TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Pemerintah China di bawah kepemimpinan Xi Jinping berencana mengerek tarif impor dengan menargetkan pertanian dan produk pangan asal Amerika Serikat (AS).
Kebijakan itu direncanakan China sebagai bentuk pembalasan atas tindakan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan tarif 10 persen terhadap barang asal Tiongkok per tanggal 4 Februari kemarin.
Trump berdalih kebijakan tersebut diberlakukan sebagai alat tawar-menawar dan metode untuk melakukan perubahan kebijakan luar negeri, khususnya masalah imigrasi dan perdagangan narkoba.
Namun Beijing menganggap tindakan tersebut tersebut diskriminatif dan proteksionisme perdagangan, karena kebijakan tarif impor hanya berlaku untuk barang-barang asal Negeri Tirai Bambu, melanggar aturan de minimis sebelumnya, yang membebaskan barang senilai kurang dari 800 dolar AS untuk masuk ke AS.
Alasan tersebut yang mendorong China untuk bersikap agresif, dengan melakukan pembalasan, membidik komoditas ekspor Washington di negaranya
“China sedang mempelajari dan merumuskan tindakan balasan yang relevan sebagai tanggapan terhadap ancaman AS untuk mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen pada produk-produk China dengan dalih fentanyl,” lapor Global Times pada Senin (3/3/2025), mengutip sumber anonim.
“Tindakan balasan tersebut kemungkinan akan mencakup tarif dan serangkaian tindakan non tarif, dan produk pertanian dan makanan AS kemungkinan besar akan dicantumkan,” imbuh laporan itu.
Dampak Tarif Balasan China
Apabila China benar-benar merealisasikan tarif balasan berpotensi menghancurkan produksi minyak goreng dan pakan ternak, terutama ternak babi dunia hal ini terjadi lantaran China merupakan importir terbesar kedelai di dunia.
Akibatnya, permintaan untuk produk pangan AS dari China bisa menurun secara signifikan. Meskipun AS mungkin mencoba untuk mencari pasar alternatif, proses ini tidak mudah.
Negara-negara lain mungkin tidak mampu membeli sebanyak yang dilakukan China, atau pasar alternatif mungkin menawarkan harga yang lebih rendah.
Selain petani, industri pengolahan pangan dan pengepakan di AS juga bisa terpengaruh, karena mereka bergantung pada bahan baku yang dipasok dari sektor pertanian. Penurunan ekspor akan mempengaruhi pasokan bahan baku, yang kemudian berdampak pada produksi dan pengolahan makanan.
Lebih lanjut, ketegangan antara China dan AS dapat mempengaruhi harga pangan global, mengingat kedua negara tersebut adalah pemain utama dalam perdagangan global.
Kenaikan tarif impor akan mempengaruhi harga kedelai, jagung, gandum, daging sapi, dan produk pangan lainnya di seluruh dunia.
Perubahan besar dalam perdagangan antara kedua negara ini dapat menyebabkan gangguan signifikan dalam rantai pasokan global. Negara-negara yang terlibat dalam perdagangan pangan juga bisa merasakan dampaknya.
Terutama perusahaan yang bergerak dalam perdagangan internasional, logistik, dan ekspor-impor juga akan menghadapi tantangan lebih besar karena meningkatnya biaya dan ketidakpastian dalam rantai pasokan.
