Hasto Ungkap Aspirasi Warga ke PDIP, Ingin Banjir Sumatera Jadi Bencana Nasional
Tim Redaksi
BANDUNG, KOMPAS.com
– Sekretaris Jenderal (Sekjen) P-DIP, Hasto Kristiyanto, menyampaikan partainya menerima banyak aspirasi masyarakat agar penanganan banjir di Sumatera ditingkatkan menjadi bencana nasional.
“Aspirasi yang diterima oleh PDI Perjuangan adalah mari kita bersama-sama dengan pemerintah agar mencanangkan ini menjadi
bencana nasional
,” kata Hasto usai acara Konferensi Daerah dan Konferensi Cabang
PDIP
di Bandung, Jawa Barat, Minggu (5/12/2025).
Hasto mengatakan, peningkatan status menjadi bencana nasional dapat membangun kesadaran bersama untuk memitigasi bencana susulan.
PDIP, kata dia, siap mendukung upaya pemerintah untuk bergerak cepat memitigasi bencana.
“Inilah yang kemudian kita dorong, dan tidak ada salahnya aspirasi dari masyarakat untuk mencanangkan ini sebagai bencana nasional. Kita dengarkan agar ini memberikan dukungan politik bagi pemerintah dalam melakukan langkah-langkah penanggulangan bencana secara cepat dan efektif,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah mengungkapkan alasan tidak menetapkan status banjir di sejumlah wilayah di Sumatera sebagai bencana nasional.
Menurutnya, sejauh ini penanganan yang diberikan sudah bertaraf nasional.
Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno dalam konferensi pers di Posko Terpadu TNI, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (3/12/2025).
“Penanganannya sudah nasional,” kata Pratikno, Rabu.
Ia menyebut, Presiden Prabowo Subianto sudah memerintahkan seluruh kementerian/lembaga, termasuk TNI/Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk mengerahkan sumber dayanya semaksimal mungkin dalam menangani bencana di Sumatera.
“Jadi sekali lagi, penanganannya benar-benar penanganan full kekuatan secara nasional,” beber dia.
Ia mengungkapkan, hal itu terjadi lantaran Kepala Negara menginstruksikan situasi bencana sebagai prioritas nasional.
Dana dan logistik tersedia secara penuh dengan menggunakan Dana Siap Pakai (DSP).
Prabowo menginstruksikan agar seluruh lembaga ekstra responsif dan fokus dalam penyelamatan korban, distribusi bantuan, dan pemulihan berbagai fasilitas dan layanan vital.
Di sisi lain, ia menyampaikan, pemerintah akan terus waspada dan siap siaga mengingat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali mengingatkan potensi hujan lebat, bahkan sangat lebat, hingga akhir tahun 2025.
Termasuk di wilayah banjir bandang saat ini, serta Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Papua.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
partai: PDIP
-

DPR Ingatkan Pemerintah akan Pentingnya Tata Kelola dan Pasokan Bahan Baku
JAKARTA- Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, mengingatkan pentingnya pemerintah memastikan bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar terlaksana secara efektif setelah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 115 Tahun 2025 tentang tata kelola MBG mulai diimplementasikan.
“Keberhasilan program berskala nasional ini hanya dapat dicapai bila pusat dan daerah memahami perannya masing-masing secara jelas,” ujar Edy Wuryanto kepada wartawan, Sabtu, 6 Desember.
Edy menekankan bahwa Perpres 115/2025 adalah langkah besar, tetapi sukses tidaknya program tetap bergantung pada kesiapan teknis di lapangan. “Kita harus memastikan bahwa percepatan pembangunan SPPG, pengadaan bahan baku dari koperasi, dan penetapan standar higienitas berjalan,” sambung Edy.
Edy menilai, dalam Perpres 115/2025 nampaknya ingin memberikan norma bahwa bahan baku untuk SPPG harus berasal dari Koperasi Desa, BUMDes, UMKM, atau usaha dagang lain. Tujuannya agar bisa menggerakkan perekonomian rakyat.
Edy pun setuju dengan hal ini. Ia menekankan pentingnya penguatan rantai pasok lokal untuk mendukung dapur SPPG.
“Pasokan bahan baku wajib berasal dari usaha rakyat. Rantai pasok dapur harus mengutamakan petani, peternak, dan nelayan di sekitar lokasi SPPG. Ini sejalan dengan tujuan MBG untuk mendorong pemerataan ekonomi daerah,” kata Legislator PDIP Dapil Jawa Tengah itu.
Edy menilai selama ini peningkatan kebutuhan bahan baku akibat SPPG tidak diimbangi suplai yang memadai. Karena itu, koordinasi antara pemerintah daerah dan BGN menjadi sangat krusial.
“BGN yang tahu kebutuhan SPPG, sementara pemerintah daerah tahu kapasitas supply di wilayahnya. Keduanya harus duduk bersama memetakan sumber bahan baku dan menghubungkannya langsung dengan SPPG,” katanya.
Menurut Edy, solusi paling strategis adalah mendorong MoU antara SPPG dan kelompok tani, peternak, nelayan, serta supplier lokal yang difasilitasi pemerintah daerah. “Tanpa peran pemerintah daerah, mustahil BGN bisa mengatur supply secara optimal,” pungkasnya.
Diketahui, Pada Rabu, 3 Desember lalu, pemerintah menggelar rapat koordinasi perdana sebagai penanda dimulainya implementasi Perpres 115/2025.
Menko Pangan Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa perpres tersebut mempertegas berbagai aspek tata kelola, termasuk kewajiban penggunaan bahan baku dari koperasi sebagai bagian dari integrasi rantai pasok.
Pemerintah juga menyiapkan 13 regulasi turunan yang mencakup percepatan Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), pemenuhan tenaga ahli gizi, hingga pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah 3T.
Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan bahwa 8.200 SPPG sedang atau akan dibangun di daerah terpencil.
-

DPR Ingatkan Pemerintah akan Pentingnya Tata Kelola dan Pasokan Bahan Baku
JAKARTA- Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, mengingatkan pentingnya pemerintah memastikan bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar terlaksana secara efektif setelah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 115 Tahun 2025 tentang tata kelola MBG mulai diimplementasikan.
“Keberhasilan program berskala nasional ini hanya dapat dicapai bila pusat dan daerah memahami perannya masing-masing secara jelas,” ujar Edy Wuryanto kepada wartawan, Sabtu, 6 Desember.
Edy menekankan bahwa Perpres 115/2025 adalah langkah besar, tetapi sukses tidaknya program tetap bergantung pada kesiapan teknis di lapangan. “Kita harus memastikan bahwa percepatan pembangunan SPPG, pengadaan bahan baku dari koperasi, dan penetapan standar higienitas berjalan,” sambung Edy.
Edy menilai, dalam Perpres 115/2025 nampaknya ingin memberikan norma bahwa bahan baku untuk SPPG harus berasal dari Koperasi Desa, BUMDes, UMKM, atau usaha dagang lain. Tujuannya agar bisa menggerakkan perekonomian rakyat.
Edy pun setuju dengan hal ini. Ia menekankan pentingnya penguatan rantai pasok lokal untuk mendukung dapur SPPG.
“Pasokan bahan baku wajib berasal dari usaha rakyat. Rantai pasok dapur harus mengutamakan petani, peternak, dan nelayan di sekitar lokasi SPPG. Ini sejalan dengan tujuan MBG untuk mendorong pemerataan ekonomi daerah,” kata Legislator PDIP Dapil Jawa Tengah itu.
Edy menilai selama ini peningkatan kebutuhan bahan baku akibat SPPG tidak diimbangi suplai yang memadai. Karena itu, koordinasi antara pemerintah daerah dan BGN menjadi sangat krusial.
“BGN yang tahu kebutuhan SPPG, sementara pemerintah daerah tahu kapasitas supply di wilayahnya. Keduanya harus duduk bersama memetakan sumber bahan baku dan menghubungkannya langsung dengan SPPG,” katanya.
Menurut Edy, solusi paling strategis adalah mendorong MoU antara SPPG dan kelompok tani, peternak, nelayan, serta supplier lokal yang difasilitasi pemerintah daerah. “Tanpa peran pemerintah daerah, mustahil BGN bisa mengatur supply secara optimal,” pungkasnya.
Diketahui, Pada Rabu, 3 Desember lalu, pemerintah menggelar rapat koordinasi perdana sebagai penanda dimulainya implementasi Perpres 115/2025.
Menko Pangan Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa perpres tersebut mempertegas berbagai aspek tata kelola, termasuk kewajiban penggunaan bahan baku dari koperasi sebagai bagian dari integrasi rantai pasok.
Pemerintah juga menyiapkan 13 regulasi turunan yang mencakup percepatan Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), pemenuhan tenaga ahli gizi, hingga pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah 3T.
Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan bahwa 8.200 SPPG sedang atau akan dibangun di daerah terpencil.
-

Harus Sesuai Kewenangan dan Kompetensi
JAKARTA- Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto menyoroti peran strategis ahli gizi dalam satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG), terutama terkait keamanan dan kualitas makanan siap saji. Ia mewanti-wanti agar ahli gizi yang dilibatkan dalam program MBG harus sesuai kewenangan dan kompetensinya.
Hal itu dikatakan Edy menanggapi dimulainya implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 115 Tahun 2025 tentang tata kelola Makan Bergizi Gratis (MBG).
Edy menyoroti lantaran Kepala BGN Dadan Hindayana saat konferensi pers terkait Perpres 115/2025 menyebutkan bahwa dapur wajib memiliki ahli gizi, tapi kedepan ahli gizi di SPPG bisa berasal dari sarjana kesehatan masyarakat, sarjana teknologi pangan, hingga sarjana keamanan pangan.
Edy mengingatkan bahwa ahli gizi adalah profesi kesehatan. Di mana pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap profesi kesehatan harus bekerja sesuai kewenangan dan kompetensinya.
“Ahli gizi adalah satu-satunya tenaga kesehatan dengan kompetensi penuh dalam penyelenggaraan makanan bergizi. Mereka punya STR dari konsil dan izin praktik dari pemerintah. Karena itu, yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan kesehatan makanan di SPPG adalah ahli gizi,” ujar Edy Wuryanto kepada wartawan, Sabtu, 6 Desember.
Karena jumlah ahli gizi masih terbatas di banyak daerah, Edy membuka ruang penggunaan tenaga ahli kesehatan masyarakat. Namun, anggota komisi kesehatan DPR itu menegaskan bahwa peran tersebut hanya dapat dilakukan sebagai delegasi, bukan penanggung jawab.
“Kalau SPPG diisi ahli kesehatan masyarakat, mereka bekerja menjalankan delegasi kewenangan dari ahli gizi. Tanggung jawab profesional tetap melekat pada ahli gizi. Karena itu harus ada penunjukan ahli gizi sebagai supervisor atau penanggung jawab,” katanya.
Legislator PDIP dari Dapil Jawa Tengah III itu pun memberi analogi seperti praktik di puskesmas ketika jumlah dokter kurang, tindakan dapat dilakukan oleh bidan atau perawat, tetapi tetap dalam delegasi dokter yang ditunjuk.
Dengan adanya norma baru dalam menjalankan MBG, Edy berharap bahwa program ini dapat menjadi pedoman bagi penyelenggara.
“Program raksasa ini harus ditopang oleh banyak pihak. Tujuannya agar program yang memakan cukup besar anggaran pemerintah ini dapat dirasakan masyarakat dengan lebih baik,” pungkas Edy.
/data/photo/2025/12/07/69352d80ca5c0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



/data/photo/2025/12/07/693525375e576.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
