Jakarta, Beritasatu.com – Penundaan kebijakan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump selama 90 hari terhadap 75 negara kecuali China, memanaskan kembali perang dagang antara dua negara adidaya tersebut.
AS memberlakukan tarif impor sebesar 145% terhadap barang-barang asal China, yang kemudian dibalas oleh China dengan mengenakan tarif sebesar 125% untuk produk-produk asal AS.
Pada Kamis (10/4/2025), produk asal China yang telah beredar di pasar, termasuk platform seperti Amazon mengalami kenaikan harga. Kenaikan ini langsung dirasakan oleh konsumen di AS.
“Barang-barang dari China yang ada di market space Amazon sudah dikenakan harga baru. Artinya, tarif impor yang diberlakukan oleh Donald Trump telah berdampak langsung pada harga barang konsumsi di AS. Kekhawatiran terhadap tensi dagang ini masih berlanjut karena ikut mendorong laju inflasi,” jelas Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan kepada Beritasatu.com, Jumat (11/4/2025).
Felix menambahkan bahwa peningkatan inflasi ini berpotensi memicu resesi, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi AS secara lebih signifikan dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya.
Beberapa analis dari Goldman Sachs pun telah memperkirakan potensi terjadinya resesi tersebut.
“Goldman memperkirakan kemungkinan resesi mencapai 60%. Mayoritas analis juga memprediksi inflasi akan meningkat dari level saat ini, yaitu 2,3%,” tambahnya terkait perang dagang AS.
Sementara itu, Donald Trump telah memperingatkan Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell melalui akun Truth Social miliknya akhir pekan lalu, agar segera memangkas suku bunga. Namun, Powell menegaskan bahwa prioritas utama The Fed saat ini adalah menjaga inflasi tetap terkendali.
Di sisi lain, mantan wakil ketua The Fed yang kini menjadi ekonom di Pimco menilai bahwa bank sentral tidak bisa gegabah memangkas suku bunga hanya karena ada proyeksi perlambatan ekonomi.
Seperti dilaporkan The Washington Post, The Fed akan terus memantau data-data ekonomi terbaru untuk memastikan inflasi tetap berada di kisaran 2%, sesuai target bank sentral di tengah perang dagang AS-China.