Peneliti UI: Mandatori biodiesel perlu dijalankan secara fleksibel

Peneliti UI: Mandatori biodiesel perlu dijalankan secara fleksibel

Pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel perlu dievaluasi berkala dan kebijakan blending rate yang lebih fleksibel

Jakarta (ANTARA) – Pusat Penelitian (Puslit) Pranata Pembangunan Universitas Indonesia memandang kebijakan mandatori biodiesel sebaiknya dijalankan secara fleksibel agar tidak menimbulkan ketidakseimbangan antara energi, pangan, ekspor dan fiskal.

“Pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel perlu dievaluasi berkala dan kebijakan blending rate yang lebih fleksibel seperti yang sudah dilakukan di beberapa negara lain, ini patut dipertimbangkan,” kata Peneliti Puslit Pranata Pembangunan UI Widyono Soetjipto di Jakarta, Jumat.

Widyono mencatat beberapa pembelajaran internasional atas kebijakan mandatori fleksibel. Di Malaysia, penerapan B20 bersifat terbatas, dengan subsidi yang hanya diberikan pada konsumen dan wilayah tertentu, tidak menyeluruh seperti di Indonesia.

Di Brasil, kadar campuran biodiesel disesuaikan dengan harga minyak nabati, seperti kedelai, bukan sawit. Jika harga minyak nabati tinggi, persentase campuran diturunkan, dan sebaliknya.

Sementara di Thailand, penyesuaian dilakukan berdasarkan harga minyak bumi, sehingga jika harga solar turun, campuran minyak nabati dikurangi.

Dari ketiga contoh negara tersebut, peneliti menilai bahwa fleksibilitas yang terukur dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan domestik, ekspor, dan stabilitas harga energi.

“Tetapi fleksibilitas ini harus bersifat terukur serta harus didukung oleh data pasar yang akurat dan sifatnya real time, dan juga teknologi monitoring yang sesuai dengan keadaan dan juga koordinasi yang baik antar sektor,” kata Widyono.

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat mandatori biodiesel yang optimal adalah 37,8 persen, di mana keseimbangan terjaga tanpa menurunkan ekspor atau merugikan pemangku kepentingan.

Meski begitu, Widyono berharap ada penelitian lebih lanjut untuk menentukan batas atas dan bawah campuran biodiesel yang optimal, misalnya antara B35 hingga B40.

“Untuk bisa mempertahankan ekspor dengan kondisi produksi CPO saat ini, yaitu diperkirakan 49,5 juta ton, tingkat mandatori optimumnya 37,8 persen,” kata dia.

Tim peneliti memperkirakan ekspor CPO hanya sebesar 20,8 juta ton apabila B50 diterapkan. Subsidi biodiesel, yang dihitung dari selisih harga biodiesel dan solar, diperkirakan mencapai Rp46 triliun pada skenario ini.

Karena pungutan ekspor menjadi sumber utama pembiayaan subsidi, penurunan ekspor akan mengurangi penerimaan negara, sehingga diperlukan kenaikan tarif dari 10 persen menjadi 15,17 persen.

Namun, peneliti menekankan bahwa kenaikan pungutan ekspor dapat menekan harga tandan buah segar (TBS) dan berdampak pada kesejahteraan petani swadaya.

Simulasi tim peneliti menunjukkan bahwa setiap peningkatan 5 persen mandatory blending, maka agar ekspor tidak berkurang harus dikompensasi dengan peningkatan produksi CPO sekitar 4,2 juta ton.

Dengan skenario B50, produksi CPO minimal harus mencapai 54 juta ton, jauh di atas proyeksi produksi 2025 yang hanya 49,5 juta ton.

Sebagai informasi, penelitian bertajuk “Produksi Sawit, Dinamika Pasar, serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia” ini menggunakan analisis kuantitatif dan metode ekonometrika dengan periode data 1990-2025.

Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Kementerian ESDM, dan sumber lainnya. Peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada pemangku kepentingan.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.