Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah warga kolong, sebutan untuk orang-orang yang hidup di jalanan, di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, mencoba terus bertahan tinggal di tepi rel kereta dan trotoar sempit meski sudah berulang kali ditertibkan aparat.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, menegaskan, keberadaan
warga kolong
terus dipantau melalui patroli rutin.
“Saat ini kita hanya penjangkauan atau patroli rutin. Kalau ada yang bandel baru kita lakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, kita kirim ke panti sosial,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/11/2025).
Nanto menambahkan, pihaknya rutin melakukan patroli melalui pendekatan yang humanis dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
“Kalau patroli rutin tiap hari. Kalau hambatan selama ini belum ada, hanya harus rajin di patroli saja,” kata dia.
“Mereka pergi sebentar saat razia, tapi begitu patroli selesai, biasanya balik lagi ke kolong atau trotoar. Kami sudah terbiasa melihat itu,” kata Ningsih.
Sementara itu, Riyan (31), pengemudi ojek pangkalan yang mangkal tak jauh dari lintasan rel, merasa kasihan dengan warga kolong.
“Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya duit buat tempat tinggal. Kalau tidak ada alternatif, ya mereka kembali ke trotoar atau kolong. Mereka sudah biasa hidup di jalan,” ucapnya.
Sejumlah warga kolong yang ditemui
Kompas.com
mengungkapkan alasannya tetap bertahan di trotoar dan tepi rel meski sering didatangi aparat.
Salah satunya adalah Ale (40), warga asal Bogor, Jawa Barat, yang sudah hampir dua tahun tinggal di tepi rel dekat Latuharhary.
“Awalnya cuma numpang lewat, nyari barang bekas. Lama-lama susah, jadi bertahan di sini saja. Uang enggak cukup buat kontrakan. Mau ke mana kalau pergi jauh?” katanya.
Sehari-hari Ale mencari botol plastik dan kardus dari kantor serta pasar sekitar untuk dijual kembali.
“Kalau ramai, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” ujarnya.
Sukinem (38), perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, menuturkan pengalaman serupa.
“Kadang pagi-pagi Satpol PP datang, suruh bubar. Saya ngerti, tapi mau pindah ke mana? Gerobak berat, barang banyak. Setelah mereka pergi, kami balik lagi,” katanya.
Warga kolong lainnya, Sarwono (42) bercerita bahwa dirinya tinggal bersama istri dan anaknya di pertigaan dekat Kantor Komnas HAM.
“Tempat ini agak aman, lampunya terang, dekat kantor pemerintah. Kalau malam tetap waspada, tapi di sini dekat jalur kerja mulung. Anak dan istri ikut, jadi pilih lokasi yang memungkinkan semua aman,” kata dia.
Meski begitu, ia tak menampik bahwa tidur di atas trotoar tidaklah nyaman.
“Pakai kardus atau terpal seadanya, sambil menaruh gerobak sebagai penghalang agar barang tidak dicuri,” ujarnya.
Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menekankan bahwa warga kolong memilih lokasi secara strategis.
“Mereka paham wilayah secara teritorial, menempati lokasi yang relatif aman dari razia Satpol PP, dan dekat dengan mata pencaharian,” kata Yayat.
“Kalau mereka punya komunitas, ada keberanian untuk mencari ruang yang bisa digunakan bersama,” ujarnya.
Yayat menjelaskan bahwa mobilitas warga kolong cukup terukur.
“Radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya mereka menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” tuturnya.
Dengan strategi ini, warga kolong bisa menjaga barang-barang, bekerja, dan bertahan di ruang publik dengan risiko minimal.
Fenomena ini menunjukkan keterkaitan erat antara perilaku warga kolong dengan kondisi ekonomi dan kemampuan adaptasi terhadap ruang kota.
“Kelompok ini termarjinalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” ujar Yayat.
Di trotoar Latuharhary, Ale memilah-milah botol plastik dan kardus yang dikumpulkan dari kantor-kantor sekitar. Barang-barang ini dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kalau sepi, hanya cukup buat makan. Kalau ramai, bisa sedikit lebih. Tapi tetap hidup seadanya,” kata Ale.
Sukinem biasanya memulai pagi dengan berkeliling trotoar dan kantor-kantor Menteng untuk mengumpulkan plastik dan kardus.
“Kalau hujan atau banyak penertiban, tidak dapat apa-apa. Tapi yang penting bisa hidup, bisa kirim sedikit ke anak di Brebes,” ujarnya.
Ia tidur di kolong jembatan dekat terowongan kecil, menggunakan kardus dan terpal sebagai alas, sambil menjaga barang-barang agar tidak hilang.
Sarwono menekankan pentingnya lokasi bagi keselamatan keluarganya.
“Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Jadi kami bertahan di sini, walau tiap malam was-was. Gerobak kami taruh di depan sebagai penghalang,” katanya.
Hidup di tepi rel dan trotoar membuat warga kolong harus menghadapi berbagai risiko, di antaranya hujan, kebisingan kereta, hingga potensi kehilangan barang.
“Tidur malam selalu waspada. Kalau ada suara keras, langsung bangun. Barang-barang kami harus dijaga, gerobak jadi penghalang sekaligus tempat penyimpanan,” tutur Sarwono.
Sukinem menambahkan, anak-anaknya tetap tinggal di kampung halaman karena keterbatasan ekonomi.
“Kalau anak ikut, lebih sulit menjaga barang dan keamanan. Saya bertahan sendiri, kirim sedikit uang ke rumah. Hidup ini cuma buat makan dan bertahan,” katanya.
Ale pun sependapat dengan Sukinem.
“Kalau pergi jauh, mau tidur di mana. Uang enggak cukup buat kontrakan. Jadi tetap di sini, cari makan seadanya,” ujarnya.
Yayat menekankan bahwa pilihan lokasi warga kolong sangat pragmatis.
“Tempat itu relatif aman, tidak mengganggu warga, dekat mata pencaharian, dan ada kemudahan untuk kebutuhan sanitasi. Mereka memahami wilayah secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman,” ujarnya.
Ketimpangan ekonomi dan keterbatasan akses terhadap hunian layak membuat warga kolong harus mengisi ruang publik yang tersedia, sekaligus menyesuaikan diri dengan patroli aparat dan perubahan lingkungan sekitar.
Menurut Yayat, adaptasi warga kolong mencakup berbagai strategi pemilihan lokasi yang aman, pengelolaan barang dan gerobak, mobilitas terukur, serta pembentukan jaringan komunitas untuk saling menjaga.
“Mereka mengisi ruang kota yang gratis dengan strategi adaptasi yang sangat terukur,” ujarnya.
Yayat menambahkan, komunitas ini memudahkan warga kolong menyesuaikan diri dengan patroli aparat. Dengan mengetahui lokasi yang aman, mereka dapat menghindari razia sementara dan kembali menempati ruang ketika situasi aman.
“Mobilitas mereka terbatas, tapi efektif. Radius aktivitas hanya 1–3 km, cukup untuk mencari nafkah dan bertahan hidup,” tuturnya.
Yayat menambahkan Patroli rutin Satpol PP tidak mengubah pola hidup mereka secara signifikan.
Keberadaan mereka adalah hasil adaptasi terhadap kondisi ekonomi, keterbatasan ruang, dan kemampuan membentuk jaringan sosial yang memungkinkan bertahan hidup di kota besar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng Megapolitan 24 November 2025
/data/photo/2025/11/21/692042d08945d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)