Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah berencana menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% pada tahun 2026. Langkah ini dilakukan untuk mendorong konsumsi masyarakat yang tengah menurun.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai langkah kecil tersebut bisa menjadi awal koreksi arah kebijakan fiskal menuju ekonomi yang lebih berpihak kepada rakyat.
“Kita tidak perlu terburu-buru memotong pajak hingga 4%. Cukup satu langkah kecil yang konsisten. Penurunan 1% PPN di tahun depan bisa menjadi sinyal bahwa negara ingin mengembalikan napas konsumsi rakyat, fondasi sejati pertumbuhan Indonesia,” ujar Fakhrul.
Ia menilai selama satu dekade terakhir kebijakan perpajakan nasional terlalu menekan sisi konsumsi masyarakat, sementara perusahaan besar justru diuntungkan melalui penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Kombinasi kebijakan tersebut, kata dia, membuat daya beli masyarakat menurun, perputaran kapital menyempit, dan penerimaan pajak sulit tumbuh secara berkelanjutan meskipun angka-angka ekonomi tampak stabil di permukaan.
“Kita sudah hidup terlalu lama dalam arus yang salah. Kenaikan PPN membunuh daya beli, mengurangi uang yang ada di masyarakat. Sekarang sudah saatnya kita putar balik,” tegasnya.
Fakhrul menyoroti bahwa kombinasi kenaikan PPN dan penurunan PPh Badan dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan beberapa tahun lalu telah menyebabkan penurunan rasio pajak dan melemahkan distribusi pendapatan nasional.
Menurutnya, hal itu menunjukkan arah kebijakan fiskal yang tidak seimbang, di mana kelompok kuat justru memperoleh keringanan, sementara masyarakat luas menanggung beban tambahan.
“Rakyat tidak keberatan membayar pajak jika merasa uangnya digunakan dengan benar. Tapi selama yang patuh terus ditagih dan yang bermain bebas dari hukuman, kepercayaan fiskal akan runtuh,” pungkas Fakhrul.
