Perasaan Sensitif pada Lansia, Wajarkah? Surabaya 29 Juli 2025

Perasaan Sensitif pada Lansia, Wajarkah?
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        29 Juli 2025

Perasaan Sensitif pada Lansia, Wajarkah?
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com

Perasaan sensitif
pada orang lanjut usia (
lansia
) sering ditemui di masyarakat.
Lansia
yang semakin mudah marah atau sedih terkadang menjadi tantangan sendiri bagi keluarga dalam merawatnya, khususnya jika terjadi indikasi menyakiti diri maupun orang lain.
Dosen Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR), dr Erikavitri Yulianti Sp KJ Subsp Ger (K) mengatakan bahwa menangani
perasaan sensitif
pada lansia perlu edukasi terkait gejala umum dan diagnosis ahli.
Misalnya, soal apakah perasaan tersebut normal atau mengindikasikan adanya gangguan kejiwaan atau tidak.
Ia mengatakan, faktor penyebab perasaan sensitif pada lansia biasanya berkaitan dengan perubahan fisik dan kesehatan yang semakin melemah.
Ini menyebabkan lansia merasa kurang memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri dan lebih mudah frustasi.
Menurunnya sistem otak dan syaraf membuat kemampuan kognitif seperti mengingat dan berbahasa menjadi turun juga berdampak pada penurunan kontrol emosi.
“Terjadinya tahap baru kehidupan seperti pensiun, kehilangan rutinitas yang diikuti kemunduran fisiknya dan kehidupan sosial yang semakin terbatas menyebabkan lansia merasa tidak berdaya apabila dibantu, namun apabila tidak dibantu akan merasa diabaikan. Sehingga akan cukup menantang bagi keluarga dalam memahami emosi lansia,” ungkapnya, Selasa (29/7/2025).
Erika juga menyebut, perubahan pola tidur pada lansia yang semakin pendek dan terputus-putus secara alami menyebabkan lansia kurang tidur sehingga dapat memengaruhi emosinya. 
“Dampak dari perasaan sensitif ini dapat meningkatkan risiko cemas dan depresi, penurunan hubungan sosial dan kemungkinan lansia mengisolasi diri,” tuturnya.
Selain itu, efek samping beberapa obat untuk penyakit degeneratif yang banyak diderita lansia dapat memberikan rasa ketidaknyamanan di fisik sehingga mempengaruhi emosi.
“Selain itu, dampak lainnya yaitu menurunnya minat lansia dalam melakukan aktivitas sehari-sehari sehingga lansia akan lebih banyak berdiam diri,” ujarnya.
Ia menekankan perlu adanya diagnosis berupa wawancara klinis dan observasi dengan teknik yang sesuai pada lansia, misalnya dengan melakukan komunikasi yang baik agar lansia lebih nyaman menyampaikan perasaannya.
“Selanjutnya
psikiater
dapat melakukan penilaian psikometri dengan beberapa instrumen untuk melihat kesesuaian dengan apa yang diungkapkan lansia untuk menyimpulkan status mental. Masih normal atau terdapat indikasi depresi dan gangguan kecemasan,” katanya. 
Dengan demikian, psikiater dapat mengetahui adanya perubahan pola perilaku seperti pola tidur, perubahan nafsu makan, dan penurunan aktivitas harian.
“Terapinya dapat dilakukan tanpa pemberian obat, namun apabila tidak efektif maka dapat diberikan obat sesuai dengan resep dokter,” ucapnya.
Erika menyebut pentingnya peran keluarga untuk memberikan dukungan emosional dan sosial, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup lansia dan keluarga.
“Keluarga harus jeli melihat perbedaan perasaan sensitif normal yang frekuensinya sesekali dengan perasaan sensitif yang tidak normal apabila terjadi secara terus menerus tanpa penyebab yang jelas,” ucapnya.
Menurutnya, keluarga perlu mendukung lansia untuk bersosialisasi, menjaga komunikasi, meningkatkan kemandirian dan memantau kondisi kesehatan mental lansia.
“Apabila terdapat perubahan sikap sosial, tidak bisa bersosialisasi, insomnia, hilang minat, putus asa hingga halusinasi segera konsultasikan pada psikiater,” kata dia. 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.