partai: PKI

  • Guntur Romli: Tampar Soeharto dan Selidiki Korupsinya!

    Guntur Romli: Tampar Soeharto dan Selidiki Korupsinya!

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Jubir PDIP sekaligus Aktivis Nahdatul Ulama (NU), Guntur Romli dalam unggahannya membahas sejarah kelam bangsa Indonesia berkaitan dengan G30S PKI.

    Gun Romli mengutip salah satu berita yang dijadikannya sebagai rujukan untuk membahas kasus ini.

    Dia secara spesifik membahas dugaan korupsi yang dilakukan Presiden ke-2 RI, Soeharto.

    Sebelum menjabat sebagai Presiden, Soeharto merupakan elite TNI. Tahun 1958 Soeharto adalah Panglima Tentara Teritorial Diponegoro (sekarang Pangdam Diponegoro) pangkat Kolonel.

    Saat meniabat Soeharto diterpa isu soal dugaan korupsi gula, penyeludupan beras hingga penyeludupan truk-truk tentara.

    “Tampar Soeharto dan Selidiki Korupsi Soeharto, 5 dari 7 Jenderal Menjadi Korban G30S, Siapa Saja? Sekitar tahun 1958, Soeharto kala itu menjabat sebagai Panglima Tentara Teritorial Diponegoro (sekarang Pangdam Diponegoro) dgn pangkat Kolonel dan diterpa isu korupsi gula.Saat itu, Soeharto dituduh korupsi beras, gula hingga penyelundupan 200 truk,”

    tulisnya dikutip Jumat (7/11/2025).

    Dia melanjutkan menurut penelusurannya, Soeharto dibantu oleh anak buahnua dengan menjalin kerja sama dengan pengusaha Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.

    “Saat itu, Soeharto dituduh korupsi beras, gula hingga penyelundupan 200 truk truk tentara yang dibantu beberapa anak buahnya dan bekerjasama dengan pengusaha Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.,” sambungnya.

    Kasus ini sempat diselidiki dan diperiksa oleh Inspeksi Angkatan Darat dipimpin Mayjen Soeprapto dgn anggota Mayjen MT Haryono, Mayjen S.Parman dan Mayjen Sutoyo Siswomihardjo.

  • “PDIP-Jokowi rekonsiliasi” dampak penolakan Soeharto jadi Pahlawan Nasional?

    “PDIP-Jokowi rekonsiliasi” dampak penolakan Soeharto jadi Pahlawan Nasional?

    Oleh: Damai Hari Lubis

    Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik) 

    Terhadap wacana lama yang kembali tercetus terkait usulan pihak pihak, agar “mantan presiden 32 tahun almarhum Jendral bintang 5, Jendral Besar Soeharto dianugerahi Pahlawan Nasional”.

    Maka menurut penulis, kriteria dan levelitas usulan terhadap almarhum Soeharto tokoh ‘Bapak Pembangunan Indonesia’  merupakan kategori yang wajar, walau ada beberapa sisi benturan tatanan hukum ketatanegaraan yang urgensitas perlu dicermati dan dikaji secara signifikan dan ‘komprehensif.’

    Lalu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul), berstetmen estimasi terkait wacana a quo “bakal diputuskan sebelum 10 November atau Hari Pahlawan”.

    Dan wacana ini mendapat tanggapan relatif cepat namun hati- hati dari Puan selaku Ketua DPR RI dan juga sebagai salah seorang Ketua PDIP ketimbang keengganan dirinya merespon nasib Hasto Kristiyanto, saat Sekjen PDIP dikejar kejar oleh KPK yang dari kacamata hukum, menyimpang dari rules.

    Kata Puan, ” kemarin Selasa (4/11/2025), “harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang, di sisi lain, pemerintah juga harus melihat apakah pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto saat ini merupakan waktu yang tepat. Semua aspek terkait usulan itu harus dikaji dengan cermat”.

    http://www.cnnindonesia.com/nasional/20251104134906-32-1291723/puan

    Lalu wacana dengan dimensi ‘wajar’ ini, dibanding “ide gila Jokowi 3 periode” yang inkonstitusional, dibarengi suara penolakan keras dan lumayan bising, seorang diantaranya digaungkan oleh politisi PDIP dr. Rubka Cipta Ning, pengarang buku “Aku Bangga jadi Anak PKI.” 

    Polemik wacana ini, perlu dicermati, karena suara dukungan dan penolakan Mantan Presiden RI 32 tahun dianugerahi pahlawan, bakal menjadi titik kearah rekonsiliasi antara Megawati (PDIP) dengan Jokowi ?

    Karena “Jas Merah”,  ada peristiwa politik yang berhubungan erat dengan napak tilas tokoh besar bangsa ini almarhum Jendral Soeharto dimasa transisi kekuasaan dari orla ke orba, lalu Jokowi menerbitkan diskresi politik Jokowi dalam bentuk Keppres 17/2022 dan Inpres 2/2023 terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia, sehingga kebijakan ini telah mengundang polemik terhadap para tokoh publik bangsa, bahkan ada beberapa tokoh aktivis diantaranya Mayjend Kivlan Zen mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung, argumentatif dalil hukumnya disebabkan secara teori hirarkis hukum diskresi Jokowi dimaksud dianggap overlaping dengan ketentuan yang lebih tinggi yakni 

    TAP MPRS RI No 25 Tahun 1966.

    Dan termasuk penulis menanggapi diskresi Jokowi dimaksud melalui artikel hukum dan beberapa kali acara podcast, tepatnya di masa mantan presiden RI ke 7 itu masih dalam kendali Megawati dan dianakemaskan sanbil dipuja puji oleh PDIP.

    Maka bisa jadi Jokowi yang diusung oleh PDIP menjadi presiden selama 2 periode, dikarenakan keduanya PDIP dan Jokowi “bermazhab” yang sama. Hanya saja sejarah membuktikan kedua sekutu ‘pengusung dan diusung’ pecah kongsi gegara ada wacana Jokowi Presiden 3 periode, selain historis politik yang nampak (sebelumnya) saat itu ada indikasi kuat “Puan diminati oleh kader partai menjadi Capres di pemilu 2024-2029”.

    _Dan Projo yang baru saja mendapat nafas segar dari konsolidasi melalui kongres ketiganya (1-2 November 2025), ditengarai bakal menambah konflik bagi pihak pihak pro-kontra wacana Almarhum Jendral Besar Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, lalu akan kah bakal menjadi “tambang emas atau setidaknya ladang gandum” bagi para aktivis projo, namun kesemua fenomena status quo dari dinamika gejolak geo politik tanah air, tendensi berdampak ‘penderitaan perekonomian rakyat” bakal lama dan semakin labirin. (*)

  • Ketua PBNU Dukung Soeharto dan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional

    Ketua PBNU Dukung Soeharto dan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional

    Jakarta

    Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menyatakan dukungannya terhadap usulan Kementerian Sosial Republik Indonesia kepada Dewan Gelar atas menetapkan Soeharto dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Pahlawan Nasional pada tahun ini.

    Menurut Gus Fahrur, Indonesia perlu belajar dari masa lalu baik dari kebaikan maupun kekurangannya untuk membangun masa depan yang lebih bijak dan berkeadaban.

    “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghormati jasa para pendahulunya. Kita perlu belajar dari kebaikan masa lalu dan mengambil hikmah dari kekurangannya. Dalam tradisi keilmuan Islam, ada kaidah penting: Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik,” ujar Gus Fahrur dalam keterangan tertulis, Rabu (5/11).

    Gus Fahrur menilai baik Soeharto maupun Gus Dur memiliki kontribusi besar terhadap bangsa dalam dua fase sejarah yang berbeda.

    “Pak Harto berjasa besar dalam stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi. Di masa beliau, Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu macan ekonomi baru Asia dengan program pembangunan yang terencana dan stabilitas ekonomi serta keamanan yang tinggi,” jelasnya.

    “Pak Harto membangun ratusan masjid di seluruh Indonesia tercatat sekitar 999 masjid dibangun atas prakarsa beliau. Beliau juga mendorong kerukunan antarumat beragama dan berperan penting dalam menjaga persatuan nasional pasca pemberontakan G30S/PKI,” ungkapnya.

    Sementara itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menurutnya berjasa besar dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan rekonsiliasi bangsa pasca reformasi.

    Ketua PBNU ini juga mengapresiasi langkah Kementerian Sosial di bawah Menteri Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang tengah selesai memproses sejumlah tokoh yang lantas sudah diserahkan ke Dewan Gelar untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini.

    Gus Fahrur berharap penetapan pahlawan nasional dapat menjadi momentum rekonsiliasi sejarah dan penguatan nilai kebangsaan.

    “Semoga dengan penetapan ini, kita semakin menghargai peran semua pihak dalam perjalanan bangsa baik sipil, militer, maupun ulama. Semua punya andil dalam menjaga Indonesia,” tutupnya.

    (akn/akn)

  • Selapis Kisah Kekerasan 1965 di Aceh dari Puisi Tak Terkuburkan

    Selapis Kisah Kekerasan 1965 di Aceh dari Puisi Tak Terkuburkan

    Liputan6.com, Jakarta Aku bertemu dengan “Puisi Tak Terkuburkan” di ruang tengah sebuah rumah kayu yang terwalak di siku jalan Desa Kemili, menyambut Asar. Rumah ini membawaku pada ingatan beberapa tahun lalu saat sebuah berita membentangkan paragrafnya pertamanya dengan kalimat, “dunia seni, budaya, dan sastra Gayo, Aceh Tengah berduka”.

    Suara laki-laki tua dari seberang telepon yang menyambut saat itu masih terngiang. Tak salah lagi, ini adalah orang yang sama, aku dapat melihat namanya pada sebuah papan kayu kira-kira sepanjang 30 sentimeter yang tertempel di atas pintu depan rumah tersebut.

    Ibrahim Kadir. Demikian huruf-huruf timbul tersebut tersusun dalam warna kecoklatan dipenuhi debu.

    Membubuhi nama pemilik rumah di depan pintu seperti itu sempat tren pada tahuan 90-an. Aku bahkan masih bisa menemukan sejumlah rumah di kawasan Aceh Tengah dan Bener Meriah yang di pintunya tertempel nama sang pemilik.

    Namun, di rumah itu tak ada lagi Ibrahim Kadir –ia berpulang pada 1 September 2020 silam— kecuali segenap poster penuh kebanggaan saat peluncuran film “Puisi Tak Terkuburkan,” serta riwayat kekerasan 1965 yang tersimpan di dalam kliping koran serta majalah di sekeliling dinding rumah tua itu.

    Salah satu pigura berisi tempelan judul berita koran dalam bahasa Belanda: Het doden van de geschiedenis, Er werd veel gehuild op de set, Het gekrijs van een aap in het bos. Demikian judul-judul itu ditempel secara acak.

    Semua potongan judul serta klipingan berita tersebut merupakan bagian dari pemberitaan tentang proses pembuatan sebuah film yang pernah dilakoni oleh Ibrahim Kadir. Di dalam film berjudul Puisi Tak Terkuburkan itu, Ibrahim Kadir jadi dirinya sendiri, sebagai salah satu saksi sejarah dari “dinginnya” pembunuhan massal 1965 yang berlangsung di dataran tinggi Gayo.

    Jauh sebelum itu, pria kelahiran 31 Desember 1942 juga sempat terlibat dengan film epos biografi yang disutradarai oleh Eros Djarot yaitu Tjoet Nja’ Dhien rilisan Desember 1988. Namun, Puisi Tak Terkuburkan (2000) adalah “sesuatu” yang membuat nama Ibrahim Kadir patut diletakkan pada makam tersendiri.

    Bukan hanya sebagai seniman, Puisi Tak Terkuburkan merupakan manifesto, dari jalan seni yang kelak akan diambil oleh seorang Ibrahim Kadir. Ia adalah saksi sejarah yang berani “bicara”, saat narasi terkait kekerasan 1965 masih didominasi jika tidak disebut dibungkam oleh narasi Orde Baru.

    Di dalam Puisi Tak Terkuburkan, senyap memuai di udara, sinopsis muncul disertai derit pintu serta engsel yang telah karatan. Perlahan terdengar syair didong didendangkan oleh sejumlah pria di dalam sebuah ruangan seolah tengah berlangsung perjamuan besar.

    “… Kemudian, saya lihat… kakinya yang menggelepar.”

    Visual kemudian mulai menampilkan tangan dan kaki manusia yang saling bertindihan. Tampak pula wajah-wajah para pemiliknya yang saling menggigil ketakutan.

    Roman melankolis pada wajah-wajah putus asa tersebut kian sarat berkat iringan biola yang mengalun di antara suara gonggongan anjing dan suara batukan. Kumpulan manusia yang terlihat kepayahan itu semakin risau tatkala pintu kerangkeng dibuka.

    “Krieeet….”

    Seorang pria berseragam muncul dari balik pintu. Bersamanya ikut lima orang lelaki berwajah masai yang berjalan memasuki ruangan dengan langkah gontai.

    Salah seorang di antara lelaki itu menatap ke arah sipir agak lama, sebelum sang sipir menutup pintu lalu menghilang bersama deru mobil truk. Ia adalah Ibrahim Kadir.

    Ibrahim Kadir saat itu seorang seniman didong cum guru dijemput di sekolah tempatnya mengajar karena tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Selasa, 12 Oktober 1965. Ia diseret ke sebuah ruangan di mana banyak tahanan lain yang dituduh terlibat PKI ditempatkan.

    Selama ditahan, dirinya dipaksa untuk menemani para penjagal saat melakukan eksekusi. Ibrahim Kadir kelak dibebaskan karena bantuan seorang pejabat Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kebetulan mendengarkan senandung didongnya, tetapi ingatan yang diakibatkan oleh kenangan selama 22 hari berada di dalam tahanan, sesungguhnya tidak pernah bebas dari benak.

    Ibrahim Kadir menyaksikan seratusan orang lebih dijagal silih berganti setiap malam. Ia hampir gila, teriakan-teriakan di tengah dinginnya malam sulit untuk dilupakan.

    Orang-orang yang kepalanya dibungkus karung, dipukul hingga meregang nyawa; wanita-wanita tak bersalah disembelih; para tahanan dipaksa saling bunuh; seorang ibu dieksekusi bersama bayinya. Semua tindakan tak berperikemanusiaan yang dapat dibayangkan oleh manusia berlangsung di depan mata Ibrahim Kadir.

    Ibrahim Kadir mencurahkan pengalamannya tadi ke dalam 23 bait 92 baris syair berbahasa Gayo berjudul, “Sebuku” atau ratapan. Namun, Puisi yang tak Terkuburkan sebenarnya hanya satu kepingan tipis dari serakan kaca getirnya pembunuhan massal yang menyelimuti dataran tinggi Gayo.

    Di balik bentang alamnya yang indah, pegunungan berkabut, danau Lut Tawar, dan kopinya yang mendunia, dataran tinggi Gayo menyimpan “kepedihannya” sendiri. Tanahnya yang subur menyimpan riwayat yang anyir, berasal dari tumpahan darah dengan kengerian yang tak tepermanai.

    “Sedikitnya 2.500 orang (khusus di tanah Gayo, red) yang dibantai. Hampir di setiap kampung terjadi pembunuhan terhadap orang yang di-PKI-kan,” ungkap mantan aktivis KontraS (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh, Mustawalad kepada Liputan6.com.

    Sejumlah titik kuburan massal di antara lain ada di Redelong, Kubangan Gajah, Totor Besi, dan Bur Lintang. Kuburan-kuburan ini sudah tidak ada lagi karena kerangka para korban telah dipindahkan oleh keluarga ke pemakaman umum dan biasanya sedapat mungkin dirahasiakan.

    Riset berbasis sejarah oleh Jess Melvin berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018) dapat menjadi acuan dari peristiwa kekerasan ini. Buku ini telah terbit dalam versi terjemahan berjudul Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966.

    Buku setebal 322 halaman terbitan Routledge tahun 2018 tersebut meruntuhkan apa yang disebut Jess Melvin sebagai sebuah ‘propaganda’ setengah abad lebih. Gerakan penumpasan semua yang terlibat PKI selama ini disebut-sebut sebagai perlawanan spontanitas masyarakat.

    Namun, berkas yang ditemukan oleh Melvin mengungkap fakta lain. Ia menyebut, sesungguhnya kekerasan yang berlangsung pada saat itu itu merupakan rangkaian pembunuhan terkoordinasi yang tersambung hingga ke Mayor Jenderal Soeharto.

    Berdasarkan dokumen yang ditemukan oleh Jess Melvin, operasi pengganyangan semua yang dianggap terlibat PKI di Aceh telah dimulai pada 4 Oktober. Program ini diterapkan berdasarkan rantai komando secara teritorial dan struktural, di mana warga sipil berada di barisan front.

    Adapun rangkaian pembunuhan mulai berlaku serentak di seantero Aceh sejak 7-13 Oktober 1965. Saat itu, kekuatan berbasis paramiliter mendapat perintah untuk memusnahkan seluruh anggota PKI beserta simpatisannya tanpa pandang bulu.

    Temuan sejarah seperti ini jadi torehan yang cukup gelap bagi lini masa narasi sejarah. Selama ini, sejarah Aceh kerap disajikan dalam pelbagai narasi yang epos dan apologia, berkutat soal kejayaan masa kesultanan, perang melawan penjajah, fase kemerdekaan, hingga niat ingin memisahkan diri, tetapi sedikit yang menyentuh pembantaian massal yang terjadi pada 1965-1966.

    Pada hari-hari terakhir Ibrahim Kadir ditahan, mereka masih menugaskannya mengikat serta mengarungi kepala para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Suatu malam, seorang tahanan perempuan terlihat enggan melepas bayi yang ada di dalam gendongannya.

    Namun, suara desing peluru mengakhiri perlawanan kecil perempuan tersebut. Di bawah terang bulan, malam itu seorang ibu dan bayinya rubuh bersama hati Ibrahim Kadir yang hancur.

    Bintang bulan cengang menjerit/Memandang tubuh yang terpaku/Ibarat patung tak berkutik/Risau rindu tak berulang (salah satu kutipan syair berjudul ‘Sebuku’ milik Ibrahim Kadir).

  • Jangan Izinkan Orang G*la Ini Masuk ke Jepang

    Jangan Izinkan Orang G*la Ini Masuk ke Jepang

    GELORA.CO –  Aksi demo Komisaris PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), Muhammad Ainul Yaqin, terus menuai kecaman publik.

    Kali ini, kecaman datang dari publik Jepang, yang geram dengan orasinya yang mengancam akan menggorok leher. 

    “Seorang anggota kelompok ekstremis Islam Indonesia..,” tulis akun X YUASA TADAO @GrwaNnKqMn5nG68, dikutip Senin (3/11/2025). 

    Lebih jauh, dia meminta Ainul dilarang masuk ke negeri Jepang. 

    “Kita tidak boleh mengizinkan orang gila masuk ke Jepang,” jelasnya.

    Senada diungkapkan ShibaTalks @ViveLaNippon. Menurutnya, orang-orang Muslim di Jepang harus diawasi dengan ketat. 

    “Mereka adalah orang-orang yang seharusnya tidak pernah diizinkan masuk ke Jepang. Setiap politisi yang mendorong hal ini perlu disingkirkan. Untuk itu, kita perlu mengawasi lebih ketat,” timpalnya.

    Kecamatan yang tidak kalah panas juga datang dari dalam negeri.

    “Selamat pagi Gubernur @pramonoanung. Akhirnya di era Bapak, Jakarta makin mengglobal: Komisaris BUMD @PT_Transjakarta di notice kelompok ekstrim kanan Jepang,” terang @elisa_jkt. 

    Lebih jauh, dia bahkan mengaku telah mengirimkan surat tuntutan agar Ainul dipecat sebagai Komisaris PT Transjakarta. 

    “Btw, 10 hari lalu saya kirim surat tuntutan pemberhentian Komisaris gorok leher. Smg lagi diPROSES ya,” sambungnya. 

    “Saya juga dah kirim surat ya Pak @pramonoanung @PT_Transjakarta, tolong dibaca dan dipecat komisaris yang ngancam menggorok dan halal-halalin darah orang, ih.. Ga pantes bgt,” timpal @marukonahu. 

    Desakan serupa juga diungkapkan @isuzucarpenter. Menurutnya, Ainul sangat tidak pantas menjadi Komisaris PT Transjakarta.

    “Pak Gub @pramonoanung moon maap nih. Gue sebagai akamsi kagak setuju lah orang kayak die jadi komisaris. Akhlak-nye ga ada. Kayak kagak ada orang yang lebih bener aje. Minta tolong dipertimbangkan buat ganti ya, Pak Gub,” sambungnya.

    Sebelumnya, kecaman terhadap Ainul juga diungkapkan sejumlah tokoh NU, organisasi yang ikut membesarkan nama Ainul. 

    Sementara itu, dalam rekaman yang beredar, terlihat Ainul Yaqin menggunakan jaket Ansor dan peci hitam, berorasi di atas mobil komando.

    “Apa bila ada kiai dan ulama kita yang dihina, maka Ansor dan Banser akan menjadi garda terdepan,” katanya, dikutip Minggu (19/10/2025).

    Lebih lanjut, dia mengatakan, bahwa ada ribuan anggota Ansor dan Banser yang gugur dalam memperjuangkan NKRI.

    “Jangan sampai kader-kader Banser menggorok leher kalian, seperti Banser menggorok leher PKI. Halal darah kalian,” ungkapnya.

    Orasi keras ini pun mendapat reaksi keras publik. Apalagi, Ainul Yaqin merupakan seorang hafizh yang hafal Alquran 30 juz.

    Untuk diketahui, selain Komisaris PT Transjakarta, Ainul juga menjabat sebagai Ketua GP Ansor DKI Jakarta, dan tenaga ahli Menteri Agama RI.

  • Gus Sahal Kritisi GP Ansor, Perusak Citra NU Itu Seperti Ketua Ansor DKI

    Gus Sahal Kritisi GP Ansor, Perusak Citra NU Itu Seperti Ketua Ansor DKI

    GELORA.CO – Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) Ahmad Sahal atau yang akrab disapa Gus Sahal, menyoroti sikap sebagian kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang dinilainya kini kurang terbuka terhadap kritik.

    Melalui akun media sosial pribadinya, Gus Sahal menulis dirinya tidak merasa takut mengkritik, namun menyayangkan munculnya reaksi berlebihan terhadap kritik di lingkungan NU.

    Hal tersebut disampaikannya lewat status twitternya atau X pribadinya @sahal_AS pada Kamis (30/10/2025). 

    “Bukan takut, tapi eman-eman (sayang) kok NU sekarang ngamukan, alergi terhadap kritik,” tulis Gus Sahal dalam unggahannya, Rabu (30/10/2025).

    Ia menilai, sikap terbuka terhadap kritik justru menjadi ciri khas para tokoh besar NU terdahulu yang dikenal santun dan bijak.

    “Tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, dan Gus Baha membuat NU dihormati, Islam yang ramah, humoris, dan mengayomi,” lanjutnya.

    Dalam unggahan itu, Gus Sahal juga menyinggung adanya perilaku sebagian kader yang dinilai dapat merusak citra organisasi.

    Ia mencontohkan pernyataan keras yang pernah disampaikan Ketua GP Ansor DKI Jakarta, yang sempat mengancam akan melakukan kekerasan.

    “Yang merusak citra NU itu seperti Ketua Ansor DKI yang ancam gorok dan bakar gedung, tapi dibiarkan,” tulisnya.

    Gus Sahal kemudian mengajak warga NU untuk melakukan introspeksi diri agar organisasi tidak kehilangan nilai-nilai dasar yang diwariskan para pendiri dan kiai terdahulu.

    “Introspeksi saja, jangan denial,” pungkasnya.

    GP Ansor: Setakiut Itukah Sama NU?

    Pernyataannya tersebut merujuk postingan Gerakan Pemuda Ansor lewat twitter resminya @Official_Ansor pada Kamis (30/10/2025).

    Dalam postingannya, organisasi kepemudaan NU itu menegaskan NU selama ini tetap konsisten menjaga keseimbangan kehidupan beragama dan berbangsa.

    “Setakut Itukah Sama NU?” tulis admin @Official_Ansor pada Kamis (30/10/2025).

    “NU hanya berdiri di tempat yang sama sejak 1 abad silam, sejak 1926. Berdiri di tengah perbedaan dan keberagaman,” tambahnya.

    Dalam pernyataan tersebut, GP Ansor menegaskan NU tetap istikamah menjembatani agama dan kebangsaan sesuai prinsip hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman).

    NU juga disebut selalu berupaya membidani kemaslahatan umat dan merawat akal sehat di tengah hiruk pikuk tafsir iman dan kepentingan.

    “NU tidak sedang berebut pengaruh, kami sedang menjaga keseimbangan republik agar tetap waras,” tambahnya.

    GP Ansor juga menyinggung adanya pihak yang dianggap ‘NU-phobia’, yakni mereka yang merasa terganggu ketika NU mulai bersuara atau bergerak di ruang publik.

    “Anehnya, setiap NU mulai bergerak, selalu ada yang gemetar. Hingga muncul gelagat NU-phobia segala,” tulis akun tersebut.

    Dalam postingan tersebut, GP Ansor menegaskan kekuatan NU bukan pada kekuasaan atau pengaruh politik, tetapi pada jamaah, pesantren, dan komitmen menjaga kebangsaan dengan sikap moderat, i’tidal, tawassuth, tawazzun, dan amar ma’ruf nahi munkar.

    “Kalau itu menakutkan, mungkin yang menakutkan bukan NU, tapi bayangan tentang Indonesia tanpa NU yang merawat peradabannya,” tutupnya.

    Ketua GP Ansor Ancam Gorok Karyawan Trans 7

    Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor DKI Jakarta, Muhammad Ainul Yakin, menjadi sorotan publik setelah orasinya di depan kantor Trans7 viral di media sosial.

    Dalam orasi tersebut, Ainul mengecam isi siaran Trans7 yang dianggap menyinggung ulama Nahdlatul Ulama (NU).

    Ainul hadir bersama anggota GP Ansor dan Banser, sayap organisasi NU, dan menyampaikan ancaman kontroversial terhadap pegawai Trans7.

    Dalam pernyataannya, Ainul menyebut, “halal darah” bagi pihak yang menghina kyai, ulama, atau NU.

    Menurut Ainul, salah satu tugas GP Ansor dan Banser adalah menjaga kyai, ulama, dan pondok pesantren.

    Ia menilai tindakan Trans7 melalui beberapa siaran telah menghina tokoh-tokoh NU, sehingga menuntut peringatan keras terhadap pihak yang bersangkutan.

    “Trans7 telah menghina melalui siaran-siarannya terhadap kyai dan ulama Nahdlatul Ulama,” kata Ainul dalam orasinya.

    Dalam orasinya, Ainul juga menekankan sejarah panjang perjuangan Ansor dan Banser dalam menjaga republik.

    Ia mengingatkan pegawai Trans7 akan pengorbanan ribuan kadernya.

    “Saudara-saudara Trans7 yang masih muda, kalian ingat sejarah. Sudah ribuan anak Ansor dan Banser tewas memperjuangkan republik ini. Kalian ada karena adanya Nahdlatul Ulama,” ujarnya.

    Pernyataan Ainul kemudian memicu kontroversi karena ia membandingkan insiden yang sedang terjadi dengan pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966.

    Ia menegaskan ancaman yang dilontarkan dalam konteks menjaga martabat ulama NU.

    “Jangan sampai kader-kader Banser menggorok leher kalian, seperti kader Banser menggorok PKI. Halal darah kalian apabila mengolok-olok ulama Nahdlatul Ulama,” ucap Ainul.

  • Jaringan Kiai Santri Usulkan 2 Nama Ulama Jadi Pahlawan Nasional
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        27 Oktober 2025

    Jaringan Kiai Santri Usulkan 2 Nama Ulama Jadi Pahlawan Nasional Surabaya 27 Oktober 2025

    Jaringan Kiai Santri Usulkan 2 Nama Ulama Jadi Pahlawan Nasional
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN) meminta Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar Pahlawan Nasional tahun ini kepada 2 ulama yang disebut memiliki peran aktif pada perang kemerdekaan.
    Keduanya adalah KH Abbas Abdul Jamil yang dikenal populer dengan nama Kiai Abbas Buntet asal Cirebon, Jawa Barat dan KH Yusuf Hasyim yang pupuler dengan nama Pak Ud asal Jombang, Jawa Timur.
    Ketua JKSN KH Asep Saifudin Chalim mengatakan, kedua nama ulama tersebut menurut data dari Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP), merupajan nama yang paling kredibel dan memenuhi syarat untuk diberi gelar pahlawan nasional.
    “Berdasarkan kajian dan sumber-sumber primer, nama Kiai Abbas Buntet dan Pak Ud punya kredibilitas untuk diberi gelar Pahlawan Nasional,” katanya usai Halaqoh Ulama di Surabaya, Minggu (26/10/2025) malam.
    Ia mengatakan, Indonesia yang kini dipimpin Presiden Prabowo merupakan bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.
    “Karena itu kami berharap, berapa pun nama yang diusulkan jadi pahlawan nasional kepada presiden, 2 nama tersebut setidaknya bisa masuk karena ukuran jasanya sudah jelas,” ujar Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah Mojokerto ini.
    Menurut dia, Pak Ud yang merupakan putra bungsu pendiri Nahdatul Ulama KH Hasyim Asy’ari merupakan tokoh kemerdekaan di Jombang, gerakan penumpasan G30S PKI, serta tokoh pesantren yang menjaga nilai-nilai pancasila.
    “Sedangkan Kiai Abbas Buntet adalah tokoh ulama yang menentukan hari, tanggal dan waktu serangan 10 November saat perang di Surabaya,” kata dia. 
    Dari 4 nama calon pahlawan nasional yang diusulkan tahun ini, kedua nama tersebut didukung lebih dari 70 sumber primer.
    “Untuk Kiai Abbas Buntet ada 76 sumber primer dan Pak Ud 74 sumber primer. Ini sudah cukup untuk ukuran kredibel,” ujar dia.
    Kementerian Sosial mengusulkan 40 nama untuk diberikan gelar pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) yang dipimpin Fadli Zon.
    Ke-40 nama tersebut telah melewati proses yang panjang dan dinyatakan memenuhi persyaratan untuk sebagai calon pahlawan nasional.
    Kiai Abbas Buntet adalah 2 dari 4 nama usulan tahun ini bersama tokoh buruh Marsinah dan Demmatande dari Sulawesi Barat.
    Selain itu, ada 16 nama usulan tunda 2024 serta 20 nama yang diajukan kembali karena memenuhi syarat. Sebanyak 20 nama dimaksud pernah diusulkan pada periode 2011-20203.
    Dari 20 nama itu, ada mantan Presiden Soeharto dan mantan Presiden KH Abdurahman Wahid serta Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.
     
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ancam Gorok Leher Orang, Ulama Minta Menag Pecat Ainul Yakin

    Ancam Gorok Leher Orang, Ulama Minta Menag Pecat Ainul Yakin

    GELORA.CO – Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK) Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid mendesak kepada Menteri Agama Nasaruddin Umar untuk segera memecat Muhammad Ainul Yakin sebagai Staf Ahli Menteri Agama.

    “Saya kira atas nama moralitas dan tanggung jawab serta stabilitas nasional, Prof Nasaruddin patut mencopot yang bersangkutan,” kata Habib Syakur kepada Holopis.com, Sabtu (25/10/2025).

    Menurutnya, apa pun dalih yang dijadikan alasan di balik pengucapan konten Banser Gorok pegawai Trans 7 dalam aksi yang dilakukan GP Ansor DKI Jakarta di menara Trans Corp beberapa waktu lalu sangat tak bisa dibenarkan.

    “Apapun alasannya sangat tidak bisa dibenarkan, kita jangan menormalisasi ucapan-ucapan teror semacam itu,” ujarnya.

    Dalam dunia tradisi pesantren, para santri selalu diajarkan berucap yang baik dan bermanfaat. Ketika seorang yang mengklaim sebagai santri dan kader Nahdliyyin, mana seseorang harus bisa menjaga perbuatan dan lisannya bukan sekadar menjaga diri, tapi menjaga marwah kelompok dan organisasi.

    “Terkadang rusaknya wajah santri dan NU tidak selalu diakibatkan oleh pihak luar, tak jarang justru disebarkan oleh kelakuan orang yang mengaku santri dan kader NU,” pungkasnya.

    Sebelumnya diberitakan bahwa Ketua PW GP Ansor DKI Jakarta Muhammad Ainul Yakin memimpin demonstrasi di gedung Trans TV buntut konten program Xpose Unsensored.

    Dalam materi orasinya, Ainul Yakin menyampaikan refleksi bahwa Republik Indonesia berdiri karena adanya peran Banser dan Ansor Nahdlatul Ulama (NU) di dalamnya. Bahkan banyak kader mereka yang gugur dalam upaya menjaga NKRI.

    “Saudara-saudara Trans TV yang masih muda-muda, kalian ingat saja sejarah. Sudah ribuan anak Ansor dan Banser tewas memperjuangkan republik ini. Kalian ada karena adanya Nahdlatul Ulama,” kata Ainul Yakin dalam orasinya pada hari Kamis, 16 Oktober 2025.

    Namun orasi lanjutannya adalah ancaman kepada karyawan Trans 7, agar jangan sampai ada kader Banser dan Ansor NU yang memilih untuk menggorok leher mereka karena kemarahan mereka setelah kiai dan ulama NU dihinakan.

    “Jangan sampai kader-kader Banser menggorok leher kalian seperti anak Banser menggorok PKI,” ucapnya sembari disambut setuju oleh peserta aksi.

    “Halal darah kalian apabila kalian mengolok-olok ulama nahdlatul ulama,” sambungnya.

  • Denny Siregar: Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi Adalah Isu Terbodoh

    Denny Siregar: Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi Adalah Isu Terbodoh

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan lama aktivis media sosial, Denny Siregar terkait tuduhan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat di media sosial.

    Kala itu Denny Siregar mempertanyakan asal-usul isu tersebut dan menyebutnya sebagai salah satu tuduhan paling tidak masuk akal yang pernah beredar di ruang publik

    “Dari mana sih asalnya isu ijazah palsu? Mungkin ini salah satu isu terbodoh yang saya temui selama main di media sosial,” ujar Denny dikutip pada Jumat (24/10/2025).

    Ia menilai bahwa tuduhan tersebut sama tidak masuk akalnya dengan isu lain yang pernah menyerang Jokowi, seperti soal kancing jas, dialek bahasa Inggris, hingga tuduhan terhadap latar belakang keluarga.

    “Isu ijazah palsu sama bodohnya dengan isu kancing jas Jokowi, dialek Inggris Jokowi, dan orangtua Jokowi itu PKI,” katanya.

    Kata Denny, isu-isu semacam itu kerap dimunculkan setiap tahun sejak Jokowi menjabat sebagai presiden.

    Ia menyebut bahwa pihak oposisi seharusnya dapat menyampaikan kritik yang lebih cerdas dan membangun.

    “Seakan-akan nggak ada lagi isu cerdas dari kelompok oposisi yang bisa mencerdaskan kita semua dalam membela pemerintahan ini,” ucapnya.

    Denny juga menjelaskan bahwa tuduhan mengenai ijazah palsu sebenarnya mudah dibantah karena sistem administrasi dan hukum Indonesia sudah memiliki mekanisme yang ketat.

    “Kalau ijazah Jokowi itu palsu, sejak awal dia mendaftar walikota sudah pasti pendaftarannya tertolak. Bahkan bukan saja ditolak panitia pendaftaran, tapi sudah pasti kena masalah hukum,” tegasnya.

  • Kelas Pemberontakan Kaum Buruh dengan Semaun Sang Pengajar

    Kelas Pemberontakan Kaum Buruh dengan Semaun Sang Pengajar

    JAKARTA – Namanya mungkin sering diabaikan oleh beberapa orang karena ideologi yang dia anut. Tapi, perannya dalam kemerdekaan, terutama bagi kaum buruh, tak bisa diremehkan. Ia adalah Semaun, tokoh revolusioner kelahiran Mojokerto pada 1899. Lahir dari keluarga dengan perekonomian pas-pasan membuat Semaun hanya dapat mengeyam pendidikan di Tweede Klas, sekolah untuk pribumi.

    Sejak kecil, Semaun dikenal anak yang cerdas. Berbekal ijazah sekolah dasar itu, Semaun diterima berkerja di Staats Spoor Maatschapi (Perusahaan Kereta Api Negara) pada usia 13 tahun. Walaupun disibukkan dengan pekerjaan, keinginan belajarnya tak pernah padam. Setiap sore hari ia menyempatkan diri untuk belajar bahasa Belanda di Hollandsch Inlandsce School (HIS).

    Dengan kedudukan dirinya sebagai pegawai kereta api, sebenarnya saat itu dirinya sudah cukup mapan dan terjamin kehidupannya. Tapi, karena semakin banyak penderitaan rakyat yang ia lihat kala itu, Semaun tergerak untuk melakukan gerakan pembebasan. Semaun pun melepas pekerjaannya dari perusahaan kereta api untuk ikut dalam gerakan nasional.

    Semaun masuk ke organisasi Sarekat Islam (SI) pada usia yang masih belia, 15 tahun. Di SI, Semaun menduduki posisi Sekertaris Sarekat Islam cabang Surabaya. Masuknya Semaun dalam gerakan SI mempertemukan dirinya dengan Henk Sneevliet. Menurut Soewarsono, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pertemuan Semaun dengan Sneevliet terjadi di Surabaya tahun 1915.

    Pertemuan dengan Sneevliet mendorongnya memasuki VSTP dan ISDV. “Suatu pertemuan yang melahirkan rasa kagumnya terhadap ketulusan dan sikap manusiawi Sneevliet. Dan karena itu, (Semaun) menerima tawaran Sneevliet agar Semaun memasuki VSTP dan ISDV afdeeling Surabaya,” tulis Soewarsono dalam Berbareng Bergerak, Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaun.

    Semaun juga tertarik karena menurutnya VSTP dan ISDV bersimpati pada perjuangan Bangsa Indonesia melawan penjajahan. Dalam kongres yang kemudian diadakan, Semaun terpilih sebagai Wakil Ketua VSTP dan ISDV. Sejak itu lah dirinya memilih fokus dalam organisasi tersebut dan melepaskan kariernya sebagai pegawai kereta api, lalu pindah ke Semarang. 

    Kepiawaian Semaun dalam berorganisasi juga terlihat di SI. Dalam Kongres SI Semarang tahun 1917, ia terpilih menjadi ketua SI Semarang. Usianya saat itu 18 tahun. Di bawah pimpinannya, SI Semarang berkembang pesat. Anggota SI bertambah hingga puluhan ribu orang, dari semula 1.700 anggota pada 1916 menjadi 20.000 orang pada 1917. SI juga tersebar sampai ke desa-desa.

    Pada 1918, SI cabang Semarang memutuskan rapat terbuka di lapangan dekat Stasiun Tawang. Tujuannya agar putusan tersebut dapat didengar masyarakat luas. Para anggota SI pun pergi menuju lapangan luas untuk memperluas jaringan mereka. Sebagai pembeda, anggota SI diwajibkan memakai Caping yang biasa digunakan para petani.

    Diluar dugaan. Aksi tersebut berubah menjadi demonstrasi yang unik. Aksi tersebut diikuti pula oleh masyarakat umum yang awalnya hanya sebagai penonton. Lalu lintas hampir lumpuh akibat aksi tersebut, sehingga membuat repot polisi-polisi kolonial di Semarang. Teriakan semangat juga digelorakan sepanjang aksi. Para demonstran meneriakkan ragam semboyan seperti “Hidup SI”, “Hidup Sosial Demokrat”, “Hidup Semaun.”

    Semaun yang semakin “kiri”

    Peristiwa tersebut semakin mempopulerkan nama Semaun di kalangan rakyat. Pada tahun 1919, saat menginjak usia 20 tahun, Semaun terpilih sebagai anggota pimpinan pusat SI merangkap Ketua cabang SI Semarang. Semaun juga aktif menulis di media massa. Bahkan, akibat tulisannya, Semaun sempat dipenjara di Yogyakarta dari Juli sampai November 1919. Di dalam penjara, ia menyibukkan diri dengan menulis novel berjudul Hikayat Kadirun dan buku berjudul Penuntun Kaum Buruh.

    Lewat Penuntun Kaum Buruh, Semaun menuangkan gagasan agar buruh bergerak dengan menceritakan kondisi Hindia Belanda kala belum ada ketimpangan, “Ketika di Indonesia belum ada sepur atau trem (kereta api), maka keadaan negeri ini sunyi, sepi, tentram, dan damai. Begitu juga penduduknya (rakyatnya) yang hidup, berpikir, berbudi, serta bekerja dengan sabar dan damai. Hampir semua rakyat Indonesia mempunyai sebidang tanah yang memberikan peng­hasilan dan penghidupan baginya.” tulis Semaun dalam bukunya.

    Keluar dari kurungan penjara, Semaun kembali ke Semarang. Sikapnya pada pemerintah Hindia Belanda makin radikal. Semaun benar-benar menerapkan ajaran Sneevliet. Ia berkembang jadi propagandis sosialisme yang keras. Sisi itu juga membawa perubahan pada SI yang semula lunak pada Hindia Belanda. Corak kiri, lama kelamaan makin kentara dalam SI. Kuatnya pengaruh Semaun membuat pimpinan SI lainnya kepayahan mengimbangi sikap kiri organisasi.

    Bahkan, orang-orang kaya raya seperti Niti Semito, raja rokok kretek dari Kudus atau Haji Busro dari Semarang ikut mendukung SI ala Semaun. Banyak aksi-aksi mogok buruh yang didukung pengusaha lokal tersebut. H.O.S Tjokroaminoto merespons pergerakan Semaun dengan menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme. Buku itu menjelaskan bahwa sosialisme ada dalam ajaran Islam.

    Kekhawatiran pun muncul. Pimpinan SI pusat yang menginginkan azas Islam dalam SI mulai melihat Semaun sebagai bahaya. SI ala Semaun dianggap melenceng karena terlalu kiri. Kekhawatiran itu semakin meruncing saat Semaun mendirikan Perserikatan Komunis Hindia (PKH) pada 23 Mei 1920, ketika pimpinan SI, H.O.S Tjokroaminoto dihadapkan dengan tuduhan korupsi –walaupun kemudian tak terbukti.

    Saat itu, pemimpin Central Sarekat Islam yaitu Agus Salim dan Soerjopranoto berusaha mendepak kaum komunis yang dinilai tidak sesuai dengan nilai keislaman. SI cabang Semarang di bawah pimpinan Semaun menjadi sasaran penertiban ini. Dikutip dari laman Historia, pertemuan pimpinan CSI digelar di Yogyakarta pada 30 September 1920 tanpa dihadiri ketua SI, H.O.S Tjokroaminoto yang harus menghadiri persidangan. Semaun pun tak hadir karena menghadiri Kongres Komunis Internasional di Moskow, Rusia.

    Selain membersihkan anasir Komunis di tubuh SI, rapat itu juga menghasilkan keputusan pemindahan SI pusat dari Surabaya ke Yogyakarta. Pada 24 Mei 1922, Semaun kembali dari Moskow ke Tanah Air, ia memualai kembali pergerakan di kalangan buruh. Puncak dari rangkaian aksi mogok tersebut terjadi pada Februari 1923. Aksi tersebut muncul akibat pemerintah Hindia Belanda melakukan penurunan gaji buruh. Aksi mogok para buruh kereta api yang tergabung dalam VSTP pun terjadi. Aksi mogok itu meledak di beberapa kota. 

    Tak hanya buruh kereta api. Polisi kolonial dari kalangan pribumi juga ikut melakukan aksi mogok. Dikutip dari surat kabar Kaoem Moeda edisi 2 Februari 1923 yang mengabarkan banyaknya polisi-polisi pribumi berpangkat rendah melakukan aksi mogok demi menuntut tunjangan mereka. Tindakan mogok massal diberbagai kota ini membuat pemerintah Hindia Belanda geram.

    Dalam pengasingan

    Imbasnya, pada 8 Mei 1923, Semaun ditangkap di rumahnya di Semarang. Mirisnya, penangkapan Semaun bertepatan dengan kelahiran putra keduanya, Axioma. Anak pertama Semaun diberi nama Logika Sudibyo. Setelah mengetahui Semaun tertangkap, mogok besar-besaran terjadi di seluruh pulau Jawa. Penangkapan Semaun diikuti pula dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda membuangnya ke Timor. Tapi, keputusan berubah lebih berat. Semaun harus dibuang keluar dari wilayah Hindia Belanda.

    Semaun pun diasingkan ke Amsterdam pada September 1923. Namun, pengasingan ini malah menjadi semacam kekuatan bagi kaum kiri di Tanah Air karena Semaun diangkat menjadi perwakilan partai komunis di Eropa. Beberapa tahun kemudian, Semaun pindah ke Moskow. Oleh pemerintah Uni Soviet, Semaun dipercaya menjadi Ketua Badan Pembangunan Nasional wilayah Turkmenistan. Pada masa-masa awal kemerdekaan, dari Moskow, ia ikut mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia. 

    Semaun juga memulai siaran radio berbahasa Indonesia di sana. Ia bahkan mengajar bahasa Indonesia untuk sekolah-sekolah di Soviet. Semaun juga menikah dengan seorang wanita Soviet bernama Valentina Iwanowa. Mereka dianugerahi dua orang anak. Yang pertama, laki-laki bernama Rono Semaun. Sementara, yang kedua ada;ah wanita bernama Elena Semaun.

    Setelah Indonesia merdeka, hasrat Semaun untuk pulang ke Tanah Air membuncah. Namun, rencana kepulangannya sempat terhenti karena pemerintah Soviet takut Semaun membuka berbagai informasi penting yang membahayakan keamanan intelijen Soviet. 

    “Semaun meminta bantuan Sukarno ketika berkunjung kali pertama ke Moskow pada Agustus-September 1956. Sukarno lalu meneruskan permintaannya kepada Marsekal Barsilov, pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet. Akhirnya, Semaun bisa pulang ke Indonesia pada 1957,” ditulis Bonni Triyana, sejarawan, dalam artikel Historia.

    Terus mengajar

    Sepulangnya ke Tanah Air, Semaun sempat mengajar mata kuliah ekonomi di Universitas Padjadjaran sejak 1961. Semaun juga mendapat gelar doktor honoris causa dari kampus tersebut. Di Unpad, Semaun mengajar hingga akhir hayatnya pada 7 April 1971. 

    Sepak terjang Semaun sejak era kolonialisme Belanda agak sulit dipahami dan diterima beberapa kalangan. Meski menentang keras pemerintah Hindia Belanda, pandangan negatif terhadap Semaun selalu muncul akibat label komunis yang melekat pada dirinya. 

    Dalam wacana sejarah resmi yang berkembang di Indonesia, siapapun yang anti terhadap kolonial Belanda, melawan dan memberontak terhadap Belanda, apa pun motifnya, akan dinobatkan sebagai Pahlawan. Di sini, sangat sulit untuk menjadikan tokoh Komunis di masa Hindia Belanda sebagai pahlawan karena narasi yang dibangun selama ini PKI adalah pengkhianat.

    Akan tetapi menyamaratakan apa yang dilakukan Semaun dan PKI pada masa Hindia Belanda dengan apa yang dilakukan PKI pada pasca kemerdekaan seperti 1948 dan 1965 merupakan anakronisme sejarah.