Perjuangan Syamsul Bertaruh Nyawa di Puncak Pohon Lontar demi Rp 7.500
Tim Redaksi
PAMEKASAN, KOMPAS.com
– Kalimat “rasa khawatir saya tidak sebanding dengan kebutuhan mereka” meluncur lirih dari mulut Syamsul Anam Riyadi (40) saat menceritakan pekerjaannya.
Di balik ungkapan pasrah itu, ada perjuangan seorang ayah di Pamekasan yang setiap hari mempertaruhkan nyawanya di ketinggian 25 meter demi menghidupi keluarganya.
Di balik ungkapan pasrah itu, tersimpan kisah perjuangan seorang ayah di Pamekasan yang setiap hari menggadaikan nyawa di ketinggian 25 meter.
Semua demi memastikan asap dapur tetap mengepul dan ketiga putrinya bisa terus bersekolah.
Bagi Syamsul, pilu bukan lagi sekadar perasaan, melainkan rutinitas yang ia jalani selama tiga tahun terakhir.
Sejak 2021, ia tak pernah lagi merasakan hangatnya tidur satu atap bersama ketiga anaknya. Malam selalu datang dengan kerinduan yang menyesakkan.
Rumah yang dulu menjadi saksi tawa anak-anaknya kini hanya tumpukan puing yang tak mampu lagi memberi teduh.
“Sejak tahun 2020 rumah saya memang sudah rusak tapi masih ditempati. Setahun kemudian ambruk dan sudah berbahaya jika ditempati,” ucap Syamsul, Minggu (24/8/2025).
Sebagai gantinya, ia dan istrinya, Julaeha (38), mendirikan sebuah “rumah” sementara di Desa Kertagena Laok, Kec. Kadur Pamekasan Jawa Timur.
Sebuah gubuk sempit seluas empat meter persegi, dengan dinding anyaman bambu dan atap terpal. Di sinilah mereka berdua berteduh setiap malam.
Setiap malam, ketiga anak mereka, Nur Aini (21), Ilza Matul Musyarofah (14), dan si bungsu Erliza Ayuni Ramadiyanti yang baru berusia 7 tahun dititipkan ke rumah saudara yang lebih layak, agar bisa beristirahat dengan nyaman.
“Saya sudah berusaha keras mencari uang untuk buat rumah. Tapi hanya cukup untuk makan sehari-hari,” tuturnya.
Setiap pagi, Syamsul menjadi penantang maut. Tanpa seutas tali pengaman, otot-otot lengan dan kakinya menjadi satu-satunya jaminan. Ia memanjat setinggi 20 hingga 25 meter pohon lontar.
Di puncak sana, ia hanya mendapatkan bayaran Rp 7.500 untuk setiap pohon yang daunnya ia tebang.
“Saya dibayar Rp 7.500-10.000 setiap pohon. Daun lontar ditebang untuk membuat tikar,” katanya.
Bagian paling menegangkan dari pekerjaannya bukanlah saat memanjat. Melainkan saat ia berpindah pohon.
Untuk menghemat waktu dan tenaga, hanya sebatang galah bambu yang menjadi jembatan nyawanya dari satu pohon ke pohon lain. Tanpa pengaman, jika salah pijakan, nyawa yang menjadi taruhan.
“Saya sudah biasa berpindah pohon hanya dengan memakai galah. Saya hanya berdoa agar selamat untuk menafkahi keluarga,” katanya.
“Bahkan kalau jarak pohon berdekatan saya hanya menyambung daun lontar antar pohon, lalu pindah.”
Baginya, kekhawatiran keselamatan nyawanya tidak sebanding dengan kebutuhan makan anak dan istrinya.
Saat tak ada panggilan untuk memanjat, tangan Syamsul dan Julaeha tak berhenti bekerja.
Mereka menganyam helai demi helai daun lontar menjadi tikar. Selembar tikar yang dibuat seharian penuh dihargai Rp 31.000, atau bisa anjlok hingga Rp 25.000 saat harga sedang turun.
“Sehari kami bisa membuat tikar satu lembar, kadang bisa membuat dua lembar juga dalam sehari,” katanya.
Namun, penghasilan dari bertaruh nyawa dan menganyam daun lontar itu hanya cukup untuk bertahan hidup. Terlebih ketiga anaknya sudah bersekolah.
Cukup untuk makan, tapi selalu kurang untuk membangun kembali rumah dan mimpi mereka.
Di tengah perjuangannya, ada satu ketakutan yang lebih besar dari sekadar jatuh dari pohon. Syamsul menatap kosong ke arah gubuknya, suaranya kembali melirih.
“Saya hanya khawatir saat saya sakit, karena mereka perempuan semua,” tuturnya.
Bantuan pemerintah? Syamsul menggeleng.
Syamsul mengaku belum pernah sekalipun merasakan sentuhan bantuan dari program pemerintah. Ia berjuang sendirian, dengan doa sebagai satu-satunya jaring pengaman yang ia miliki.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Perjuangan Syamsul Bertaruh Nyawa di Puncak Pohon Lontar demi Rp 7.500 Surabaya 24 Agustus 2025
/data/photo/2025/08/24/68aa3751673a7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)