partai: PKI

  • Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

    Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

    OLEH: MUHAMMAD FADHIL BILAD*

    AGUSTUS, bulan kemerdekaan, seharusnya menjadi momen rakyat menikmati hasil perjuangan leluhur. Namun, realitanya jauh dari harapan. Rakyat masih harus berjuang: mengejar kesejahteraan, melawan ketimpangan ekonomi, dan memperjuangkan martabat kemanusiaan. 

    Ibu Pertiwi menangis melihat anak-anaknya berjuang menuntut keadilan, yang kerap bertransformasi menjadi gerakan sosial. Sayangnya, gerakan organik ini sering dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab: fasilitas publik dirusak, rumah-rumah dijarah, kantor dibakar, bahkan rakyat tak berdosa menjadi korban kekerasan dengan dalih “pembelaan diri”. Kemurnian aspirasi rakyat pun ternoda, isu besar yang diperjuangkan menjadi kabur dan tak terarah.

     

    Hilangnya Partisipasi yang Bermakna

     

     

    Idealnya, DPR sebagai wakil rakyat mengadopsi prinsip “meaningful participation”, partisipasi bermakna, yang menjamin hak rakyat untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atas aspirasinya. Keputusan DPR seharusnya lahir dari proses terbuka bersama rakyat. Jika prinsip ini diterapkan sungguh-sungguh, demonstrasi di jalanan tak perlu terjadi karena suara rakyat sudah terwakili. Namun, realitas berbicara lain. Maraknya aksi protes menjadi indikasi nyata bahwa DPR gagal mewujudkan partisipasi bermakna. 

     

    Lalu, kepada siapa DPR meminta pertimbangan dalam pengambilan keputusan? Bambang Wuryanto, atau akrab disapa Bambang Pacul, anggota DPR dari Fraksi PDIP, secara jujur mengungkap realitas pahit. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Menko Polhukam pada Maret 2023, ia blak-blakan menyatakan bahwa keputusan DPR diambil berdasarkan instruksi pimpinan partai. 

    Sistem pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR pun memperkuat pernyataan ini: suara diwakilkan oleh fraksi, bukan individu anggota DPR atau daerah pemilihan. Artinya, pimpinan partai, bukan wakil rakyat yang kita pilihlah yang menentukan arah kebijakan. Anggota DPR hanyalah “pemain orkestra” yang menari mengikuti irama sang maestro: pimpinan partai.

     

    Chile vs. Prancis: Pelajaran dari Dua Dunia

     

    Untuk memahami peran partai politik dalam merespons gejolak sosial, mari kita lihat dua kasus berbeda. Di Chile pada 2019, kenaikan harga tiket transportasi umum memicu protes massa yang meluas ke isu pendidikan dan ketimpangan ekonomi. Pemerintahan Bastian Piñera awalnya merespons dengan tindakan represif, namun tekanan rakyat memaksa mereka membuka dialog. Partai oposisi, seperti Partido Socialista dan Frente Amplio, mendorong reformasi struktural, menghasilkan kesepakatan lintas partai yang memberikan kanal politik formal bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi. 

     

    Sebaliknya, di Prancis pada 2018, gerakan “Yellow Vests” dipicu kenaikan pajak bahan bakar, yang memicu demonstrasi besar, penjarahan, dan bentrokan dengan aparat. Partai oposisi seperti La France Insoumise dan Rassemblement National berusaha mengambil peran, tetapi ditolak massa yang tidak ingin gerakan mereka diklaim sebagai agenda partai. Presiden Macron akhirnya mencabut pajak bahan bakar dan meluncurkan “Grand Débat National”, sebuah forum dialog langsung dengan rakyat. 

     

    Dari kedua kasus ini, kita belajar bahwa partai politik bisa menjadi jembatan penyelesaian konflik, seperti di Chile, atau justru kehilangan relevansi jika gagal merangkul rakyat, seperti di Prancis.

     

     

    Di Indonesia, partai politik bukan hanya berkuasa di parlemen, tetapi juga di setiap lini pemerintahan. Mulai dari penyusunan kabinet, penempatan pejabat di lembaga negara, kepala daerah, hingga posisi direksi dan komisaris, semua dipengaruhi rekomendasi partai. Realitas ini diperparah dengan praktik di bawah meja yang menjadi “ciri khas” Indonesia. Dengan kekuatan sebesar ini, pertanyaannya: apa peran partai dalam mendamaikan gejolak sosial-politik? Apakah partai hanya sibuk mengumpulkan “setoran” dari gaji, tunjangan, atau proyek-proyek yang digarap kadernya? 

     

    Di tingkat akar rumput, partai politik juga punya pengaruh besar. Keberadaan mereka di parlemen dan pemerintahan tak lepas dari dukungan rakyat saat pemilu, yang sering disebut sebagai “pesta demokrasi”. Saat kampanye, partai mendekati rakyat, membentuk komunitas kecil untuk menjaga simpati pemilih dengan janji-janji kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan. Namun, setelah pemilu, komunikasi ini meredup. Partai seolah hanya hadir saat butuh suara, bukan saat rakyat butuh didengar. Apakah sarasehan dengan rakyat hanya agenda musiman menjelang pemilu? Mengapa partai tidak menggelar dialog serupa di tengah situasi krisis seperti sekarang? 

     

    September Hitam: Ancaman Ketidakstabilan

     

    Hari ini, kita memasuki bulan yang kelam dalam sejarah Indonesia: “September Hitam”. Tragedi Semanggi II, pembunuhan Munir Said Thalib, dan peristiwa G30S/PKI menjadi pengingat betapa rapuhnya keadilan sosial di negeri ini. Di tengah dinamika politik saat ini, kabar tentang partai politik lebih banyak berputar pada manuver elit: Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, Golkar menonaktifkan Adies Kadir, sementara Gerindra, PDIP, dan PKS setuju menghapus tunjangan rumah DPR setelah protes publik. Bahkan, Presiden memanggil ketua umum partai ke Istana Negara. Semua ini mengesankan bahwa partai politik adalah penguasa sejati republik ini, tapi apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat? 

     

    Upaya partai saat ini masih jauh dari optimal, terutama jika dibandingkan dengan kekuatan besar yang mereka miliki di setiap lini pemerintahan. Jika eskalasi ketidakstabilan sosial-politik terus diabaikan, rakyat didiskriminasi, kebebasan berekspresi dibatasi, dan aspirasi tidak terpenuhi, maka risiko terburuk mengintai: revolusi rakyat. Partai politik bisa kehilangan legitimasi, digantikan oleh gerakan rakyat yang akan menentukan arah bangsa.

     

    Ke Mana Partai Harus Melangkah?

     

    Partai politik harus kembali ke akarnya: rakyat. Mereka harus membuka ruang dialog yang intensif, bukan hanya saat pemilu, tetapi juga di saat krisis. DPR perlu menjalankan prinsip partisipasi bermakna dengan sungguh-sungguh, mendengar dan mempertimbangkan aspirasi rakyat, bukan sekedar menjalankan instruksi pimpinan partai, sekalipun tidak bisa dilepaskan karena realitas yang tersistemik dan sudah menjadi tradisi antara partai dengan kadernya di parlemen, maka sebaik-baiknya instruksi ‘pimpinan partai’ adalah untuk membersamai dan mendengarkan secara utuh aspirasi rakyat. 

    Jika partai gagal menjadi jembatan antara rakyat dan negara, mereka tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga relevansi di mata rakyat. September ini, partai politik punya pilihan: menjadi solusi atau bagian dari masalah. Pilihan ada di tangan mereka, dan waktu terus berjalan. 

    *(Penulis adalah Director of Diplomacy and Foreign Affairs, Indonesia South-South Foundation)

  • Unmul klarifikasi temuan simbol PKI hanya peraga pembelajaran FKIP

    Unmul klarifikasi temuan simbol PKI hanya peraga pembelajaran FKIP

    Samarinda (ANTARA) – Universitas Mulawarman (Unmul) memberikan klarifikasi atas temuan lukisan berlambang Partai Komunis Indonesia (PKI) di lingkungan Kampus 2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unmul di Jalan Banggeris, Samarinda, bahwa benda tersebut murni merupakan alat peraga untuk kepentingan pembelajaran akademik.

    “Ini tidak terkait dengan gerakan ideologi terlarang, melainkan hanya untuk peraga pembelajaran tentang sejarah demokrasi Indonesia,” kata Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unmul, Prof Moh Bahzar di Samarinda, Selasa.

    Dia menjelaskan lukisan tersebut adalah materi perkuliahan mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Sejarah.

    “Itu murni untuk pembelajaran sejarah. Mahasiswa sedang mempelajari konstelasi politik pada era Presiden Soekarno, di mana saat itu terdapat beberapa partai besar, termasuk PKI,” ujar Prof Bahzar.

    Menurutnya, pihak rektorat telah memanggil program studi terkait untuk meminta keterangan. Hasilnya mengonfirmasi bahwa gambar tersebut dibuat sebagai visualisasi untuk memudahkan pemahaman mahasiswa mengenai sejarah perpolitikan Indonesia, di mana berbagai lambang partai politik pada masa itu ditampilkan sebagai bagian dari materi studi.

    Prof Bahzar menjamin temuan tersebut tidak memiliki kaitan apa pun dengan penyebaran paham komunisme atau aktivitas terorisme di dalam lingkungan akademik.

    Ia menegaskan bahwa mempelajari sejarah menuntut mahasiswa untuk mengetahui berbagai peristiwa masa lalu secara objektif, termasuk mengenai partai-partai politik yang pernah ada di Indonesia.

    “Pihak kampus menjamin ini tidak ada hubungannya dengan gerakan terlarang. Ini murni konteks akademik, karena mahasiswa sejarah harus belajar tentang apa saja yang terjadi di masa lalu, dari era Orde Lama hingga Reformasi,” tegasnya.

    Sebelumnya, lukisan berlambang PKI tersebut ditemukan dan disita oleh pihak kepolisian saat melakukan penggerebekan di salah satu gedung di Kampus FKIP Unmul.

    Penemuan itu terjadi bersamaan dengan penyitaan 27 bom molotov pada malam hari sebelum aksi demonstrasi yang dijadwalkan pada 1 September 2025.

    Dalam kasus bom molotov tersebut, kepolisian telah mengidentifikasi empat mahasiswa sebagai terduga perakitnya.

    Pihak universitas menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus bom molotov kepada aparat kepolisian, sembari memastikan bahwa aktivitas akademik, khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah, tetap berjalan sesuai koridor keilmuan.

    Pewarta: Ahmad Rifandi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Viral Polisi Amankan Logo PKI dan Puluhan Bom Molotov, Barang Bukti Aksi Demo di DPRD Kaltim

    Viral Polisi Amankan Logo PKI dan Puluhan Bom Molotov, Barang Bukti Aksi Demo di DPRD Kaltim

    GELORA.CO –  Viral polisi menunjukkan botol bir mahal dan logo PKI yang menjadi barang bukti dalam kasus empat mahasiswa Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman (Unmul) yang dituduh memiliki bom molotov.

    Seperti diketahui, pada Minggu (31/8/2025) malam, Polresta Samarinda mengamankan 22 mahasiswa FKIP Unmul terkait dugaan pembuatan bom molotov.

    Empat di antaranya diperiksa secara lebih intensif yakni MZ, MH, MAG, dan AR. Pengamanan dilakukan di kawasan Jalan Banggeris, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda.

    Selain memeriksa mahasiswa, polisi juga mengamankan 27 bom molotov dan atribut bergambar Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ditemukan di area kampus.

    Barang-barang tersebut diduga akan digunakan sebagai atribut aksi demonstrasi di Gedung DPRD Kaltim, Senin (1/9/2025). Dari video yang beredar di Twitter atau X, polisi juga menyita sekitar empat botol bir mahal bermerek Bali Hai. Bir ini pun sontak menjadi perhatian netizen.

    Beberapa menganggap penungkapan barang bukti ini terlalu mencurigakan.

    “Siapaa juga yang ngegambar PKI. Ah elah, repot amat. Tinggal donlot aja wkwk,” timpal akun lainnya.

    “Kemahalan pak, birnya. Lain kali pake bukti miras murah ae. Gen Z gak ada duit.”

    “Mereka ni ga pernah ada upgrade version soal isu2 gini apa ya… Tahun 2025 isunya masih asing lah pki lah… BASI!!!” ulas akun lain.

    Baca Juga: Pasar Senen Bangkit! Aktivitas Kembali Normal Pasca Kerusuhan Mako Brimob

    “Lucu banget, pak. Lagian logo buat apa dulu itu?” seloroh akun lainnya.

    Namun, ada pula yang meminta untuk aparat agar menggunakan momen ini untuk memperbaiki diri. “Terlepas dari barbuk dan penangkapan, ada baiknya polisi juga intrsopeksi.”

    Sebagai informasi, Bali Hai merupakan merek bir premium yang ada di Indonesia. Bir ini bahkan telah diperjualbelikan di luar negeri.

    Bali Hai Premium adalah Munich Lager yang diseduh dengan malt Eropa dua baris yang menyegarkan langit-langit mulut, dengan rasa yang bersih dan renyah serta dipuncaki oleh hop aromatik, memberikan nuansa buah dan bunga. Bir ini memiliki rasa yang unik dan penuh serta akhir yang halus dan memuaskan yang menetapkan standar untuk bir premium.

    Menanggapi hal ini, Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HMPS) telah merilis pernyataan sikap yang diunggah di akun Instagramnya.

    Organisasi tersebut membantah seluruh tuduhan yang dilayangkan kepada mahasiswa Unmul. Terkait tindakan anarkis, bom molotov, hingga lukisan PKI hingga smoke bomb merupakan tuduhan yang tidak berdasar.

    Oleh sebab itu, HMPS mengecam keras segala bentuk tuduhan yang mengaitkan mahasiswa dengan anarkisme. HMPS dalam setiap gerakannya selalu berlandaskan dengan intelektual dan moral, serta menolak cara-cara kekerasan.

    Sehingga, tuduhan kepemilikan bom molotov adalah sebuah fitnah keji dan upaya sistematis untuk melakukan kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa.

    Sementara itu, terkait logo PKI yang dijadikan alat bukti, HMPS menolak adanya pendangkalan sejarah dan stigmatisasi.

    Pasalnya keberadaan logo tersebut murni bertujuan sebagai diskursus akademik dan edukasi kesejarahan bagi mahasiswa baru 2024, bukan untuk menyebarkan ideologi terlarang.

    Terkait kepemilikan smoked bomb, digunakan untuk memeriahkan acara penutupan orientasi mahasiswa baru pada 30 Agustus 2025.

    Upaya untuk mengaitkan properti dengan tuduhan anarkisme adalah bukti bahwa aparat mencari-cari kesalahan dengan narasi yang dipaksakan. Hal ini justru menjadi bentuk intimidasi yang bertujuan menciptakan citra buruk bagi seluruh aktivitas mahasiswa yang legal dan sah.

    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda meminta polisi segera membebaskan empat mahasiswa Unmul yang ditahan. LBH menilai penahanan tidak tepat karena para mahasiswa tidak memiliki niat untuk menyiapkan molotov dan aksi.

    Pernyataan LBH ini juga didukung oleh para netizen. Warganet membela para mahasiswa dengan menyerukan komentar yang menyasar kesalahan aparat kepolisian.

    “Udah bener narasi hantu anarko, malah hantu PKI, basi banget. Bodoh kok gak kelar-kelar. Btw itu botol mulus2 bener,” ujar seorang warganet.

    Baca Juga: Pasar Senen Bangkit! Aktivitas Kembali Normal Pasca Kerusuhan Mako Brimob

    “Nuduh PKI >Rakit Molotov >Pake botol Bali Hai, premium lagi >Polisi tolol gk tau tupoksinya apa, mana ada simpatisan marxisme belinya miras diatas 50rb? Beli tuak warung madura aja kadang kasbon,” netter lain menimpali.

    “Pokoknya kalo polisi pegang-pegang barbuk ga pake glove, itu artinya pelakunya juga mereka Ingat kasus Gamma,” timpal yang lain.

  • Presiden RI Pernah Bubarkan DPR Gara-Gara Tak Capai Kesepakatan

    Presiden RI Pernah Bubarkan DPR Gara-Gara Tak Capai Kesepakatan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tuntutan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencuat belakangan ini sebagai reaksi publik terhadap sejumlah isu. 

    Secara konstitusional, DPR tidak bisa dibubarkan atau dibekukan, termasuk juga oleh presiden. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 amandemen ketiga, yang secara secara tegas menyatakan bahwa presiden tidak bisa membubarkan atau membekukan DPR.

    “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.***),” bunyi Pasal 7C UUD 1945.

    Meski begitu, sejarah mencatat DPR pernah dibubarkan pada 5 Maret 1960 lewat Penetapan Presiden No.3 Tahun 1960 ketika Presiden Soekarno berkuasa. Pembubaran tersebut disebabkan karena DPR tidak bisa membantu pemerintah dan memenuhi harapan yang diinginkan.

    “[…] DPR ternyata tidak memenuhi harapan kami supaya bekerja atas dasar saling membantu antara pemerintah dan DPR, sesuai dengan jiwa dan semangat UUD’45, Demokrasi Terpimpin dan Manifesto Politik,” tegas Soekarno dalam Penetapan Presiden No.3 Tahun 1960.

    Menurut koran Nasional (7 Maret 1960), sebelumnya pemerintah berharap DPR menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp44 miliar. Namun, akibat perdebatan yang tak kunjung usai dan kemudian DPR hanya menyetujui APBN sebesar Rp36 Miliar, Soekarno kemudian melakukan kebijakan yang membubarkan DPR.

    Presiden kemudian menggantinya dengan parlemen bernama DPR Gotong Royong (DPR-GR). Anggota DPR-GR juga ditunjuk Soekarno sendiri sebanyak 283 orang yang tak hanya berisi partai politik, tetapi juga personel militer. 

    Meski begitu, keputusan Soekarno untuk membubarkan DPR menuai kontroversi. Sebab, DPR yang dibubarkan merupakan parlemen berdasarkan hasil Pemilu demokratis tahun 1955. Selain itu, komposisi DPR-GR juga menguntungkan pihak terkait sebab jumlah kursi dari Partai Komunis Indonesia (PKI) naik. Sementara, jumlah kursi partai-partai Islam merosot.

    Atas dasar inilah, sejumlah pimpinan politik seperti Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, Parkindo, Partai Katolik, NU, serta partai non-komunis lainnya sepakat melakukan perlawanan, yakni lewat Liga Demokrasi yang didirikan pada 24 Maret 1960.

    Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c. 1200 (2008) menjelaskan, pendirian Liga Demokrasi didukung oleh Mohammad Hatta. Saat itu Hatta tak lagi berstatus Wakil Presiden RI karena mengundurkan diri pada 1 Desember 1956 karena tak lagi sejalan dengan Soekarno. 

    Liga Demokrasi didirikan untuk menolak pembubaran DPR dan menuntut pengembalian sistem Demokrasi Parlementer. Namun, Soekarno mengabaikan desakan tersebut dan memilih pergi ke luar negeri. Sekembalinya dari luar negeri, Soekarno kemudian melarang Liga Demokrasi dan membubarkan Masyumi dan PSI. 

    Dalam perjalanannya, ketiadaan parlemen sebagai representasi rakyat menimbulkan masalah. DPR-GR yang diangkat oleh Presiden Soekarno kerap tunduk dan menjadi “Stempel” kebijakan pemerintah. Tidak ada lagi fungsi parlemen yang mengawasi dan mengkritik kinerja pemerintah. 

    Eksistensi DPR-GR sendiri berakhir seiring kejatuhan Soekarno sebagai Presiden Indonesia sekitar tahun 1966-1967. 

    Pernah Dilakukan Gus Dur

    Serupa tapi tak sama, Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tercatat pernah juga bertindak keras kepada DPR. Hanya saja, Gus Dur tidak membubarkan, tetapi membekukan DPR dan MPR, dengan mengeluarkan maklumat Presiden Republik Indonesia pada 23 Juli 2001.

    Langkah ini dilakukan karena MPR yang dipimpin oleh Amien Rais berencana melakukan Sidang Istimewa untuk mengganti Gus Dur dari jabatan presiden. Meski begitu, langkah pembekuan DPR dan MPR percuma sebab parlemen masih menjalankan fungsinya dan melakukan perlawanan balik.

    Puncaknya, MPR dan DPR sukses melakukan Sidang Istimewa dan menggulingkan Gus Dur dari jabatan presiden. Kemudian parlemen langsung melantik Megawati sebagai Presiden ke-5 RI. 

    Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

    (mfa/mfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

    Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

    Jakarta

    Seorang dosen senior mengatakan “Jangan panggil saya dengan Pak, cukup panggil saja dengan nama saya,” ujarnya dengan setengah memaksa. Namun seorang dosen muda menyahut “Waduh, maaf sepertinya permintaan itu sulit sekali bisa dilakukan… Pak.”

    Penggalan interaksi itu saya dapati secara langsung di kehidupan kampus, tidak lama ini. Kata sapaan Bapak atau Ibu untuk dosen yang lebih senior adalah hal yang lumrah saja, kadang juga diselipi dengan panggilan atas gelarnya.

    Namun apa yang ingin disampaikan dosen senior itu saya memahaminya–mungkin–sebagai ekspresi keinginan mendobrak relasi kuasa yang menurutnya tidak seharusnya. Bagi seorang dosen muda memanggil dengan sapaan Bapak atau Ibu kepada dosen senior, selain sebagai bentuk penghormatan juga merupakan sopan santun yang harus dijaga.

    Entah, saya sendiri belum memahami betul, apakah itu baik atau buruk sebagai iklim akademis di kampus. Tapi umumnya bagi masyarakat dengan adat ketimuran seringkali kita dengar “adab lebih utama dari ilmu”.

    Hal itu mungkin yang menjadi dasar bagi sebagian besar dosen, termasuk dosen muda untuk lebih menjunjung dan menjaga adab.

    Kisah Ben Anderson Soal Istilah ‘Bule’

    Saya jadi teringat dengan sebuah kisah dari seorang Indonesianis, Benedict Anderson (Ben), yang memberikan kontribusi kecil dalam bahasa Indonesia (tapi bertahan hingga kini). Ben mempopulerkan kata “bule”.

    Bagi sebagian orang mungkin sapaan itu adalah terdengar rasis. Faktanya justru sebaliknya, Ben hanya tidak suka seringkali dipanggail dengan sapaan “Tuan” oleh orang-orang Indonesia pada masa itu hanya karena warna kulitnya putih. Ia juga membenci ketika orang Indonesia terkesan menunduk-nunduk hormat kepadanya, hanya karena warna kulitnya.

    Bagi orang Indonesia yang baru bebas dari kolonialisme, pada masa itu sekitar 1960-an, memang tidak mudah untuk mengubah kebiasaan memanggil “Tuan” kepada orang-orang kulit putih. Karena bagi orang Belanda, pada masa kolonial itu, keinginan untuk dipanggil “Tuan” karena merasa derajatnya yang lebih tinggi dibandingkan orang Indonesia.

    Akhirnya Ben menemukan jalan keluar. Ia menyadari bahwa warna kulitnya sebenarnya bukan putih melainkan lebih mendekati warna merah muda kelabu. Akhirnya ia memberi tahu kawan-kawannya orang Indonesia, bahwa ia seharusnya dipanggil bule karena warna kulitnya mendekati seperti hewan albino yang biasa disebut oleh orang Indonesia sebagai “bulai” atau “bule”.

    Dari sini kita memahami bahwa kata sapaan saja mengandung relasi kuasa. Ben hanya mencoba untuk membuat dirinya diterima sebagaimana adanya, sebagai dirinya tanpa embel-embel warna kulit.

    Saya memahami itu karena Ben seringkali adalah pendukung mereka yang tak diperhitungkan atau underdog.

    Pada masa kelam, Oktober 1966, Ruth McVey, Fred Bunnell, dan Ben menyusun sebuah preliminary analysis yang dikenal sebagai Cornell Paper. Judulnya adalah “Premimenary Analysis of the October 1, 1966, Coup in Indonesia”, kurang lebih argumentasi awalnya adalah “percobaan kudeta” pada masa itu sebenarnya bisa dilacak pada konflik internal di tubuh militer sendiri, dan bukan PKI, sebagaimana yang luas tersiar pada masa itu.

    Karena bocornya dokumen tersebut Ben dicekal masuk ke Indonesia selama 27 tahun, dan ia baru bisa kembali saat Soeharto tumbang.

    Saya jadi teringat dengan kisah seorang pahlawan nasional, Sutan Syahrir. Ia adalah Perdana Menteri Indonesia pertama, termasuk orang yang secara aktif ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dalam negeri maupun forum-forum internasional. Namun naas bagi Syahrir, ia harus menghembuskan nafas terakhirnya sebagai tahanan politik di Zurich, Swiss. Syahrir seperti dikhianati oleh bangsanya sendiri.

    Berbeda dengan Syahrir, Ben wafat di Kota Batu sebelum akhirnya abunya di Larung di laut utara Jawa. Sementara itu, jasad Syahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

    Demokrasi Masa Depan

    “Dimana-mana dewasa ini, demokrasi mengecewakan banyak orang” tulis William Liddle. Saya kira apa yang menjadi kalimat pembuka sebuah naskah orasi ilmiah yang pernah diberikan William Liddle, pada 2011 silam, masih sangat relevan dengan kondisi dunia hari ini, termasuk Indonesia. Sebagai sebuah orasi ilmiah pada masa itu, muncul beragam perdebatan atasnya, dapat membacanya pada masa itu saya merasa beruntung.

    Gelombang otokrasi seperti merebak. Banyak negara mulai menunjukkan gejala apa yang disebutkan oleh Levitsky dan Way (2002) sebagai competitive
    authoritarianism. Tanda-tandanya bisa banyak dan beragam, seperti adalah terjadi represi kepada pihak-pihak “oposisi” atau mereka yang mengkritik pemerintah.

    Penggunaan kekuasaan untuk mengkooptasi dan melumpuhkan organisasi masyarakat sipil, tujuannya agar suara kritis tidak terdengar nyaring.

    Hukum digunakan sebagai senjata untuk mengadili lawan dan mengamankan kawan adalah tanda lainnya. Selain itu, mengamankan kursi mayoritas di parlemen menjadi bagian penting untuk memastikan setiap kebijakan berjalan lancar, serta membungkam suara sumbang. Dalih yang sering digunakan adalah sebuah bangsa yang besar butuh persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, koalisi gemuk adalah jalan yang pasti ditempuh.

    Namun sadarkah kita? Bahwa koalisi gemuk, bahkan ketiadaan oposisi, justru mempercepat kita menuju jurang competitive authoritarianism. Hal ini membuat koreksi atas kebijakan yang keliru seringkali awalnya tidak datang awal meja-meja parlemen. Namun apakah kita harus meninggalkan demokrasi karena kekecewaan-kekecewaan kita terhadapnya?

    Pernah suatu sore di akhir pekan dalam sebuah obrolan ringan seorang kawan dengan nada setengah bercanda menuturkan, “Demokrasi itu bikinan barat, nggak cocok buat kita.” Kawan lain ikut menyahut, “Lalu yang origin kita apa? Kerajaan atau monarki”, tiba-tiba suasana menjadi hening.

    Refleksi Kemerdekaan

    Menjelang hari kemerdekaan, pada 17 Agustus 2025, di pingir-pingir jalanan mulai menjamur penjual bendera dan umbul-umbul merah putih dengan beragam ukuran dan jenis. Kita Bersiap untuk merayakannya dengan beragam acara.

    Namun apakah hari kemerdekaan ini hanya akan kita maknai sebatas ritual pengibaran bendera, acara perlombaan, atau seremonial?

    Memang tidak salah merayakannya dengan cara demikian. Tapi mengingat usia republik yang sudah tidak lagi muda-80 tahun-upaya perayaan secara reflektif penting untuk dilakukan.

    Refleksi memungkinkan kita untuk meneropong jauh ke depan, sekaligus memaknai masa lalu secara kontemplatif. Karena berbagai persoalan bangsa hari ini, tidak muncul tiba-tiba, ia merupakan penjelmaan dari beragam artikulasi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

    Dari Ben kita bisa belajar bahwa bangsa Indonesia harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita harus menghilangkan puing-puing kolonialisme, termasuk neo-kolonialisme yang menjangkiti bangsa kita sekian lama. Ben menunjukkan seharusnya politik juga berpihak pada mereka yang tak dihitung, mereka yang lemah, atau mereka yang terpinggirkan.

    Selanjutnya dari Syahrir kita juga memahami, bahwa terkadang cinta dan ketulusan terhadap Republik tidak selalu berbalas sebagaimana mestinya, dan kita mesti siap dengan segala konsekuensi. Namun bagaimanapun kecintaan terhadap Republik tidak boleh luntur.

    Liddle menunjukkan kepada kita, meskipun demokrasi itu terkadang mengecewakan dan tidak seperti yang kita harapkan, namun langkah-langkah perbaikan atas mutu demokrasi harus selalu diupayakan. Karena melalui demokrasi pelbagai kepentingan dan pertisipasi warga negara menjadi dimungkinkan, serta demokrasi memungkinkan terwujudnya mekanisme perbaikan diri yang bisa terus tumbuh.

    Selanjutnya, ketidakjelasan oposisi dalam pemerintahan kita hari ini, bisa menjadi pertanda buruk. Karena ketiadaan mitra kritis pemerintah, parlemen hanya akan jadi tukang stempel bagi setiap kebijakan pemerintah. Hal itu menjadikan setiap kebijakan tidak melalui perdebatan yang bermakna, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak evidence-based policy atau lebih buruk lagi hanya didasarkan pada selera penguasa.

    Adakah jalan lainnya? Mungkin yang kita butuhkan adalah meradikalkan demokrasi, seperti yang pernah disampaikan Laclau dan Mouffe (1985) dalam bukunya “Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics”. Setidaknya dalam demokrasi radikal, ‘perbedaan’ tidak hanya diterima, tetapi demokrasi juga hanya berfungsi melalui adanya ‘perbedaan’.

    Laclau dan Mouffe menekankan pentingnya mengakui dan memainkan antagonisme dalam politik. Sehingga melaluinya demokrasi radikal perbedaan dalam politik “kita” dan “mereka” akan selalu tumbuh, dan dengan demikian demokrasi menjadi hidup dan dinamis.

    Faris Widiyatmoko. Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting, Dosen Ilmu Politik FISIP UPN Veteran Jakarta.

    (rdp/imk)

  • Sinema dan Politik Ingatan Kolektif
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Sinema dan Politik Ingatan Kolektif Nasional 14 Agustus 2025

    Sinema dan Politik Ingatan Kolektif
    Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
    PADA
    1935, sutradara Leni Riefenstahl merilis
    Triumph of the Will
    , mahakarya sinematik yang mendokumentasikan kongres Partai Nazi di Nuremberg.
    Melalui komposisi visual yang megah, permainan cahaya dramatis, dan penyuntingan presisi, Riefenstahl tidak sekadar merekam peristiwa; ia merancang mitos.
    Film itu mengubah politisi menjadi dewa, massa menjadi ornamen kekuasaan, dan ideologi fasis menjadi tontonan yang agung dan tak terelakkan.
    Dunia menyaksikan bagaimana proyektor film dapat menjadi senjata paling ampuh untuk memanipulasi persepsi dan menata ulang realitas.
    Sejarah ini memberi kita pelajaran pahit: ketika kekuasaan ingin menancapkan hegemoninya, sinema sering kali menjadi jalan pintas yang paling memikat.
    Di Indonesia, pertarungan narasi ini bukanlah hal baru. Ia hidup dalam ketegangan antara proyek-proyek visual raksasa yang didanai negara dan aksi-aksi hening yang menolak lupa.
    Di satu sisi, ada memori yang ingin diproduksi massal, dibungkus dalam seluloid atau format digital, dan didistribusikan seluas-luasnya.
    Di sisi lain, ada ingatan kolektif yang dirawat secara organik, dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, seperti yang dilakukan oleh para aktivis Aksi Kamisan setiap Kamis sore di depan Istana Negara, Jakarta.
    Diamnya payung-payung hitam mereka adalah antitesis dari riuh rendah pengeras suara bioskop.
    Tulisan ini berargumen bahwa sinema, dalam sejarahnya, terlalu sering diinstrumentalisasi sebagai medium politik untuk memaksakan ingatan tunggal, membungkam narasi alternatif, dan pada akhirnya, menghindari tanggung jawab sejarah.
    Selama lebih dari tiga dekade, generasi Indonesia—mulai dari murid sekolah dasar hingga pegawai negeri—diwajibkan menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.
    Ritual tahunan ini adalah contoh sempurna bagaimana kekuasaan menggunakan aparatus sinematik untuk rekayasa sosial. Film garapan Arifin C. Noer tersebut bukan sekadar tontonan, melainkan kurikulum kepatuhan.
    Menggunakan pisau analisis filsuf Italia, Antonio Gramsci, film ini berfungsi sebagai alat hegemoni yang paripurna.
    Kekuasaan Orde Baru tidak hanya dipertahankan lewat todongan senjata, tetapi juga lewat proyektor yang menanamkan narasi tunggal ke alam bawah sadar publik.
    Persetujuan (
    consent
    ) massa diproduksi secara sistematis hingga narasi versi negara dianggap sebagai satu-satunya “akal sehat” (
    common sense
    ).
    Lebih jauh, seperti yang dijelaskan oleh pemikir Perancis Roland Barthes dalam
    Mythologies
    , film tersebut beroperasi pada level mitos.
    Secara denotatif, ia menampilkan rangkaian peristiwa. Namun, secara konotatif, ia membangun mitologi modern: mitos tentang kekejaman absolut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapkan dengan mitos kepahlawanan suci Tentara Nasional Indonesia (TNI).
    Adegan-adegan penyiksaan yang brutal, meski diragukan kebenarannya secara historis, menjadi tanda visual yang menaturalisasi demonisasi PKI.
    Akibatnya, jutaan orang yang dituduh komunis dan simpatisannya, yang dibantai tanpa pengadilan, lenyap dari ingatan resmi. Mereka menjadi hantu dalam sejarah bangsa yang megah.
    Teoris film Jean-Louis Baudry bahkan berpendapat bahwa kondisi menonton di ruang gelap bioskop menempatkan penonton dalam posisi pasif, mirip kondisi mimpi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap suntikan ideologi.
    Film “G30S/PKI” adalah mesin yang memproduksi ketakutan sekaligus kepatuhan dalam satu paket. Setelah puluhan tahun memutar film yang sama untuk menjejali “kebenaran” tunggal, apakah kita benar-benar merdeka berpikir, atau hanya berganti operator proyektor?
    Kini, di era yang katanya lebih demokratis, hantu instrumentalisasi sinema kembali muncul dalam wujud yang lebih modern dan berwarna.
    Polemik seputar film animasi “Merah Putih: One for All” yang mencuat pada pertengahan 2025, menjadi studi kasus yang relevan.
    Kritik tajam yang datang dari legislator di Komisi X DPR RI hingga pengamat film tidak hanya menyoroti kualitas animasi yang dianggap tidak sepadan dengan klaim anggarannya, tetapi juga kecurigaan adanya aliran dana negara.
    Inilah titik krusial di mana kita harus waspada. Model Propaganda yang dirumuskan oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky menyediakan kerangka yang pas untuk membacanya.
    Salah satu filter utama dalam model mereka adalah kepemilikan dan sumber pendanaan media.
    Ketika proyek budaya, apalagi yang mengusung tema seberat nasionalisme, didanai atau didukung oleh negara, pertanyaan fundamentalnya adalah: kepentingan siapa yang sedang dilayani?
    Filter lainnya adalah sumber informasi dan ideologi dominan. Film ini, dengan narasi kepahlawanan anak-anak dari beragam suku, menyajikan ideologi nasionalisme yang tampak mulia.
    Namun, nasionalisme yang dipoles indah dan disajikan sebagai hiburan berisiko menjadi propaganda lunak. Ia menyederhanakan isu-isu kompleks seperti ketidakadilan sosial, konflik agraria, dan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah dengan satu selimut magis bernama “persatuan”.
    Pesan ini, meski positif, bisa berfungsi untuk melenakan publik dari masalah nyata. Tentu, mediumnya berbeda dari film “G30S/PKI”, tapi potensi fungsionalisasinya serupa: menggunakan sumber daya besar untuk menyebarkan satu versi narasi yang dianggap “benar” oleh penguasa.
    Jika nasionalisme diproduksi dengan ongkos miliaran rupiah dari kas negara, apakah yang sesungguhnya sedang kita beli: kecintaan pada Tanah Air, atau kesetiaan buta pada naratornya?
    Setiap hari Kamis, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat berdiri diam di seberang Istana. Mereka tidak punya proyektor, efek khusus, maupun anggaran miliaran.
    Senjata mereka adalah foto-foto orang terkasih yang telah hilang atau dibunuh, payung hitam, dan kebisuan yang memekakkan.
    Aksi mereka adalah sinema perlawanan dalam bentuknya yang paling murni: pertunjukan visual yang menolak untuk dilupakan.
    Di sinilah letak politik ingatan kolektif yang sesungguhnya. Film-film seperti “G30S/PKI” atau proyek ambisius yang didanai negara mencoba menciptakan memori yang utuh, heroik, dan tanpa cela— jalan pintas sejarah.
    Sebaliknya, Aksi Kamisan memaksa kita untuk mengingat apa yang robek, luka yang belum sembuh, dan keadilan yang tak kunjung datang. Mereka adalah penjaga ingatan kolektif yang menolak amnesti massal yang coba ditawarkan melalui hiburan.
    Kehadiran fisik mereka di depan pusat kekuasaan adalah penanda bahwa sejarah tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuat film.
    Pertarungan antara sinema propaganda dan aksi memori ini adalah cerminan dari pertarungan yang lebih besar tentang jiwa bangsa.
    Di tengah hingar-bingar sinema kepahlawanan yang menelan anggaran raksasa, masihkah kita bisa mendengar bisik sunyi mereka yang menuntut keadilan, atau sudahkah suara mereka hilang ditelan deru suara
    dolby surround
    ?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Presiden Prabowo anugerahi Sjafrie, Herindra, dkk naik bintang empat

    Presiden Prabowo anugerahi Sjafrie, Herindra, dkk naik bintang empat

    Presiden Prabowo Subianto menyematkan tanda pangkat bintang empat Jenderal Kehormatan kepada lima purnawirawan TNI yaitu Sjafrie Sjamsoeddin, Alm. Ali Sadikin, Agus Sutomo, Muhammad Herindra, dan Muhammad Yunus Yosfiah saat Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus (Pusdiklatpassus) Kopassus TNI Angkatan Darat, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (10/8/2025). ANTARA/HO-Puspen TNI.

    Presiden Prabowo anugerahi Sjafrie, Herindra, dkk naik bintang empat
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Minggu, 10 Agustus 2025 – 16:59 WIB

    Elshinta.com – Presiden RI Prabowo Subianto menganugerahi kenaikan pangkat bintang empat menjadi Jenderal Kehormatan (HOR) kepada lima purnawirawan TNI, yaitu Sjafrie Sjamsoeddin, (Alm) Ali Sadikin, Agus Sutomo, Muhammad Herindra, dan Muhammad Yunus Yosfiah, karena dianggap memiliki jasa besar dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI.

    Prosesi penyematan tanda pangkat kehormatan itu berlangsung dalam rangkaian Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus (Pusdiklatpassus) Kopassus TNI Angkatan Darat, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu.

    Presiden Prabowo mengawali penyerahan tanda pangkat Jenderal Kehormatan itu kepada Muhammad Yunus Yosfiah, yang diwakili oleh putranya.

    Kemudian Presiden Prabowo lanjut menyematkan tanda pangkat bintang empat kepada Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Muhammad Herindra, Direktur Utama Agrinas Palma Nusantara Agus Sutomo, yang juga mantan Komandan Jenderal Kopassus dan Komandan Paspampres.

    Dalam prosesi yang sama, Presiden Prabowo juga menyerahkan tanda pangkat kepada Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta tahun 1966–1977, yang juga Sesepuh Marinir (dulu KKO-AL) dan tokoh nasional. Tanda pangkat untuk Ali Sadikin diterima oleh putranya, Boy Sadikin.

    Jenderal Kehormatan (Purn) Muhammad Yunus Yosfiah merupakan tokoh militer Indonesia dan veteran Perang Seroja, yang merupakan Menteri Penerangan tahun 1998–1999 pada masa pemerintahan Presiden Ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie.

    Sepanjang mengabdikan diri sebagai prajurit TNI, M. Yunus Yosfiah menduduki sejumlah posisi strategis, di antaranya sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Pangdam II/Sriwijaya, dan Ketua Fraksi ABRI di MPR. Yunus Yosfiah, yang lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada 7 Agustus 1944, juga menjadi salah satu tokoh yang kemudian menghentikan penayangan film G30S/PKI pada 1998, setelah rutin ditayangkan tiap tahun sejak 1984.

    Sementara itu, Sjafrie Sjamsoeddin, yang saat ini menjabat menteri pertahanan Kabinet Merah Putih, dikenal sebagai orang dekat Presiden Prabowo, mengingat keduanya bersahabat sejak masa menjadi taruna di Akademi Militer Magelang.

    Sjafrie, yang dikenal sebagai tokoh militer dan birokrat, merupakan lulusan terbaik peraih Adhi Makayasa saat lulus dari Akademi Militer pada tahun 1974.

    Sepanjang mengabdi menjadi prajurit, Sjafrie terlibat berbagai operasi militer penting, termasuk Operasi Flamboyan di Timor-Timor pada tahun 1976, 1984, dan 1990, kemudian Operasi Nanggala XXI di Aceh pada tahun 1977, dan memimpin Tim Maleo di Irian Jaya pada tahun 1987.

    Sjafrie juga pernah menjadi Komandan Grup A Paspampres pada masa pemerintahan Presiden Ke-2 RI Soeharto.

    Menhan Sjafrie juga pernah menjabat sebagai Pangdam Jaya, Kepala Pusat Penerangan TNI, dan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan, dan Wakil Menteri Pertahanan.

    Kemudian, Jenderal Kehormatan M. Herindra, yang saat ini menjabat Kepala BIN, juga dikenal sebagai orang dekat Presiden Prabowo, terutama saat Presiden masih aktif sebagai prajurit TNI dan menjabat Danjen Kopassus. Herindra, sebagaimana Sjafrie, juga merupakan lulusan terbaik Akademi Militer Magelang pada tahun 1987.

    Sepanjang jalan pengabdiannya sebagai prajurit TNI, Herindra menduduki banyak posisi strategis, di antaranya Danjen Kopassus, Pangdam III/Siliwangi, Inspektur Jenderal TNI, Kepala Staf Umum TNI, dan terakhir Wakil Menteri Pertahanan.

    Terakhir, Jenderal Kehormatan (Purn) Ali Sadikin merupakan tokoh nasional yang merupakan Sesepuh Korps Marinir TNI AL (dulu KKO-AL), dan terlibat dalam perang-perang kemerdekaan, juga perang mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II.

    Di lingkungan TNI AL, Ali Sadikin menempati posisi strategis, di antaranya Wakil Panglima KKO AL, dan Deputi II Panglima Angkatan Laut.

    Kemudian, Bang Ali juga pernah menjadi Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja IV, Menteri Koordinator Kompartimen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, dan Gubernur DKI Jakarta. Bang Ali, begitu nama populernya, wafat di Singapura pada 20 Mei 2008.

    Terakhir, Jenderal Kehormatan (Purn) Agus Sutomo merupakan purnawirawan TNI yang sepanjang mengabdi pernah mengisi jabatan-jabatan strategis seperti Danpaspampres, Danjen Kopassus, kemudian Pangdam Jaya, Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan, dan Latihan TNI Angkatan Darat, Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI, kemudian Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan.

    Sepanjang karier militernya, Agus juga banyak menempuh pendidikan di luar negeri, di antaranya Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Thailand.

    Agus Sutomo saat ini dipercaya sebagai Direktur Utama PT Agrinas Palma Nusantara.

    Sumber : Antara

  • Banyak Kejanggalan Dirasakan Ibunda Prada Lucky, Ternyata Sudah Disiksa Berkali-kali

    Banyak Kejanggalan Dirasakan Ibunda Prada Lucky, Ternyata Sudah Disiksa Berkali-kali

    GELORA.CO  – Kejanggalan dirasakan ibunda dari Prada Lucky Chepril Saputra Namo, Epi Seprina Mirpey.

    Kejanggalan dirasakan sebelum putranya disiksa rekan seniornya.  

    Prada Lucky merupakan prajurit TNI AD Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Waka Nga Mere (Yon TP 834/WM) Nagekeo.

    Epi menceritakan bahwa dirinya sangat kangen dan ingin mengetahui kabar putranya. 

    Namun Epi tak juga mendapat kabar sang putra.

    “Kalau kejanggalan terlalu banyak. Saya pun anak ini, kalau pun tahu dia sakit, kasih info minimal orang tua kasih tahu,” kata Epi lirih dikutip dari video saat dia diwawancara unggahan FB Ratna Melisa Hale, Jumat (8/8/2025).

    Epi mengaku dirinya juga sulit menghubungi putranya itu via telepon, karena handphone korban dipegang oleh seniornya.

    Epi pun tak menyangka bahwa putranya itu sudah babak belur dipukuli.

    “Kalau saya pun anak sudah sakit banyak, sudah dibawa ke rumah sakit, sudah di ICU, kenapa HP ditahan terus, dia sama sekali tidak bisa komunikasi dengan saya sama sekali di saat dia sudah sakit banyak, saya WA, Pasi Intelnya hanya di read-read saja,” ujarnya.

    “Saya sampai mohon-mohon, Dansi tolong kasih tahu anak saya kabar, saya kepikiran maksudnya toh,” sambung Epi.

    Setelah sekian waktu berulang kali kirim WA, akhirnya Epi bisa berkomunikasi via sambungan WhatsApp.

    Dia mendapati suara sang putra sudah berbeda dibanding biasanya.

    “Anak saya punya suara sudah beda, ‘mama shalom’, ‘iya shalom’, ‘Lucky bagaimana kabarnya’, itu saya belum tahu kalu dia sudah sakit banyak itu,” cerita Epi.

    Epi menjelaskan bahwa saat itu Prada Lucky mengaku baik-baik saja dan dia juga mengaku rindu.

    Prada Lucky juga menanyakan kapan ibunya itu datang, dan Lucky meminta Epi untuk datang dengan naik pesawat.

    Epi merasa perkataan putranya itu aneh.

    “Belum merasa (curiga), tapi dia punya omongan saya kerasa kok aneh. ‘Mama nanti bulan depan mama datang ke sini pakai pesawat, nanti Lucky booking tiket pesawat ya’,” kata Epi menirukan ucapan Prada Lucky.

    Epi baru curiga setelah mendapat kabar dari mama angkat korban karena Lucky rupanya berusaha kabur.

    Saat sampai di rumah mama angkatnya, Lucky sudah mengalami luka di sekujur tubuh karena disiksa senior.

    “Dia datang di mama angkatnya itu dengan sekujur tubuhnya sudah luka semua, jadi mama angkatnya sempat kompres dia, gosok minyak,” katanya.

    Namun tak berselang lama, Lucky kembali dijemput oleh para seniornya dan diduga kembali disiksa.

    Mendapat informasi itu, Epi mencoba menghubungi Pasi Intel yang memegangi HP putranya untuk menanyakan.

    Namun disebut bahwa Prada Lucky baik-baik saja dan sedang istirahat.

    “Video call hanya muka pasi intel saja, dia kayak bingung begini, dia bilang ‘sudah mama Lucky masih istirahat’, ternyata itu Lucky sudah koma di ICU,” ucapnya lirih.

    Epi mengaku dirinya pun langsung berinisiatif membeli tiket sendiri malam-malam untuk menjenguk putranya.

    “Saya datang, mereka semua saya tunjuk, kalian biadab, siapa yang mau tahan saya, tahan sini !, anak saya sudah begini, saya masuk di ruang ICU, Lucky, Tuhan Yesus,” katanya.

    “Dia sudah tidak sadar, saya bisikan di telinganya, ventilator masuk, saya bilang Lucky mama datang nak, mama datang, mama jaga Lucky di sini, dia langsung berontak dengar suara, mereka putus asa semua, tidak boleh ada yang kontak mamanya, keluarganya tidak boleh dikontak, manusia PKI, bagi saya PKI, semua yang pelaku itu PKI semua,” ungkapnya.

    Dilansir dari Pos Kupang, Prada Lucky merupakan prajurit TNI yang baru dilantik di Rindam IX Udayana, Singaraja, Bali pada Juni 2025 kemarin.

    Lucky bertugas di Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

    Namun baru dua bulan bertugas sebagai Tabakpan 2.2 Ru 3 Ton I Kipan A Yonif TP 834/WM, Lucky justru tewas mengenaskan dengan luka di sekujur tubuh.

    Dandim 1625 Ngada, Letkol Czi Deny Wahyu Setiyawan mengatakan sudah empat anggota TNI yang ditahan atas kasus kematian Prada Lucky Namo.

    “Sudah empat orang yang diamankan di Subdenpom Ende,” katanya.

    24 orang tersangka 

    Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana menegaskan hingga saat ini ada 24 orang yang diperiksa untuk dimintai keterangan. 

    Menurut Wahyu, di antara 24 orang yang diperiksa tersebut ada juga termasuk sosok terduga pelaku penganiayaan.

    “Hingga saat ini, ada lebih dari 24 orang yang sedang diperiksa, baik sebagai terduga pelaku maupun saksi,” kata Wahyu di Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, Jumat (8/8/2025).

    Menurut Wahyu, kasus tersebut tengah ditangani oleh Polisi Militer Kodam IX/Udayana.

    Hasil pemeriksaan nantinya akan menentukan sejauh mana para pelaku akan dihukum.

    “Sanksi terberat akan ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan. Semua sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Militer,” ungkap dia.

    Lucky merupakan prajurit TNI AD yang bertugas di Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan 834/Wakanga Mere (Yonif TP 834/WM), Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

    Lucky meninggal dunia pada Rabu (6/8/2025), setelah diduga mengalami penganiayaan berat oleh seniornya.

    Diusut Transparan

    Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan, TNI seharusnya menjadi teladan bagi warga, mengingat mereka merupakan pengayom masyarakat sekaligus pelindung negara.

    Hal tersebut disampaikan HNW dalam merespons kasus tewasnya Prada Lucky yang disiksa seniornya sendiri di NTT.

    “Ya sangat seharusnya bila TNI kita, polisi kita, menjadi teladan ya di warga, terkait dengan bagaimana mereka menghadirkan konsolidasi,” ujar HNW, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    “Kalau mereka diharapkan menjadi pengayom masyarakat, menjadi pembela negara, tentulah mereka harus menjadi pengayom di antara mereka sendiri, pembela di antara mereka sendiri, jangan sampai justru menghadirkan kesan kondisi tidak solid, kondisi saling mencederai.”

    Menurutnya, apapun alasan penyiksaan tersebut, hukum harus ditegakkan seadil-adilnya kepada para pelaku. 

    HNW juga meminta agar kasus penganiayaan Prada Lucky dilakukan secara transparan kepada masyarakat. 

    “Supaya dengan cara itu, maka masyarakat percaya hukum ada di Indonesia. Masyarakat percaya bahwa penegakan hukum diberlakukan pada siapapun,” imbuh dia.

    “Dan dengan cara itu, mudah-mudahan akan mengembalikan juga soliditas di internal TNI, maupun juga di lembaga negeri lainnya,” tegas HNW

  • Ketika Anak Dibunuh Secara Keji: Jeritan Hati Anggota TNI yang Kehilangan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        8 Agustus 2025

    Ketika Anak Dibunuh Secara Keji: Jeritan Hati Anggota TNI yang Kehilangan Regional 8 Agustus 2025

    Ketika Anak Dibunuh Secara Keji: Jeritan Hati Anggota TNI yang Kehilangan
    Tim Redaksi
    KUPANG, KOMPAS.com
    – Sersan Mayor (Serma) Christian Namo berdiri tegap di belakang mobil ambulans yang membawa jenazah putra tercintanya, Prajurit Dua (Prada) Lucky Chepril Saputra Namo (23), Kamis (7/8/2025).
    Dengan mata melotot dan tangan kanannya menengadah, Christian berteriak mempertanyakan kehadiran negara saat anaknya meninggal dengan cara yang tidak wajar.
    Di halaman depan kamar jenazah Rumah Sakit Bhayangkara Kupang, Christian yang bertugas di Komando Distrik Militer (Kodim) 1627 Rote Ndao, berulang kali meminta keadilan untuk anak lelaki sulungnya.
    Meski beberapa rekan kerjanya berusaha menenangkan, upaya tersebut tidak berhasil. Christian terus meluapkan kekesalannya.
    “Kamu saksikan semua, yang bunuh anak saya sifat PKI, keji. Ingat baik-baik itu,” teriak Christian dengan lantang.
    Kekesalan Christian disebabkan kematian putranya, yang bertugas di Batalion Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere Nagekeo, NTT, diduga akibat penganiayaan oleh para seniornya.
    Kekecewaannya semakin meningkat karena keinginan untuk mengotopsi jenazah Lucky di Rumah Sakit Wira Sakti Kupang dan Rumah Sakit Bhayangkara Kupang tidak terwujud.
    Di Rumah Sakit Wira Sakti, tidak ada dokter yang tersedia melakukan otopsi, sementara di Rumah Sakit Bhayangkara, dokter meminta surat pengantar dari polisi.
    “Saya hanya ingin membuktikan penyebab meninggal sang buah hati melalui otopsi. Saya meminta negara harus hadir untuk membantuku, termasuk mengungkap pelaku pembunuh anak saya,” ungkap Christian.
    Setelah beberapa waktu, rekan-rekannya, termasuk komandan dan keluarga, berhasil membujuk Christian melunakkan sikapnya.
    Ia kemudian meminta sopir ambulans membawa jenazah putranya ke rumah duka di Rumah Dinas TNI Angkatan Darat, Kodim 1617 Rote Ndao, yang terletak di Kuanino, Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang.
    Sesampainya di rumah duka, ratusan pelayat dan keluarga menyambut kedatangan jenazah Lucky dengan tangisan.
    Hingga berita ini diturunkan, Korem 161 Wira Sakti Kupang dan Kodam Udayana belum memberikan tanggapan saat dihubungi oleh Kompas.com.
    Sebelumnya, diberitakan bahwa Prada Lucky Chepril Saputra Namo meninggal dunia pada Rabu (6/8/2025), diduga akibat penganiayaan oleh seniornya.
    Lucky sempat dirawat intensif di Unit Perawatan Intensif (ICU) RSUD Aeramo, Kabupaten Nageko, Nusa Tenggara Timur.
    Komandan Brigade Infanteri (Brigif) 21/Komodo, Letkol Inf Agus Ariyanto, membenarkan bahwa salah satu prajurit di Batalion Teritorial Pembangunan (TP) 834 telah meninggal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soeharto Ketum Kabinet Ampera I, transisi menuju Orde Baru

    Soeharto Ketum Kabinet Ampera I, transisi menuju Orde Baru

    Potret Terakhir Presiden Soekarno Pimpin HUT RI 1966, Didampingi Soeharto Ketua Presidium Kabinet Ampera. (https://tinyurl.com/ycy9u7mh)

    25 Juli 1966: Soeharto Ketum Kabinet Ampera I, transisi menuju Orde Baru
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 25 Juli 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Pada tanggal 25 Juli 1966, Kabinet Ampera I resmi dilantik di bawah Presiden Soekarno, dengan Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presidium. Pelantikan ini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia, karena menandai dimulainya transisi kekuasaan dari Presiden Soekarno menuju Soeharto, serta terbentuknya pemerintahan awal di era Orde Baru.

    Kabinet Ampera dibentuk untuk menggantikan Kabinet Dwikora yang dinilai tidak lagi efektif pasca meletusnya peristiwa G30S/PKI dan berbagai tekanan sosial-politik yang menyusul setelahnya. Nama “Ampera” sendiri merupakan singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat, yang menjadi landasan moral utama pembentukan kabinet ini.

    Struktur Kabinet Ampera lebih ramping dibandingkan kabinet sebelumnya yang beranggotakan sekitar 100 menteri. Kabinet ini hanya terdiri dari sekitar 28 menteri, yang dikoordinasikan melalui empat menteri utama (menutama), yakni bidang politik, kesejahteraan rakyat, ekonomi dan keuangan, serta industri dan pembangunan. Jenderal Soeharto menjabat sebagai Ketua Presidium sekaligus Menteri Utama Pertahanan dan Keamanan, menunjukkan perannya yang semakin dominan dalam pemerintahan.

    Kabinet ini mengusung agenda utama yang disebut Dwi Dharma dan Catur Karya. Dwi Dharma berisi dua misi pokok: menegakkan stabilitas politik dan memperbaiki kondisi ekonomi rakyat. Sedangkan Catur Karya mencakup empat target utama, yakni: memperbaiki kebutuhan sandang dan pangan rakyat, menyelenggarakan pemilu selambat-lambatnya 5 Juli 1968, melaksanakan politik luar negeri bebas aktif, serta menindak tegas sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme di Indonesia.

    Seiring berjalannya waktu, kekuasaan Soeharto terus menguat. Meskipun pada saat pelantikan Kabinet Ampera Soekarno masih menjabat sebagai presiden, namun kewenangan pemerintahan secara de facto banyak dijalankan oleh Soeharto. Setahun kemudian, melalui sidang MPRS pada Maret 1967, Soekarno secara resmi diberhentikan dari jabatannya dan Soeharto ditunjuk sebagai Pejabat Presiden.

    Pelantikan Kabinet Ampera I tidak hanya menjadi awal terbentuknya struktur pemerintahan yang baru, tetapi juga membuka jalan bagi kelahiran Orde Baru, sebuah era pemerintahan yang akan berlangsung selama lebih dari tiga dekade ke depan.

    Sumber : Sumber Lain