TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Amir Mansor (29 tahun) rela terbang dari Kuala Lumpur bersama teman-temannya demi berpesta dan berjoget di ajang Djakarta Warehouse Project (DWP) pada 13-15 Desember 2024 silam.
Sebagai penikmat musik rave, warga negara Malaysia ini tak mau melewatkan salah satu festival musik elektronik terbesar di Asia itu.
“Kami sudah biasa bepergian ke negara-negara Asia untuk datang ke musik festival. Kami pernah pergi ke Thailand, Singapura, Korea, bahkan Indonesia,” kata Amir kepada BBC News Indonesia dikutip pada Jumat (27/12/2024).
Tahun lalu, Amir juga datang ke Bali demi DWP.
Pengalamannya menyenangkan.
Jadi dia memutuskan datang kembali tahun ini.
Sialnya, rencananya untuk bersenang-senang selama tiga hari malah berubah jadi mimpi buruk gara-gara “razia” narkoba polisi.
Awal Mula Dihampiri Oknum Polisi
Amir baru saja memesan layanan taksi daring lewat ponselnya ketika dia melihat temannya dihampiri oleh sejumlah orang.
Saat itu, mereka hendak kembali ke hotel setelah menonton malam pertama festival musik tersebut.
“Awalnya saya kira mereka adalah driver ojek online yang sedang mencari pelanggan,” kata Amir.
Amir berasumsi demikian lantaran orang-orang itu berpakaian bebas dan tidak menunjukkan tanda pengenal sebagai polisi maupun surat izin penggeledahan.
“Mereka memanggil teman saya yang berjalan dengan saya. Mereka menggeledah teman saya, lalu saya menunggu teman saya karena saya sudah memesan taksi online untuk pulang bersama.”
“Mereka [polisi] lalu ikut menarik saya, mengecek dompet dan barang-barang saya,” kenangnya.
Polisi Tidak Temukan Bukti Narkoba
Amir mengeklaim polisi tidak menemukan barang bukti narkoba apa pun saat dia digeledah.
Dia juga melihat polisi melakukan hal yang sama kepada sejumlah pengunjung DWP lainnya secara acak.
Mereka kemudian dikumpulkan dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Sesampainya di kantor polisi, Amir mengaku diminta melakukan tes urine.
Ponsel mereka disita, tak dibolehkan menghubungi siapa pun termasuk pengacara atau Kedutaan Besar Malaysia.
“Mereka cuma mengizinkan kami menghubungi keluarga kami, tapi mereka memonitor komunikasi kami, lalu menyita kembali ponsel kami,” terangnya.
“Mereka juga tidak mengizinkan kami menunjuk pengacara. Mereka memaksa kami menandatangani surat penunjukan pengacara yang sudah mereka tentukan.”
Pada pagi harinya, polisi memberi tahu hasil tes urine mereka.
“Sebagian dari kami positif dan sebagian lainnya negatif. Tapi walaupun hasil tesnya negatif, mereka tetap mengunci kami di kantor mereka,” kata Amir.
“Mereka bilang karena kami datang sama-sama, walaupun sebagian [hasil tes urine] negatif, kami diminta mengaku salah dan membayar untuk bisa bebas.”
Diperas Rp 800 Juta
Amir mengeklaim bahwa dia dan delapan orang temannya diminta membayar Rp800 juta untuk bisa bebas.
“Padahal tidak ditemukan barang bukti apa pun pada kami, hanya tes urine sebagian dari kami hasilnya positif. Kami harus membayar Rp800 juta, walaupun hasilnya negatif, kami tetap harus bayar,” jelasnya.
Amir mencoba menawar nominal uang yang harus dibayarkan.
Akhirnya, mereka membayar sekitar RM100.000 (sekitar Rp360 juta).
Bukti Transfer ke Inisial MAB
Berdasarkan bukti transfer yang masih dia simpan, dana itu mereka kirimkan ke rekening pribadi seseorang berinisial MAB.
Amir mengeklaim MAB adalah pengacara yang ditunjuk polisi sebagai pendamping hukum Amir dan teman-temannya.
Ada pula seorang pengacara lainnya berinisial AT yang punya peran serupa dengan MAB, klaim Amir.
Menurutnya, AT dikenal sebagai salah satu pengacara di lingkup Polda Metro Jaya.
BBC News Indonesia telah meminta konfirmasi Polda Metro Jaya dan Mabes Polri terkait klaim-klaim Amir ini, namun hingga artikel ini diterbitkan belum mendapat respons.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sapriyanto Refa mengaku belum tahu soal dugaan keterlibatan sejumlah pengacara dalam kasus dugaan pemerasan ini.
Ditahan di Kantor Polisi 2 Malam
Amir menghabiskan waktu hampir dua malam di kantor polisi.
Selama itu, dia hanya diberi makan satu kali.
Dia mengaku melihat banyak orang bernasib sama.
Orang-orang itu, kata Amir, tak cuma dari Malaysia.
“Ada orang-orang Indonesia, Singapura, dan Taiwan,” tuturnya.
“Ada beberapa yang diperlakukan lebih buruk dari kami. Ada orang Taiwan yang ditaruh di sel karena kantor mereka sudah penuh dengan kami,” sambung Amir.
Dia akhirnya dibebaskan pada Minggu (15/12/2024) siang.
Amir hanyalah satu dari banyak warga negara asing (WNA) yang menjadi korban pemerasan polisi berkedok razia narkoba.
Ada 45 Warga Malaysia Jadi Korban
Mabes Polri menyatakan bahwa ada 45 warga negara Malaysia yang menjadi korban dengan barang bukti sebesar Rp2,5 miliar.
Sebanyak 18 personel kepolisian tengah diperiksa terkait dugaan pemerasan.
Kendati begitu, Amir meyakini jumlah korban dan polisi yang terlibat lebih dari itu.
Menurutnya, beberapa orang yang dia kenal juga dibawa ke kantor-kantor polisi lain di Jakarta.
Salah satunya, Polsek Kemayoran.
Kejadian itu cukup membuatnya kapok untuk datang ke DWP.
“Kalau masih digelar di Jakarta, kami tidak akan datang. Kecuali kalau mereka mengubah lokasinya atau mereka melakukan rebranding,” kata Amir.
Saat ini, dia berharap agar uangnya bisa kembali. Amir mengatakan dirinya telah melapor ke Polri melalui email.
Amir sempat menghubungi AT untuk meminta uangnya kembali.
Namun, kata Amir, AT mengeklaim uang hasil pemerasan telah dikembalikan ke negara.
Hingga Kamis (26/12), Amir mengaku tak pernah mendapatkan uang itu kembali.
Viral di media sosial
Pengalaman pahit para pengunjung DWP itu kemudian viral di media sosial.
Para raver asal Malaysia ramai-ramai menyuarakan pemerasan yang mereka alami.
Penyelenggara DWP kemudian membuat pernyataan yang menyesalkan kejadian tersebut.
Unggahan itu kemudian dipenuhi oleh komentar-komentar bernada marah.
Ada yang mengaku dipelototi oleh polisi saat sedang asik berjoget. Beberapa ditarik oleh polisi untuk digeledah dan berujung diperas.
Imbasnya, mereka mengatakan tak mau lagi datang ke DWP dan akan lebih memilih datang ke festival musik serupa di negara lain, misalnya Thailand.
Tindakan polisi juga dikecam oleh warganet Indonesia karena dianggap “memalukan negara” dan membuat kebobrokan institusi itu “go international”.
Kasus ini juga dinilai merugikan sektor ekonomi dan pariwisata.
Menteri Pariwisata Juga Buka Suara
Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, mengatakan peristiwa itu memberi citra negatif bagi Indonesia di tengah upaya mempromosikan diri menjadi destinasi kelas dunia.
“Kementerian Pariwisata menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan dan dampak yang ditimbulkan dari peristiwa ini,” kata Widiyanti.
Kamar Dagang Indonesia (KADIN) turut berkomentar karena khawatir kasus ini mengancam potensi ekonomi dari konser musik internasional.
Polisi Disanksi Tapi Tidak Dipecat
Propam Polri telah menjatuhkan sanksi kepada polisi yang memeras WN Malaysia di acara DWP 2024 itu.
Mereka hanya dijatuhi sanksi mutasi jabatan.
Sebanyak 18 anggota polisi itu telah menjalani penempatan khusus (patsus) dan akan menghadapi sidang kode etik pada pekan depan.
Mereka berasal dari berbagai pangkat dan berasal dari Polsek Kemayoran, Polres Metro Jakarta Pusat, hingga Polda Metro Jaya dan sudah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
Dari hasil penyelidikan Propam mengumpulkan barang bukti dari hasil pemerasan itu senilai Rp 2,5 miliar.
Uang sebesar Rp 2,5 miliar yang ditemukan merupakan hasil penggabungan dari dugaan pemerasan 18 anggota polisi, yang dikumpulkan dalam satu rekening yang sama.
“Tadi kan disampaikan yang sudah ya (disiapkan). Oke ya,” ujar Kepala Divisi (Kadiv) Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Abdul Karim di Mabes Polri, Selasa (24/12/2024) malam.
Harusnya Dipecat
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mendesak Polri untuk memecat polisi yang memeras penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) melalui sidang kode etik pada pekan depan.
Sugeng menyatakan, pelaku pemerasan itu harus dihukum berat karena perbuatan mereka telah mempermalukan Indonesia di mata internasional.
“Tindakan yang diduga memeras ini harus diganjar dengan hukuman tertinggi pemecatan. Karena apa? Pertama, ini mempermalukan Indonesia di dunia internasional,” kata Sugeng saat dihubungi, Jumat (27/12/2024) seperti dikutip dari Kompas.com.
Sugeng berpendapat, praktik pemerasan diduga menjadi satu pola umum atau kebiasaan yang dilakukan polisi.
Namun, ia menilai polisi-polisi itu tidak berpikir bahwa korban mereka adalah warga negara Malaysia yang punya stereotipe buruk kepada Indonesia.
“Apakah mereka tidak tahu bahwa warga negara Malaysia sebagai bangsa surumpun itu punya pandangan stereotip seperti ini? Tindakan memeras ini mengabaikan kondisi-kondisi yang jadi latar belakang,” ujar Sugeng.
Oleh karena itu, ia menilai pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) harus dilakukan.
Sumber: BBC Indonesia/Kompas.com/Tribunnews.com