Presiden Prabowo Kumpulkan Sejumlah Ketum Parpol di Kertanegara, Ada Apa?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Presiden RI Prabowo Subianto memanggil sejumlah ketua umum (ketum) partai politik (parpol) di kediaman kepala negara di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2024).
Informasi pertemuan ini dikonfirmasi oleh Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.
Dasco menyebut para ketua umum parpol datang ke lokasi untuk mendampingi Presiden RI menghadiri acara Perayaan Natal Nasional 2024 di Kawasan GBK, Jakarta, pukul 19.00 WIB malam.
“Ini ada perayaan Natal nasional. Jadi janjian sama-sama berangkat dengan ketum-ketum partai ke Natal nasional,” kata Dasco saat dikonfirmasi
Kompas.com,
Sabtu.
Sebelum berangkat ke acara Perayaan Natal Nasional, para ketum parpol memang sempat berbincang bersama Presiden.
Namun, Dasco enggan mengungkap isi pembicaraannya.
“Sambil ngobrol-ngobrol karena sudah lama enggak ketemu itu aja,” ujar dia.
Pantauan
Kompas.com
di lokasi, sejumlah menteri tampak keluar rumah Presiden Prabowo pada pukul 18.50 WIB.
Beberapa sejumlah ketum parpol yang terpantau hadir dan keluar dari rumah Presiden RI itu termasuk dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Mereka adalah Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Presiden PKS Ahmad Syaikhu, dan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Ada juga Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas), Ketum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, serta Ketua MPR RI Ahmad Muzani dan Wakil Ketua MPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
partai: PKS
-
/data/photo/2024/12/28/676fed09df1d7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Presiden Prabowo Kumpulkan Sejumlah Ketum Parpol di Kertanegara, Ada Apa?
-

PPN 12 Persen Mulai Berlaku 1 Januari 2025, Jokowi: Itu Amanat UU, Perlu Dijalankan Pemerintah – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, SOLO – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan diterapkan mulai 1 Januari 2025.
Adapun kenaikan PPN tersebut merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Adapun pengesahan UU HPP dilakukan saat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 pada Sidang Paripurna pada Kamis (7/10/2024).
Kini kebijakan tersebut menuai banyak tentangan karena kondisi ekonomi Indonesia masih tertekan, dan konsumsi rumah tangga belum membaik.
Menyikapi kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen, Presiden RI ke-7 Jokowi menyebut keputusan pemerintah saat itu untuk menaikan PPN sudah melalui banyak pertimbangan.
“Saya kira kita mendukung keputusan pemerintah. Saya kira keputusan pemerintah itu ada pertimbangan-pertimbangan,” kata Jokowi di kediamannya di Kelurahan Sumber Kecamatan Banjarsari Kota Solo usai menerima tamu Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni, dikutip dari TribunSolo, Sabtu (28/12/2024).
Menurutnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun depan memang harus dilakukan pemerintah karena merupakan amanat Undang-Undang.
“itu kan juga amanat undang-undang yang perlu dijalankan oleh pemerintah,” ucapnya.
Jokowi pun menjelaskan bahwa keputusan kenaikan PPN saat itu merupakan harmonisasi peraturan perpajakan yang telah disetujui oleh DPR RI kala itu.
“Ini kan sudah diputuskan dalam harmonisasi peraturan perpajakan. Sudah diputuskan oleh DPR, kan sudah diputuskan oleh DPR ya pemerintah harus menjalankan,” urainya.
Oleh karena itu, setelah aturan baru tersebut sudah digedog di meja DPR RI, artinya menurut Jokowi proses penentuan perubahan nilai pajak tersebut telah melalui banyak pertimbangan.
“Tetapi sekali lagi saya kira pemerintah sudah berhitung dan melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang,” imbuhnya.
Sementara itu saat ditanya terkait adanya kekhawatiran masyarakat mengenai dampak kenaikan PPn, Jokowi kembali menegaskan hal sama terkait pertimbangan yang diambil pemerintah untuk merubah presentase nilai pajak.
“Mestinya pemerintah kan sudah berhitung, melakukan kalkulasi dan pertimbangan-pertimbangan,” kata dia.
Saat disinggung adanya saran dari berbagai pihak untuk mengganti perubahan kenaikan PPN diambil dari perubahan pajak penghasilan, Jokowi enggan berkomentar dan langsung masuk ke rumahnya.
Kenaikan PPN 12 Sudah Terencana
PPN 12 persen di 2025 dari sebelumnya 11 persen, sudah terencana sejak lama.
Melalui UU HPP, pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen.
Tarif pajak 11 persen ini mulai berlaku pada 1 April tahun 2022.
Kemudian, pemerintah akan menaikkan kembali tarif PPN sebesar 12 persen pada tahun 2025.
Diketahui, UU HPP disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat Sidang Paripurna pada Kamis (7/10/2024).
“Kepada seluruh anggota dewan, apakah RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?,” tanya Pimpinan Sidang dan Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar dalam Sidang Paripurna, disambut ucapan setuju para anggota DPR, pada saat itu.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie pada saat itu menuturkan, pembahasan RUU tentang HPP didasarkan pada surat presiden serta surat keputusan pimpinan DPR RI tanggal 22 Juni 2021 yang memutuskan bahwa pembahasan RUU KUP dilakukan oleh komisi XI bersama pemerintah.
“Dalam raker komisi XI, terdapat 8 fraksi menerima hasil kerja Panja dan menyetujui agar RUU HPP segera disampaikan kpd pimpinan DPR RI. Sedangkan satu fraksi menolak RUU,” sebut Dolfie.
Fraksi yang menyetujui adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan PPP. Sedangkan satu fraksi yang menolak adalah PKS.
Dalam paparan Dolfie, PKS menolak RUU HPP karena tidak sepakat rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
Menurutnya, kenaikan tarif akan kontra produktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional.
“Sementara fraksi PDIP menyetujui karena RUU memperhatikan aspirasi pelaku UMKM dengan tetap berkomitmen bahwa bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat, jasa pendidikan, jasa kesehatan, transportasi darat, keuangan, dibebaskan dari pengenaan PPN,” ucap Dolfie.
Barang Jasa dan Jasa Kena PPN 12 Persen
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut kenaikan tarif PPN 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11 persen.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Dwi Astuti menyebut ada tiga barang dikecualikan, yaitu yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak.
Tiga barang yang dikecualikan itu adalah minyak goreng curah merek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri.
Tambahan PPN sebesar 1 persen untuk ketiga jenis barang tersebut akan Ditanggung Oleh Pemerintah (DTP).
“Sehingga, penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut,” kata Dwi dikutip dari keterangan tertulis pada Minggu (22/12/2024).
Lalu, ia menyebut barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0 persen.
Barang kebutuhan pokok itu ialah beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah
umum.“Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum,” ujar Dwi.
Sebagaimana diketahui, kenaikan PPN ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen pada 1 April 2022.
Lalu, PPN akan kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Meski demikian, pemerintah sebenarnya masih bisa menunda kenaikan tarif PPN 12 persen itu dengan pertimbangan tertentu.
Merujuk Pasal 7 ayat (3), tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi sebesar 15 persen.
(Andreas Chris Febrianto/TribunSolo/Tribunnews)
-

Legislator Senayan minta Pj Gubernur Aceh tunda proses seleksi Kepala BPMA
Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Legislator Senayan minta Pj Gubernur Aceh tunda proses seleksi Kepala BPMA
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Jumat, 27 Desember 2024 – 14:14 WIBElshinta.com – Polemik soal seleksi Kepala Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) mendapat respon dari Senayan. Anggota DPR RI asal Aceh M Nasir Djamil menilai Pj Gubernur Aceh Safrizal tidak berwenang membentuk Panitia seleksi Kepala BPMA sehingga proses seleksi itu harus dibatalkan dan ditunda sampai Gubernur terpilih Muzakir Manaf dilantik.
“Hal itu sejalan dengan surat perintah kerja dan tugas serta wewenang yg dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri terkait hal di atas,” ujar Nasir Djamil, Kamis (26/12/2024) kepada awak media.
Menurut politisi PKS itu, dalam masa transisi ini Pj Gubernur Aceh dilarang mengambil kebijakan strategis mengingat statusnya hanya sebagai “pembantu sementara”.
Bahkan keinginannya terkait BPMA itu tidak sesuai dengan pasal 26 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015.
“Pj Safrizal diharapkan bisa menahan diri dan taat pada aturan”, kata Nasir Djamil.
Apalagi, lanjut Nasir yang juga anggota Badan Anggaran DPR RI itu, Muzakir Manaf selaku Komite Pengawas BPMA telah menyurati Pj Gubernur Safrizal untuk menunda proses seleksi itu.
“Ingat ya tidak ada alasan yang bisa dibenarkan soal seleksi Kepala BPMA. Muzakkir Manaf itu selain Komite Pengawas BPMA, juga Gubernur terpilih. Saya dapat kabar bahwa Menteri ESDM telah menunjuk Pj Kepala BPMA”, tegas Nasir.
Sebelumnya, anggota Komisi Pengawas Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Muzakir Manaf, yang akrab disapa Mualem, meminta agar proses penjaringan Kepala BPMA ditunda hingga Gubernur Aceh definitif dilantik pada 7 Februari 2025.
Permintaan tersebut disampaikan melalui surat resmi bernomor SRT-0001/BPMAKP0000/2024/BO tertanggal 12 Desember 2024. Surat itu ditujukan kepada Penjabat (Pj) Gubernur Aceh dan ditembuskan kepada Presiden RI serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam surat tersebut, Mualem menjelaskan bahwa BPMA didirikan berdasarkan Nota Kesepahaman MOU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. BPMA bertujuan untuk mendorong keterlibatan Pemerintah Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Pelaksanaan penjaringan Kepala BPMA saat ini tidak mendesak. Apalagi Kepala BPMA saat ini telah diperpanjang masa jabatannya hingga 25 November 2025 oleh Kementerian ESDM,” tulis Mualem.
Ia juga menilai, penundaan ini akan lebih etis mengingat pelantikan Gubernur definitif Aceh tinggal beberapa bulan lagi. Menurutnya, pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Kepala BPMA setelah pelantikan Gubernur definitif akan lebih selaras dengan semangat harmonisasi antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.
Sebelumnya, Pemerintah Aceh melalui Panitia Seleksi Calon Kepala BPMA telah membuka pendaftaran dari tanggal 21 hingga 29 November 2024. Saat ini, proses seleksi sedang berlangsung, mencakup tahap administrasi hingga tahap-tahap berikutnya.
Sumber : Elshinta.Com
-

Kebijakan PPN 12% Bikin Geger 2024
Jakarta –
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 2025 menjadi buah bibir masyarakat sepanjang 2024. Kebijakan ini dinilai akan menekan daya beli masyarakat karena potensi kenaikan harga yang terjadi.
PPN 12% berlaku mulai 1 Januari 2025 berdasarkan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kebijakan tersebut dibahas bersama di DPR RI, di mana delapan fraksi setuju (kecuali PKS) untuk aturan itu disahkan.
Pemerintah mengklaim hanya barang dan jasa mewah yang dikenakan PPN 12% di antaranya bahan makanan premium (beras, buah-buahan, ikan dan daging premium), pelayanan kesehatan medis premium, jasa pendidikan premium, dan listrik pelanggan rumah tangga sebesar 3500 VA-6600 VA.
Sementara barang yang dibebaskan dari PPN adalah sembako meliputi beras, daging, telur hingga ikan dan susu. Begitu juga dengan jasa pendidikan, kesehatan, keuangan, tenaga kerja, asuransi serta air.
“PPN tahun depan akan naik 12% per 1 Januari, namun barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat ini PPN-nya diberikan fasilitas atau 0%,” kata Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat.
Sedangkan untuk tepung terigu, minyak goreng dan gula industri hanya akan dikenakan PPN sebesar 11% karena 1%-nya akan ditanggung pemerintah selama satu tahun. Untuk mendukung aturan tersebut, pemerintah sedang menyiapkan aturannya termasuk daftar barang dan jasa mewah yang akan dikenakan PPN 12%.
Insentif Digelontorkan Dukung PPN 12%
Agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga, pemerintah telah menyiapkan insentif berupa paket stimulus ekonomi. Di antaranya Bantuan Pangan/Beras sebanyak 10 kg per bulan yang akan diberikan bagi masyarakat di desil 1 dan 2 sebanyak 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) selama 2 bulan (Januari-Februari 2025), serta pemberian diskon biaya listrik sebesar 50% selama 2 bulan (Januari-Februari 2025) bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2200 VA untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.
Selanjutnya untuk kelompok masyarakat kelas menengah, pemerintah juga telah menyiapkan berbagai stimulus kebijakan untuk menjaga daya beli. Stimulus tersebut yaitu dengan melanjutkan pemberian sejumlah insentif yang telah berlaku sebelumnya seperti PPN DTP Properti bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp 5 miliar dengan dasar pengenaan pajak sampai Rp 2 miliar, PPN DTP KBLBB atau Electric Vehicle (EV) atas penyerahan EV roda empat tertentu dan bus tertentu, PPnBM DTP KBLBB/EV atas impor EV roda empat tertentu secara utuh (Completely Built Up/CBU) dan penyerahan EV roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (Completely Knock Down/CKD), serta Pembebasan Bea Masuk EV CBU.
Di samping itu, terdapat juga kebijakan baru yang akan diterapkan untuk masyarakat kelas menengah, mulai dari pemberian PPnBM DTP Kendaraan Bermotor Hybrid, pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor Padat Karya dengan gaji sampai dengan Rp 10 juta/bulan, optimalisasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai buffer bagi para pekerja yang mengalami PHK dengan tidak hanya manfaat tunai, tapi juga manfaat pelatihan dan akses informasi pekerjaan, serta Relaksasi/Diskon sebesar 50% atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) kepada sektor industri padat karya.
Masyarakat bikin petisi, simak berita lengkap di halaman berikutnya…
Geger Petisi Minta PPN 12% Batal
Petisi online muncul meminta pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN 12%. Petisi itu berjudul ‘Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!’ yang dimulai pada 19 November 2024 hingga telah ditandatangani oleh ratusan ribu orang.
Inisiator petisi menilai PPN 12% justru akan membuat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia semakin sulit. Menurut mereka, kenaikan PPN juga dilakukan pada saat yang tidak tepat karena masih tingginya angka pengangguran di Indonesia.
“Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas,” bunyi petisi tersebut.
Atas dasar itu, pemerintah dirasa perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana,” tulis mereka.
Ada Ajakan Boikot Bayar Pajak
Penolakan terhadap PPN 12% semakin kencang. Di media sosial ada ajakan untuk boikot bayar pajak.
“Jika PPN dipaksakan naik 12%, mari kita boikot bayar pajak. Jadi pemerintah kok bisanya cuma malakin rakyat,” cuit akun @*ala*4*ar* di X atau Twitter.
Menurutnya, boikot bayar pajak bisa dilakukan dengan berbelanja di pengusaha kecil seperti warung-warung. Selain tidak kena PPN, cara itu disebut bisa membantu tetangga dan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
“Bisa disiasati dengan meminimalisir belanja di mall, lebih support pengusaha kecil. Misal, cari makan dan ngopi di warung rumahan aja. Masih banyak kok yang bebas pajak,” ucapnya.
PPN 12% Hanya untuk Barang Mewah Omong Kosong
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai PPN 12% hanya untuk barang mewah hanya omong kosong alias penamaan saja. Semua barang dan jasa disebut akan kena PPN 12%.
“Secara menyeluruh memang kena 12%, tapi ada beberapa bahan pokok sembako itu yang tidak terkena. Jadi sebenarnya dasarnya semua barangnya akan terkena 12%. Bahwa penamaan itu sebagai barang mewah atau bahan premium, itu bisa saja, tapi hampir semua itu terkena 12%,” kata Shinta di kantornya, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Shinta menilai PPN menjadi 12% akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat kelas menengah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah dan menuju kelas menengah di Indonesia pada tahun 2024 sebanyak 66,35% dari total penduduk Indonesia.
Nilai konsumsi pengeluaran dari kedua kelompok tersebut mencakup 81,49% dari total konsumsi masyarakat. Menurutnya, persentase itu akan menurun dengan tekanan PPN 12%.
“Kondisi ini tentu akan diperparah dengan rencana kenaikan PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025, yang diperkirakan akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat,” tuturnya.
Fraksi di DPR Saling Menyalahkan
Fraksi di DPR RI saling lempar bola terkait kebijakan PPN 12%. Lewat para kadernya, PDIP mengusulkan agar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencana kebijakan PPN 12%.
Usulan membatalkan kebijakan PPN 12% sempat diungkapkan pada rapat paripurna DPR RI, Kamis (5/12) oleh politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka. Dia berharap hal ini menjadi kado tahun baru bagi rakyat.
“Dengan seluruh kerendahan hati, saya merekomendasikan di rapat paripurna kali ini mendukung Presiden Prabowo, pertama, menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12% sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat 3 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021,” ujar Rieke.
Bahkan, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit menyebut PPN 12% di 2025 bisa ditunda tanpa perlu mengubah UU HPP. Penundaan itu bisa dilakukan pemerintah jika mau.
“Oh iya, undang-undang pajaknya nggak perlu diubah karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah. Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR,” kata Dolfie kepada wartawan di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip Kamis (21/11).
Pernyataan PDIP itu direspons keras oleh berbagai partai, utamanya Partai Gerindra. Pihaknya menilai PDIP plin-plan meminta PPN dibatalkan, padahal UU HPP yang menjadi cikal bakal kebijakan itu dibesut sendiri oleh partainya.
Anggota Komisi XI Fraksi Gerindra DPR RI, Wihadi Wiyanto menyebut wacana kenaikan PPN 12% merupakan keputusan UU HPP. Aturan itu disebut produk DPR periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh PDIP.
“Kenaikan PPN 12%, itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11% tahun 2022 dan 12% hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi dalam keterangannya, Minggu (22/12).
-

5 Fakta PPN Naik Jadi 12 Persen
Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintah bersikukuh menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Dalihnya adalah kenaikan ini menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan PPN itu memantik reaksi keras dari sejumlah kalangan.
Meski sudah menjadi amanat undang-undang, mereka memandang bahwa kenaikan ini berpotensi mencekik masyarakat yang sekarang ini tengah tercekik daya belinya.
Berikut lima fakta PPN naik ke 12 persen mulai 2025:
1. Diinisiasi di Era Jokowi dan Berlaku 1 Januari 2025
RUU HPP merupakan RUU usul inisiatif pemerintah yang saat itu dipimpin Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Awalnya, RUU itu bernama RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Jokowi kemudian mengirimkan Surat Presiden (Surpres) Nomor R-21/Pres/05/2021 ke DPR pada 5 Mei 2021 untuk membahas RUU KUP. Kemudian, Surat Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 diteken pada 22 Juni 2021.
DPR RI kemudian membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas RUU itu. Secara resmi, RUU KUP mulai dibahas pada 28 Juni 2021. Dalam pembahasan, RUU berubah nama jadi RUU HPP.
Pembahasan RUU memakan waktu sekitar tiga bulan hingga disahkan di tingkat I pada 29 September 2021. Delapan fraksi partai di DPR menyetujui RUU HPP segera disahkan dalam rapat paripurna.
Kedelapan fraksi itu yakni PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, NasDem, PKB, dan PPP. Hanya PKS yang menolak.
Hingga kemudian pada 29 Oktober 2021, Jokowi menerbitkan UU HPP. Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Pemerintahan Jokowi mengklaim bahwa UU HPP dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Oleh karenanya, diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang fokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.
2. Berlaku ke Semua Barang yang Selama Ini Dikenakan PPN
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif PPN 12 persen yang mulai berlaku tahun depan tak hanya dikenakan terhadap barang mewah.
Padahal, semula kenaikan PPN itu disebut-sebut oleh pemerintah bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.
“Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12).
Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat, mulai dari sabun mandi, makanan siap saji di restoran, pulsa telepon, tiket konser, hingga layanan video streaming seperti Netflix.
Bersambung ke halaman berikutnya…
3. Petisi Penolakan Warga
Masyarakat ramai-ramai menandatangani petisi berisi penolakan terhadap kenaikan PPN ini. Petisi yang berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” ini sudah tayang di situs change.org sejak 19 November 2024 silam.
Per Senin (23/12) pagi ini, sudah ada 171.532 orang yang menandatangani petisi untuk menolak kenaikan PPN 12 persen ini. Inisiator petisi menargetkan 200 ribu tanda tangan untuk petisi tersebut.
Pembuat petisi menganggap kenaikan PPN menjadi 12 persen menyulitkan rakyat. Ia mengingatkan daya beli masyarakat sedang terpuruk.
Petisi online tersebut pun diantar ke Istana Kepresidenan Jakarta oleh sejumlah massa dari beberapa elemen masyarakat. Mereka melakukan aksi tolak kenaikan PPN 12 persen pada Kamis (19/12).
4. Ada Barang yang Dikecualikan
Pemerintah menegaskan tak semua barang dan jasa kena kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Beberapa di antaranya malah digratiskan PPN-nya oleh pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merinci bahwa bahan kebutuhan pokok yang mendapatkan fasilitas bebas PPN telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020.
Barang dan jasa yang termasuk di antaranya adalah beras, daging (ayam ras, sapi), ikan (bandeng, cakalang, tongkol, tuna, kembung/banyar/gembolo/aso-aso), telur ayam ras, sayur-sayuran, buah-buahan, susu, garam, gula konsumsi, minyak goreng (tertentu), cabai (hijau, merah, rawit), dan bawang merah.
Kemudian jenis jasa yang mendapatkan fasilitas bebas PPN sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2024 yaitu jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa angkutan umum, jasa keuangan, dan jasa persewaan rumah susun sederhana.
Namun, pemerintah juga menetapkan bahwa barang-barang strategis tertentu masih dikenai PPN sebesar 11 persen, dengan 1 persen sisanya ditanggung pemerintah. Barang tersebut mencakup Minyakita, tepung terigu, dan gula industri.
[Gambas:Photo CNN]
5. Guyuran Insentif Buat Kompensasi
Guna meredam dampak kenaikan PPN ini, pemerintah menyiapkan enam paket kebijakan ekonomi berupa insentif hingga diskon pajak sebagai stimulus.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kebijakan stimulus ini didesain untuk merespons guncangan ekonomi yang dialami dalam negeri, salah satunya terkait pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah hingga bawah.
Adapun paket stimulus ekonomi tersebut diberikan kepada enam sektor produktif, seperti sektor rumah tangga yang mendapatkan bantuan pangan hingga diskon listrik 50 persen.
Selanjutnya, sektor pekerja akan mendapatkan kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Lalu, sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) diberikan perpanjangan periode pemanfaatan pajak penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet hingga 2025. Berikutnya, industri padat karya, di mana pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta diberikan insentif PPh Pasal 21 DTP.
Lebih lanjut, sektor mobil listrik dan hybrid diberikan insentif, hingga sektor perumahan diberikan PPN DTP pembelian rumah.
-

Top! Mandiri Jadi Penyalur FLPP dengan Tingkat Keterhunian Terbaik
Jakarta, CNBC Indonesia – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Mandiri) memperkuat komitmennya dalam mewujudkan program 3 juta rumah yang diinisiasi pemerintah melalui optimalisasi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya bank bersandi saham BMRI untuk mendukung pemenuhan kebutuhan hunian masyarakat, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) lewat penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Terbukti, hingga akhir November 2024, Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan penyaluran unit KPR berskema FLPP sebesar 68% secara year on year (YoY) menjadi Rp 1,06 triliun.
Direktur Jaringan dan Retail Banking Bank Mandiri Aquarius Rudianto menyatakan penyaluran pembiayaan pada sektor properti tersebut tercatat dengan kualitas kredit yang terjaga optimal.
Berkat kinerja tersebut, BP TAPERA sebagai koordinator program FLPP dan TAPERA menempatkan Bank Mandiri pada Peringkat I Bank Penyalur FLPP dengan Pertumbuhan Unit Tertinggi secara yoY sebesar 68%. Selain itu, Bank Mandiri juga menempati Peringkat I Penyalur FLPP dengan Tingkat Keterhunian Terbaik dari 10 Bank penyalur Tertinggi FLPP dengan Skor 96,21%.
“Hal tersebut menunjukkan komitmen Bank Mandiri sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Kami menilai, sektor properti berpotensi memiliki multiplier effect dalam memacu pertumbuhan perekonomian nasional,” ujar Aquarius dalam keterangan resmi pada Selasa (24/12/2024).
Apresiasi tersebut diserahkan pada acara Penandatangan Perjanjian Kerjasama (PKS) Penyaluran FLPP dan TAPERA tahun 2025 yang dihadiri oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi dan Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban.
Pada acara yang berlangsung di Auditorium Kementerian PU pada Senin, 23 Desember 2024, Bank Mandiri bersama dengan 38 Bank Penyalur lain serta 22 Asosiasi pengembang turut serta dalam menandatangani Komitmen Bersama untuk Menyukseskan Program 3 Juta rumah. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menekan angka backlog pasokan rumah serta sebagai bentuk nyata peran Bank Mandiri untuk menyediakan hunian yang berkualitas, terjangkau dan tepat sasaran.
“Peningkatan penyaluran KPR FLPP dan TAPERA oleh Bank Mandiri di tahun 2025 akan terus berlanjut dengan fokus pada pembentukan ekosistem perumahan serta pembiayaan secara end to end di sisi supply dan demand agar tercipta portfolio KPR Subsidi dengan kualitas kredit yang tetap terjaga. Selain hal tersebut, Bank Mandiri juga akan memperluas demand yang tidak hanya pada segmen Fix Income (Pegawai) namun juga pada segmen Non-Fix Income, yang memiliki potensi masih sangat besar,” papar Aquarius.
Lanjutnya, bersama dengan BP TAPERA, Bank Mandiri berharap penyaluran FLPP di tahun 2025 dapat berjalan dengan baik dan tercipta penyaluran yang berkelanjutan. Dalam mewujudkan hal ini, Bank Mandiri turut memanfaatkan platform digital untuk memasarkan KPR dan menghadirkan inovasi transaksi yang Adaptif dan Solutif bagi masyarakat melalui fitur Livin’ KPR di Super Apps Livin’ by Mandiri. Adapun hingga akhir November 2024 total penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Mandiri telah mencapai Rp 67,3 Triliun. Nilai tersebut tumbuh 16,6% yoy dari posisi November 2023.
(dpu/dpu)
-

Awal Mula PPN Naik jadi 12%: Dimulai di Era Jokowi, Dilanjutkan Prabowo
Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Indonesia telah menghadapi pungutan PPN 10% setidaknya selama 37 tahun atau sejak 1985 hingga 2022, sebelum akhirnya tarif pajak tersebut naik menjadi 11% per 1 April 2022.
Kenaikan tersebut nyatanya dimulai pada masa pemerintahan kedua Joko Widodo atau pada 2021. Kala itu, pemerintah ingin membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang berisi soal kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga pengampunan pajak atau tax amnesty.
Rancangan tersebut pada akhirnya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada Maret 2021, tetapi tak kunjung dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hingga pada Mei 2021, Jokowi mengirimkan Surat Presiden (Surpres) Nomor R-21/Pres/05/2021 yang meminta agar DPR segera membahas dan merampungkan RUU KUP tersebut.
Akhirnya, pada penghujung Juni 2021, DPR mulai membahas RUU KUP yang dalam perjalanannya berganti nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kurang dari enam bulan dan setelah mendapatkan restu dari Komisi XI, draft RUU HPP naik ke rapat paripurna bersama sejumlah agenda pembahasan lainnya. Mayoritas fraksi utamanya PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, Partai Demokrat, Partai Nasdem, PKB, PPP, menerima draf tersebut.
Kecuali, PKS yang dengan tegas tetap menolak pengesahan beleid tersebut dalam rapat paripurna. Meski demikian, RUU HPP juga tetap resmi menjadi undang-undang (UU) per 7 Oktober 2021 karena mayoritas fraksi setuju.
Hasilnya, Jokowi kembali melaksanakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II yang menghasilkan tambahan penerimaan senilai Rp61,01 triliun.
Selain itu, UU HPP juga menetapkan tarif PPN naik menjadi 11% per 1 April 2022 dan 12% mulai 1 Januari 2025 atau satu pekan lagi.
Presiden Prabowo Subianto yang kini menjabat pun manut dengan amanat UU HPP yang disahkan tiga tahun silam. Pemerintah kini, tidak ada intensi untuk menunda maupun membatalkan rencana tersebut.
Mirisnya, dalam UU HPP pemerintah juga menetapkan pajak karbon yang efektif 1 April 2022. Namun pada kenyataannya, kebijakan tersebut tak kunjung jalan dan tak ada kabar meski menjadi amanat Undang-Undang. Sementara tarif PPN, terus mengalami kenaikan.
Pemerintah dalam hal ini Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Dwi Astuti berdalih kenaikan tarif PPN tidak akan mengganggu daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
“Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12/2024).
Dalam perhitungan Ditjen Pajak, kenaikan tarif 1% tersebut hanya memberikan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen.
Misalnya, jika sebelumnya sebuah minuman seharga Rp7.000 dengan tarif 11% menjadi Rp7.770. Kini dengan tarif 12%, minuman tersebut menjadi Rp7.840 atau naik Rp70 atau setara 0,9%.
Meski demikian, ekonom dan masyarakat dari berbagai kalangan mendorong pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut karena kondisi daya beli yang tengah lemah. Tercermin dari inflasi yang mencapai titik terendah sejak 2021.
-

PKS: PPN 12 Persen Berdampak Negatif ke Sektor Pertanian, Ancam Swasembada Pangan – Halaman all
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota DPR RI Fraksi PKS Johan Rosihan menilai pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai Januari 2025 berdampak negatif terhadap sektor pertanian, kesejahteraan masyarakat, terutama petani kecil, termasuk target swasembada pangan.
Menurut Johan, kenaikan PPN dapat membebani mereka karena peningkatan biaya produksi seperti pupuk, benih, dan alat pertanian.
“Kebijakan ini juga berisiko, yang pertama meningkatkan harga produk pangan. Harga jual produk pertanian berpotensi naik, sehingga menurunkan daya beli masyarakat,” kata dia dalam keterangannya, Rabu (25/12/2024).
Johan menyoroti dampak kenaikan itu pada target swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah.
Menurut Legislator Komisi IV itu, kenaikan PPN bisa berpotensi pada ketergantungan impor .
“Ketiga yaitu menghambat swasembada pangan. Ketergantungan pada impor bisa meningkat jika petani kehilangan insentif untuk meningkatkan produktivitas,” kata dia.
Johan lantas meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini dan mempertimbangkan untuk menunda implementasinya. Komisi IV pun, dikatakan Johan, siap berdialog khusus soal sektor agraria ini.
Menurutnya, perlu juga langkah mitigasi untuk meminimalkan dampak kenaikan PPN, di antaranya pengecualian terhadap barang strategis.
“Jangan sampai kebijakan ini justru melemahkan sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional,” tandas Johan.
Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk tetap memberlakukan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, kebijakan tarif PPN 12 persen ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Sesuai dengan amanat UU HPP dengan jadwal yang ditentukan tarif PPN akan naik 12% per 1 Januari 2025,” tutur Airlangga dalam konferensi pers, Senin (16/12).
Airlangga menyampaikan, untuk menjaga daya beli masyarakat pemerintah memberikan stimulus kebijakan ekonomi, yakni bagi rumah tangga berpendapatan rendah PPN ditanggung pemerintah 1%, atau hanya dikenakan tarif 11% saja.
Barang-barang pokok yang dikenakan tarif 11% yakni, minyak goreng dengan kemasan Minyakita, tepung terigu dan gula industri.
“Jadi stimulus ini untuk menjaga daya beli masyarakat terutama untuk kebutuhan pokok dan secara khusus gula industri yang menopang industri pengolahan makanan dan minuman yang peranannya terhadap industri pengolahan cukup tinggi yakni 36,3%, juga tetap 11% (tarif PPN),” ungkapnya.
Airlangga menyampaikan, pemerintah juga menerapkan pengecualian objek PPN.
Beberapa barang dan jasa tertentu yang diberikan fasilitas bebas PPN meliputi:
Barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi.
Kemudian, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja.
Lalu, vaksin, buku pelajaran dan kitab suci, air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap).
Berikutnya, tarif listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA)
Rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS.Lalu, sektor jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional, ,esin, hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan.
Selain itu juga komoditi bahan pakan, jangat dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak, minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG) dan panas bumi, emas batangan dan emas granula serta enjata/alutsista dan alat foto udara
“Barang-barang yang dibutuhkan masyarakat PPN diberikan fasilitas atau 0%. Jadi barang seperti kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan telur, sayur, susu, jasa pendidikan, angkutan umum, seluruhnya bebas PPN,” terangnya.

