Proses pewarnaan alami dari kelompok kerja Batik Tulis, Berkah Lestari. ANTARA/Chairul Rohman
Pemberdayaan perempuan melalui usaha batik tulis Imogiri
Dalam Negeri
Editor: Novelia Tri Ananda
Kamis, 05 Desember 2024 – 20:15 WIB
Elshinta.com – Memanfaatkan bangunan bekas pabrik kerupuk di desa Karang Kulon, Imogiri, Bantul, Yogyakarta, kelompok kerja Batik Tulis, Berkah Lestari dengan tekun melestarikan kebudayaan batik khas daerah mereka. Kepulan asap dari dapur tempat menggilas batik yang sudah diwarnai, tidak membuat mereka merasa risih. Justru, para pekerja yang sudah berusia sepuh itu menunjukkan wajah gembira sambil sesekali bercanda dengan rekan kerja mereka.
Lokasi pabrik yang terbagi menjadi tiga area ini, semua dilakukan oleh para kaum ibu-ibu. Lokasi pertama yang menyapa para pengunjung adalah ruang membatik yang terbuka dengan atap besi di atasnya untuk menghindari hujan dan juga terik matahari. Para pembatik yang sudah rata-rata sudah berusia 50 tahun ke atas, menekuni pekerjaan mereka dengan tekun dan sabar menggunakan canting yang sudah mereka sediakan sebagai alat utama untuk membatik.\
Sambil meniup canting yang sudah berisi lilin itu, pembatik dari Berkah Lestari, Siti Hanifah mengatakan kebanyakan batik yang mereka buat lebih banyak motif-motif khas Yogyakarta dengan warna cokelat kehitaman seperti Sido Mukti, Sido Aseh dan juga Wahyu Tumurun. Siti Hanifah yang sudah membatik sejak muda itu, memiliki kesadaran untuk terus melanjutkan warisan budaya tak benda yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sejak Oktober 2009 yang lalu.
Sehingga, warisan dari nenek moyang ini tidak termakan zaman dan juga punah dengan seiring berbagai macam jenis pekerjaan yang membuat para anak muda enggan untuk menyentuh canting dalam membuat membatik. Terdapat tiga ibu-ibu yang pada saat itu sedang serius membatik, semua dengan sigap menggoreskan canting yang sudah berisi lilin atau malam untuk digoreskan ke ruang gambar yang sudah disediakan sebelumnya.
Dalam mengerjakan batik ini, para ibu-ibu itu senantiasa melakukannya dengan bergotong royong. Siti Hanifah menjelaskan, pertama-tama dalam membatik mereka harus membuat pola terlebih dahulu. Jika memang mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menggambar desain awal, mereka melakukan hal tersebut dengan cara kolaborasi dengan ibu-ibu sekitar. Sehingga, ibu-ibu di sana memiliki pemasukan dari membatik.
Bayaranyapun turun temurun seperti sudah ditentukan, misal mereka yang menggambar diberi upah sebesar Rp50 ribu. Sedangkan mereka yang membatik akan diberikan upah sebesar Rp100 ribu.
Sehingga, dengan adanya pekerjaan tersebut mampu membantu perekonomian mereka untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Bahkan, tidak hanya membantu perekonomian hasil dari membatik dapat meningkatkan mutu pendidikan anak-anak mereka hingga ke jenjang tertinggi yakni hingga universitas.
Saat mengunjungi showroom itu lebih dalam lagi, terdapat lokasi tempat mewarnai dan juga membilas batik-batik yang sudah diwarnai. Meski dalam kondisi yang panas karena berdekatan dengan tempat membilas hasil bati yang diwarnai, dua orang pekerja itu tampak nyaman mengerjakan semua.
Bukan pekerjaan utama
Membatik yang dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu itu bukan menjadi mata pencaharian utama mereka. Pekerjaan tersebut hanya sambilan, untuk bisa membantu ekonomi keluarga ketika mereka memiliki waktu yang cukup.
Hal tersebut diambil karena mereka tidak ingin membuang-buang waktu mereka dengan hanya berdiam diri dan juga bergosip, sehingga tidak mendapatkan hasil apapun dari kegiatan tersebut. Oleh karena itu, desa yang dikenal dengan batiknya itu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat terlebih para ibu-ibu untuk mengerjakan batik demi menghindari kegiatan tidak bermanfaat.
Terlihat, para ibu-ibu yang jauh dari kesan mewah itu memang sangat gembira untuk mengerjakan batik mereka hingga usai, meski dalam waktu yang cukup lama. Dalam menghasilkan satu batik, dirinya mengisahkan bisa sampai 4-5 hari.
Dengan semangat dan ketekunan dari para pembatik di daerah Imogiri itu, batik-batik mereka sudah bisa tembus mancanegara. Terbaru ini, kelompok kerja itu mendapatkan pesanan dari konsumen yang berada di Jepang dan Inggris. Dengan penerimaan dan pengelolaan yang sangat baik itu, memicu mereka untuk terus berkarya dan juga melestarikan budaya batik selagi mereka mampu melakukan hal tersebut.
Batik yang mereka kerjakan dihargai sebesar Rp1,5 juta hingga Rp3,5 juta per lembar kain. Hal tersebut dikarenakan kerumitan dalam membuat batik tulis. Sehingga, harga tersebut setimpal dengan beban kerja yang mereka lakukan setiap harinya.
Kurang SDM muda
Peradaban modern membuat generasi muda lebih memilih pekerjaan dengan jenjang karir dan mendapat gaji tetap seperti menjadi karyawan swasta atau ASN sehingga sulit mencari generasi muda yang terjun ke bisnis batik tulis.
Hal itu juga yang dikatakan oleh Pengurus Inti Kelompok Batik Tulis, Berkah Lestari, Nani Norchayati, bahwa banyak anak muda di wilayahnya justru mencari pekerjaan menjadi buruh pabrik, dengan penghasilan tetap yang menggiurkan bagi mereka. Meski begitu, dia tidak menyalahkan pilihan para generasi muda dalam menentukan pilihan masa depannya.
Hanya saja, dirinya merasa sayang jika generasi muda tidak lagi mau memegang kain dan juga canting sebagai mata pencaharian, sehingga budaya membatik lama-lama akan hilang.
Ia menyadari profesi membatik itu menjenuhkan sementara anak-anak muda zaman sekarang lebih suka setiap hari itu suasananya berubah. Memang, jika mereka harus belajar membatik dari awal, mereka harus membutuhkan waktu untuk beradaptasi yang tidak sebentar untuk bisa menghasilkan batik yang berkesan dan disukai oleh konsumen dan juga kolektor.
Untuk mengatasi krisis pembatik di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Dinas pendidikan Kota Yogyakarta sudah menyiapkan kurikulum muatan lokal (mulok) berupa pelajaran tari, karawitan dan juga batik. Adanya mulok itu, memberikan nafas panjang untuk menyediakan Sumber Daya Manusia dalam seni batik.
Kurikulum mulok batik akan mengenalkan pelajar seluk beluk batik dan belajar untuk mempraktikkan bagaimana menyiapkan kain, desain dan membuat batik. Diharapkan ada sejumlah pelajar yang berminat menekuni batik bahkan memilih membatik sebagai salah satu jalan hidupnya sehingga, hal-hal yang mereka takutkan akan kepunahan para pembatik tidak terjadi.
Kelompok kerja batik ini terbentuk pascagempa Yogyakarta 2006 lalu. Masyarakat sekitar mendapatkan berkah dengan masuknya Dompet Dhuafa yang mengajak 50 pembatik dengan memberikan bahan-bahan untuk membatik sampai pelatihan membatik, juga memfasilitasi pembentukan organisasi kelompok kera itu.
Lalu, para anggota juga mendirikan kembali kelompok-kelompok lain. Dengan kata lain, Batik Berkah Lestari menjadi pelopor kelompok-kelompok batik lain. Dompet Dhuafa memberikan bantuan selama dua tahun lalu setelahnya masih terus dibina. Kelompok batik ini menjadi salah satu model pemberdayaan perempuan dengan memanfaatkan kearifan lokal budaya membatik sehingga mereka mampu andil menambah pendapatan keluarga.
Batik memang tidak bisa dilepaskan oleh masyarakat Yogyakarta, sudah sejak lama batik menjadi kebanggaan masyarakat Yogyakarta. Bahkan, dalam lingkungan Keraton, batik sudah menjadi bagian dari kelengkapan busana, baik untuk busana sehari-hari maupun untuk upacara adat.
Sumber : Antara