Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jakarta menjadi kota dengan polusi udara tertinggi di Indonesia. Pada 13 Agustus 2024, Jakarta mencatatkan indeks kualitas udara atau AQI tertinggi di dunia dengan skor 177.
Faktor polusi di Jakarta disebabkan oleh sektor transportasi. Transportasi berkontribusi sebesar 44 persen terhadap polusi udara di Jakarta. Dari hal tersebut, kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) yang buruk disinyalir menjadi penyebab utama.
Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI), Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) dan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia yang didukung Katadata Green dan ViriyaENB melakukan kajian mengenai penerapan BBM Euro 4 mulai dari 2025 hingga 2030 dapat mengurangi polusi udara di Jabodetabek.
Selain itu, dari hasil kajian bersama tersebut mengungkap, penggunaan BBM standar Euro 4 juga dapat menurunkan polutan particulate matter (PM) 2.5 hingga 96 persen, serta SOx, NOx hingga 82-98 persen.
Sedangkan tanpa perubahan, beban polusi dari kendaraan diestimasi akan meningkat sekitar 30-40 persen pada 2030 nanti, dikarenakan peningkatan jumlah kendaraan dan jumlah aktivitas transportasi.
Berkaca pada hal tersebut pemerintah didorong perlu melakukan peningkatan kualitas BBM Indonesia ke standar Euro 4.
Hal tersebut untuk mengantisipasi puncak polusi berbagai kota di Indonesia, terutama Jabodetabek, yang cenderung terjadi pada Juni hingga Agustus setiap tahunnya.
“Indonesia perlu segera menerapkan Euro 4 dengan didukung kebijakan yang terintegrasi, disertai dengan pengawasan dan penegakan aturan yang ketat. Pemerintah perlu memastikan kesiapan kilang domestik untuk memenuhi BBM Euro 4,” tutur Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam acara Mendorong BBM Berkualitas di Indonesia, Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Fabby menambahkan, polusi udara di Jakarta telah menambah beban biaya kesehatan terkait polusi seperti pneumonia, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan penyakit jantung iskemik.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan klaim pengobatan terkait polusi udara di Jakarta hampir mencapai Rp 1,2 triliun pada 2023, dengan penyakit jantung iskemik berkontribusi sebesar Rp 471 miliar dan penyakit influenza, serta pneumonia sebesar Rp 409 miliar.
“Meski membutuhkan investasi signifikan, kolaborasi pemerintah dan swasta dalam teknologi serta infrastruktur kilang akan membawa manfaat yang jauh lebih besar bagi lingkungan, kesehatan dan ekonomi,” imbuh Fabby.
BBM Euro 4 memiliki kandungan sulfur setara 50 ppm. Sebaliknya, lebih dari 90 persen BBM yang beredar di pasar Indonesia berkualitas rendah dengan kandungan sulfur tinggi, mencapai 150-2.000 ppm, tergantung jenis bahan bakarnya.
Tingginya kandungan sulfur dalam BBM menyebabkan rendahnya kualitas udara, meningkatnya masalah kesehatan dan menambah biaya pengobatan.
Lewat kajian tersebut mendorong pemerintah untuk menerapkan Euro 4 dengan memastikan ketersediaan BBM Euro 4 sesuai peta jalan. Selain itu perlu juga kesiapan kilang domestik untuk menyediakannya.
Meskipun peningkatan kualitas BBM merupakan langkah yang krusial, langkah tersebut perlu didukung dengan berbagai kebijakan transportasi berkelanjutan lainnya, termasuk penyediaan transportasi publik yang nyaman, pengetatan baku mutu emisi dan efisiensi bahan bakar kendaraan bermotor, pengalihan ke kendaraan listrik, serta penerapan manajemen lalu lintas yang ramah lingkungan (eco-sensitive traffic management).
Analis Kebijakan Lingkungan IESR Ilham R. F. Surya, menyebut, penerapan Euro 4 akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi BBM sekitar Rp 200 – Rp 500 per-liter.
“Pemerintah perlu mempersiapkan ruang fiskal untuk mengantisipasi dampak ekonomi dari penerapan peta jalan Euro 4 tersebut,” jelas Ilham.
Pemerintah juga perlu menyiapkan skema pembiayaan peningkatan biaya produksi BBM dengan berbagai skenario, seperti tambahan biaya jika ditanggung oleh pemerintah, dibebankan kepada konsumen atau dengan membatasi akses BBM bersubsidi bagi kelompok masyarakat tertentu.
“Total penurunan beban biaya dari pengurangan klaim BPJS untuk pengobatan ketiga penyakit ini pada 2030 diperkirakan mencapai Rp 550 miliar dengan rincian pneumonia sebesar Rp 246 miliar, jantung iskemik sebesar Rp 268 miliar dan PPOK Rp 36 miliar,” kata Ilham.