partai: PDIP

  • Pemilih Muda Jadi Fondasi Pembaruan Strategis PDIP Jatim

    Pemilih Muda Jadi Fondasi Pembaruan Strategis PDIP Jatim

    Lebih lanjut, Said menyampaikan empat langkah tindak lanjut yang akan ditempuh PDI Perjuangan Jawa Timur.

    1. Menguatkan Politik yang Menjawab Kebutuhan Ekonomi Harian

    Partai akan memperkuat fokus pada isu-isu mendasar seperti stabilitas harga pangan, perlindungan pekerja informal, penguatan petani kecil, dan dukungan bagi UMKM.

    “Partai harus hadir di ruang dapur rakyat. Politik yang jauh dari persoalan ekonomi sehari-hari tidak akan mendapat tempat di hati warga,”tegas Said.

    2. Pendekatan Politik Lintas Generasi

    Strategi ini mencakup penguatan basis loyalis, pendekatan berbasis data bagi pemilih rasional, serta program pendidikan politik modern bagi pemilih muda.

    “Tidak ada regenerasi yang boleh terlewat. Semua lapisan harus kita rangkul dengan pendekatan sesuai kebutuhan mereka,” ujar Said.

    3. Memaksimalkan Peran Unit Media PDI Perjuangan Jawa Timur

    Unit Media yang telah beroperasi 18 tahun bakal menjadi mesin narasi publik, terutama di ruang digital. Fungsi utamanya meliputi produksi konten digital, penyampaian rekam jejak program kerakyatan, serta monitoring isu publik.

    “Inilah saatnya Unit Media kita mengambil peran strategis. Bukan sekadar dokumentasi, tetapi sebagai mesin narasi yang membentuk persepsi publik secara positif dan terukur,” tutur Said.4. Meneguhkan Integritas sebagai Identitas Politik

    Said menegaskan bahwa aspirasi publik menuntut kepemimpinan yang dekat dan bebas dari politik transaksional. PDI Perjuangan Jawa Timur akan memperkuat disiplin kader, memastikan standar integritas, dan menyinkronkan kerja kader legislatif serta eksekutif.

    “Rakyat ingin bukti, bukan klaim. PDI Perjuangan Jawa Timur akan memastikan seluruh kader bekerja dengan integritas dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat,” tegasnya.

     

  • Said Abdullah Tegaskan PDI-P Terbuka dari Kritik Generasi Muda

    Said Abdullah Tegaskan PDI-P Terbuka dari Kritik Generasi Muda

    Said Abdullah Tegaskan PDI-P Terbuka dari Kritik Generasi Muda
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Jawa Timur (Jatim) Said Abdullah menegaskan bahwa pihaknya membuka ruang selebar-lebarnya bagi kritik anak muda terhadap partai.
    Hal itu dikatakan pihaknya dalam gelaran “
    RedTalks
    : Suara Muda untuk Jatim” di Dyandra Convention Center, Surabaya, Sabtu (22/11/2025).
    “Kami perlu mendengar suara anak
    anak muda
    . Pandangan mereka tentang PDI Perjuangan, termasuk berbagai kebijakan publik yang berimplikasi pada kehidupan mereka sehari-hari,” ujar Said sebagaimana dilansir dari YouTube KompasTV Jatim, Minggu (22/11/2025).
    Said menjelaskan,
    RedTalks: Suara Muda
    untuk Jatim diselenggarakan untuk mempertemukan
    PDI-P
    dengan generasi muda dan mendengarkan langsung kritik, pandangan, serta aspirasi mereka.
    “Redtalks menjadi forum kritik-otokritik. Termasuk kritik terhadap PDI-P di Jawa Timur,” lanjut Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu.
    Untuk diketahui, acara tersebut melibatkan sejumlah perwakilan organisasi dan komunitas anak muda dari berbagai daerah di Provinsi Jatim.
    Sejumlah tokoh dan narasumber turut hadir, di antaranya Budayawan Sujiwo Tejo, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip Unair Irfan Yasin, petani milenial Ahmad Lafilian, serta pegiat media sosial Natasha Keniraras.
    Sejumlah akademisi dari Surabaya, seperti Airlangga Pribadi dan Yohan Wahyu, juga mengikuti kegiatan tersebut.
    Dua mahasiswa dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), yakni Muhammad Afjar Firdaus selaku Sekjen Pergerakan BEM Unesa dan Ghulam Ahmad A’li Zaini dari Kementerian Hubungan Luar Negeri BEM Unesa, turut menyampaikan pandangan.
    Keduanya menilai forum tersebut memberikan perspektif baru bagi generasi muda dalam membaca arah politik dan ekonomi nasional.
    Afjar mengatakan, RedTalks membuka cakrawala baru baginya, terutama karena ia tidak memiliki latar belakang pendidikan politik maupun ekonomi.
    “Dari tadi kan topiknya ada beberapa, (mulai dari)  ekonomi, politik, hingga kebudayaan. Dari segi ekonomi, khususnya saya sendiri yang tidak punya
    background
    ekonomi atau kewirausahaan, itu banyak
    insight
    baru. Ekonomi itu ternyata bisa jadi ladang untuk Gen Z, termasuk dalam politik,” kata Afjar.
    Menurut dia, politik dan ekonomi merupakan sektor yang saling memengaruhi dan harus dipahami generasi muda.
    Ia menilai, Gen Z yang mendominasi jumlah pemilih nasional memiliki posisi penting dalam menentukan arah kebijakan negara.
    “Gen Z sekarang jumlahnya sangat banyak. Ketika nanti peran politik atau pemilu, Gen Z-lah yang jadi ujung tombaknya. Jadi sebagai Gen Z, kita harus membuka mata agar tahu dan bisa mengikuti arus politik yang ada di Indonesia,” lanjutnya.
    Ia juga menekankan pentingnya literasi budaya sebagai pondasi berpolitik.
    “Budaya sangat berkesinambungan dengan politik. Gen Z harus benar-benar tahu dan menguasainya, agar kita tidak melupakan budaya tetapi tetap melestarikannya, sambil tetap memahami politik,” tambahnya.
    Sementara itu, Ghulam Ahmad A’li Zaini menilai RedTalks memberi ruang bagi mahasiswa untuk memahami dinamika isu kebijakan dari beragam perspektif.
    Forum tersebut dinilai pihaknya dapat membuka wawasan terkait perumusan kebijakan, tantangan ekonomi, higgga peran masyarakat sipil.
    “Mahasiswa perlu lebih sering dilibatkan agar tidak hanya memahami teori, tapi juga melihat langsung percakapan publik,” ujarnya.
    Ia menegaskan bahwa mahasiswa memiliki peran penting sebagai penghubung antara gagasan kritis kampus dan realitas sosial politik di masyarakat.
    RedTalks pun diharapkan dapat digelar secara berkelanjutan sebagai wadah diskusi yang memperkaya perspektif generasi muda.
    “Kami berharap dialog semacam ini lebih rutin diadakan, karena membuka ruang interaksi yang jarang ditemukan di lingkungan akademik,” tuturnya.
    Komika sekaligus pegiat ekonomi kreatif Yudhit Ciphardian menilai dunia politik saat ini masih terasa berjarak dengan generasi milenial dan Gen Z.
    “Gen Z dan milenial itu merasa seperti tidak didekati. Mereka merasa politisi terlalu berjarak dan jarang turun ke masyarakat, sehingga wajar kalau mereka ragu,” ujar Yudhit.
    Karena itu, menurut Yudhit, politisi perlu meningkatkan komunikasi langsung dengan generasi muda melalui kegiatan tatap muka, dialog santai, dan diskusi terbuka.
    “Sekarang Indonesia punya bonus demografi. Mereka yang menentukan arah bangsa,” ungkapnya.
    Ia pun mendorong PDI-P makin intens hadir di kalangan anak muda, utamanya di perguruan tinggi, komunitas kreatif, dan ruang-ruang egaliter yang dekat dengan anak muda.
    “PDIP harus hadir di ruang yang dekat dengan anak muda, kampus, komunitas kreatif, tempat nongkrong yang egaliter,” tegasnya.
    Untuk mendekatkan jarak emosional, Yudhit mengatakan bahwa ekonomi kreatif berbasis teknologi digital juga dapat menjadi jembatan strategis untuk memperkuat kedekatan dengan pemilih muda.
    Banyak anak muda kini bekerja sebagai kreator konten, pekerja film, hingga pengembang teknologi.
    “Teman-teman saya banyak yang bergerak di (Sektor) ekonomi kreatif. PDIP perlu memfasilitasi ekosistemnya, mempermudah akses, dan mendukung ruang tumbuhnya,” katanya.
    Yudhit juga menyinggung bahwa PDIP perlu mengikuti perkembangan teknologi.
    Dia menilai, dukungan ekosistem kreatif penting karena anak muda tengah menghadapi tekanan ekonomi, mulai dari pendapatan tidak stabil, tuntutan kemampuan digital tinggi, hingga kebutuhan mengikuti kelas daring berbayar.
    “PDIP meskipun banyak (diisi) yang sepuh (tetap) harus
    update
    juga. Jangan sampai nyalakan komputer saja enggak bisa,
    convert
    Word ke PDF
    enggak iso
    , (lalu) Wi-Fi mati panik,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PSI Ngomong Jokowi Tak Dihargai PDIP, Ferdinand: Partai Gurem Cari Sensasi Murahan

    PSI Ngomong Jokowi Tak Dihargai PDIP, Ferdinand: Partai Gurem Cari Sensasi Murahan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Belakangan ini pernyataan Ketua Harian Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ahmad Ali, yang menyebut Presiden ke-7, Jokowi, tidak dihargai oleh PDI Perjuangan menyita perhatian publik.

    Hal tersebut disampaikan Ahmad Ali dalam acara Rakorwil PSI se-Sultra di Kendari, pada Jumat (21/11/2025) kemarin.

    Politikus PDI Perjuangan, Ferdinand Hutahaean, tidak tinggal diam dan menanggapi pernyataan tersebut.

    Dikatakan Ferdinand, pernyataan itu hanya sebagai manuver mencari perhatian.

    “Ahmad Ali itu sedang cari sensasi murahan saja untuk terus mengangkat PSI,” ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Minggu (23/11/2025).

    Ferdinand mengatakan, Ahmad Ali sengaja melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial demi menjaga PSI tetap berada dalam sorotan publik.

    “Supaya terus ada dalam frame pemberitaan, makanya dia serang NasDem lah, serang PDIP lah,” sebutnya.

    Ia menyebut pola tersebut kerap digunakan partai kecil untuk menjaga eksistensi mereka.

    “Ya begitulah cara Partai Gurem untuk selalu berada dalam frame pemberitaan supaya tidak hilang,” lanjutnya.

    Ferdinand juga menegaskan bahwa klaim Ahmad Ali bahwa Jokowi tidak dihargai PDI Perjuangan tidak berdasar.

    Baginya, hubungan Jokowi dan PDI Perjuangan justru berlangsung baik selama dua periode pemerintahan.

    “Jokowi itu bukan tidak dihargai di PDI Perjuangan, Jokowi itu sangat dihargai,” Ferdinand menuturkan.

    “Kalau Jokowi tidak dihargai, Jokowi itu tidak akan pernah diusulkan sampai dua periode oleh PDI Perjuangan,” tambahnya.

    Ferdinand bilang, meski beberapa kebijakan Jokowi tidak sepenuhnya disetujui partai, PDI Perjuangan tetap memberi ruang agar program pemerintah berjalan.

  • PDIP tegaskan komitmen bangun basis politik di Riau lewat tiga pilar

    PDIP tegaskan komitmen bangun basis politik di Riau lewat tiga pilar

    Jakarta (ANTARA) – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP menegaskan komitmennya membangun basis politik di Riau melalui tiga pilar utama, yaitu penguatan akar budaya Melayu, penanaman keteladanan sejarah, dan merumuskan ide-cita-cita masa depan.

    Dilansir dari keterangan resmi, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto dalam Konferensi Daerah dan Konferensi Cabang PDIP serentak di Pekanbaru, Riau, Sabtu, mengatakan bahwa dalam hal budaya, sumbangsih kultural Riau sangat fundamental bagi persatuan nasional.

    Hasto memuji keindahan songket dan tarian Riau yang disajikan dalam drama musikal, lalu menyampaikan pantun penghormatan.

    Ia juga menekankan pentingnya peran sentral budaya Melayu dalam mempersatukan Indonesia melalui Sumpah Pemuda 1928.

    “Meskipun pengguna Bahasa Jawa, Sunda, Batak jauh lebih besar, para pemuda visioner itu mencari suatu tradisi kebudayaan yang menjadi jembatan. Mengapa Bahasa Indonesia yang akarnya Melayu? Maka, banggalah bahasa ini sungguh-sungguh telah menyatukan kita,” katanya.

    Kemudian, terkait pilar kedua soal keteladanan sejarah, Hasto menyampaikan keprihatinannya karena banyak anak bangsa yang lupa sejarah akibat pendidikan politik yang ahistoris.

    Ia pun mengajak kader PDIP untuk meneladani pengorbanan sejati, dimulai dari kisah Sultan Syarif Kasim II dari Kesultanan Siak.

    “Beliau mempersembahkan kedaulatannya, mahkotanya, pedangnya, dan dana sebesar 13 juta gulden dipersembahkan bagi Republik yang baru berdiri. Beliau tidak bertanya mau jadi apa, dan akhirnya beliau lebih memilih menjadi rakyat biasa,” ujarnya.

    Pada kesempatan itu, Hasto juga menyoroti semangat Bung Karno yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada usia 26 tahun dengan prinsip noncooperation melawan kolonialisme terbesar di dunia saat itu.

    “Seorang anak muda memekikkan dengan lantang: ‘Saya mendirikan PNI untuk memerdekakan Indonesia Raya’,” ucapnya.

    Untuk menguji mental kader, Hasto membacakan surat mengharukan dari kader PNI di Ciamis yang akan digantung Belanda, sebagai contoh pengorbanan total demi kemerdekaan.

    “Bayangkan, sebelum digantung, mereka berkirim surat kepada Bung Karno yang isinya menyatakan pergi ke tiang gantungan dengan hati gembira karena yakin Bung Karno akan melanjutkan peperangan,” katanya.

    Ia lantas melontarkan tantangan kepada para kader PDIP yang hadir untuk memiliki keberanian seperti itu.

    “Apakah kita punya keberanian seperti ini? Pemilu baru menghadapi intimidasi, sudah banyak yang takut dan melintir,” ujarnya.

    Ia juga menegaskan kembali pesan moral Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang berpesan bahwa menjadi banteng-banteng PDI Perjuangan tidak ditentukan oleh jabatannya apa, tetapi ditentukan oleh apa yang bisa kita berikan kepada rakyat Indonesia.

    PDIP, kata Hasto, harus fokus membangun peradaban politik berbasis pengorbanan dan ideologi, bukan sekadar mengejar kekuasaan transaksional.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Hasto Ingatkan Kader PDIP Junjung Politik Moral: Perkuat Akar Rumput, Jangan Masuk Zona Ny…

    Hasto Ingatkan Kader PDIP Junjung Politik Moral: Perkuat Akar Rumput, Jangan Masuk Zona Ny…

    Hasto Ingatkan Kader PDIP Junjung Politik Moral: Perkuat Akar Rumput, Jangan Masuk Zona Ny…

  • Mahasiswa Minta MK Restui Rakyat Bisa Pecat Anggota DPR, PDIP: Akan Terjadi Kekacauan

    Mahasiswa Minta MK Restui Rakyat Bisa Pecat Anggota DPR, PDIP: Akan Terjadi Kekacauan

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Anggota Komisi VI DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan Darmadi Durianto tak sepakat dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal rakyat bisa pecat langsung anggota DPR.

    Itu menanggapi gugatan empat mahasiswa terhadap Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) ke MK.

    Menurut Darmadi, kepentingan rakyat tentu berbeda satu sama lain terhadap legislator. Ada yang mendukung dan menolak.

    “Jadi artinya ada yang mendukung ada yang menolak. Ada yang nanti mendukung anggota DPR yang sudah mereka pilih ada juga yang menolak,” kata Darmadi kepada awak media di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/11).

    Dia mengatakan pengambilan keputusan memecat legislator juga membingungkan apabila rakyat punya hak langsung memecat anggota DPR. 

    “Nah, ini, kan, tentu menyulitkan nanti dalam pengambilan keputusan. Bagaimana mengambil keputusannya rakyat. Jadinya nanti agak confused juga,” ujarnya.

    Dia bahkan menilai konflik antara masyarakat bisa terjadi. Jika rakyat punya hak langsung memecat legislator. 

    “Ya nanti rakyat ini memecat, rakyat ini mempertahankan. Jadi, terjadi keributan juga begitu, ya,” kata Darmadi.

    Menurutnya, aturan saat ini sebenarnya sudah tepat. Karena bisa mengevaluasi anggota DPR yang tak berkerja maksimal.

    Rakyat di daerah pemilihan, kata Darmadi, tinggal tak mencoblos anggota DPR yang tak maksimal. Jika kembali maju ke kontestasi politik berikutnya.

  • Komisi III DPR Nilai KPK Pamerkan Uang ke Publik Bentuk Akuntabilitas

    Komisi III DPR Nilai KPK Pamerkan Uang ke Publik Bentuk Akuntabilitas

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dede Indra Permana Soediro, mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penjelasan terkait uang Rp 300 miliar yang dipamerkan saat konferensi pers bukan pinjaman bank. Dede mengatakan penjelasan dari KPK sebagai bentuk ketegasan.

    “Kinerja KPK harus kita apresiasi. Transparansi dan ketegasan dalam pengungkapan kasus merupakan bagian dari integritas lembaga,” kata Dede kepada wartawan, Sabtu (22/11/2025).

    Dede menyoroti langkah KPK dalam melakukan aset recovery dari tindak pidana korupsi. Menurutnya, upaya pengembalian kerugian negara merupakan poin yang sama pentingnya dengan penegakan hukum terhadap pelaku.

    “KPK tidak hanya menjalankan fungsi penindakan, tetapi juga berhasil mengembalikan aset negara yang sebelumnya hilang akibat korupsi. Ini langkah yang sangat strategis,” ucapnya.

    Ia menyebut pencegahan tindak pidana korupsi dan pemulihan aset menjadi dua pilar penting dalam pemberantasan korupsi. Politikus PDIP ini berharap KPK konsisten dalam setiap kinerja yang ditampilkan kepada publik.

    “Harapan kita bersama, kinerja KPK semakin baik dan konsisten mengedepankan pencegahan serta pengembalian aset kepada negara,” sambungnya.

    Dikonfirmasi terpisah, anggota Komisi III Fraksi NasDem Rudianto Lallo mengatakan publikasi uang sitaan oleh KPK ke masyarakat adalah bentuk pembuktian. Rudianto mengatakan KPK menjaga akuntabilitas dalam memproses perkara.

    Rudianto Lallo juga menilai bahwa langkah KPK menampilkan uang tunai Rp 300 miliar dalam konferensi pers merupakan bentuk komunikasi publik yang efektif. Wakil Ketua Mahkamah Partai NasDem ini menyebut KPK memberikan bukti bahwa proses pengembalian aset benar dilakukan.

    “Publik butuh bukti nyata. Ketika KPK menunjukkan secara terbuka uang sitaan itu, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin meningkat,” imbuhnya.

    Ketua KPK: Dari Dulu Uang Sitaan Sering Ditampilkan

    Ketua KPK, Setyo Budiyanto, buka suara terkait tumpukan uang ratusan miliar terkait kasus investasi fiktif PT Taspen yang dipamerkan ke publik. Setyo mengatakan setiap uang yang dipublikasikan ke masyarakat sebagai bentuk transparansi.

    “Dari dulu sudah sering ditampilkan uang sitaan sebagai bentuk transparansi,” kata Setyo kepada wartawan, Sabtu (22/11).

    (dwr/jbr)

  • PDI Perjuangan dan Tribun Jatim Network Gelar RedTalks untuk Suara Muda Jawa Timur Keren

    PDI Perjuangan dan Tribun Jatim Network Gelar RedTalks untuk Suara Muda Jawa Timur Keren

    Surabaya (beritajatim.com) – DPD PDI Perjuangan (PDIP) Jawa Timur dan Tribun Jatim Network  menggelar forum dialog publik RedTalks: Suara Muda untuk Jatim Keren pada Sabtu (22/11/2025) di Dyandra Convention Center, Jalan Basuki Rahmad Surabaya.

    Acara ini diarahkan menjadi ruang terbuka bagi generasi muda untuk menyampaikan gagasan, kritik, hingga solusi bagi kemajuan Jawa Timur.

    RedTalks dirancang sebagai wadah partisipasi publik yang melibatkan generasi Z dan milenial, dengan tujuan membangun masa depan Jatim yang lebih sejahtera dan berdaya saing.

    Dalam forum ini, peserta dapat menyampaikan ide, kritik, bahkan roasting secara langsung kepada narasumber maupun penyelenggara.

    Pemimpin Redaksi Tribun Jatim Network, Tri Mulyono, menegaskan bahwa forum ini hadir sebagai model dialog baru yang lebih partisipatif.

    “Dalam RedTalks ini, kalangan milenial dan Gen Z bisa menyampaikan gagasan, kritik, dan perspektif mengenai masa depan Jawa Timur,” ujarnya, Jumat (21/11/2025), didampingi GM Business Tribun Jatim Network, Adi Widodo.

    Tiga Subtema Strategis: Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan

    Pada gelaran tahun ini, RedTalks mengusung tiga subtema besar: Kemandirian Ekonomi, Kedaulatan Politik, dan Pendekatan Budaya untuk Pembangunan Daerah.

    “Tiga hal tersebut kita nilai mewakili tantangan masa depan Jawa Timur ke depan,” imbuh Tri Mulyono.

    Forum yang berlangsung mulai pukul 10.00 hingga 13.30 WIB itu menghadirkan 11 narasumber lintas bidang, mulai akademisi, peneliti, praktisi, budayawan, influencer hingga komika. Di antaranya:

    Yohan Wahyu (Litbang Kompas)

    Hendy Setiono (Presdir PT Baba Rafi Internasional)

    Prof. Ignatia Martha Hendrati (UPN Veteran Jatim)

    Airlangga Pribadi Kusman (Universitas Airlangga)

    Dr. Jokhanan Kristiyono (Stikosa-AWS)

    Hadi Prasetyo (Mantan Birokrat Pemprov Jatim)

    Ahmad Lafillian Romadhi (Petani Milenial)

    Sujiwo Tejo (Budayawan)

    Irfan Ahmad Yasin (Presiden BEM FISIP Unair)

    Natasha Keniraras/Natkeni (Influencer)

    Yudhit Ciphardian (Komika)

    Talkshow ini dipandu oleh Febby Mahendra Putra, Direktur Pemberitaan Tribun Network, dan Dr Suko Widodo, pakar komunikasi politik Universitas Airlangga.

    PDIP Jatim Siap Terima Kritik Konstruktif

    Tri Mulyono menegaskan bahwa PDIP Jawa Timur membuka diri terhadap kritik yang muncul dari forum ini.
    “PDI Perjuangan Jawa Timur siap menerima kritik selama disampaikan secara membangun serta tidak mengandung hoaks maupun fitnah,” tandasnya.

    Ia menambahkan bahwa rekomendasi dari forum ini akan ditindaklanjuti oleh kader PDIP yang kini berada di kursi eksekutif maupun legislatif.

    “PDI Perjuangan menyatakan berkomitmen memperjuangkannya hingga menjadi kebijakan yang bermanfaat untuk masyarakat Jawa Timur,” ujar Tri.

    Keterlibatan anak muda menjadi fokus utama penyelenggaraan RedTalks, mengingat tingkat apatisme politik generasi muda masih cukup tinggi.

    “Kami ingin partisipasi politik anak muda meningkat. Banyak dari mereka masih apatis, dan ini harus diubah,” katanya.

    Ruang Dialog untuk Dekatkan Parpol dan Anak Muda

    GM Business Tribun Jatim Network, Adi Widodo, menilai pentingnya format dialog publik seperti RedTalks untuk memahami cara komunikasi yang sesuai karakter Gen Z dan milenial.

    “Kami sengaja mengundang teman-teman muda di acara ini untuk mendapat masukan dan insight tentang bagaimana berkomunikasi dengan anak muda di era sekarang,” jelasnya.

    Menurut Adi, memahami pola pikir generasi muda menjadi kunci dalam menyampaikan pesan politik dan menerjemahkan aspirasi mereka ke dalam kebijakan.

    “Ini penting agar pesan dan aspirasi kaum muda dapat diwujudkan dalam program nyata oleh mereka yang mendapat mandat dari rakyat,” tegasnya.

    Narasumber: RedTalks Jadi Ruang Baru Aspirasi Politik Anak Muda

    Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu, mengapresiasi penyelenggaraan forum ini. “Ini inovasi menarik, karena mempertemukan audiens, terutama anak-anak muda, dengan institusi partai politik. Semakin banyak ruang yang mendekatkan publik dengan partai, itu semakin baik,” ujarnya.

    Ia menambahkan bahwa partai politik idealnya bekerja sepanjang tahun, bukan hanya menjelang pemilu.
    “RedTalks ini bisa menjadi panggung bagi anak muda untuk mengekspresikan aspirasi dan harapannya,” tegas Yohan.

    Pakar Unair: Forum Seperti Ini Penting untuk Masa Depan Politik

    Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga, Dr Suko Widodo, juga menilai RedTalks sebagai forum yang relevan untuk menjaring aspirasi publik. “Partai politik harus dapat menampung aspirasi publik dengan baik sekalipun berisi kritikan,” ujarnya.

    Menurutnya, masyarakat kini semakin kritis terhadap isu-isu yang viral, sehingga forum dialogis semacam ini sangat diperlukan.

    “Forum seperti ini bisa menjadi wahana untuk mendapatkan data yang faktual dan otentik. Dan data inilah yang sangat penting bagi parpol,” tambahnya. (ted)

  • Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi

    Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi

    Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi
    Direktur Eksekutif The Strategic Lab | Alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
    INGATAN
    kita tentang Pemilu 2024 masih begitu membekas. Kini, ingatan publik kembali dijejali gelaran Pemilu 2029: mulai dari siapa saja calon presiden potensial, partai politik apa saja yang bakal bertanding, partai politik mana yang elektablitas naik, stagnan dan merosot.
    Padahal, di antara dua pemilu, ada janji yang harus ditunaikan dan kesejahteraan rakyat yang harus diwujudkan.
    Hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 20-27 Oktober 2025, memotret munculnya nama-nama calon presiden potensial dan naik-turunnya elektabilitas partai politik.
    Ada yang menarik dari hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut: elektabilitas
    Gerindra
    naik secara eksponensial mencapai angka 29,4 persen, jauh di atas partai papan atas lainnya seperti PDIP (9,4 persen) dan Golkar (8,9 persen).
    Padahal, hasil Pemilu 2024 menempatkan Gerindra di urutan pemenang ketiga dengan perolehan suara nasional sebesar 13,22 persen, sementara PDIP (16,72 persen) berada pada pemenang pertama dan Golkar (15,29 persen) berada pada pemenang kedua.
    Hasil survei tersebut menjadi langkah awal yang optimistis bagi Gerindra sekaligus alarm peringatan bagi partai politik lainnya.
    Mengapa elektabilitas Gerindra melenting, sementara elektabilitas partai politik lainnya, terutama partai politik pendukung koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran, cenderung mengalami penurunan? Ini terkait dengan faktor kinerja kepemimpinan Prabowo dan sistem pemilu.
    Bagaimana pun juga, elektabilitas Gerindra sangat terkait dengan kinerja kepemimpinan Presiden
    Prabowo Subianto
    .
    Prabowo adalah pendiri partai yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra. Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh kepemimpinan Prabowo memiliki dampak terhadap Gerindra, termasuk elektoral.
    Inilah yang dinamakan
    coatail effect
    atau efek ekor jas. Partai-partai pendukung pemerintah akan mendapatkan manfaat elektoral dari kinerja positif presiden.
    Tingkat kepuasaan masyarakat terhadap kinerja presiden berbanding lurus dengan tingkat dukungan terhadap partai-partai pendukungannya.
    Dalam konteks ini, Gerindra sebagai partainya presiden mendapatkan manfaat elektoral terbesar ketimbang partai-partai pendukung lainnya seperti Golkar, PAN dan Demokrat.
    Presedennya sudah ada. Partai Demokrat mengalami kenaikan signifikan suara, dari 7,45 persen pada 2004 menjadi 20,81 persen pada 2009.
    Kenaikan elektabilitas Demokrat tersebut terjadi dalam 10 tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Masyarakat menghadiahi keberhasilan kepemimpinan SBY dengan memilih Demokrat yang notabene merupakan partainya SBY.
    Apa yang terjadi dengan Gerindra dalam masa kepemimpinan Presiden Prabowo –dengan potret ‘sementara’ hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut– menyerupai dengan pengalaman Demokrat dalam masa kepemimpinan SBY.
    Bedanya, naiknya elektabilitas Gerindra masih pada tahap hasil survei, bukan hasil resmi pemilu.
    Meskipun demikian, hal ini mencerminkan bahwa Gerindra mendapatkan ‘hadiah’
    coatail effect
    dari kinerja Presiden Prabowo yang tingkat kepuasannya mencapai 77,7 persen.
    Dalam simulasi calon presiden, elektabilits Prabowo berada di atas calon-calon yang lain, yaitu mencapai 46,7 persen.
    Tingginya tingkat kepuasaan Prabowo dan naiknya elektabilitas Gerindra ditopang oleh pelbagai program populis Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih dan Sekolah Rakyat.
    Program populis tersebut disertai dengan retorika populis yang memang khas Prabowo, seperti antek-antek asing, pakai uang koruptor untuk rakyat, tindak tegas tambang ilegal meskipun dibekengi para jenderal dan lain sebagainya.
    Rasa-rasanya, program dan retorika populis adalah kombinasi yang tepat untuk menyentuh hati rakyat. Apalagi program populis seperti MBG dan Kopdes Merah Putih melibatkan orang dalam jumlah yang banyak dengan jejaring hingga ke pelosok negeri, yang sangat potensial dijadikan infrastruktur politik ke depannya.
    Jika hanya Gerindra yang memperoleh
    coatail effect
    terbesar Prabowo, lalu bagaimana nasib elektoral partai-partai koalisinya? Di sinilah kompetisi politik sesungguhnya akan terjadi: kompetisi internal antarpartai politik dalam koalisi.
    Tanpa mendahului nasib politik, Pemilu 2029 tentu menguntungkan petahana. Dalam sejarah pemilihan presiden langsung pascareformasi, presiden selalu menjabat dua periode atau 10 tahun kepemimpinan.
    Karena itu, selain memperebutkan posisi cawapres-nya Prabowo, kompetisi politik sesungguhnya terjadi antarpartai politik, terutama di antara partai politik koalisi pemerintah.
    Dengan kata lain, dukungan dalam Pilpres boleh sama, tapi urusan pemilihan legislatif (pileg) masing-masing partai politik saling berebut suara pemilih.
    Masing-masing partai politik tentu tidak menghendaki penurunan perolehan suara, yang otomatis berdampak pada penurunan perolehan kursi di parlemen.
    Kerja elektoral adalah kerja kesunyian masing-masing partai dan caleg. Dengan naiknya elektabilitas Gerindra dalam survei tersebut berarti alarm bagi partai-partai koalisi pemerintah.
    Ada dua kemungkinan respons partai: semakin mengasosiasikan dengan Prabowo agar kebagian
    coatail effect. 
    Atau sedikit mengambil jarak, tapi masih dalam radar pendukung pemerintah, demi fokus persiapan menghadapi pemilu.
    Dua kemungkinan respons tersebut akan diuji dalam agenda politik terdekat, yaitu terkait Revisi UU Pemilu yang notabene merupakan aturan main kompetisi.
    Elektabilitas Gerindra boleh tinggi –sebagaimana dipotret dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia di atas– dalam sistem proporsional tertutup (memilih partai saja).
    Namun, dalam sistem proporsional terbuka hari ini (memilih caleg dan atau partai) apakah elektabilitas Gerindra bakal tetap tinggi?
    Bagaimana pun juga, sistem pemilu menjadi salah satu penentu kemenangan suatu partai politik.
    Karena itu, Revisi UU Pemilu yang rencana akan dibahas di DPR RI pada 2026 mendatang, menjadi arena kompetisi antarpartai politik, termasuk kompetisi internal koalisi pemerintah. Di sini lah kompetisi awal itu akan berlangsung, sebelum menghadapi pemilu mendatang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bonnie Triyana Singgung Penundaan Peluncuran Buku Penulisan Ulang Sejarah Nasional

    Bonnie Triyana Singgung Penundaan Peluncuran Buku Penulisan Ulang Sejarah Nasional

    Bisnis.com, SURABAYA – Hasil megaproyek penulisan ulang sejarah nasional yang digagas oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, mengalami penundaan selama beberapa kali untuk dirilis ke publik. Hal tersebut pun mengundang sorotan dari sejumlah pihak.

    Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana menyebut bahwa proyek penulisan sejarah ulang yang saat ini tengah menjadi sorotan publik, seharusnya dapat dilakukan dengan mengusung prinsip kehati-hatian dan tidak bersifat diskriminatif. 

    “Ya, katanya [proyek penulisan sejarah] mau [diluncurkan] Desember kan? Ya, kita tunggu saja. Kalau kami menolak apabila karya tersebut melakukan stigmatisasi terhadap korban dari Orde Baru,” ujar Bonnie usai diskusi mengenai kepahlawanan yang diselenggarakan Laboratorium Indonesia 2045 di Universitas Airlangga, Kamis (20/11/2025) petang.

    Bonnie pun menyinggung pernyataan Menteri Fadli Zon yang menyatakan bahwa produk hasil riset para sejarawan dari berbagai perguruan tinggi tersebut bersifat Indonesiasentris.

    Menurutnya, produk tulisan sejarah yang mengacu kepada karakter tersebut dianggapnya telah usang dan tidak relevan lagi dengan situasi kondisi negara yang telah berdiri selama delapan dekade lamanya.

    “Kita sudah 80 tahun jadi negara, yang dibutuhkan menurut saya adalah historiografi yang bersifat reflektif dan mungkin otokritik. Tahun 1957 kita baru naik jadi negara. Sekarang kita sudah jadi negara 80 tahun. Apa yang sudah terjadi selama 80 tahun? Itulah yang harus kita tulis. Memang setelah kita menjadi negara yang lepas dari penjajahan, menjadi negara yang berdiri sendiri, berdaulat, lebih baik enggak? Kalau enggak lebih baik, dimana? Kalau lebih baik, di mana juga?,” beber Bonnie.

    Bonnie, yang juga dikenal sebagai seorang sejarawan publik, ini juga mengungkapkan bahwa pihaknya juga sempat kesulitan untuk memperoleh pointer ataupun draft daei proyek penulisan sejarah nasional tersebut. 

    Hal tersebut menurutnya telah menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menggarap proyek ambisius tersebut, yang dikabarkan menelan biaya hingga Rp9 miliar untuk 11 jilid buku tersebut. 

    “Ternyata saya sudah baca beberapa pointer-nya [proyek penulisan sejarah ulang] gitu ya. Pointer-pointer penulisan sejarah ini ya. Kami baca, itu pun susah payah dapatinnya,” ungkapnya.

    Politikus PDIP ini juga menyatakan penolakannya apabila penulisan sejarah ulang yang akan diluncurkan tersebut ternyata tidak bersifat inklusif dan justru menunjukkan sikap impunitas negara terhadap kaum marjinal. 

    “Sampai saat ini kami masih menolak. Kemudian kalau misalkan nanti akan diluncurkan Desember 2025, ya mari kita periksa sama-sama,” katanya.

    Bonnie juga mempertanyakan transparansi dan latar belakang mengenai sosok-sosok yang menjadi tim anggota penyusunan ulang sejarah nasional tersebut.

    “100 sejarawan yang nulis itu saya enggak tahu siapa. Nah, jadi kan sangat tidak informatif ya, enggak tahu siapa,” tegasnya.

    Menurutnya, penundaan peluncuran proyek itu menunjukkan adanya ketidaksiapan dari pihak-pihak terkait yang terlibat di dalamnya. Bonnie pun menyatakan, dengan waktu riset yang tergolong sempit serta alokasi anggaran yang minim, ia yakin bahwa produk penulisan sejarah yang dihasilkan tidak akan memiliki mutu tinggi.

    “Kalau mau serius, kalau saya [anggarannya] Rp50 miliar, tapi ngerjainnya empat tahun, risetnya beneran. Kenapa saya bilang gini? Saya empat tahun jadi kurator di Rijksmuseum. Teman-teman di KITLV, NIOD bikin proyek untuk dekolonisasi Rp60 miliar, dikerjakan selama empat tahun. Hasilnya bagus, melibatkan banyak ilmuwan. Nah, kalau cuman Rp9 miliar dikerjakan terburu-buru, ditunda lagi, ditunda lagi, bukti bahwa ini terburu-buru,” bebernya.

    Untuk itu, dirinya pun mendorong megaproyek penulisan sejarah nasional tersebut dapat lebih bersifat terbuka ataupun open-minded terhadap fakta-fakta ilmiah yang telah terjadi di masa lampau. Misalnya, sebut Bonnie, dengan mengkaitkan peran Indonesia dalam percaturan politik global hingga kritik terhadap para penyelenggara negara di masa lampau.

    “Seringkali bapak-bapak pejabat itu kan bilang, di sini saya lagi ngomong ini sebagai seorang sejarawan ya, bilang ‘Generasi muda harus belajar sejarah’, itu salah. Yang harus belajar sejarah itu pertama itu adalah penyelenggara negara. Kenapa gagal terus? Ya, karena enggak pernah belajar sejarah. Kenapa enggak pernah belajar sejarah? Karena enggak pernah ditulis dengan cara yang jujur,” pungkasnya.