Perjuangan Syahrizal Fahru Rosyid, Pustakawan Lebak yang Tempuh 6 Jam Setiap Hari demi Jaga Akses Literasi Regional 7 September 2025

Perjuangan Syahrizal Fahru Rosyid, Pustakawan Lebak yang Tempuh 6 Jam Setiap Hari demi Jaga Akses Literasi
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        7 September 2025

Perjuangan Syahrizal Fahru Rosyid, Pustakawan Lebak yang Tempuh 6 Jam Setiap Hari demi Jaga Akses Literasi
Tim Redaksi
LEBAK, KOMPAS.com –
Suasana Perpustakaan Saidjah Adinda Rangkasbitung siang itu terasa tenang. Di antara suara pelan lembaran buku yang dibalik dan langkah ringan pengunjung, tampak seorang pustakawan muda sibuk menata buku-buku yang baru dikembalikan.
Dia adalah Syahrizal Fahru Rosyid (30), sosok di balik pelayanan koleksi di perpustakaan kebanggaan Kabupaten Lebak, Banten.
Dengan senyum ramah, Rizal—sapaan akrabnya—membagikan kisah perjalanan hidup dan pengabdiannya sebagai pustakawan.
Sejak kecil, Rizal sudah akrab dengan buku, namun bukan dari perpustakaan, melainkan dari hadiah orang tuanya.
“Waktu SD enggak ada perpustakaan, SMP ada tapi enggak difungsikan. Guru pun nggak pernah mengarahkan murid untuk berkunjung,” kenang Rizal saat ditemui di Perpustakaan Saidjah Adinda, Kamis (4/9/2025).
Ketertarikannya pada dunia literasi baru tumbuh serius saat kuliah.
Ia memilih Ilmu Perpustakaan di Universitas Diponegoro, pilihan yang jarang diambil teman seangkatannya.
“Menurut saya, semua pekerjaan pasti ada bidang ilmunya. Kalau ada jurusannya berarti pasti ada prospek kerjanya,” ujarnya.
Sejak 2019, Rizal menjadi pustakawan honorer di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Lebak.
Meski telah kembali ke tanah kelahiran, ia tinggal di Cakung, Jakarta Timur, bersama istri dan anaknya.
Setiap hari, ia menempuh perjalanan sekitar 6 jam pulang-pergi menggunakan KRL, berangkat pukul 04.30 pagi dan tiba kembali di rumah sekitar pukul 20.00 malam.
“Capek itu pasti, enam jam di perjalanan. Tapi saya sudah memilih jalannya, jadi ya dijalani saja,” ujarnya.
Meski melelahkan, Rizal tetap konsisten. Baginya, akses bacaan masyarakat Lebak jauh lebih penting daripada kenyamanan pribadi.
Selama bertahun-tahun, Rizal harus bertahan dengan gaji honorer yang terbatas, bahkan kerap tidak cukup untuk menutupi biaya transportasi harian.
“Ya namanya honorer, gajinya terbatas. Kalau dihitung-hitung, ongkos perjalanan sehari-hari cukup besar juga. Tapi karena sudah jalan yang dipilih, ya dinikmati saja,” tuturnya.
Namun, semangatnya tak pernah surut. Ia dua kali lolos sertifikasi pustakawan, bahkan meraih penghargaan Pustakawan Terbaik Provinsi Banten. Sejak 2023, ia akhirnya berstatus ASN PPPK.
Di perpustakaan, Rizal menangani hampir semua layanan: mulai dari katalogisasi, klasifikasi, hingga membantu pengunjung mencari koleksi melalui sistem otomasi.
Bagian yang paling ia sukai adalah interaksi dengan pengunjung.
“Kalau masyarakat datang, kita harus bisa memahami kebutuhan informasinya. Tugas pustakawan bukan hanya menyimpan buku, tapi juga memastikan buku itu sampai ke pembaca yang tepat,” tegasnya.
Menurut Rizal, jumlah pustakawan di Lebak masih belum ideal. Ia berharap ada formasi CPNS dan PPPK lebih banyak untuk lulusan Ilmu Perpustakaan.
“Perpustakaan itu sama pentingnya seperti sekolah atau rumah sakit. Kalau sekolah butuh guru, rumah sakit butuh dokter, maka perpustakaan juga butuh pustakawan,” katanya.
Rizal melihat bahwa minat baca masyarakat sebenarnya tinggi, tetapi aksesnya masih terbatas, terutama di sekolah-sekolah.
“Jadi bukan minatnya yang rendah, tapi akses bukunya yang masih kurang,” ujarnya.
Perpustakaan Saidjah Adinda sendiri kini memiliki lebih dari 20.000 judul buku, dengan total 40.000 eksemplar.
Koleksinya beragam: dari buku agama, sejarah, novel, hingga referensi akademik.
Fasilitasnya mencakup ruang baca anak, audio visual, dan layanan perpustakaan keliling yang menjangkau desa-desa.
Rata-rata, 1.000 pengunjung datang setiap bulan, tak hanya dari Lebak, tapi juga dari Tangerang, Serang, dan daerah lainnya.
Bagi Rizal, keberhasilan perpustakaan bukan diukur dari jumlah koleksi atau kunjungan semata, tapi dampaknya pada generasi muda.
“Saya ingin anak-anak Lebak merasakan fungsi perpustakaan sejak kecil. Kalau saya dulu baru mengenalnya saat kuliah,” katanya.
Ia berharap perpustakaan bisa menjadi ruang aman, tempat belajar, dan sumber inspirasi, bukan sekadar tempat meminjam buku.
“Harapan saya, semakin banyak anak-anak yang gemar membaca. Karena dari situlah masa depan mereka bisa terbuka,” ucapnya.
Kini, di antara rak-rak buku yang hening, Rizal tetap teguh mengabdi. Bagi dia, menjadi pustakawan bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan untuk menjaga nyala api literasi di tanah kelahirannya.
 
 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.