurutnya, manfaat AI pada akhirnya akan “tersebar luas dan akan ada di mana-mana”.

    Gagasan tentang pusat data di orbit telah mendapatkan daya tarik di kalangan raksasa teknologi. Salah satu pendorong utamanya adalah permintaan listrik dan air yang sangat besar untuk mendinginkan server di pusat data terestrial (di Bumi), yang menjadi tantangan keberlanjutan yang semakin besar.

    Dalam sebuah percakapan publik dengan Chairman Ferrari dan Stellantis, John Elkann, Bezos menjelaskan keunggulan luar angkasa.

    “Klaster pelatihan raksasa itu akan lebih baik dibangun di luar angkasa, karena kita memiliki tenaga surya di sana, 24/7. Tidak ada awan, tidak ada hujan, tidak ada cuaca,” jelasnya.

    Bezos juga mengatakan bahwa pergeseran ke infrastruktur luar angkasa adalah bagian dari tren yang lebih luas untuk menggunakan ruang angkasa demi meningkatkan kehidupan di Bumi.

    “Itu sudah terjadi dengan satelit cuaca dan komunikasi,” katanya. “Langkah selanjutnya adalah pusat data, lalu jenis manufaktur lainnya.”

    Meski begitu, ia mengakui bahwa membangun dan mengoperasikan pusat data di luar angkasa memiliki tantangannya sendiri. Beberapa di antaranya adalah kesulitan dalam perawatan dan pembaruan, biaya peluncuran roket yang mahal, serta risiko kegagalan peluncuran itu sendiri.

    Namun, Bezos tetap optimis tentang prospek ekonomi jangka panjang dari proyek ambisius ini. Ia yakin bahwa pada akhirnya, biaya operasional pusat data di luar angkasa akan lebih unggul.

    “Kami akan mampu mengalahkan biaya pusat data terestrial dalam beberapa dekade mendatang,” tutupnya.

    (hsy/hsy)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Manusia Rp 3.800 Triliun Buka Suara Soal Gelembung AI

    Manusia Rp 3.800 Triliun Buka Suara Soal Gelembung AI

    Jakarta, CNBC Indonesia — Pendiri Amazon, Jeff Bezos, menilai industri kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) saat ini tengah berada dalam fase “gelembung industri”. Namun, menurutnya, di balik euforia yang berlebihan tersebut, teknologi AI tetap nyata dan akan membawa manfaat besar bagi masyarakat di masa depan.

    “Ini semacam gelembung industri,” kata Bezos saat berbicara di Italian Tech Week di Turin, Italia, dikutip dari CNBC International, Minggu (4/10/2025).

    Orang terkaya ke-4 di dunia itu menjelaskan, gelembung seperti ini biasanya terjadi ketika harga saham atau valuasi perusahaan sudah terlepas dari fundamental bisnisnya. “Orang-orang sangat bersemangat seperti yang terjadi hari ini pada AI. Semua ide, yang baik maupun buruk, dapat pendanaan,” ujarnya.

    Namun, miliarder tersebut menegaskan, meski banyak perusahaan AI yang tengah menumpang tren, hal itu tidak berarti teknologi ini semu. “AI itu nyata, dan akan mengubah setiap industri,” tegas Bezos.

    Ia mencontohkan, saat ini ada perusahaan kecil dengan hanya enam karyawan bisa memperoleh pendanaan miliaran dolar. “Ini perilaku yang tidak biasa, tapi memang sedang terjadi sekarang,” katanya.

    Meski mengakui adanya “AI bubble”, Bezos menilai gelembung di sektor industri tidak selalu berdampak buruk. Ia membandingkan fenomena ini dengan gelembung bioteknologi pada 1990-an yang pada akhirnya melahirkan banyak obat penyelamat jiwa, meski banyak perusahaan di sektor itu akhirnya tumbang.

    “Gelembung industri tidak seburuk itu, bahkan bisa jadi baik. Ketika mereda dan para pemenang muncul, masyarakat akan menikmati manfaat besar dari inovasi tersebut,” ujar Bezos.

    Ia menutup dengan keyakinan bahwa dampak positif AI bagi umat manusia akan luar biasa besar. “Ini nyata. Manfaat bagi masyarakat dari AI akan sangat besar,” kata Bezos.

    Sebagai informasi Bezos saat ini tercatat sebagai orang terkaya ke-4 di dunia. Menurut Forbes, dia memiliki harta US$ 232,5 miliar atau Rp 3.851 triliun (kurs Rp 16.570).

    (mkh/mkh)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ramalan Jeff Bezos Soal Eksodus Jutaan Orang Tinggal di Luar Angkasa

    Ramalan Jeff Bezos Soal Eksodus Jutaan Orang Tinggal di Luar Angkasa

    Bisnis.com, JAKARTA – Pendiri Amazon, Jeff Bezos, memprediksi jutaan orang akan tinggal di luar angkasa dalam beberapa dekade mendatang lewat pernyataannya di gelaran Italian Tech Week pada Jumat (3/10/2025). 

    Mengutip Tech Crunch, hal itu disampaikan Bezos dalam pembicaraan dengan pewaris dinasti Agnelli dari Italia, John Elkann. Dia menyebut eksodus yang dia yakini itu terjadi karena permintaan yang cukup tinggi. 

    “Kebanyakan dari mereka menginginkannya, dan bahwa pekerjaan kasar akan ditangani oleh robot, sementara pusat data AI raksasa akan mengambang di atas mereka,” kata Bezos dikutip, Sabtu (4/10/2025).

    Menurut media tersebut, pernyataan ini terdengar seperti upaya Bezos untuk mengungguli pesaing luar angkasanya, Elon Musk, yang telah bertahun-tahun memprediksi manusia akan hidup di Mars. Bahkan, Musk menyebut sebanyak satu juta orang bisa tinggal di planet merah itu pada 2050.

    Sekitar setahun yang lalu, Musk lewat perusahaannya SpaceX mengawali rencana meluncurkan sekitar lima misi Starship tanpa awak ke Mars dalam dua tahun. Dia mengatakan Starship pertama ke Mars akan diluncurkan dalam periode dua tahun.

    Namun, Musk mengatakan jadwal misi berawak pertama akan bergantung pada keberhasilan penerbangan tanpa awak. 

    Apabila misi tanpa awak mendarat dengan selamat, misi berawak akan diluncurkan dalam empat tahun. Namun, kata dia, jika ada tantangan, misi berawak akan ditunda selama dua tahun lagi.

    Setelah itu, tingkat penerbangan diprediksi tumbuh secara eksponensial dari sana untuk membangun kota mandiri dalam waktu sekitar 20 tahun.

    Menurutnya, misi ini juga menandakan manusia bukan hanya tinggal di bumi, melainkan bisa di planet lain.

  • Jurus AWS Bikin Siswa Indonesia Jadi Talenta AI Masa Depan

    Jurus AWS Bikin Siswa Indonesia Jadi Talenta AI Masa Depan

    Jakarta

    Amazon Web Services (AWS) dan Prestasi Junior Indonesia (PJI) telah melatih lebih dari 5.100 siswa dan 40 guru di 40 SMA/SMK/MA di Jawa Barat dengan keterampilan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan pembelajaran mesin (machine learning).

    Perkembangan teknologi AI berdampak besar dan turut menciptakan perubahan di berbagai lini. Menurut laporan terbaru dari AWS dan Strand Partners, lebih dari 18 juta (28%) pelaku usaha di Indonesia telah mengadopsi AI, dengan tingkat pertumbuhan tahunan mencapai 47%.

    Perubahan tersebut mendorong meningkatnya kebutuhan profesi dan keterampilan baru, khususnya di bidang AI, machine learning, big data, dan keamanan siber. Di tengah kekhawatiran 57% pelaku usaha akan minimnya tenaga kerja terampil.

    “Literasi AI adalah fondasi penting bagi talenta masa depan Indonesia agar mampu meraih kesuksesan di masa mendatang,” ujar Indonesia Regional Manager of Data Center Operations Amazon Web Services, Winu Adiarto dikutip Sabtu (4/10/2025).

    Melalui program STEM Capacity Building PJI, program berfokus pada pengembangan kapasitas guru dan siswa yang berusia 15-17 tahun untuk memahami konsep dasar serta aplikasi praktis AI dan machine learning.

    Dengan pelatihan, lokakarya, hingga kompetisi selama Januari hingga Agustus 2025, siswa dan guru memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk menjadi talenta digital yang mumpuni secara teknis dan bertanggung jawab.

    “Inisiatif ini menjadi salah satu bukti konkret visi AWS dalam mewujudkan inklusi digital bagi pelajar dari berbagai latar belakang, dan kami berkomitmen untuk terus melatih jutaan pelajar dengan keterampilan AI,” ungkap Winu.

    Puncak rangkaian STEM Capacity Building ditandai dengan penyelenggaraan AI Hackathon di Bandung pada 23 Agustus 2025. Ajang ini menjadi wadah bagi 246 siswa dari 31 sekolah yang terbagi ke dalam 52 tim untuk mengaplikasikan pengetahuan AI mereka ke dalam solusi nyata bagi dunia pendidikan.

    Mengusung tema “AI for Education”, kompetisi ini menantang siswa untuk mengembangkan ide yang mendukung guru dalam tugas pembelajaran, memperkuat manajemen sekolah, meningkatkan pengalaman belajar, serta mendorong akses pendidikan yang lebih inklusif.

    Enam penghargaan berhasil diraih oleh para finalis:

    * Juara Pertama: Tim SoLearn – SMAN 2 Cibinong
    * Juara Kedua: Tim JSC – SMKN 1 Cimahi
    * Juara Ketiga: Tim Stevia – SMAN 4 Depok
    * Sustainability Innovation Award: Calvium – SMAN 1 Nagreg
    * The Most Creative Project Award: Sora – SMKN 11 Bandung

    “AI Hackathon memperlihatkan ketika siswa diberi ruang untuk bereksperimen, mereka mampu menghasilkan ide-ide segar dan inovatif. Bersama AWS, kami bangga dapat memfasilitasi mereka untuk menjadikan aspirasi teknologi sebagai karya yang bermanfaat,” tutur Ketua Pengurus Prestasi Junior Indonesia, Pribadi Setiyanto

    (agt/agt)

  • Dua Satelit Starlink Jatuh ke Bumi Setiap Hari, Lapisan Atmosfer Terdampak

    Dua Satelit Starlink Jatuh ke Bumi Setiap Hari, Lapisan Atmosfer Terdampak

    Bisnis.com, JAKARTA – Pensiunan astrofisikawan Harvard Jonathan McDowell mengatakan setidaknya ada satu hingga dua satelit Starlink yang jatuh kembali ke Bumi setiap harinya. Banyaknya benda di angkasa, membuat kondisi atmosfer tergerogoti.

    Saat ini, terdapat lebih dari 8.000 satelit Starlink di langit dan jumlah itu terus bertambah. Satelit-satelit tersebut merupakan produk dari perusahaan transportasi luar angkasa SpaceX. 

    Selain itu, semakin banyak perusahaan dan negara lain yang juga menyebarkan satelit, menambah jumlah satelit di orbit Bumi. Banyak di antaranya berada di orbit rendah Bumi, yang membentang hingga ketinggian 2.000 km di atas planet kita. Seperti Starlink, umur satelit orbit rendah Bumi, hanya sekitar 5 hingga 7 tahun.

    Jonathan mengatakan dalam waktu dekat akan ada hingga lima satelit yang memasuki orbit per hari. Dengan semua konstelasi yang dikerahkan, dia memperkirakan sekitar 30.000 satelit orbit rendah Bumi – seperti Starlink, Amazon Kuiper, dan lainnya – dan mungkin 20.000 satelit lagi pada jarak 1.000 kilometer dari sistem China.

    “Untuk satelit orbit rendah, kami memperkirakan siklus penggantian 5 tahun, yang berarti 5 kali masuk kembali setiap hari. Belum jelas apakah China akan menurunkan orbit satelit mereka atau hanya mempercepat kita ke sindrom Kessler reaksi berantai,” tutur Jonathan, melansir earthsky.org, Sabtu (4/10/2025).

    Sindrom Kessler adalah skenario di mana kepadatan objek di orbit rendah Bumi cukup tinggi sehingga tabrakan antar objek menyebabkan serangkaian tabrakan beruntun, dengan setiap tabrakan menghasilkan puing-puing antariksa yang meningkatkan kemungkinan tabrakan selanjutnya.

    Seiring SpaceX meluncurkan semakin banyak satelit Starlink, semakin banyak pula satelit yang jatuh kembali ke Bumi. Kendati begitu, tidak semua satelit jatuh dari orbit karena alasan yang sama. 

    Selain fakta bahwa beberapa satelit telah mencapai akhir masa pakainya, ada alasan lain mengapa satelit dapat kembali ke orbit. Misalnya, aktivitas matahari yang tinggi dapat memperpendek umur satelit, dan kita baru saja melewati maksimum matahari dan masih dalam periode aktivitas matahari tinggi. 

    Badai matahari memanaskan atmosfer atas Bumi, menyebabkannya ‘mengembang’. Hasilnya adalah peningkatan hambatan atmosfer: satelit orbit rendah Bumi seperti Starlink (dan ISS, serta satelit pengamat Bumi) mendapati diri mereka terbang di udara yang lebih tebal dari biasanya. 

    Kepadatan udara ekstra ini menciptakan hambatan aerodinamis, yang memperlambat satelit dan menyebabkannya kehilangan ketinggian.

    Operator mungkin dapat meningkatkan beberapa satelit kembali. Namun, jika tidak, satelit tersebut dapat memasuki kembali atmosfer sebelum waktunya. Itulah yang terjadi pada awal 2022, ketika badai matahari menghancurkan 40 satelit Starlink yang baru diluncurkan.

    Aktivitas matahari bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan satelit jatuh. Malfungsi juga dapat terjadi. Misalnya, pada 12 Juli 2024, roket Falcon 9 mengalami kegagalan pada tahap kedua, menyebabkan 20 satelit Starlink berada di orbit yang ‘salah’.

    “Semua kecuali dua satelit masuk kembali pada hari peluncuran, dan yang terakhir masuk kembali pada tanggal 20 Juli, delapan hari setelah peluncuran,” ujar Jonathan.

    Dampak Hancurnya Satelit Terhadap Atmosfer Bumi

    Pada 2023, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) merilis sebuah penelitian ilmiah tentang stratosfer Bumi. Stratosfer merupakan lapisan atmosfer yang berada lebih dari 11 km di atas permukaan Bumi, tempat pesawat jet terbang dan lapisan ozon berada.

    NOAA menyatakan bahwa stratosfer mengandung partikel dalam jumlah tak terduga dengan beragam logam eksotis. Para ilmuwan yakin partikel-partikel tersebut berasal dari satelit dan pendorong roket bekas yang menguap akibat panas intens saat memasuki atmosfer.

    Para peneliti menemukan partikel yang mengandung unsur langka niobium dan hafnium. Mereka juga menemukan sejumlah besar partikel mengandung tembaga, lithium, dan aluminium dalam konsentrasi yang jauh melebihi kelimpahan yang ditemukan dalam debu antariksa. 

    Penggunaan unsur-unsur ini dalam paduan tahan panas dan berkinerja tinggi menunjukkan bahwa industri penerbangan antariksa adalah penyebabnya.

    Partikel-partikel kecil ini dapat menyerap dan memantulkan sinar matahari. Partikel-partikel ini juga dapat berfungsi sebagai permukaan untuk reaksi kimia perusak ozon. 

    Selain itu, partikel-partikel ini dapat mengubah atmosfer Bumi dengan cara yang masih belum sepenuhnya di pahami. Penelitian di bidang ini masih berlangsung.

  • Strap Crossbody iPhone 17 Mahal Tapi Laris Manis

    Strap Crossbody iPhone 17 Mahal Tapi Laris Manis

    Jakarta

    Peluncuran seri iPhone 17 dan iPhone Air tahun ini tak hanya menyita perhatian karena spesifikasi canggihnya, tapi juga aksesori pendukung yang melimpah. Di antara deretan produk baru Apple, tali selempang atau crossbody strap untuk iPhone mencuri perhatian. Meski dibanderol harga premium, aksesori ini justru laris manis hingga stoknya langka di pasar AS.

    Bersamaan dengan debut iPhone 17 pada September lalu, Apple merilis lebih banyak aksesori daripada tahun-tahun sebelumnya. Crossbody Strap dirancang khusus untuk iPhone 17 dan iPhone Air, memungkinkan pengguna menggantung perangkat seperti tas selempang mini.

    Bukan sekadar fungsional, desainnya yang modis membuatnya cocok untuk gaya sehari-hari, lebih praktis ketimbang tali penggantung tradisional yang sering terasa kaku.

    Kelangkaan Stok

    Fenomena kelangkaan ini terlihat jelas di Apple Store online AS. Berdasarkan pengecekan terkini, dari total 10 varian warna yang tersedia, enam warna saja sudah kehabisan stok dengan waktu pengiriman diperkirakan mulai 5 hingga 12 November mendatang-artinya, pembeli harus menunggu lebih dari sebulan. Satu warna lain pun tertunda hingga akhir Oktober, sementara hanya tiga pilihan yang bisa dikirim lebih cepat.

    Situasi serupa juga terjadi di toko fisik Apple Store di kota-kota besar AS. Banyak model tak tersedia untuk diambil langsung, memaksa konsumen memesan online dan bersabar. Bahkan di Amazon AS, platform e-commerce raksasa itu, mayoritas warna Crossbody Strap juga menunjukkan status “out of stock” atau delay pengiriman yang panjang.

    crossbody strap iphone Foto: Apple

    Apple belum secara resmi mengumumkan jumlah produksi awal untuk aksesori ini. Namun, kelangkaan yang berlangsung hampir sebulan pasca-peluncuran menandakan bahwa permintaan jauh melebihi ekspektasi. “Ini menjadi bestseller sejak hari pertama,” tulis Apple Insider dalam laporannya, menyoroti bagaimana aksesori ini langsung mendominasi daftar penjualan.

    Keberhasilan Crossbody Strap tak lepas dari tren fesyen teknologi yang sedang marak di AS. Pengguna iPhone kini lebih memilih aksesori orisinal Apple untuk melengkapi gadget barunya, daripada opsi pihak ketiga yang murah tapi kurang premium. Desain strap ini, dengan bahan berkualitas tinggi dan integrasi sempurna dengan iPhone 17, membuatnya terlihat seperti pernyataan gaya-bukan sekadar pelindung.

    Meski harganya tergolong mahal (mulai dari USD49 atau sekitar Rp750 ribu), antusiasme konsumen tak surut. Banyak yang menyebutnya sebagai “must-have” untuk iPhone Air yang ramping, yang memang butuh solusi carrying yang stylish. Di media sosial, unggahan pengguna yang memamerkan strap ini sudah ramai, memperkuat hype organik.

    Fakta bahwa Crossbody Strap begitu cepat menjadi barang laris merupakan bukti cerdasnya strategi Apple dalam mempromosikan aksesori. Produk seperti casing, strap, atau bahkan tas khusus iPhone tak hanya menambah pendapatan-mereka juga memperkuat ekosistem tertutup Apple. Dengan begitu, pengguna semakin sulit beralih ke merek lain, karena seluruh pengalaman mereka terikat erat pada produk asli, demikian dilansir dari Apple Insider.

    (afr/afr)

  • Ramai-ramai Serbu Harta Karun Baru Bernilai Rp 46.000 Triliun

    Ramai-ramai Serbu Harta Karun Baru Bernilai Rp 46.000 Triliun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Raksasa teknologi dunia tengah memburu harta karun baru berupa infrastruktur kecerdasan buatan (AI) dengan nilai fantastis.

    Citigroup memperkirakan total belanja infrastruktur AI global akan menembus US$2,8 triliun atau sekitar Rp46.000 triliun hingga 2029, naik dari proyeksi sebelumnya US$2,3 triliun.

    Lonjakan estimasi ini didorong oleh investasi agresif para hyperscaler, seperti Microsoft, Amazon, dan Alphabet, serta meningkatnya kebutuhan perusahaan global untuk mengadopsi AI.

    Menurut laporan tersebut ledakan AI sejak peluncuran ChatGPT pada akhir 2022 telah memicu ekspansi pusat data besar-besaran dan belanja modal jumbo, demikian dikutip dari Reuters, Rabu (1/10/2025).

    Bahkan, meskipun ada kekhawatiran akibat munculnya DeepSeek, model AI murah buatan China, serta kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, permintaan terhadap AI terus melesat.

    Belanja modal AI dari hyperscaler diperkirakan mencapai US$490 miliar pada akhir 2026, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya sebesar US$420 miliar.

    Citi juga menghitung, permintaan komputasi AI global akan membutuhkan 55 gigawatt kapasitas daya baru pada 2030, setara dengan belanja tambahan US$2,8 triliun, di mana US$1,4 triliun di antaranya berasal dari Amerika Serikat.

    Namun, biaya investasi ini dinilai sangat mahal. Setiap 1 GW kapasitas komputasi membutuhkan dana sekitar US$50 miliar. Alhasil, raksasa teknologi tak lagi hanya mengandalkan laba untuk mendanai proyek AI, melainkan mulai mengandalkan utang. Kondisi ini sudah mulai terlihat dalam laporan keuangan, di mana pengeluaran untuk AI mulai memangkas free cash flow perusahaan.

    “Perusahaan telah memberikan validasi eksternal yang jelas terhadap nilai AI,” tulis Citi, merujuk pada implementasi produksi di sejumlah korporasi besar seperti Eli Lilly, Hitachi, dan Wolters Kluwer.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Mata-matai Warga Gaza, Microsoft Setop Layanan Cloud Israel! – Page 3

    Mata-matai Warga Gaza, Microsoft Setop Layanan Cloud Israel! – Page 3

    Mengutip CNBC, penghentian layanan data cloud ini terjadi ketika Microsoft memberitahu pejabat pertahanan Israel.

    “Kami telah memutuskan untuk menonaktifkan penyimpanan berbasis cloud dan langganan AI yang digunakan badan militer tersebut,” ujar Smith.

    Di sisi lain, meski penghentian layanan ini akan merugikan sektor finansial Microsoft, ternyata ada pertimbangan lain atas keputusan ini.

    Menurut Brad Smith, “nilai bisnis yang telah tercapai saat ini hanya dapat dipertahankan dengan meyakinkan pelanggan bahwa perusahaan dapat mengandalkan layanan kami dengan kepercayaan yang kuat.”

    Meski sekarang Israel tidak memiliki tempat untuk menyimpan aktivitas pemantauan panggilan telepon warga Gaza, laporan terbaru dari The Guardian menyatakan Unit 8200 berencana memigrasikan pasokan panggilan teleponnya ke layanan Web Amazon.