Jakarta, Beritasatu.com – Langkah penurunan suku bunga Federal Reserve AS (The Fed) diharapkan mampu mengembalikan gairah pasar SUN atau surat utang negara Indonesia pada pekan depan.
Dengan spread (selisih) suku bunga yang semakin melebar akibat keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuannya di 6%, diproyeksi aliran modal asing akan semakin deras ke pasar domestik. Imbal hasil (yield) yang kompetitif diprediksi menjadi magnet kuat bagi investor asing.
Analis Pendapatan Tetap PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Nasrudin mengungkapkan, saat ini yield SUN mengalami tren kenaikan signifikan dari 6,45% pada akhir September, naik menjadi 6,84% pada akhir Oktober, dan sempat menyentuh 6,74% pada akhir pekan lalu.
“Kenaikan ini membuat pasar SUN semakin menarik di mata investor asing, terutama karena harganya relatif terjangkau,” kata dia kepada Investor Daily, Minggu (10/11/24).
Namun, ketidakpastian global perlu terus dipantau oleh pelaku pasar SUN. Salah satunya kebijakan proteksionisme ekonomi yang digalakkan Presiden terpilih AS Donald Trump, yang berpotensi memicu ketegangan perdagangan global, terutama dengan Tiongkok.
“Dampaknya, risiko pada pasar saham diprediksi akan lebih besar dibandingkan pasar SUN atau obligasi, membuat banyak investor mengalihkan fokus mereka pada aset yang lebih aman, seperti obligasi,” jelasnya.
Di tengah perubahan suku bunga The Fed, Ahmad Nasrudin memproyeksikan, yield SUN bertenor 10 tahun akan bergerak di kisaran 6,5% hingga 6,9%, dengan kecenderungan sideways atau stabil.
“Sebagai substitusi kinerja saham yang tergerus, justru menjadi sentimen positif bagi pasar SUN atau obligasi. Pasar obligasi menawarkan keamanan dan imbal hasil lebih menarik bagi investor jangka panjang, terutama jika kebijakan pelonggaran moneter dari The Fed terus berlangsung,” ujar Ahmad.