Jakarta, Beritasatu.com – Peneliti bidang Pangan Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian memandang, pemerintah perlu mengkaji model dapur dalam penerapan distribusi makan bergizi gratis (MBG). Eliza mengatakan, model dapur yang seharusnya diterapkan yakni berbasis komunitas lokal seperti koperasi, guna ikut menunjang bergeraknya ekonomi daerah.
Dia menjelaskan, basis dapur yang melibatkan komunitas lokal ini mempertimbangkan efisiensi anggaran dan kebutuhan cita rasa anak-anak siswa berdasarkan pada budaya makanan masing-masing daerahnya.
“Setiap daerah di Indonesia ini mestinya berbeda model dapurnya, tidak bisa semuanya central kitchen atau juga tidak bisa UMKM semuanya,” jelas Eliza saat dihubungi Beritasatu.com, Kamis (26/12/2024).
Dia mengungkapkan, pendistribusian makan bergizi gratis jika dilakukan di Pulau Jawa, maka model dapur sentral, dapat dilakukan. Hal ini lantaran setiap sekolah yang ada di Jawa rata-rata jaraknya tidak terlalu jauh sehingga lebih mudah dan efisien.
“Namun, kalau konteksnya remote area ini mestinya model dapurnya adalah berbasis komunitas lokal atau koperasi. Karena dengan komunitas lokal ini akan jauh lebih efisien,” tutur Eliza.
Eliza menerangkan efisiensi yang dimaksud, yakni dekatnya dapur dengan sekolah, komunitas orang tua murid yang bisa ikut membantu proses memasak makan bergizi gratis bagi para siswa dan variasi menu yang menyesuaikan cita rasa lokal daerah.
Terkhusus variasi menu yang fleksibel, Eliza mencontohkan tantangan seperti syarat buah-buahan potong yang harus tersedia. Tidak semua buah dapat diberikan oleh setiap daerah di Indonesia.
“Karena disarankan dalam makan bergizi gratis ini buahnya itu yang berbiji-bijian, seperti pisang, jeruk, salak, lengkeng atau anggur. Masalahnya kan buah itu mahal dan belum tentu tersedia di semua daerah,” terang Eliza.
Oleh sebab itu, Eliza menilai keterlibatan komunitas lokal dalam penyuksesan makan bergizi gratis, dapat menjadi penting. Selain efisien serta menyesuaikan cita rasa lokal, anggaran makan bergizi gratis dapat lebih efektif membangun roda perekonomian masing-masing daerah di Indonesia.
“Tidak bisa semuanya central kitchen. Pemerintah harus mengidentifikasi enabler dan karakteristik serta potensi daerah tersebut sehingga model pembangunan dapurnya tepat,” tutur Eliza.
Diketahui, Presiden Prabowo telah mengalokasikan Rp 71 triliun untuk menjalankan program tersebut untuk sepanjang 2025 saja. Alokasi anggaran yang dikeluarkan pemerintah per anak telah berubah selama beberapa bulan terakhir, mulai dari sekitar Rp 15.000 hingga baru-baru ini dipotong menjadi Rp 10.000.
Namun, pemerintah kemungkinan harus menunggu hingga biaya sebenarnya dari makanan bergizi gratis per porsi terlihat setelah program berjalan.