TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan penghematan anggaran di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah berdampak pada industri perhotelan.
Bisnis MICE yang dikelola industri perhotelan kini banyak kehilangan pendapatan.
Survei Industri Hotel Indonesia yang dilakukan oleh Horwath HTL menunjukkan, permintaan kamar dari pemerintah di hotel-hotel Indonesia berkisar antara 5 hingga 7 persen dari total bisnis hotel.
Sementara itu, permintaan terkait MICE dari pemerintah berkisar antara 6 hingga 21 persen. Angka-angka tersebut bervariasi tergantung pada karakteristik pasar, hotel positioning, dan lokasi geografis.
Terbaru, pada Maret 2025, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Horwath HTL telah merilis hasil survei mengenai dampak kebijakan penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah terhadap industri hotel dalam negeri.
Dari hasil survei yang diikuti 726 responden dari 30 provinsi ini, industri perhotelan menunjukkan performa yang melemah akibat kebijakan penghematan anggaran pemerintah.
Berdasarkan hasil survei, lebih dari 50 persen responden melaporkan penurunan pendapatan melebihi 10 persen pada November 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Situasi secara bertahap memburuk sepanjang bulan-bulan berikutnya. Semakin banyak responden yang melaporkan kerugian pendapatan yang lebih besar.
Pada Desember 2024, 35 persen responden melaporkan adanya penurunan pendapatan lebih dari 30 persen.
Pada Januari 2025, lebih dari 30 persen responden melaporkan mengalami penurunan pendapatan melebihi 40 persen dibandingkan pada bulan yang sama di tahun sebelumnya.
“Perlu dicatat bahwa kuartal pertama secara tradisional merupakan yang terlemah di antara empat kuartal dalam satu tahun fiskal penuh,” tulis laporan survei tersebut yang dilihat Tribunnews pada Sabtu (29/3/2025).
Berdasarkan perilaku pasar sebelumnya, sektor pemerintah biasanya mulai beroperasi penuh pada akhir Maret atau awal April.
Situasi itu memerlukan respons cepat untuk mengatasi tren penurunan awal. Penundaan lebih lanjut pada akhirnya dinilai akan merugikan industri perhotelan dalam jangka panjang.
Kemudian, mayoritas responden percaya bahwa pemanfaatan fasilitas MICE mengalami penurunan drastis akibat kebijakan penghematan anggaran pemerintah.
Survei menunjukkan 42 persen ruang pertemuan tidak terpakai karena kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.
“Hal ini dapat dipahami karena permintaan terkait pemerintah merupakan kontributor utama terhadap permintaan fasilitas MICE,” tulis laporan survei tersebut.
Ketika permintaan melemah, tarif kamar memiliki kemungkinan untuk terpengaruh.
Hotel-hotel low-tier cenderung mengorbankan pertumbuhan tarif kamar untuk mempertahankan volume bisnis.
Perlu diketahui bahwa begitu sebuah hotel mulai menurunkan tarifnya, hal itu akan mempengaruhi seluruh pasar dalam jangka panjang.
Sehingga, menciptakan pasar yang sensitif terhadap harga dengan strategi ‘red ocean’ yang mengganggu pertumbuhan destinasi jangka panjang.
“Dinamika pasar kemungkinan akan berubah dalam jangka pendek. Namun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, perubahan ini tidak akan terjadi dengan mudah dan mungkin akan menghambat momentum kuat yang diperoleh sektor pariwisata selama periode pasca-pandemi,” tulis laporan survei tersebut.
Berikut detail perubahan yang dialami hotel sebagai akibat dari kebijakan penghematan anggaran pemerintah:
– Fasilitas ruang pertemuan tidak terpakai: 42 persen
– Terganggunya keseimbangan segmentasi pasar: 18 persen
– Kesulitan dalam rencana meningkatkan harga: 15 persen
– Berkurangnya permintaan saat hari kerja: 13 persen
– Penundaan atau pembatalan investasi: 2 persen
– Pengurangan staf: 2 persen
– Pembatalan pesanan kamar: 1 persen
– Terganggunya pasokan kebutuhan operasional: 1 persen