Perjuangan Penjual Kerupuk Keliling di Surabaya, Menolak Menyerah demi 3 Orang Anak Regional 3 Desember 2025

Perjuangan Penjual Kerupuk Keliling di Surabaya, Menolak Menyerah demi 3 Orang Anak
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        3 Desember 2025

Perjuangan Penjual Kerupuk Keliling di Surabaya, Menolak Menyerah demi 3 Orang Anak
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Sudah selama dua tahun, Ion (53), mengadu nasib di Surabaya, dengan keliling menjajakan aneka macam kerupuk demi menghidupi istri dan ketiga anaknya.
“Tadi saya berangkat dari Probolinggo jam setengah empat pagi,” tuturnya pelan saat ditemui di sebuah gang ramai kawasan Lakarsantri,
Surabaya
, Rabu (3/12/2025).
“Naik angkutan, sampai Kenjeran sambung angkutan kuning, biru buat sampai di sini,” ujarnya  melanjutkan.
Meski terlihat belum banyak kerupuk yang terjual pada siang itu, Ion mengaku tetap semangat.
“Rezeki sudah ada yang ngatur,” katanya.
Berjualan kerupuk di Surabaya, warga Desa Sumberwetan, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo ini mengaku, mengekos di daerah Kanjeran dan seminggu sekali pulang ke rumahnya.
“Saya ngekos daerah kenjeran, jadi kalau pulang ke Probolinggo-nya seminggu sekali saja” kata Ion.
Memanggul sejumlah plastik besar berisi aneka jenis kerupuk, Ion biasanya akan berkeliling kawasan permukiman warga area lakarsantri hingga pukul 13.00 WIB.
Kemudian, dia akan menaiki angkutan umum ke area rumah sakit Karangmenjangan Surabaya hingga sore hari. Dengan harapannya, dagangannya bisa habis.
Keliling menjajakan kerupuk akhirnya dilakoni Ion setelah mencoba berbagai macam usaha.
Dia menceritakan, dahulunya adalah seorang kuli bangunan di daerah Kenjeran, Surabaya.
Hidupnya berubah dalam sekejap saat mandor yang membawahi sekitar 20 pekerja menghilang tanpa jejak.
“Mandornya lari, kami semua enggak dibayar,” kenangnya.
Padahal, menurut Ion, upahnya sehari sebagai kuli sekitar Rp 70.000, jauh lebih baik daripada penghasilan yang kini diterima dari berjualan kerupuk.
Namun, dia tidak memiliki pilihan setelah mandornya kabur. Istri dan anaknya tidak bisa dibiarkan menahan lapar.
Ion menceritakan, pernah ada teman yang mengajaknya berjualan bakso di Probolinggo. Tetapi, usaha temannya tersebut ternyata tidak laku.
Hingga akhirnya, seorang teman yang lain mengajaknya mencoba berdagang kerupuk keliling.
“Ayo jual ini, paling enggak ada penghasilannya,” kata Ion menirukan ajakan temannya.
Memikirkan istri dan anaknya, Ion pun menerima ajakan sang teman meskipun dia hanya membawa pulang Rp 25.000 sampai Rp 50.000 per hari.
Penghasilannya itu masih harus dipotong ongkos angkutan setiap harinya.
“Yang penting sampai ke tempat jualan,” ujarnya sambil tersenyum.
Setiap hari, Ion memanggul sekitar 100 bungkus aneka kerupuk, yang dihargai antara Rp 12.000-Rp 20.000 per bungkus tergantung jenisnya.
Kehidupan Ion sempat makin berat ketika
handphone
satu-satunya hilang saat tengah beristirahat di sebuah masjid di Sidoarjo.
Tas berisi ponsel dan uang uang setoran dagangan senilai 150.000 raib dibawa seseorang yang terekam kamera CCTV.
“Itu saya pas capek, ketiduran. Pas bangun, tas sudah hilang,” ujarnya lirih.
Tanpa
handphone
, dia tak bisa menghubungi istrinya. Untuk memberi kabar, Ion harus meminjam telepon milik saudaranya yang tinggal dekat di sekitaran daerah kosannya.
Beruntungnya, saat kebingungan pulang, juragan dagangan kerupuknya yang berasal dari Sidoarjo memberinya uang Rp 50.000.
“Alhamdulillah, ada yang nolong. Katanya sabar, sabar,” katanya.
Juragan tersebut juga memaklumi kehilangan uang setoran itu.
“Yang penting jangan sampai kecelakaan,” pesan sang juragan kepadanya.
Ion mengaku, tidak menyerah. Apalagi, jika mengingat ketiga anaknya yang berusia 12 tahun, 6 tahun, dan 4 tahun.
Dia pun bersyukur, kedua anaknya bisa bersekolah di Probolinggo. Sedangkan, istrinya bekerja sebagai pencuci pakaian rumahan yang dibayar sekitar Rp 60.000 per minggu.
“Kadang saya cuma bisa kasih anak-anak uang sekolah Rp 3.000, Rp 5.000,” katanya.
“Yang penting mereka tetap sekolah. Saya ingin mereka bisa sekolah tinggi biar enggak kayak saya,” ujarnya lagi dengan mata yang mengawang ke langit Kota Surabaya yang cerah.
Tak banyak mimpi yang dia punya untuk dirinya sendiri. Ion hanya berharap memiliki pekerjaan halal dan penghasilan tetap.
“Kalau bisa, saya kerja bangunan lagi,” katanya.
Usai Lebaran nanti, dia bahkan mempertimbangkan tawaran seseorang untuk merantau ke Papua sebagai pekerja bangunan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.