partai: PDIP

  • KPK Hadirkan 3 Saksi di Sidang Sekjen PDIP Hasto Hari Ini

    KPK Hadirkan 3 Saksi di Sidang Sekjen PDIP Hasto Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa penuntut umum (JPU) bakal menghadirkan 3 saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

    Tim Hukum Hasto, Ronny Talapessy mengatakan tiga saksi itu yakni Sopir Kader PDIP Saeful Bahri, Ilham Yulianto dan Patrick Gerrard Masoko dari swasta.

    Selain itu, Ajudan Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Rahmat Setiawan juga turut dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kali ini.

    “Saksi Jumat, 25 April 2025, Ilham Yulianto, Rahmat Setiawan Tonidaya , Patrick Gerard,” ujar Ronny kepada wartawan, Jumat (25/4/2025).

    Dia menambahkan, pihaknya telah membaca berita acara pemeriksaan (BAP) terkait dengan pemeriksaan ketiganya. Namun, Ronny mengklaim bahwa dalam BAP itu tidak ada kebaruan.

    “Saya telah membaca BAP mereka dan tidak ada yg baru. Hanya copy paste dari 2020 dan tidak ada keterkaitan sama sekali dengan Sekjen Hasto Kristiyanto,” pungkasnya.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, nampak sejumlah kepolisian menjaga ketat gedung PN Tipikor Jakarta Pusat. Sejumlah kendaraan rantis hingga pagar besi telah disiapkan aparat keamanan.

    Di samping itu, relawan dari Sekjen PDIP Hasto juga terlihat berdatangan. Selain di luar, relawan PDIP juga terlihat menjadi audiens di ruang sidang.

    Adapun, Hasto sendiri tiba sekitar 09.10 WIB. Dia terlihat mengenakan jas hitam dan kemeja berkelir putih saat dihadirkan sebagai terdakwa dalam perkara suap dan perintangan kasus penetapan anggota DPR RI 2019-2024.

  • Misteri ‘Perintah Ibu’ di Kasus Harun Masiku, Kubu Hasto Bantah Terkait Megawati

    Misteri ‘Perintah Ibu’ di Kasus Harun Masiku, Kubu Hasto Bantah Terkait Megawati

    Bisnis.com, JAKARTA — Persidangan kasus Sekretaris Jenderal alias Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengungkap tentang ‘perintah ibu’ dalam perkara suap pergantian antar waktu yang melibatkan Harun Masiku.

    Harun Masiku adalah politkus PDIP yang keberadaannya hilang bak ditelan rimba. Saat ini dia berstatus sebagai buronan paling dicari oleh penyidik KPK.

    Adapun pernyataan tentang ‘perintah ibu’ terbongkar saat kesaksian mantan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina.

    Saat itu, jaksa KPK memutarkan rekaman percakapan Tio dengan mantan kader PDI Perjuangan sekaligus mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri. 

    Saeful, dalam rekaman itu, menyebutkan bahwa permohonan PAW digaransi oleh Hasto usai mendapat perintah dari “ibu”. Namun tidak disebutkan siapa “ibu” yang dimaksud. Hasto juga menyampaikan hal tersebut kepada Saeful melalui sambungan telepon sebelum Saeful menelepon Tio.

    Setelah itu dalam pembicaraan, Saeful pun bertanya kepada Tio bagaimana caranya agar permohonan itu bisa terwujud. Tio pun membenarkan rekaman percakapan melalui sambungan telepon itu.

    Merujuk ke Megawati?

    Sementara itu, penasihat hukum Hasto, Ronny Talapessy membantah jika pernyataan “perintah ibu” yang mencuat dalam persidangan merujuk ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
    “Bukan Bu Mega,” ujar Ronny dilansir dari Antara.

    Ronny menuding Saeful memang kerap membawa-bawa dan menggunakan nama pimpinan Partai, termasuk salah satunya Hasto, agar cepat mendapatkan uang. Hal itu, kata dia, sudah terbukti lantaran Tio juga menyampaikan fakta yang sama.

    “Jadi jangan lah kita framing-framing bahwa seolah-olah ini sudah terkait dengan pimpinan-pimpinan PDIP dan merupakan perintah dari partai,” ungkapnya.

    Kasus Hasto PDIP 

    Dalam kasus dugaan perintangan penyidikan Harun Masiku dan pemberian suap, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi, yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka, pada rentang waktu 2019–2024.

    Sekjen DPP PDIP itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota KPU periode 2017–2022 Wahyu Setiawan.

    Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.

    Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019–2020.

    Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan penggantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih asal Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama anggota DPR periode 2019–2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Sidang Hasto Kristiyanto, Hakim Dalami Sumber Dana PDIP

    Sidang Hasto Kristiyanto, Hakim Dalami Sumber Dana PDIP

    GELORA.CO –  Sumber dana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) jadi materi yang didalami Hakim dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto.

    Pendalaman ini dilakukan Hakim Anggota 2, Sigit Herman Binaji, kepada Donny Tri Istiqomah selaku tim hukum di DPP PDIP saat diperiksa saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis malam, 24 April 2025.

    Awalnya, Hakim Sigit mendalami pengetahuan Donny terkait sumber dana partai politik (parpol).

    “Sumber dana partai sudah diatur di UU Partai Politik, Pak. Ada tiga poin yang paling penting, sumbangan tidak mengikat, kemudian iuran anggota, terus yang ketiga lupa saya, ada tiga yang jelas,” papar Donny.

    Mendengar jawaban itu, Hakim Sigit selanjutnya mendalami soal sumber dana PDIP, sebagai tempat bernaungnya saksi Donny bersama terdakwa Hasto.

    “Kalau dari PDIP sendiri tempat saudara bernaung itu sumber-sumbernya dapat dari mana?” tanya Hakim Sigit.

    “Yang paham Bendahara Pak, tentang keuangannya Bendahara yang tahu,” jawab Donny.

    Tak puas mendengar jawaban itu, Hakim Sigit masih terus menanyakan hal yang sama kepada saksi Donny.

    “Saudara kan lama di situ, sedangkan partai itu kan sering lobi-lobi,” ucap Hakim Sigit.

    “Tapi tidak pernah ada uang Pak, karena di PDIP itu kalau sudah jadi kader, kalau diperintah siap gerak Pak kayak robot langsung jalan. Karena garisnya garis ideologi Pak, perintahnya perintah ideologi, jadi untuk bangsa itu intinya, demi bangsa kami jalan,” jawab Donny menutup.

  • Mengenal Daerah Istimewa Surakarta, Sejarah hingga Alasan Pembubarannya

    Mengenal Daerah Istimewa Surakarta, Sejarah hingga Alasan Pembubarannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Wacana tentang pembentukan kembali wilayah Daerah Istimewa Surakarta atau DIS kembali muncul. Ide ini muncul di tengah informasi mengenai pemekaran sejumlah wilayah di Indonesia.

    Daerah Istimewa Surakarta adalah wilayah bekas swapraja eks Karesidenan Surakarta. Dulu sebelum dibubarkan pada tahun 1946, wilayahnya meliputi Kota Surakarta atau Solo, Kabupaten Boyolali, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, dan Klaten. 

    Wilayah DIS dikendalikan oleh dua kekuatan tradisional yakni Pakubuwana yang bertahta di Kasunanan Hadiningrat dan Mangkunegara yang menguasai wilayah Mangkunegaran. 

    Adapun, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima mempertanyakan relevansi apa yang bisa menjadikan kota di Jawa Tengah itu sebagai daerah istimewa untuk saat ini.

    “Solo ini sudah menjadi kota dagang, sudah menjadi kota pendidikan, kota industri. Tidak ada lagi yang perlu diistimewakan,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).

    Menurut legislator PDI Perjuangan (PDIP) ini, baik Solo dan Papua adalah daerah yang tidak perlu diistimewakan. Bahkan, dia menyebut pihaknya tidak tertarik membahas hal ini karena bukan isu yang mendesak.

    “Solo dengan Papua ya sama lah. Saya tidak terlalu tertarik atau Komisi II tidak terlalu tertarik untuk membahas daerah istimewa ini, menjadi sesuatu hal yang penting dan urgent,” urainya.

    Di lain sisi, Aria berharap moratorium untuk proses pemekaran wilayah bisa segera dicabut, sehingga bisa ada pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) asalkan pengusulannya harus lebih ketat.

    Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia memandang harus ada latar belakang yang tepat untuk mengangkat status daerah menjadi istimewa dan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

    Dia khawatir akan ada kerumitan bila satu daerah meminta diberikan status istimewa, daerah lain pun akan meminta hal yang sama, terlebih bila berkaitan dengan pembagian dana bagi hasil.

    “Saya kan nggak tahu tuh [ada nilai historis dari Solo]. Makanya kita lihat dulu alasannya apa pengajuan itu. Kalau misalnya alasannya sejarah nanti banyak lagi [yang ikut ingin diistimewakan], di Pontianak itu dulu pernah ada Sultan yang mempunyai gagasan pertama kali tentang burung Garuda. Bisa jadi nanti orang sana minta istimewa juga gitu kan,” urainya.

    Alasan DIS Dibubarkan

    Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, nasib Solo atau Surakarta memang berbanding terbalik dengan Yogyakarta. Yogyakarta tampil secara aktif selama revolusi kemerdekaan. Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahkan menjadi tokoh yang cukup penting selama masa tersebut. 

    Dia menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Posisi yang kemudian membuatnya menjadi sasaran ‘pembunuhan’ oleh Westerling. Sultan juga merelakan Yogyakarta menjadi ‘pengganti’ ibu kota saat Jakarta atau Batavia kembali dikuasai Belanda.

    Sementara Solo pasca proklamasi, sering dilanda konflik mulai dari konflik suksesi, revolusi sosial, gerakan anti-swapraja, hingga benturan antar ideologi, kiri dan kanan pada 1948, yang berlangsung cukup keras selama revolusi kemerdekaan berlangsung.

    Penulis biografi Tan Malaka, Harry A Poeze, dalam Madiun 1948: PKI Bergerak menyebut bahwa saking tidak stabilnya, Solo disebut oleh banyak pihak, termasuk Jenderal AH Nasution sebagai ‘Wild West’ wilayah tidak bertuan alias liar. Solo menjadi medan pertempuran. Orang bebas menenteng senjata. Bentrokan dan desingan peluru terjadi saban waktu.

    “Kubu kiri [FDR] menganggap sangat penting mempertahankan Solo. Karenanya kota ini akan dibuah menjadi sebuah Wild West,” tulis Poeze.

    Rentetan peristiwa dan aksi kekerasan tersebut membuat tentu membuat kondisi Solo semakin tidak stabil. Pengaruh Kraton dan sisa-sisa kekuasaan feodal di Surakarta terus meredup. Bekas wilayah kekuasaan yang menjadi penopang utama perekonomian Kraton lenyap. 

    Padahal Solo dan Yogyakarta pernah memiliki status yang sama sebagai Daerah Istimewa. Penetapan status dilakukan langsung oleh Presiden Soekarno. Namun usia Daerah Istimewa Surakarta (DIS) hanya seumur jagung. Pada tahun 1946, DIS dibubarkan karena konflik dan menguatnya gerakan anti-swapraja.

    Gerakan ini dipelopori oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung revolusi sosial dan anti terhadap sisa-sisa kekuasaan feodal. Kelompok yang paling terkenal dalam gerakan ini adalah Barisan Banteng dengan tokohnya dr Moewardi.

    Selain Barisan Banteng, Solo atau Surakarta juga menjadi pusat gerakan Persatuan Perjuangan (PP). Salah satu tokoh gerakan itu adalah Tan Malaka. Kelompok ini mengambil jalan oposisi dan menolak praktik kompromistis pemerintahan Sukarno. Salah satu semboyan PP yang terkenal adalah ‘Merdeka 100 Persen!”

    Selama gerakan anti-swapraja berkecamuk, para elite Kraton menjadi sasaran kelompok Anti-swapraja. Gerakan ini menculik dan membunuh Patih Sosrodiningrat. Kepatihan dibakar dan hancur lebur. Raja Kasunanan yang masih muda, Pakubuwono XII juga tak luput menjadi sasaran penculikan.

    Ada banyak pendapat tentang alasan penculikan tersebut. Campur tangan para pangeran atau elite kraton yang tersisih selama proses suksesi dari Pakubuwono XI ke Pakubuwono XII dianggap berperan cukup penting dalam gegeran di Solo pada waktu itu.

    Sementara itu, salah satu publikasi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yang menukil buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia karya Jenderal Abdul Haris Nasution memaparkan kisruh di Solo terjadi karena raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati republik saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949. 

    Pada waktu itu, pihak TNI bahkan telah menyiapkan Kolonel Djatikoesoemo (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol Suryo Sularso diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun rupanya waktu itu, rakyat dan tentara justru ingin menghapus kekuasaan monarki sama sekali.

    Akhirnya Mayor Akhmadi, penguasa militer kota Surakarta, diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Dia meminta para raja secara tegas memihak republik. “Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non-Koperasi,” demikian dikutip dari publikasi itu.

    Karena kondisi yang tidak kondusif, pemerintah pusat kemudian mengambil inisiatif untuk membubarkan DIS. Statusnya menjadi daerah biasa. Pada 1950, bekas daerah tersebut kemudian masuk wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah.

    Sejak saat itu jalan sejarah penerus wangsa Mataram Islam itu berubah. Peran Kasunanan sebagai pusat politik dan kebudayaan Jawa yang cukup berpengaruh, terutama saat kepemimpinan Pakubuwono X, menjadi sebatas simbol budaya itupun semakin meredup karena konflik keluarga yang nyaris tidak berkesudahan.

    Setelah Bubar

    Setelah era DIS bubar, Surakarta mulai dipimpin oleh pemimpin-pemimpin berlatar belakang politisi dan militer, tidak lagi harus ningrat. Pada tahun Mei – Juli 1946, misalnya, Wali Kota Solo dijabat oleh RT Sindoeredjo. Sindoeredjo kemudian digantikan oleh politikus PNI, Iskak Tjokroadisurjo. Iskak hanya memimpin Solo selama 4 bulan yakni dari bulan Juli – November 1946.

    Setelah kemelut perang kemerdekaan dan berbagai macam huru hara politik, Solo kemudian dipimpin oleh politikus Masyumi, Sjamsoeridjal. Dia memimpin Solo selama hampir 3 tahun yakni dari 1946-1949. Namun demikian, seiring dengan memanasnya tensi politik terutama pasca peristiwa Madiun 1948, Sjamsoeridjal kemudian digantikan oleh wali kota yang berlatar belakang militer. 

    Wali kota militer pertama adalah  Soedjatmo Soemperdojo (Januari 1949 – Juli 1949), Soeharto Soerjopranoto, hingga Muhammad Saleh Wedisatro. Saleh Werdisastro adalah salah satu pejuang perintis kemerdekaan asal Sumenep, Madura. Dia memimpin Solo pada tahun 1951-1955.

    Setelah Saleh, Wali Kota Solo dipegang oleh Oetomo Ramlan. Sosok Oetomo penuh kontroversi. Dia adalah politikus PKI. Oetomo barangkali menjadi salah satu Wali Kota Solo yang dipilih melalui proses pemilihan umum atau pemilu, meskipun tidak langsung. 

    Sekadar catatan, pada tahun 1957-1958, setelah sukses menggelar pemilihan umum pertama pada tahun 1955, pemerintah menggelar Pemilihan Legislatif Daerah untuk memilih anggota DPRD tingkat 1 maupun DPRD tingkat 2. PKI menjadi partai yang memenangkan Pemilu Legislatif Daerah di Kota Surakarta dan setelah proses pemilihan di DPRD, Oetomo Ramlan terpilih sebagai Wali Kota Surakarta.

    Salah satu kebijakan Oetomo Ramlan, mengutip Solopos, adalah membangun Lokalisasi Silir, yang  pada tahun 1998 diubah menjadi Pasar Klitikan. Posisinya sebagai politikus PKI dan aktivis Lekra kemudian membuatnya menjadi korban pembersihan oleh pemerintaha militer yang berkuasa pasca G30S 1965. Oetomo Ramlan, meninggal tahun 1967. Dia divonis mati oleh Mahmilub karena dugaan keterlibatannya dalam G30S 1965.

    Setelah Oetomo Ramlan dan pembubaran PKI, Solo dimpimpin oleh Wali Kota berlatar militer dan sipil. Setelah Soeharto tumbang, jabatan Wali Kota Solo dipegang oleh PDIP, mulai dari Joko Widodo (Jokowi), FX Hadi Rudyatmo, Gibran Rakabuming Raka, Teguh Prakosa, hingga Respati Ardi.

  • Kuasa Hukum Hasto Sebut Uang Suap PAW DPR RI Bersumber dari Harun Masiku – Halaman all

    Kuasa Hukum Hasto Sebut Uang Suap PAW DPR RI Bersumber dari Harun Masiku – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kuasa hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, menyatakan bahwa uang suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) DPR RI 2019-2024 bersumber dari Harun Masiku.

    Febri meyakini dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal dugaan suap terhadap kliennya itu tidak terbukti.

    Pasalnya, menurut dia, apa yang menjadi dakwaan Jaksa tidak berkesesuaian dengan keterangan saksi yang telah dihadirkan dalam sidang sebelumnya.

    “Jadi tadi ada satu poin penting yang ada di dakwaan penuntut umum yang tidak terbukti,” kata Febri kepada wartawan di sela-sela persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/4/2025).

    Febri menuturkan, sebelumnya pada dakwaan, jaksa menyebut Hasto diduga menyuap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan Rp600 juta yang diberikan dalam dua tahap.

    Akan tetapi, Wahyu dalam keterangannya pada sidang pekan lalu dan eks anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina sebagai perantara pemberi suap dalam sidang hari ini menyatakan, penyetoran uang suap itu hanya satu kali yakni 17 Desember 2019.

    Tak hanya itu, kata Febri, dari suap Rp 600 juta yang dijanjikan tersebut diketahui baru Rp200 juta yang diserahkan Tio dan kader PDIP Saeful Bahri kepada Wahyu.

    Atas hal ini, Febri pun berkesimpulan bahwasanya sumber uang suap yang selama ini dituduhkan terhadap kliennya itu justru diduga kuat berasal dari Harun Masiku yang kini berstatus buronan KPK.

    “Uangnya dari mana? Uangnya dari Harun Masiku. Itu yang tadi clear terbukti dan berkesesuaian dengan sidang sebelumnya. Jadi, kalau bisa disebut bagian penting dari dakwaan KPK tadi, itu gugur,” katanya.

    Hasto didakwa

    Hasto Kristiyanto telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan PAW Harun Masiku.

    Hal itu diungkapkan JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (14/3/2025).

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu,” kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.

    Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaanya, yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku, memberikan uang sejumlah 57.350 ribu dolar Singapura (SGD) kepada mantan anggota KPU Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatra Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    “Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” ucap Jaksa.

    Jaksa mengatakan peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

    Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

    Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.

    Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

    Setelah itu, Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

    “Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa,” ujar Jaksa.

    Selang satu bulan, yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

    Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

    Kemudian, DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

    “Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.

    Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

    Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut. Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp600 juta.

    Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

  • PAW Harun Masiku Dijamin ‘Perintah Ibu’ dan ‘Garansi Saya’, Terungkap di Sidang Hasto

    PAW Harun Masiku Dijamin ‘Perintah Ibu’ dan ‘Garansi Saya’, Terungkap di Sidang Hasto

    PIKIRAN RAKYAT – Dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutar rekaman percakapan telepon yang mengungkap peran Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

    Sidang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025. Jaksa menghadirkan mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina, sebagai saksi.

    Jaksa lalu memutar rekaman percakapan antara Agustiani dan mantan kader PDIP, Saeful Bahri.

    Dalam rekaman itu, Saeful menyampaikan bahwa Hasto sempat menjamin proses PAW untuk Harun Masiku dan menyebut ada “perintah dari ibu”.

    “Tadi Mas Hasto telepon lagi bilang ke Wahyu ini garansi saya, ini perintah dari ibu dan garansi saya. Jadi bagaimana caranya supaya ini terjadi,” kata Saeful dalam rekaman.

    Saeful juga mengatakan bahwa Hasto ingin agar mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan bertemu terlebih dulu dengan pengacara PDIP Donny Tri Istiqomah sebelum rapat pleno KPU.

    “Sebelum pleno itu ketemu Donny dulu biar dipaparin hukumnya. Terus kemudian yang kedua mbak Tio udah ketemu belum sama tim hukumnya,” ujar Saeful lagi dalam rekaman serupa, yang diputar di persidangan.

    Halangi Penyidikan dan Terlibat Suap Rp600 Juta?

    KPK mendakwa Hasto Kristiyanto ikut membantu pelarian Harun Masiku saat operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan pada 8 Januari 2020.

    Jaksa menyebut Hasto menyuruh Harun merendam ponselnya dan bersembunyi di kantor DPP PDIP agar tidak terlacak KPK.

    Tindakan itu dinilai jaksa sebagai bentuk merintangi penyidikan, karena Harun hingga kini masih buron.

    Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap sebesar Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan agar Harun Masiku bisa ditetapkan sebagai anggota DPR periode 2019–2024 melalui proses PAW.

    Uang suap itu diberikan bersama-sama dengan beberapa orang dekat Hasto, yaitu Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.

    Dari nama-nama tersebut, Donny kini telah ditetapkan sebagai tersangka, Saeful sudah divonis bersalah, dan Harun masih buron hingga saat ini. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Rapat Paripurna DPRD Boyolali,setujui tiga ranperda jadi perda 

    Rapat Paripurna DPRD Boyolali,setujui tiga ranperda jadi perda 

    Sumber foto: Sarwoto/elshinta.com.

    Rapat Paripurna DPRD Boyolali,setujui tiga ranperda jadi perda 
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 24 April 2025 – 23:11 WIB

     Elshinta.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten  Boyolali Jawatengah, gelar rapat paripurna  penyampaian pendapat akhir fraksi dan pendapat akhir Bupati Boyolali terhadap tiga Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda).

    Agenda tersebut  digelar di Ruang Rapat Paripurna DPRD setempat, pada Kamis (24/04/2025). rapat dipimpin Ketua DPRD Kabupaten Boyolali, Susetya Kusuma Dwi Hartanta didampingi Wakil Ketua DPRD, Fuadi dan Aziz Aminudin dan dihadiri secara langsung oleh Wakil Bupati (Wabup) Boyolali, Dwi Fajar Nirwana.

    Ketiga ranperda tersebut yakni Ranperda tentang Pemberdayaan Masyarakat Desa,  Pengelolaan Sumber Daya Air, dan Ranperda tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Lanjut Usia.

    Empat fraksi yang berada di DPRD yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), dan Fraksi Kebangkitan Indonesia Raya menyampaikan pendapat masing masing Fraksi.

    Wakil Bupati Dwi Fajar Nirwana dalam sambutannya menyampaikan, berharap ketiga Ranperda dapat disetujui.

    “Dapat diajukan untuk mendapatkan persetujuan bersama antara Bupati dengan DPRD, dan diharapkan setelah ditetapkan mampu membawa kemajuan bagi pembangunan daerah di Kabupaten Boyolali,” kata Wabup Fajar,seperti dilaporkan Kontributor Elshinta Sarwoto, Kamis (24/4). 

    Selain agenda  penyampaian pandangan umum fraksi dan Penyampaian Pendapat Bupati Boyolali terhadap tiga Ranperda, ada pula agenda penyerahan dua Ranperda Usulan Bupati Boyolali dari Bupati Boyolali kepada Ketua DPRD Kabupaten Boyolali. Kedua Ranperda tersebut yakni Ranperda tentang Penyelenggaraan Peternakan dan Perikanan serta Ranperda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali Tahun 2025-2045.

    “Guna meningkatkan serta melindungi kualitas sumber daya ternak dan ikan dalam penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal dalam segi penyelenggaraan peternakan maupun penyelenggaraan perikanan, maka Bupati Boyolali mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Peternakan dan Perikanan,” kata Wabup.

    Acara dilajutkan dengan penjelasan Ranperda Inisiatif Bapemperda tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum Daerah.

    Dalam agenda tersebut, dilakukan Penandatanganan Berita Acara Persetujuan Bersama Atas tiga Ranperda Masa Sidang III Tahun 2024, Penandatanganan Berita Acara Penyampaian Rekomendasi atas LKPJ Bupati Boyolali Tahun 2024, Penyerahan Keputusan DPRD Kabupaten Boyolali tentang Rekomendasi atas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Boyolali Tahun 2024, Penyerahan satu Ranperda Usulan DPRD Kabupaten Boyolali dari Ketua DPRD kepada Bupati dan Penyerahan dua Ranperda Usulan Bupati Boyolali dari Bupati kepada Ketua DPRD.

    Sumber : Radio Elshinta

  • Solo Diusulkan Jadi Daerah Istimewa, Legislator PDIP: Apakah Masih Relevan?

    Solo Diusulkan Jadi Daerah Istimewa, Legislator PDIP: Apakah Masih Relevan?

    PIKIRAN RAKYAT – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima mengungkapkan ada masukan jika Solo menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Dia mengatakan, salah satu alasannya karena Solo memiliki sejarah perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.

    Akan tetapi, Politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu melihat Solo sudah tidak ada relevansinya.

    “Ya, mulai ada keinginan, tapi saya melihat apakah relevansi untuk saat ini? Solo ini sudah menjadi kota dagang, sudah menjadi kota pendidikan, kota industri,” kata Aria Bima di DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 24 April 2025.

    “Tidak ada lagi yang perlu diistimewakan,” ucapnya menambahkan.

    Lebih lanjut, Aria Bima menyatakan bahwa sebetulnya Komisi II dengan dirinya sendiri tidak tertarik untuk membahas daerah istimewa ini.

    “Saya tidak terlalu tertarik atau Komisi II tidak terlalu tertarik untuk membahas daerah istimewa ini, menjadi sesuatu hal yang penting dan urgent ” ujarnya.

    Kementerian Dalam Negeri menyebut ada 6 daerah yang mengajukan status jadi daerah khusus

    “Sampai dengan bulan April 2025, izin kita mendapat banyak PR ada 42 usulan pembentukan provinsi, 252 kabupaten, 36 kota, ada 6 yang meminta daerah istimewa, juga ada 5 meminta daerah khusus,” kata Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Akmal Malik saat rapat dengan Komisi II di DPR RI, Senayan, Jakarta.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Heran Jokowi Diutus Presiden Hadiri Pemakaman Paus Fransiskus, PDIP: Kenapa Enggak Wakil Presiden?

    Heran Jokowi Diutus Presiden Hadiri Pemakaman Paus Fransiskus, PDIP: Kenapa Enggak Wakil Presiden?

    PIKIRAN RAKYAT – Politikus PDI Perjuangan (PDIP), Aria Bima mempertanyakan utusan Presiden Prabowo Subianto untuk mengirim sejumlah perwakilan guna menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan. Salah satu nama yang ditunjuk adalah Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).

    Dia heran mengapa tidak Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka yang menghadiri delegasi ini.

    “Nah Saya mempertanyakan, kenapa enggak wakil presiden yang berangkat itu lho,” ucap Aria Bima di DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis 24 April 2025.

    Namun kendati demikian Aria Bima mengatakan keputusan itu sudah diambil Prabowo, maka ia tak bisa memberikan saran. “Saya tidak dalam bicara setuju dan tidak setuju karena sudah diputuskan oleh presiden. Kalau belum tak kasih saran,” ujarnya.

    Selain Jokowi, terdapat tiga tokoh lain yang akan turut serta, yakni Wakil Menteri Keuangan Tommy Djiwandono, Ignasius Jonan, dan aktivis hak asasi manusia Natalius Pigai.

    Pemerintah berharap delegasi ini bisa menyampaikan rasa simpati dan duka cita bangsa Indonesia secara langsung kepada Vatikan dan umat Katolik global.

    “Untuk keberangkatan sedang diatur, mungkin bisa jadi akan berangkat besok hari Kamis atau selambat-lambatnya hari Jumat,” kata Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu 23 April 2025.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Wacana Solo Jadi Daerah Istimewa Mencuat, Politikus PDIP: Harus Dipertimbangkan Matang – Halaman all

    Wacana Solo Jadi Daerah Istimewa Mencuat, Politikus PDIP: Harus Dipertimbangkan Matang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  – Wacana menjadikan Kota Solo sebagai Daerah Istimewa kembali mencuat dalam rapat Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).

    Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik, mengungkapkan bahwa hingga April 2025, terdapat enam wilayah yang mengajukan permohonan status Daerah Istimewa, termasuk Kota Surakarta (Solo).

    Selain itu, Kemendagri juga menerima usulan pembentukan 42 provinsi, 252 kabupaten, dan 36 kota, serta permintaan status daerah khusus dan istimewa dari berbagai wilayah.

    “Per April 2025, ada enam wilayah yang meminta status Daerah Istimewa dan lima wilayah meminta status Daerah Khusus. Ini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus dibahas bersama DPR karena menyangkut amanat undang-undang,” ujar Akmal.

    Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP, Aria Bima, mengakui adanya dorongan dari berbagai pihak agar Solo menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Namun menurutnya, hal tersebut perlu dipertimbangkan secara matang.

    “Usulan agar Solo menjadi daerah istimewa memang ada. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai pemberian status keistimewaan justru menimbulkan rasa ketidakadilan bagi daerah lain,” jelas Aria.

    Ia menegaskan bahwa pemberian status istimewa harus memiliki dasar historis, administratif, dan kebudayaan yang kuat, tanpa menimbulkan kecemburuan antardaerah.

    “Solo memang punya rekam jejak historis, mulai dari masa perjuangan melawan penjajah hingga kekayaan budayanya. Tapi kita harus bertanya, apa relevansinya untuk saat ini? Solo sekarang adalah kota dagang, kota industri, dan kota pendidikan. Sama saja seperti Papua atau daerah lain,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Aria menyampaikan bahwa saat ini Komisi II belum melihat urgensi untuk menjadikan status istimewa sebagai prioritas pembahasan legislatif.

    “Komisi II sejauh ini tidak terlalu tertarik membahas status Daerah Istimewa sebagai sesuatu yang penting atau mendesak. Fokus kita masih pada hal-hal yang lebih substansial,” pungkasnya.