partai: PKI

  • Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    akhir September, perdebatan tentang G30S selalu kembali: siapa dalang, versi mana yang benar, film mana yang layak diputar?
    Namun, di tengah hiruk-pikuk tafsir dan propaganda, ada satu hal yang sering tercecer: manusia. Nyawa, martabat, dan akal sehat warga biasa—yang terseret, distigma, ditahan, atau dibunuh—sering hanya jadi catatan kaki.
    Menjaga kemanusiaan sejatinya bukan soal membenarkan satu kubu dan menyalahkan kubu lain. Ini soal standar dasar: hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, proses hukum yang adil, dan kebebasan dari stigma kolektif.
    Ketika negara, media, dan lembaga pendidikan mengajarkan sejarah, pertanyaannya bukan sekadar versi mana yang dipilih, melainkan apakah cara kita bercerita memulihkan martabat korban, membuka ruang kebenaran, dan mendorong pertanggungjawaban.
    Refleksi G30S seharusnya mengajak untuk waspada pada tiga hal: betapa mudahnya kebencian dioperasikan, betapa cepatnya hukum bisa disingkirkan atas nama “stabilitas”, dan betapa lamanya luka sosial bertahan jika kebenaran dan pemulihan ditunda.
    Jika kita sepakat bahwa Pancasila berakar pada kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pekerjaan rumahnya jelas: menolak kekerasan sebagai alat politik, merawat ingatan yang jujur, serta memastikan keadilan dan pemulihan bagi mereka yang selama ini dibungkam.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia modern, bukan hanya karena skala kekerasannya, tetapi juga karena cara negara menutupinya selama puluhan tahun.
    Data yang tersedia memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan angka yang mengerikan.
    Komnas HAM dalam laporan hasil Penyelidikan Pro Justisia tahun 2012 menyatakan terdapat sembilan bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa.
    Jumlah korban jiwa diperkirakan antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang (Robinson,
    The Killing Season
    , 2018; Bevins,
    The Jakarta Method
    , 2020).
    Sementara itu, Amnesty International (dalam
    Friend
    , 2005) melaporkan bahwa pada saat itu ada sekitar satu juta kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.
    Tragedi ini bukan hanya pembantaian massal, melainkan juga proses sistematis penghancuran hak-hak sipil.
    Mereka yang selamat dipaksa menjalani kerja paksa, wajib lapor, kehilangan pekerjaan, dilarang mengakses pendidikan tinggi, bahkan hak politiknya dicabut selama puluhan tahun melalui tanda “ET” (eks-tapol) dalam dokumen kependudukan.
    Efek diskriminasi ini menurun hingga ke anak-cucu korban, menjadikannya bentuk
    collective punishment
    yang jelas bertentangan dengan prinsip hukum HAM internasional.
    John Roosa dalam bukunya
    Dalih Pembunuhan Massal
    (2006) menunjukkan bagaimana peristiwa G30S yang berlangsung singkat kemudian dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi dalih pembenaran untuk operasi pembasmian massal.
    Roosa menekankan bahwa tidak ada bukti komando jelas dari PKI sebagai partai, melainkan tindakan kelompok kecil yang kemudian dimanfaatkan oleh militer, khususnya Jenderal Soeharto, untuk merebut legitimasi kekuasaan.
    Hal senada ditegaskan oleh Robinson (2018), yang menunjukkan bahwa Angkatan Darat memainkan peran sentral dalam mengorkestrasi pembantaian, sementara negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memberikan dukungan politik, logistik, hingga daftar nama target.
    Salah satu propaganda paling efektif adalah fitnah terhadap Gerwani, organisasi perempuan progresif kala itu.
    Seperti dicatat oleh Wieringa, Gerwani dijadikan kambing hitam melalui narasi “kebiadaban seksual” di Lubang Buaya—padahal laporan visum resmi menunjukkan tidak ada bukti penyiksaan seperti pencungkilan mata atau pemotongan alat kelamin.
    Namun, kebohongan yang diproduksi oleh militer itu dibiarkan beredar luas di media, menciptakan histeria moral yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembantaian.
    Laporan
    International People’s Tribunal 1965
    (IPT 65) di Den Haag pada 2015, bahkan menegaskan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini.
    Majelis hakim IPT menilai negara gagal memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk menyampaikan permintaan maaf resmi, membuka akses arsip, melakukan penyidikan, dan memberi reparasi. Namun, hingga kini, rekomendasi tersebut belum direspons serius.
    Luka sejarah ini belum sembuh karena ada tiga alasan mendasar. Pertama, narasi resmi Orde Baru yang menyederhanakan G30S menjadi sekadar “pengkhianatan PKI” masih terus direproduksi, baik melalui buku pelajaran maupun film.
    Kedua, ketiadaan mekanisme akuntabilitas: Kejaksaan Agung berkali-kali menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM dengan alasan “kurang bukti”, padahal bukti-bukti primer dan kesaksian korban berlimpah.
    Ketiga, politik impunitas yang masih kuat: banyak aktor militer dan sipil yang terlibat dalam pembantaian tetap berada dalam lingkaran kekuasaan selama puluhan tahun, membuat pengungkapan kebenaran menjadi tabu.
    Jika refleksi G30S ingin bermakna, maka ini harus berangkat dari nilai kemanusiaan yang universal. Tidak ada ideologi, dalih politik, ataupun alasan stabilitas yang bisa membenarkan pembunuhan massal, penyiksaan, atau diskriminasi lintas generasi.
    Mengakui kebenaran, mendengar suara korban, dan membuka jalan menuju keadilan bukanlah ancaman bagi bangsa ini—justru itu fondasi untuk membangun demokrasi yang sehat.
    Tanpa keberanian menghadapi masa lalu, kita hanya akan terus mewariskan trauma, kebisuan, dan politik kebencian bagi generasi berikutnya.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya tidak hanya soal pembunuhan massal, tetapi juga bagaimana sejarah dijadikan instrumen politik untuk mengontrol masyarakat.
    Sejak awal Orde Baru, narasi resmi dibangun dengan satu tujuan: melegitimasi kekuasaan yang lahir dari darah.
    Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan tayang setiap tahun, buku pelajaran sejarah yang menyederhanakan peristiwa, hingga sensor terhadap karya akademis, semuanya merupakan bagian dari proyek indoktrinasi negara.
    Indoktrinasi sejarah ini juga memelihara stigma. Anak-anak korban, yang bahkan lahir setelah peristiwa, tetap mendapat label “ET” (eks-tapol) dalam KTP orangtuanya. Mereka kesulitan masuk sekolah negeri, dilarang menjadi PNS atau tentara, dan sering diawasi intel.
    Dengan kata lain, sejarah dipakai bukan untuk membangun ingatan kolektif yang sehat, melainkan sebagai senjata diskriminasi lintas generasi.
    Inilah yang disebut Geoffrey Robinson (2018) sebagai “politik kebisuan” (
    politics of silence
    ). Dengan menghapus atau memelintir fakta, negara mencegah masyarakat untuk memahami bahwa tragedi 1965 adalah pelanggaran HAM berat.
    Tanpa kesadaran kritis, publik mudah diarahkan untuk melihat kekerasan massal sebagai sesuatu yang “patriotik” atau “terpaksa”.
    Padahal, justru manipulasi sejarah inilah yang membuat luka kolektif bangsa terus terbuka, karena korban dipaksa bungkam, sementara pelaku tetap bebas tanpa akuntabilitas.
    Maka, refleksi G30S bukan hanya soal membuka fakta kekerasan, melainkan juga membongkar konstruksi sejarah yang menindas.
    Sejarah harus dipulihkan sebagai ruang kebenaran, bukan alat propaganda. Selama narasi resmi dibiarkan mendominasi tanpa koreksi, bangsa ini akan terus hidup dengan warisan ingatan palsu—yang membuat demokrasi rapuh dan nilai kemanusiaan mudah dikorbankan.
    Refleksi atas G30S kehilangan makna apabila nyawa manusia hanya ditempatkan sebagai alat legitimasi politik.
    Di balik jargon ideologi dan klaim stabilitas, terdapat fakta gamblang: ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh tanpa proses hukum, jutaan lainnya dipaksa menjalani penahanan, kerja paksa, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pengucilan sosial yang diwariskan lintas generasi.
    Semua ini terjadi bukan karena “kekacauan” semata, melainkan karena negara secara sadar mengabaikan prinsip dasar kemanusiaan.
    Hukum HAM internasional menegaskan hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan hak atas pengadilan yang adil adalah hak
    non-derogable
    —hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
    Amnesty International (2012) mengingatkan bahwa penundaan penyidikan hanya memperpanjang penderitaan korban.
    International People’s Tribunal 1965 di Den Haag (2015) menegaskan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa impunitas telah menjadi norma, sementara korban terus dipaksa menanggung stigma dan diskriminasi.
    Narasi resmi yang terus direproduksi menunjukkan betapa mudahnya sejarah dipelintir untuk mengaburkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
    Manipulasi semacam ini berfungsi sebagai perpanjangan dari kekerasan itu sendiri: membungkam suara korban, menghapus kesaksian, dan menormalisasi pembantaian sebagai sesuatu yang “wajar”.
     
    Dengan cara itu, nilai kemanusiaan tidak hanya diabaikan, tetapi juga diinjak-injak secara sistematis.
    Nilai kemanusiaan menuntut akuntabilitas. Tidak ada ideologi, kepentingan politik, atau alasan stabilitas yang dapat membenarkan pembunuhan massal maupun diskriminasi struktural lintas generasi.
    Selama kebenaran ditutup dan pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban, luka sosial akan terus terpelihara.
    Tragedi G30S seharusnya menjadi peringatan keras: begitu negara menanggalkan prinsip kemanusiaan, hukum dan moralitas ikut runtuh, dan yang tersisa hanyalah kekerasan yang dilegalkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Memelihara Kesaktian Pancasila di Era Global

    Memelihara Kesaktian Pancasila di Era Global

    untuk menjaga agar Pancasila tetap sakti, bangsa ini perlu menengok keteladanan para pendiri negara, seperti Bung Karno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir dan Agus Salim

    Kuala Lumpur (ANTARA) – Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan ajakan untuk merenungi kembali perjalanan bangsa ketika dasar negaranya diuji begitu keras dan hampir digantikan dengan ideologi lain.

    Ditetapkannya 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila merujuk pada peristiwa 30 September hingga 1 Oktober 1965, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi komunis. Upaya itu gagal. Pancasila tetap tegak berdiri sebagai dasar negara sekaligus perekat bangsa, menjadi fondasi pemersatu masyarakat Indonesia yang majemuk.

    Kini, enam dekade sejak tragedi tersebut, dunia telah banyak berubah. Komunisme runtuh seiring bubarnya Uni Soviet yang diikuti sejumlah negara di Eropa Timur. Persaingan ideologi yang dulu begitu keras berganti wajah.

    Kapitalisme dengan pasar bebas, globalisasi kultural, dan penetrasi digital kini mendominasi hampir seluruh sendi kehidupan. Hegemoni baru muncul dalam bentuk ekonomi global yang menekan, budaya pop instan, hingga teknologi digital yang kerap mencabut manusia dari akar tradisinya.

    Pertanyaan mendasar yang kemudian hadir adalah apakah Pancasila masih relevan di era global, dan apakah masih sakti?

    Menjawab pertanyaan tersebut, Pancasila semestinya masih tetap sakti. Apabila di masa Perang Dingin, Pancasila terbukti sakti menghadapi tantangan ideologi lain dan berhasil mempertahankan keutuhan NKRI, maka di era global Pancasila seharusnya tetap sakti menghadapi setiap tantangan baru.

    Di tengah perubahan global, Pancasila bukan sekadar kompromi politik pendiri bangsa, melainkan pedoman hidup yang menghadirkan sejumlah keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif, antara hak warga negara dan kewajiban sosial, antara keterbukaan global dan kearifan lokal. Nilai-nilai inilah yang menjaga identitas bangsa agar tidak hanyut dalam arus pasar bebas dan homogenisasi budaya.

    Tantangan terbesarnya adalah memelihara kesaktian Pancasila dan mengimplementasikan dalam praktik nyata. Di sinilah sering kali kita gagal. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menggurita. Ketimpangan sosial-ekonomi semakin melebar.

    Selain itu, politik identitas sesekali muncul menantang semangat persatuan. Intoleransi masih menyisakan luka di berbagai daerah. Semua ini menunjukkan bahwa kesaktian Pancasila kini diuji bukan oleh ideologi asing, melainkan oleh praktik kehidupan bangsa sendiri.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ilham Aidit Khawatir Generasi Muda Semakin Tidak Paham dengan Sejarah G30S
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 September 2025

    Ilham Aidit Khawatir Generasi Muda Semakin Tidak Paham dengan Sejarah G30S Nasional 30 September 2025

    Ilham Aidit Khawatir Generasi Muda Semakin Tidak Paham dengan Sejarah G30S
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Putra tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, Ilham Aidit, mengkhawatirkan generasi muda, khususnya generasi milenial dan generasi Z atau zilenial, semakin jauh dari pemahaman mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S.
    Hal ini disampaikan Ilham usai menghadiri peluncuran dan bedah novel Trilogi Refleksi 60 Tahun G30S karya Yusron Ihza Mahendra, di Gedung Kompas Institute, Palmerah, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
    “Selama ini memang agak mengkhawatirkan bahwa kaum zilenial itu milenial dan gen Z, itu semakin jauh dari peristiwa 1965, karena peristiwa ini memang harus dijadikan pelajaran ke depan,” kata Ilham saat ditemui.
    Ilham juga menyoroti buku-buku sejarah di Indonesia yang lebih banyak berkutat pada peristiwa pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965.
    Sementara, menurut dia, dampak yang muncul akibat peristiwa G30S justru tidak banyak disorot oleh buku-buku sejarah.
    Menurut dia, dampak peristiwa 1965 amat besar dan menyentuh kehidupan banyak orang, mulai dari terbunuhnya ratusan ribu orang, pemenjaraan massal, hingga pembuangan ribuan orang ke Pulau Buru.
    “Selain terbunuhnya para jenderal, tetapi juga terbunuhnya ratusan ribu orang, dipenjara ratusan ribu orang, 12 ribu orang dibuang ke Pulau Buru, ada 400 orang yang tidak bisa kembali ke negerinya, ke tanah airnya kembali,” ujar dia.
    Ilham berpandangan, karya berbentuk novel bisa menarik minat baca generasi milenial dan gen Z, yang selama ini semakin jauh dari peristiwa 1965.
    “Dengan adanya buku novel ini, orang akhirnya jadi senang membacanya, akhirnya banyak tahu, tetapi tidak melalui sebuah mendengarkan diskusi yang berat. Ini menurut saya baik sekali karena apa prinsipnya adalah
    not the singer but the song
    ,” ujar Ilham.
    Dia menilai novel fiksi sejarah seperti karya Yusron bisa menghadirkan perspektif yang lebih luas, salah satunya dengan menyinggung peran asing dalam dinamika politik Indonesia kala itu.
    “Dengan buku ini, dia cerita tentang CIA, dengan latar belakang yang jauh lebih luas gitu ya. Jadi poinnya, buku ini mungkin akan mendekatkan orang juga kaum milenial tentu dengan peristiwa 1965,” ujar Ilham.
    Menurut Ilham, generasi muda perlu terus dikenalkan pada peristiwa tersebut agar memahami dampaknya bagi bangsa.
    “Karena dari dampak itulah kita bisa belajar untuk tidak lagi terulang peristiwa itu,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ilham Aidit Khawatir Generasi Muda Semakin Tidak Paham dengan Sejarah G30S
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 September 2025

    Putra DN Aidit Soroti Sejarah G30S Hanya Berkutat pada Pembunuhan Jenderal Nasional 30 September 2025

    Putra DN Aidit Soroti Sejarah G30S Hanya Berkutat pada Pembunuhan Jenderal
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Putra tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, Ilham Aidit, menilai penulisan sejarah peristiwa 1965 selama ini terlalu banyak berfokus pada peristiwa terbunuhnya para jenderal, sementara dampak sosial yang luas jarang dipaparkan secara gamblang.
    Hal itu disampaikan Ilham usai menghadiri peluncuran dan bedah novel Trilogi Refleksi 60 Tahun G30S karya Yusron Ihza Mahendra, di Kompas Institute, Palmerah, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
    “Seperti yang saya sebutkan, bahwa dalam buku sejarah kita itu selama ini orang selalu berkutat pada peristiwa terbunuhnya para jenderal saja, tapi dampaknya itu tidak pernah disampaikan dengan gamblang,” kata Ilham, Selasa.
    Menurut dia, dampak peristiwa 1965 amat besar dan menyentuh kehidupan banyak orang, mulai dari terbunuhnya ratusan ribu orang, pemenjaraan massal, hingga pembuangan ribuan orang ke Pulau Buru.
    “Selain terbunuhnya para jenderal, tetapi juga terbunuhnya ratusan ribu orang, dipenjara ratusan ribu orang, 12 ribu orang dibuang ke Pulau Buru, ada 400 orang yang tidak bisa kembali ke negerinya, ke tanah airnya kembali,” ujar dia.
    Ilham menilai karya Yusron Ihza Mahendra dapat menjadi medium alternatif untuk mengenalkan generasi muda pada peristiwa kelam 1965.
    Ia menyebutkan, gaya penyajian dalam bentuk novel fiksi sejarah bisa lebih mudah diterima oleh publik, terutama kalangan milenial dan generasi Z.
    “Buku ini sebetulnya kan buku novel ya fiksi, tapi kajiannya cukup mendalam mengenai latar belakang sejarah. Yang menurut saya itu luar biasa, Yusron ya, luar biasa sekali mencari latar belakang sejarah sehingga sangat mungkin kalau kemudian buku ini menarik orang terkait peristiwa 65 tanpa diskusi yang berat,” ungkap Ilham.
    Ia menyebut novel bisa menjadi jembatan agar generasi muda tidak menjauh dari sejarah.
    “Selama masa lalu itu belum lagi mendapatkan terang yang mampu menerangi masa depan, maka kita akan selalu berjalan di tengah kabut. Kira-kira gitu,” tutur dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Memelihara Kesaktian Pancasila di Era Global

    Pancasila dan politik tanpa dendam

    Dengan landasan pada Pancasila, politik memang harus disikapi secara dewasa

    Bondowoso (ANTARA) – Bangsa Indonesia pernah larut dalam trauma berkepanjangan terkait pengkhianatan terhadap Pancasila. Puncaknya adalah Gerakan 30 September (G30S)/ PKI pada tahun 1965.

    Setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah jenderal TNI oleh PKI yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan paham komunis, bangsa kita kemudian terseret pada dendam politik yang nyaris tak berkesudahan.

    Pemerintahan Orde Baru, demi menjaga kesetiaan pada Pancasila, memberangus semua anggota PKI, bahkan hingga ke anak turunannya yang tidak tahu menahu dengan pilihan dan perilaku politik orang tua atau kakek neneknya, juga kena getahnya.

    Para anak turun PKI itu harus menghadapi konsekuensi dari pilihan ideologinya, sehingga hidupnya serba dibatasi. Se-Pancalais apapun perilaku anak turunan dari PKI itu, tetap akan dicap sebagai kelompok yang anti-Pancasila.

    Dengan landasan demi menjaga Pancasila, gerakan mereka yang terkait dengan PKI dibatasi. Pembatasan itu, bukan hanya kiprah di politik, tapi juga untuk urusan ekonomi dan sosial. Bahkan, segala tindakan mereka selalu diwaspadai.

    Pancasila tetap menjadi pegangan bersama, meskipun situasi dan keadaan terus berubah. Sistem politik bangsa ini memasuki babak lanjutan, setelah Era Reformasi lahir menggantikan Orde Baru. Indonesia memasuki etape hidup bernegara, dengan menerapkan sistem demokrasi yang lebih terbuka.

    Pedoman pada ideologi Pancasila yang mengalami hantaman gelombang situasi politik dan keamanan, bahkan hingga titik paling kritis, telah membuktikan bahwa Pancasila memang sakti. Bangsa Indonesia tetap teguh berpegangan pada dasar Pancasila, meskipun praktiknya, terus menerus perlu disempurnakan.

    Pada akhirnya, sikap politik yang didasari oleh dendam, yang dalam falsafah Pancasila tidak memiliki tempat untuk tumbuh dan berkembang, sudah tidak berlaku.

    Pancasila kembali menghadapi ujian kesaktian ketika pilihan bangsa ini jatuh pada sistem demokrasi terbuka, salah satunya dengan pemilihan langsung oleh rakyat untuk menentukan presiden dan wakil presiden, termasuk kepala daerah.

    Sebagai pendatang baru dalam praktik sistem politik dengan pemilihan umum langsung, bangsa ini menghadapi riak-riak yang sempat mengkhawatirkan. Pada pemilihan presiden, kubu yang satu dengan kubu lainnya saling adu argumen dan strategi untuk memenangkan calon.

    Bahkan, tidak jarang, para pendukung calon itu saling menyerang, hingga muncul istilah kelompok cebong dan kadrun. Muncul kekhawatiran bangsa ini akan terpecah belah.

    Meskipun demikian, Pancasila kembali menunjukkan kesaktiannya. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, meskipun tidak sepanas pilpres sebelumnya, juga terjadi riak-riak terkait dengan dukung mendukung calon.

    Satu hari menjelang peringatan peringatan Hari G30S PKI, Presiden Prabowo Subianto menegaskan sikap politiknya yang tidak menyimpan dendam pada pesaingnya di ajang pesta demokrasi itu.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sepak Terjang Arief Poyuono yang Jadi Komisaris Pelindo

    Sepak Terjang Arief Poyuono yang Jadi Komisaris Pelindo

    Jakarta

    Politisi Arief Poyuono ditunjuk menjadi salah satu komisaris di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Arief merupakan politisi Partai Gerindra yang sempat menjadi Wakil Ketua Umum.

    Pengangkatan Arief itu tercantum dalam Salinan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: SK-265/MBU/09/2025 dan Keputusan Direktur Utama Perusahaan Perseroan (Persero) PT Danantara Asset Management Selaku Para Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia SK.060/DI-DAM/DO/2025 Tanggal 19 September 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota-anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia.

    Arief bukan sosok baru di BUMN, dari penelusuran detikcom, pria kelahiran 4 Februari 1971 itu cukup lama berkecimpung di serikat pekerja BUMN. Dia merupakan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu.

    Namanya beken sebagai politisi di Partai Gerindra. Dia dikenal cukup sering mengeluarkan pernyataan dan manuver politik yang kontroversial.

    Dia pernah mengeluarkan pernyataan mengusir Partai Demokrat pada Koalisi Indonesia Adil Makmur yang mengusung capres dan cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada 2018 jelang Pemilu 2019. Paling parah pada 2020, saat dia menuai kontroversi pada sebuah wawancara yang ditayangkan di YouTube dan menyinggung isu ‘PKI dimainkan kadrun’.

    Kala itu Arief Poyuono mengatakan rekan-rekan separtainya gagal paham menilai video tersebut, karena dia tak membawa nama partai. Tagar #TenggelamkanGerindra sempat menjadi trending topic di Twitter gara-gara Arief Poyuono.

    “Mereka itu semua politisi gagal paham, sok tahu, dan otaknya kayak kadrun-kadrun menilai video wawancara YouTube saya di kanal Bangsa. Saya dalam wawancara di kanal Bangsa jelas-jelas menyatakan diri saya sebagai Ketua Umum Serikat Pekerja BUMN. Kedua, saya membuat rekaman di kantor FSP BUMN Bersatu dan berlatar belakang Bendera Serikat Pekerja,” kata Poyuono, Sabtu (20/6/2020) silam.

    Atas hal ini Arief Poyuono harus disidang. Gerindra menyebut dirinya harus bertanggung jawab atas pernyataannya itu.

    Pada akhirnya, akhir 2020 Arief Poyuono terpental dari posisi Waketum Gerindra usai kepengurusan partai periode 2020-2025 diumumkan pada September 2020. Saat itu, namanya tak ada lagi pada struktur inti partai.

    (hal/ara)

  • Cerita ‘Ahmad Yani’ Sempat Datang Temui Istri Sampaikan Kabar Pascaperistiwa Lubang Buaya

    Cerita ‘Ahmad Yani’ Sempat Datang Temui Istri Sampaikan Kabar Pascaperistiwa Lubang Buaya

    GELORA.CO –  Putri Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Amelia Ahmad Yani, menceritakan keluarganya mendapat kepastian bahwa Panglima Angkatan Darat ini telah gugur.

    Amelia dalam siniar YKCB dikutip pada Senin, 22 September 2025, menuturkan, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) PKI, semua keluarganya mengungsi di sebuah rumah di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Jaksel).

    “Itu adaya di Pasar Minggu karena banyak pohon rambutan. Jadi kami di sana itu ceritanya mengungsi,” ujarnya.

    Adapun rumah di Jalan Lembang Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat yang ditempati kala sang ayah diculik pasukan Cakrabirawa, dijadikan semacam Poskomando (Posko) untuk koordinasi dengan Kostrad.

    “Nah, tanggal 3 [Oktober] itu, Ibu [Yayu Rulia Sutowiryo] saya kan sudah enggak bangun-bangun, dia di kamar saja. Kita enggak pakai listrik waktu itu,” ucapnya.

    Sekitar pukul enam sore, Yayu keluar kamar dan tiba-tiba meminta agar diberikan kebaya hitam. Permintaan tersebut mengundang tanyak anak-anaknya.

    “Lah Ibu kenapa kok minta kebaya, buat apa,” kata Amelia mengingat permintaan sang bunda.

    Tiba-tiba, mulut sang bunda menyampaikan ucapan yang sangat menyedihkan sekaligus mengundang tanya karena belum ada orang yang menyampaikan kabar tentang kondisi pasti Jenderal Ahmad Yani usai diculik.

    “Bapak mu wis ora ono, ibu saya bilang gitu. Kok tahu gitu ya. Kita itu masih eggak tahu kalau Bapak itu sudah gugur, enggak tahu,” ujarnya.

    Amelia menyampaikan, meskipun pada peristiwa pagi buta 1 Oktober 1965 itu melihat tubuh ayahnya diseret para penculik, namun masih yakin dia masih hidup.

    “Katanya sih dirawat di rumah sakit, di mana saya juga enggak tahu. Ceritanya pengawal kan begitu,” katanya.

    Mulut Yayu kemudian berucap bahwa Ahmad Yani pada petang itu barusan datang dan menyampaikan pesan khusus.

    “Barusan Bapak itu datang, ibu saya bilang, jaga anak-anak,” ucap Amel menirukan ucapan sang bunda.

    Rupa-rupayanya, lanjut Amel, magrib itu, Lubang Buaya yang menjadi tempat pengumpulan para jenderal Angkatan Darat (AD) yang diculik, disiksa, kemudian dihabisi lalu dimasukkan ke sumur dan ditutup, sudah ditemukan.

    “Itu [sumur] lagi digali kan sama penggali-penggali [untuk evakuasi jenazah],” ucapnya.

    Setelah Ahamd Yani diculik, pengawal atau ajudannya, di antaranya Mayor CPM Subardi melakukan pencarian hingga sampai di daerah Lubang Buaya.

    Om Baldi, demikian keluarga Ahmad Yani biasa memanggil ajudan tersebut, sempat mencari lokasi tempat penguburan para jenderal.

    “Dicari sama Om Baldi yang nusuk-nusuk [tanah] gitu sama pak Kitman, menemukan yang bisa blus [jeblos]. Karena itu sudah rata, jadi enggak mungkin tahu kalau ada sumur,” ucapnya.

    “Nah, setelah ketemu itu [lokasi sumur], itu yang gaibnya ngasih tahu bahwa dia sudah enggak ada, sudah pergi gitu. Terus pesan sama ibu saya, jagak anak-anak. [Kami] nangis aja waktu itu. Ibu saya bilang, udah jangan nangis terus,” ungkapnya.

    Keesokan harinya, 4 Oktober 1965, Om Bardi baru datang ke rumah sekitar pukul 4 sore. Kondisinya tampak kusut, kelelahan, dan lusuh.

    “Uh matanya merah, keringat sudah enggak karu-karuan, bajunya kotor sekali, sepatu botnya penuh lumpur,” ungkapnya.

    Amelia yang kala itu berusia 15 tahun, menuturkan, pihak keluarga menanyakan perkembangan kepada Om Bardi.

    “Pertanyaannya cuman satu, sudah ketemu Bapak, Om? Sudah katanya,” katanya.

    Bardi kemudian melaporkan kondisi Jenderal Ahmad Yani kepada Yayu di dalam kamar. Setelah itu, baru anak-anak Ahamad Yani dipanggil.

    Anak-anak Ahamad Yani sontak loncat dari tempat tidur karena ingin segera mengetahui kepastian kondisi sang ayah.

    “Tapi Om Bardi saya lihat nunduk kepalanya, nangis. Aduh ini pasti firasat jelek sekali gitu. Ibu akhirnya gini, sekarang Bapak mu sudah benar-benar enggak ada, yang ada hanya Ibu dan kamu semua. Dan kamu harus bisa menerima kenyataan ini,” kata Amel.***

  • Jenazah Yurike Sanger Istri Soekarno Segera Dipulangkan ke Indonesia – Page 3

    Jenazah Yurike Sanger Istri Soekarno Segera Dipulangkan ke Indonesia – Page 3

    Yurike Sanger lahir di Poso, Sulawesi Tengah, pada tahun 1945. Dia memiliki latar belakang keturunan campuran Jerman dan Manado. Pertemuan pertamanya dengan Presiden Soekarno terjadi pada tahun 1963, saat Yurike masih seorang pelajar SMA.

    Pada waktu itu, Yurike Sanger adalah anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika, sebuah kelompok yang bertugas menyambut tamu negara pada acara kenegaraan. Dia terpilih sebagai wakil yang biasa menyambut tamu internasional, termasuk tamu agung dari Soviet. Yurike Sanger sendiri pernah menyatakan, “Saya terpilih sebagai salah satu dari barisan bhinneka tunggal ika.”

    Soekarno, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Indonesia, terpikat oleh Yurike Sanger ketika melihatnya mengenakan kebaya. Pertemuan ini menjadi titik awal terjalinnya hubungan pribadi antara Yurike Sanger dan sang proklamator.

    Hubungan antara Yurike Sanger dan Soekarno berlanjut hingga keduanya memutuskan untuk menikah pada tahun 1964. Saat itu, Yurike Sanger masih berusia sangat muda, yakni 19 tahun, sementara Soekarno berusia 64 tahun. Pernikahan ini menjadikan Yurike Sanger sebagai istri ketujuh Soekarno.

    Pernikahan mereka berlangsung selama empat tahun, dari tahun 1964 hingga berakhir pada tahun 1968. Selama masa pernikahan, Yurike Sanger sempat memutuskan untuk menjadi mualaf dan memeluk agama Islam setelah menikah dengan Soekarno. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi Muslim.

    Meskipun menjalani kehidupan dalam sorotan publik sebagai istri presiden, Yurike Sanger lebih memilih untuk berada di balik layar. Dia tidak seperti beberapa istri Soekarno lainnya yang kerap tampil di ruang publik, melainkan lebih dikenal melalui kiprahnya dalam kegiatan sosial.

    Setelah empat tahun menikah, Yurike Sanger dan Soekarno memutuskan untuk bercerai secara baik-baik pada tahun 1968. Perceraian ini terjadi di tengah situasi politik Indonesia yang memanas pasca-peristiwa G30S PKI.

    Meskipun demikian, nama Yurike tetap tercatat dalam sejarah keluarga besar Presiden Pertama RI sebagai bagian dari perjalanan panjang kehidupan pribadinya.

    Setelah bercerai dari Soekarno, Yurike Sanger menemukan tambatan hati baru dan menikah untuk kedua kalinya. Dia kemudian memutuskan untuk tinggal di Amerika Serikat bersama keluarganya.

    Dalam perjalanan hidupnya, Yurike Sanger juga kembali memeluk agama Kristen, yang merupakan agama yang dianutnya sebelum menikah dengan Soekarno. Sebelum meninggal, Yurike Sanger didiagnosis mengidap kanker payudara.

  • Nyaris Bikin Indonesia Gelap, KPU Cabut Keputusan karena Takut ‘Di-Nepalkan’?

    Nyaris Bikin Indonesia Gelap, KPU Cabut Keputusan karena Takut ‘Di-Nepalkan’?

    Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes.*

    Hampir saja kedamaian Indonesia yang baru pulih dari Tragedi Agustus berdarah kelabu bulan lalu kembali terkoyak akibat ulah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

    Hal ini dipicu oleh Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 tentang “Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan”.

    Sebuah keputusan yang terkesan irasional, bahkan dalam bahasa Gen Z, “tidak masuk nurul.”

    Bagaimana tidak? Keputusan yang ditandatangani sepihak oleh pimpinan KPU pada 21 Agustus 2025 lalu tanpa konsultasi dengan DPR, khususnya Komisi II sebagai pengawasnya, langsung memicu kegaduhan publik.

    Tak sedikit warganet di media sosial bahkan melontarkan seruan agar KPU “di-Nepalkan”, meskipun, syukurlah, hal itu tidak benar-benar terjadi.

    Bisa dibayangkan, kedamaian yang dengan susah payah diraih bisa hilang begitu saja karena ulah KPU.

    Untungnya, pada Selasa, 16 September 2025, KPU buru-buru menggelar konferensi pers untuk mencabut keputusan kontroversial tersebut.

    Pengumuman disampaikan langsung oleh Ketua KPU Muh Affifuddin bersama Agust Melaz, Abdul Kholiq, dan jajaran komisioner lainnya.

    Meski patut diapresiasi karena mau mendengar desakan publik, muncul pertanyaan: apakah pencabutan ini cukup untuk dianggap selesai?

    Tak heran bila kini muncul desakan agar seluruh pimpinan dan komisioner KPU mengundurkan diri.

    Sebab, keputusan No. 731 Tahun 2025 jelas merupakan hasil kolektif-kolegial, bukan keputusan pribadi.

    Jadi, bukan hanya Muh Affifuddin yang harus bertanggung jawab, tetapi seluruh jajaran KPU, karena mereka bersama-sama gagal menjaga integritas lembaga.

    Baca Juga:

    Erick Thohir Resmi Dilantik Jadi Menpora, Status Ketua PSSI Jadi Sorotan

    Mengapa keputusan itu sangat kontroversial? Karena salah satu tujuannya tampak jelas: menutup akses publik terhadap dokumen ijazah calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

    Namun, akibatnya justru lebih fatal: seluruh 16 dokumen persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden ikut ditutup, termasuk LHKPN, surat pernyataan setia pada Pancasila dan UUD 1945, hingga keterangan bebas dari keterlibatan G30S/PKI.

    KPU beralasan ada konsekuensi bahaya bila dokumen-dokumen tersebut dibuka untuk publik, termasuk soal ijazah.

    Namun alasan ini tidak masuk akal, bahkan mencerminkan keberpihakan kepada oknum pejabat yang enggan transparan.

    Ironisnya, KPU berdalih sesuai PKPU No. 15 Tahun 2014 dan PKPU No. 22 Tahun 2018, padahal jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang kedudukannya lebih tinggi.

    Sebelum pencabutan keputusan itu, saya sempat membahas masalah ini dalam program Dialog Kompas Petang, Senin, 15 September 2025, bersama mantan Ketua KPU Arif Budiman (2017–2022) dan pengacara Jokowi Rivai Kusumanegara, dipandu oleh Audrey Candra.

    Dalam diskusi tersebut tampak jelas siapa yang berpihak pada transparansi dan siapa yang justru ingin menutupinya.

    Fakta akhirnya terkonfirmasi dengan dibatalkannya keputusan KPU tersebut.

    Kesimpulannya, meski Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 telah resmi dicabut, perjuangan menjaga demokrasi belum selesai.

    Masyarakat harus terus mengawasi KPU dan lembaga-lembaga negara lainnya.

    Setiap celah regulasi yang berpotensi melemahkan transparansi wajib dicurigai.

    Musuh demokrasi sering menyelinap dari dalam, lewat aturan-aturan yang menutup akses publik.

    Intinya, meski Presiden Prabowo Subianto baru saja melakukan reshuffle kabinet, rakyat tidak boleh lengah.

    Kita harus tetap konsisten dalam gerakan menegakkan demokrasi dan supremasi hukum, termasuk melalui seruan #AdiliJkW dan #MakzulkanFufufafa.

    *) Pemerhati Telematika, Multimedia, AI, dan OCB Independen

    Jakarta, Rabu 17 September 2025

  • KPU minta maaf soal riuh pengecualian dokumen capres-cawapres

    KPU minta maaf soal riuh pengecualian dokumen capres-cawapres

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin menyampaikan permohonan maaf kepada publik terkait kegaduhan soal 16 dokumen syarat pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan atau tidak bisa dibuka untuk publik tanpa persetujuan capres-cawapres terkait.

    Ia juga menegaskan Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 dibuat semata untuk perlindungan data pribadi, bukan untuk memberikan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu.

    “Kami dari KPU juga memohon maaf atas situasi keriuhan yang sama sekali tidak ada pretensi sedikit pun di KPU untuk melakukan hal-hal yang dianggap menguntungkan pihak-pihak tertentu.” kata Afifuddin di Kantor Komisi Pemilihan Umum RI, Jakarta Pusat, Selasa.

    Hal itu disampaikan Afifuddin usai mengumumkan pembatalan terhadap Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 soal 16 dokumen syarat pendaftaran capres-cawapres sebagai informasi publik yang dikecualikan.

    Afif, sapaan akrab Ketua KPU RI, juga menegaskan aturan KPU tersebut berlaku untuk semua pihak tanpa ada pengecualian sehingga tidak ada pihak yang mendapatkan keuntungan atas peraturan tersebut.

    “Seluruh peraturan KPU yang kita buat berlaku umum, berlaku untuk siapa pun tanpa pengecualian,” ujarnya.

    Afif juga mengatakan KPU terbuka untuk segala kritik dan masukan dari masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara Pemilu.

    “KPU dalam dinamika beberapa hari terakhir berkaitan dengan Keputusan Nomor 731 mengapresiasi partisipasi publik, masukkan, kritik publik dalam memastikan pelaksanaan pemilu yang berintegritas dan akuntabel serta terbuka,” kata Afif.

    Sebelumnya, KPU menetapkan 16 dokumen syarat pendaftaran capres dan cawapres sebagai informasi yang dikecualikan atau tidak bisa dibuka untuk publik tanpa persetujuan dari pihak terkait.

    Meski demikian, keputusan KPU tersebut akhirnya dibatalkan setelah mendapat kritik dari publik dan parlemen.

    Adapun dokumen syarat pendaftaran capres dan cawapres yang sebelumnya dinyatakan sebagai informasi yang dikecualikan yakni:

    1. Fotokopi kartu tanda penduduk elektronik dan foto akta kelahiran Warga Negara Indonesia.

    2. Surat keterangan catatan kepolisian dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    3. Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum.

    4. Surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

    5. Surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan/atau tidak memiliki tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri.

    6. Surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    7. Fotokopi nomor pokok wajib pajak dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir.

    8. Daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon.

    9. Surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

    10. Surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    11. Surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

    12. Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah.

    13. Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G.30.S/PKI dari kepolisian.

    14. Surat pernyataan bermeterai cukup tentang kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil Presiden secara berpasangan.

    15. Surat pernyataan pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu.

    16. Surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.