partai: PBB

  • AS-Inggris Bikin DK PBB Gagal Sepakati Resolusi Gencatan Senjata Gaza

    AS-Inggris Bikin DK PBB Gagal Sepakati Resolusi Gencatan Senjata Gaza

    New York

    Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali gagal mencapai konsensus soal rancangan resolusi yang bertujuan menghentikan perang antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza. Amerika Serikat (AS) dan Inggris menentang rancangan resolusi itu karena menyebut soal gencatan senjata.

    Seperti dilansir CNN, Selasa (7/11/2023), kegagalan menyepakati resolusi soal situasi perang di Jalur Gaza itu terjadi saat Dewan Keamanan PBB menggelar sidang tertutup pada Senin (6/11) waktu setempat. Sidang itu diharapkan menghasilkan resolusi penting soal perang dan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.

    “Belum ada kesepakatan pada saat ini,” tegas Wakil Duta Besar AS untuk PBB, Robert Wood, dalam pernyataannya.

    Rancangan resolusi yang dibahas dalam sidang tertutup pada awal pekan ini disusun oleh kelompok E-10, yang terdiri atas 10 negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

    Namun, AS dan Inggris yang sama-sama merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan memiliki hak veto, menentang rancangan resolusi tersebut.

    Negara-negara Barat, khususnya AS dan Inggris, menolak untuk menyertakan seruan gencatan senjata segera di Jalur Gaza dalam rancangan resolusi tersebut. Padahal seruan gencatan senjata telah didukung oleh beberapa anggota Dewan Keamanan PBB lainnya.

    AS, yang merupakan sekutu dekat Israel, lebih mendorong adanya ‘jeda kemanusiaan’ dibandingkan gencatan senjata di Jalur Gaza, meskipun mereka belum menentukan berapa lama jeda dalam pertempuran akan diberlakukan.

    Tonton Video: Massa Blokir Kapal Militer AS Diduga Bawa Senjata untuk Israel

    Wood menyatakan bahwa pembahasan soal jeda kemanusiaan sedang berlangsung. “Dan kami tertarik untuk membahas hal tersebut,” ujarnya.

    Namun demikian, lanjut Wood, ada juga perbedaan pendapat dalam Dewan Keamanan PBB mengenai apakah hal itu bisa diterima.

    Duta Besar China Jun Zhang, secara terpisah, menyerukan sentimen senada yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres, dengan menekankan bahwa ‘Gaza menjadi kuburan bagi anak-anak’. Dia menyerukan gencatan senjata segera untuk memfasilitasi penyaluran bantuan kemanusiaan.

    “Saat kita berbicara saat ini, warga sipil Palestina terus dibunuh. Anak-anaklah yang paling terkena dampaknya, seperti yang telah disampaikan oleh beberapa pejabat AS. Gaza menjadi kuburan bagi anak-anak. Tidak ada yang aman,” tegasnya.

    Dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada awal pekan ini, negara-negara anggota mendengarkan penjelasan dari para pejabat kemanusiaan PBB soal situasi keamanan yang mengerikan di daerah kantong Palestina tersebut.

    Sidang Dewan Keamanan PBB sebelumnya juga gagal menyepakati resolusi soal Jalur Gaza, termasuk karena adanya dua veto dari AS. Situasi ini semakin menggarisbawahi kompleksitas dalam mencapai konsensus mengenai masalah penting ini.

    Diketahui bahwa resolusi Dewan Keamanan PBB berbeda dengan resolusi Majelis Umum PBB, yang dalam rapat darurat pada akhir Oktober lalu berhasil meloloskan resolusi yang menyerukan ‘gencatan senjata kemanusiaan segera’ di Jalur Gaza.

    Resolusi Majelis Umum PBB soal gencatan senjata itu mendapatkan 122 suara dukungan dan 14 suara menolak, dengan sebanyak 55 negara lainnya abstain. Meskipun didukung mayoritas negara anggota, resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat dan hanya mencerminkan sikap berbagai negara.

    Sementara itu, resolusi Dewan Keamanan PBB diketahui bersifat mengikat secara hukum, dan bisa digunakan untuk menuntut Israel agar menerima gencatan senjata atau jeda kemanusiaan di Jalur Gaza.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Kembali Putus Layanan Internet dan Telepon di Gaza

    Israel Kembali Putus Layanan Internet dan Telepon di Gaza

    Jakarta

    Perusahaan telekomunikasi Paltel menyebut Israel memutus saluran internet dan telepon di Jalur Gaza pada Minggu malam waktu setempat. Hal ini terjadi untuk ketiga kalinya sejak dimulainya perang Israel dengan Hamas pada 7 Oktober lalu.

    “Kami dengan menyesal mengumumkan penutupan total layanan komunikasi dan internet di Gaza setelah pihak Israel memutus servernya,” kata Paltel dalam sebuah pernyataan seperti dilansir AFP, Senin (6/11/2023).

    Seperti diketahui, serangan Israel telah menyebabkan hampir 10.000 warga Palestina, termasuk ribuan anak perempuan tewas.

    Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) atau The Council on American-Islamic Relations –organisasi advokasi dan hak sipil muslim terbesar di AS– mengutuk pembantaian yang dilakukan Israel terhadap warga sipil Palestina hingga serangan di Rumah Sakit Shifa di Gaza.

    “Sangat penting bagi komunitas internasional untuk turun tangan menghentikan kampanye genosida, rasis, apartheid, pemerintah Israel yang menargetkan rakyat Palestina, yang cakupannya sangat menakjubkan dalam serangan tanpa pandang bulu terhadap kamp pengungsi, pengungsi yang melarikan diri, jurnalis, fasilitas medis, ambulans, masjid, gereja, infrastruktur vital dan sekarang lembaga pendidikan dan fasilitas PBB,” ujarnya.

    “Fakta bahwa negara kita memfasilitasi genosida ini merupakan noda moral yang akan tetap ada hingga generasi mendatang. Harus ada gencatan senjata sekarang,” ujarnya.

    (fas/fas)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Bombardir Universitas Al-Azhar di Gaza

    Israel Bombardir Universitas Al-Azhar di Gaza

    Jakarta

    Wakil Menteri Luar Negeri Palestina Amal Jadou mengatakan Israel telah melakukan serangan bom ke Universitas Al-Azhar di Gaza. Serangan itu terjadi Sabtu waktu setempat.

    Dikutip Al-Jazeera, Minggu (5/11/2023), momen pemboman universitas Al-Azhar itu diunggah di akun X Jadou. Berdasarkan laporan Tareq Abu Azzoum dari Al Jazeera, yang berkuliah di Universitas Azhar, menyampaikan pemboman itu terjadi pada Sabtu pagi.

    Sementara itu, Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) atau The Council on American-Islamic Relations –organisasi advokasi dan hak sipil muslim terbesar di AS– juga menyampaikan sayap kanan Israel menghancurkan Universitas Al-Azhar di Gaza.

    CAIR mengutuk peristiwa itu. Mereka menyoroti serangan Israel terhadap Universitas di Gaza, serangan di kamp pengungsian, dan serangan mematikan lainnya.

    Selain itu, CAIR menilai serangan terhadap fasilitas PBB yang menampung pengungsi membuktikan bahwa komunitas internasional harus bertindak untuk menghentikan kampanye genosida oleh Israel yang menargetkan warga Palestina.

    Setidaknya ada 15 orang tewas dalam serangan terhadap sekolah milik PBB yang berfungsi sebagai tempat penampungan di sebuah kamp pengungsian di jalur Gaza Utara yang diserang pada hari Sabtu. Fasilitas PBB lainnya juga menjadi sasaran Israel.

    Sebanyak 51 warga Palestina tewas dan puluhan lainnya terluka dalam serangan udara Israel terhadap sebuah rumah di kamp pengungsi Maghazi.

    “Sangat penting bagi komunitas internasional untuk turun tangan menghentikan kampanye genosida, rasis, apartheid, pemerintah Israel yang menargetkan rakyat Palestina, yang cakupannya sangat menakjubkan dalam serangan tanpa pandang bulu terhadap kamp pengungsi, pengungsi yang melarikan diri, jurnalis, fasilitas medis, ambulans, masjid, gereja, infrastruktur vital dan sekarang lembaga pendidikan dan fasilitas PBB,” ujarnya.

    “Fakta bahwa negara kita memfasilitasi genosida ini merupakan noda moral yang akan tetap ada hingga generasi mendatang. Harus ada gencatan senjata sekarang,” ujarnya.

    (yld/idn)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Massa Pro-Palestina Demo di Washington, Desak Gencatan Senjata

    Massa Pro-Palestina Demo di Washington, Desak Gencatan Senjata

    Jakarta

    Ribuan pengunjuk rasa berkumpul di Washington untuk menuntut gencatan senjata di Gaza di mana ribuan orang telah terbunuh dalam serangan Israel. Demonstrasi tersebut dilakukan pada Sabtu (4/11).

    Dilansir Reuters, Minggu (5/11/2023), para pengunjuk rasa membawa plakat dengan slogan-slogan seperti ‘Kehidupan Palestina Penting’, ‘Biarkan Gaza Hidup’ dan ‘Darah mereka ada di tangan Anda’, ketika pemerintah AS terus menolak tuntutan untuk menyuarakan seruan gencatan senjata secara menyeluruh.

    Ribuan massa berkumpul di depan gedung Freedom Plaza | (Photo by ALEX WONG / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP) Foto: Getty Images via AFP/ALEX WONG

    Para aktivis menyebut rencana protes tersebut sebagai ‘Pawai Nasional di Washington: Bebaskan Palestina’ dan mengorganisir bus-bus ke ibu kota Amerika dari seluruh negeri agar para demonstran dapat hadir. Hal itu disampaikan kelompok koalisi ANSWER, yang merupakan akronim dari “Act Now to Stop War and End Racism”, “Bertindak Sekarang untuk Menghentikan Perang dan Mengakhiri Rasisme.”

    “Apa yang kami inginkan dan tuntut sekarang adalah gencatan senjata,” kata Mahdi Bray, direktur nasional Aliansi Muslim Amerika.

    Demonstrasi tersebut merupakan salah satu demonstrasi pro-Palestina terbesar di Amerika Serikat dan salah satu demonstrasi terbesar di Washington dalam beberapa tahun terakhir.

    Massa berkumpul mulai di Freedom Plaza dekat Gedung Putih pada sore hari sebelum protes dimulai dengan mengheningkan cipta ketika para demonstran mengangkat poster besar dengan nama-nama warga Palestina yang terbunuh sejak pembalasan besar-besaran Israel dimulai.

    Konflik Israel-Palestina yang mengakar kembali terjadi pada 7 Oktober ketika sejumlah pejuang Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, menyeberang ke Israel, menewaskan sedikitnya 1.400 orang.

    Meningkatnya jumlah kematian warga sipil telah meningkatkan seruan internasional untuk melakukan gencatan senjata, namun Washington, seperti halnya Israel, sejauh ini mengabaikannya, dengan mengatakan bahwa penghentian tersebut akan memberikan kesempatan bagi Hamas untuk berkumpul kembali.

    Sekelompok pakar independen PBB juga menyerukan gencatan senjata demi kemanusiaan, dan mengatakan bahwa waktu hampir habis bagi warga Palestina di sana yang berada dalam “risiko besar terjadinya genosida”.

    “Biden, Biden kamu tidak bisa bersembunyi, kamu ikut serta dalam genosida,” teriak para pengunjuk rasa di Washington pada hari Sabtu.

    Washington telah berusaha membujuk Israel untuk menerima jeda lokal, yang sejauh ini ditolak oleh Israel.

    (yld/gbr)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Makin Sporadis Israel Serang Gaza hingga Sekjen PBB Miris

    Makin Sporadis Israel Serang Gaza hingga Sekjen PBB Miris

    Jakarta

    Serangan Israel ke Gaza semakin parah. Bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres merasa ngeri.

    Guterres mengaku miris dengan serangan Israel ke konvoi ambulans di Gaza pada Jumat (3/11/2023). Dalam insiden ini terdapat 15 orang tewas dan 60 lainnya luka-luka.

    “Saya ngeri dengan laporan serangan di Gaza terhadap konvoi ambulans di luar rumah sakit Al Shifa. Gambaran jasad-jasad yang berserakan di jalan di luar rumah sakit sungguh mengerikan,” kata Guterres dalam pernyataannya, dikutip kantor berita AFP, Sabtu (4/11).

    Gutteres menyebut keamanan di Gaza kini ‘mengerikan’. Dia meminta serangan ini harus dihentikan.

    “Selama hampir satu bulan, warga sipil di Gaza, termasuk anak-anak dan perempuan, telah dikepung, tidak diberi bantuan, dibunuh, dan dibom keluar dari rumah-rumah mereka,” ujarnya.

    “Ini harus dihentikan,” tegas pemimpin badan dunia itu.

    20 Orang Tewas di Serangan Sekolah

    Sedikitnya 20 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam serangan Israel yang “menargetkan” sebuah sekolah di Gaza utara. Demikian disampaikan Kementerian Kesehatan yang dikendalikan Hamas di wilayah Palestina tersebut pada Sabtu (4/11) pagi waktu setempat.

    “Beberapa mortir tank jatuh ke sekolah yang menjadi sasaran langsung tersebut,” imbuh kementerian.

    (azh/azh)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Kisah Ibu Melahirkan di Tengah Pemadaman Listrik-Serangan Israel di Gaza

    Kisah Ibu Melahirkan di Tengah Pemadaman Listrik-Serangan Israel di Gaza

    Jakarta

    Satu bulan lalu, Jumana Emad, calon ibu yang tinggal Gaza, sedang berada dalam tahap akhir kehamilan.

    Ia dengan senang hati membagikan foto perutnya yang sedang hamil besar kala itu, menunggu waktu persalinannya.

    Dia tahu bahwa dia akan melahirkan anak perempuan, suaminya tak sabar menanti kelahiran putri mereka, tas berisi keperluan persalinannya sudah dikemas dan putrinya yang berusia empat tahun, Tulin, tak sabar untuk segera bertemu dengan adik bayinya.

    Akan tetapi, semuanya berubah dengan tiba-tiba.

    Kelompok Hamas melakukan serangan terhadap Israel pada 7 Oktober yang menewaskan 1.400 orang dan menyandera lebih dari 200 orang.

    Israel kemudian melancarkan serangan balasan ke Gaza, yang menurut Kementerian Kesehatan Hamas, telah menewaskan 9.000 orang sejauh ini.

    “Saya takut, kata Jumana kepada BBC.

    Jurnalis lepas berusia 25 tahun itu mengikuti perintah Israel untuk meninggalkan rumahnya yang berlokasi di Gaza bagian utara.

    Dia meninggalkan rumahnya dua hari setelah serangan Israel dan menuju ke selatan.

    Dalam ketakutan dan kondisi hamil sembilan bulan, Jumana membawa putrinya ke rumah kerabatnya.

    Bersamanya hanya satu potong pakaian, sekotak susu dan tas kecil untuk putrinya.

    “Situasinya sulit,” jelasnya melalui pesan suara.

    Jumana EmadBayi Talia lahir pada 13 Oktober 2023 di Gaza

    “Kami tidak bisa tidur pada malam hari. Banyak sekali serangan dan kami tak bisa pergi ke tempat lain.

    “Perempuan hamil seperti saya semestinya sering berjalan kaki ke luar rumah, tapi karena perang ini saya tak bisa ke luar, bahkan untuk membeli makanan, ujarnya kemudian.

    Jumana berulang kali berbicara tentang pemadaman listrik, terganggunya koneksi internet dan pasokan air yang menipis, selain ketakutan dan kecemasannya akan persalinan di tengah kondisi yang serba sulit.

    Pada Jumat, 13 Oktober, Jumana akhirnya melahirkan.

    Semula, dia berencana untuk melakukan persalinan di Rumah Sakit Al-Shifa, yang merupakan rumah sakit besar di Gaza. Tapi kemudian dia diberitahu bahwa rumah sakit tersebut kewalahan menangani pasien.

    Dia kemudian menuju Rumah Sakit Al-Awda, rumah sakit kecil di tengah Jalur Gaza yang berlokasi di Nuseirat.

    Akan tetapi, untuk sampai ke sana pun sulit.

    Dalam kesakitan menjelang persalinan, Jumana berjuang menemukan seseorang yang bersedia untuk membawanya.

    “Sopir taksi takut dan ambulans tidak punya waktu untuk perempuan yang akan melahirkan, tuturnya.

    Dia menggambarkan jam-jam persalinannya sebagai suatu yang berat dan menakutkan.

    “Ada serangan artileri hebat di sebuah rumah sakit di sebelah rumah sakit, suaranya sangat keras sehingga saya mengira serangan itu telah sampai ke rumah sakit.

    Baca juga:

    “Orang-orang yang terluka terus berdatangan. Saya bisa mendengar teriakan dari segala arah. Saya juga memikirkan putri pertama saya. Saya mengkhawatirkannya karena dia jauh dari saya.

    “Yang saya pikirkan hanyalah saya ingin melahirkan bayi saya, apa pun yang terjadi.

    Jumana menggambarkan betapa terkejutnya ia ketika beberapa jam kemudian pada malam itu, dia melahirkan seorang bayi perempuan, yang kemudian dia beri nama Talia.

    “Tangisnya berati kami semua masih hidup, kenannya.

    Tak ada tempat tidur rumah sakit yang tersedia setelah persalinannya. Dalam kondisi kesakitan dan pendarahan, dia harus menunggu sampai tempat tidur tersedia. Dia kemudian di bawa ke dalam sebuah ruangan kecil.

    “Saya beruntung mendapatnnya, seorang perempuan lainnya yang berbaring di sof dan di lantai koridor rumah sakit setelah melahirkan, katanya.

    Jumana EmadKedua putri Jumana – Tulin, yang berusia 4 tahun, dan Talia

    Badan kesehatan seksual dan reproduksi PBB, United Nations Populations Fund (UNFPA) memperkirakan ada sekitar 50.000 perempuan Gaza yang sedang hamil, dengan sekitar 5.500 di antaranya diperkirakan akan melahirkan dalam 30 hari ke depan.

    Badan itu juga mengatakan bahwa rumah sakit dalam kondisi kewalahan menangani pasien, sementara pasokan alat medis dan kebutuhan pokok menipis.

    Sehari setelah persalinannya, Jumana mengirim rekaman vdeo yang menunjukkan dirinya tengah menggendong bayi yang dibungkus dalam selimut di dalam taksi.

    Dia meninggalkan rumah sakit untuk berkumpul dengan keluarganya namun itu pun jadi cobaan berat baginya.

    Baca juga:

    “Lift [rumah sakit] tidak berfungsi karena masalah listrik, katanya.

    Jumana yang berada di lantai empat rumah sakit itu, dalam kondisi kesakitan habis melahirkan dan bayi yang baru lahir di lengannya, harus berjalan menuruni tangga demi mencapai di lantai dasar rumah sakit.

    Ketika berhasil keluar dari rumah saki, dia harus menghadapi sulitnya mendapat transportasi untuk kembali ke tempat dia dan keluarganya menginap.

    “Kami menghabiskan satu jam mencari taksi, dan tak ada satu pun sopir yang mau membawa kami.

    “Mereka ketakutan setelah serangan yang terjadi pagi itu. Pada akhirnya, kami mendapatkan taksi, namu dia meminta tarif yang lebih tinggi dan tidak menurunkan kami di depan rumah kami tinggal.

    Jumana berkata melahirkan dalam kondisi yang sulit semacam itu telah menimbulkan dampak buruk.

    “Saya letih secara mental. Saya tak lagi ingin melakukan apa pun, akunya.

    Namun dia kemudian berkata pada saya bahwa Talia, putrinya yang baru lahir, dalam kondisi sehat.

    “Wajahnya campuran dari saya, kakak perempuannya dan ayahnya.

    “Jika bukan karena perang, saya pasti ingin menggelar suatu acara yang indah satu pekan setelah persalinan. Saya akan menggundang seluruh anggota keluarga saya dan mengadakan aqiqah (perayaan tradicional islam0 untuknya, kata Jumana.

    Dia kemudian berkata bahwa dia tak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa mendatang bagi keluarganya, namun dia bersyukur atas kehadiran putri kecilnya dan berkata: “Dia adalah harapan saya dalam kehidupan yang penuh perang dan kematian ini.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Kembali Gempur Sekolah PBB di Gaza, 12 Orang Tewas

    Israel Kembali Gempur Sekolah PBB di Gaza, 12 Orang Tewas

    Jakarta

    Militer Israel terus melancarkan serangan di Jalur Gaza. Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas, mengatakan sedikitnya 12 orang tewas pada Sabtu (4/11) ketika Israel menggempur sebuah sekolah milik badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tempat ribuan pengungsi Palestina berlindung.

    Kementerian tersebut melaporkan dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip kantor berita AFP, Sabtu (4/11/2023), bahwa “12 orang menjadi martir dan lebih dari 54 orang terluka sejauh ini akibat serangan terhadap sekolah Al-Fakhura, yang menampung ribuan pengungsi di kamp (pengungsi) Jabalia di Jalur Gaza utara”.

    Pernyataan sebelumnya yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan “serangan pendudukan (Israel)” terhadap sekolah tersebut.

    Belum ada komentar langsung dari Israel, dan AFP tidak dapat mengkonfirmasi secara independen jumlah korban jiwa.

    Juga belum ada pernyataan dari badan bantuan PBB yang mendukung pengungsi Palestina, UNRWA.

    Sebelumnya pada hari Kamis, UNRWA mengatakan bahwa empat sekolahnya di Jalur Gaza yang menampung warga yang mengungsi akibat perang Hamas-Israel, telah rusak akibat gempuran Israel.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Aksi Kerusuhan Hantui Bangladesh Jelang Pemilu

    Aksi Kerusuhan Hantui Bangladesh Jelang Pemilu

    Dhaka

    Ketegangan meningkat di Bangladesh setelah dua aktivis oposisi terbunuh, Selasa (31/10) di tengah meluasnya protes anti-pemerintah dalam beberapa hari terakhir.

    Polisi mengatakan, bentrokan terjadi di berbagai kota, ketika simpatisan oposisi dari Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) dan Jamaat-e-Islami, partai Islam terbesar di Bangladesh, menuntut Perdana Menteri Sheikh Hasina agar mundur dan menyerahkan kekuasaanya kepada pejabat sementara, menjelang pemilihan legislatif pada akhir Januari mendatang. Tuntutan tersebut digaungkan dengan alasan demi menjamin netralitas negara selama pemilu.

    Dalam aksinya, para demonstran membakar kendaraan, memblokir jalan dan terlibat dalam bentrokan dengan pasukan keamanan. Polisi melaporkan, para demonstran melemparkan bom molotov dan melempari petugas dengan batu. Pendukung partai pemerintah, Liga Awami, juga terlibat bentrokan melawan para pengunjuk rasa, lapor media-media lokal.

    Partai oposisi terbesar, BNP, mengatakan puluhan kader dan simpatisan partai tewas tertembak dan menuduh polisi menangkap hampir 2.300 anggotanya sejak protes besar-besaran pecah tanggal 28 Oktober lalu.

    Kepolisian mengaku melakukan penangkapan, antara lain dengan tujuan menyelidiki kasus kematian seorang polisi dalam aksi protes, Sabtu (28/10) pekan lalu.

    Bagaimana reaksi komunitas internasional?

    Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) Selasa (31/10) mengeluarkan pernyataan keprihatinan atas perkembangan terakhir di Bangladesh.

    Duta Besar Amerika Serikat Peter Haas meminta semua pihak untuk menggiatkan dialog agar menjamin “pemilihan umum yang bebas, adil dan damai,” tulis harian berbahasa Inggris, Dhaka Tribune.

    PM Hasina menolak seruan serahkan jabatan

    PM Hasina sedang mengincar masa jabatan keempat dan telah berulang kali menolak ide penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan sementara. Dia juga menuduh BNP melakukan “terorisme dan premanisme.”

    “Pemilu akan terjadi seperti yang terjadi di negara-negara lain seperti Kanada dan India… seperti yang terjadi pada tahun 2018 di Bangladesh,” katanya dalam konferensi pers pada hari Selasa, seperti dilaporkan kantor berita Reuters.

    “Pekerjaan rutin pemerintah tidak akan berhenti,” tukasnya.

    Michael Kugelman, pakar Asia Selatan di Woodrow Wilson International Center for Scholars di Washington, menilai ketegangan di Bangladesh menjadi kekhawatiran bagi komunitas internasional.

    “Instabilitas politik yang meningkat pesat – meningkatnya protes yang diikuti dengan penangkapan dan bertambahnya amarah serta ancaman protes yang lebih besar – tidak meredakan kekhawatiran komunitas internasional.”

    Ali Riaz, profesor ilmu politik di Illinois State University, punya pandangan serupa. “Mengingat kesenjangan antara oposisi dan pemerintah yang semakin besar dan meningkatnya kekerasan yang berpotensi mengganggu stabilitas dan perekonomian yang sudah rapuh, komunitas internasional harus mengambil peran proaktif,” kata Riaz kepada DW.

    Hasina rombak sistem pemilu

    Partai Liga Awami yang dipimpin Hasina dituduh melakukan kecurangan dalam dua pemilu terakhir pada tahun 2014 dan 2018. Selama hampir 15 tahun berkuasa sejak 2009 dia giat mengkriminalisasi ribuan aktivis oposisi .

    Ragam kejanggalan pada penyelenggaraan pemilu 2014 dan 2018 mendorong partai-partai oposisi menuntut netralitas negara dalam pemilihan Januari mendatang.

    Hingga tahun 2011, Bangladesh sejatinya mempunyai sistem “pemerintahan transisional” yang didesain untuk mencegah partai berkuasa melakukan manipulasi dan pelanggaran pemilu.

    Di bawah sistem tersebut, pemerintahan sementara, yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil, akan mengambil alih pengelolaan lembaga-lembaga negara selama tiga bulan dan menyelenggarakan pemilu.

    Pemerintahan transisi di Bangladesh pernah menyelenggarakan tiga pemilu pada tahun 1996, 2001, dan 2008. Pemilu-pemilu tersebut dianggap bebas, adil, dan inklusif oleh para pengamat domestik dan internasional.

    Namun Liga Awami menganulir sistem tersebut pada tahun 2011, melalui keputusan Mahkamah Agung pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut melanggar prinsip demokrasi perwakilan.

    “Hambatan utama untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas, adil, dan inklusif adalah tidak adanya ketentuan untuk memiliki pemerintahan yang netral selama masa pemilu; sampai ada cara untuk mengatasi masalah ini, saya rasa pemilu yang adil tidak mungkin terjadi,” pungkas Riaz.

    rzn/as

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Netanyahu Bertekad Tumpas Hamas, Apa Rencana Israel Usai Operasi Darat?

    Netanyahu Bertekad Tumpas Hamas, Apa Rencana Israel Usai Operasi Darat?

    Tel Aviv

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menolak gencatan senjata dan siap bertempur dalam waktu lama demi mewujudkan sumpahnya menumpas kelompok Hamas. Namun, pakar menilai Israel tak punya rencana pasti mencapai tujuan itu.

    Pemandangan horor yang terus menggentayangi Jalur Gaza usai perang pecah pada 7 Oktober lalu memang sekilas menunjukkan tekad Israel untuk menumpas habis Hamas.

    Tak peduli tekanan para kepala negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Netanyahu menolak seruan gencatan senjata dalam pernyataannya pada Senin (30/10).

    “Seruan gencatan senjata terhadap Israel sama dengan seruan bagi Israel untuk menyerah kepada Hamas, menyerah kepada terorisme,” ujar Netanyahu.

    Ia kemudian berkata, “Alkitab mengatakan, ‘Ada waktu untuk berdamai, dan ada waktu untuk berperang.’ Ini adalah waktu untuk berperang.”

    Di tengah retorika Netanyahu yang berapi-api itu, para pakar mempertanyakan rencana Israel untuk mewujudkan sumpahnya memberantas Hamas setelah perang berakhir.

    “Anda tidak dapat menggembar-gemborkan sebuah gerakan bersejarah seperti itu tanpa rencana ke depannya,” ujar kepala Studi Palestina di Pusat Moshe Dayan Universitas Tel Aviv, Michael Milshtein.

    “Anda harus melakukannya sekarang,” tuturnya.

    Sejumlah diplomat Barat mengaku sudah berdiskusi dengan Israel mengenai rencana ke depan itu, tapi hingga kini belum ada wujud konkretnya.

    “Betul-betul bukan rencana yang pasti. Anda bisa menggambarkan beberapa gagasan di atas kertas, tapi untuk mewujudkannya bakal membutuhkan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan diplomasi,” ujar seorang diplomat.

    Baca juga:

    Dari segi militer, sebenarnya sudah ada beberapa rencana, mulai dari mengerdilkan kemampuan militer Hamas hingga mengambil alih kendali sebagian besar wilayah Jalur Gaza.

    Namun, orang-orang yang berpengalaman menangani krisis-krisis sebelumnya ragu rencana-rencana tersebut dapat terlaksana.

    “Saya rasa tak ada solusi yang mungkin dilakukan bagi Gaza sehari setelah kita mengevakuasi pasukan,” ucap Haim Tomer, seorang mantan pejabat badan intelijen Israel, Mossad.

    Secara politik, Israel satu suara: Hamas harus dikalahkan. Menurut mereka, serangan pada 7 Oktober lalu terlampau mengerikan sehingga Hamas tak boleh lagi menguasai Gaza.

    Kendati demikian, Milshtein menekankan bahwa Hamas adalah sebuah pemikiran sehingga Israel tak bisa menghapus Hamas begitu saja.

    “Ini tidak seperti Berlin pada 1945, ketika Anda menancapkan bendera di Reichstag dan selesai,” katanya.

    Ia menganggap situasi Israel ini lebih mirip dengan Irak pada 2003 silam, ketika pasukan pimpinan Amerika Serikat berupaya menghapus jejak rezim Sadam Hussein.

    Upaya yang dikenal sebagai De-Baathifikasi itu bak bencana. Selama upaya itu digalakkan, ratusan ribu pegawai sipil Irak dan anggota pasukan bersenjata kehilangan pekerjaan, menabur benih pemberontakan yang akhirnya subur.

    Para veteran Amerika dari konflik itu saat ini berada di Israel, berbincang dengan militer setempat mengenai pengalaman mereka di titik-titik panas di Irak, seperti Falluja dan Mosul.

    “Saya berharap mereka menjelaskan kepada orang-orang Israel bahwa mereka membuat kesalahan besar di Irak. Contohnya, jangan berilusi memberangus partai berkuasa atau mengubah pikiran orang. Itu tak akan terjadi,” tutur Milshtein.

    Baca juga:

    Tak hanya pakar dari Israel, pengamat-pengamat Palestina juga memiliki pandangan serupa.

    “Hamas merupakan organisasi akar rumput. Jika mereka ingin menumpas Hamas, mereka harus melakukan pembersihan etnis di seluruh Gaza,” kata Presiden Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti.

    Gagasan pembersihan etnis dan pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara tetangga, Mesir, pun mulai mengemuka.

    Sejumlah pihak Israel, termasuk mantan-mantan pejabat senior, sudah mulai sering membahas betapa penting memindahkan sementara warga Palestina dari Gaza ke Sinai.

    Mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, Giora Eiland, mengatakan satu-satunya jalan bagi Israel untuk memenuhi ambisinya tanpa membunuh banyak orang tak bersalah adalah dengan mengevakuasi warga Palestina dari Gaza.

    “Mereka harus menyeberang perbatasan ke Mesir secara sementara atau permanen,” ucapnya.

    Gagasan semacam ini lah yang paling ditakuti orang Palestina. Sebagai populasi yang punya rekam jejak panjang menjadi pengungsi, kemungkinan eksodus besar-besaran memantik ingatan akan kejadian traumatis pada 1948.

    “Kabur berarti hanya punya satu tiket pergi. Mereka tak akan mungkin bisa kembali,” ujar mantan juru bicara Organisasi Pembebasan Palestina, Diana Buttu.

    Ketakutan orang Palestina kian menjadi setelah Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, pada 20 Oktober lalu meminta Kongres menyetujui pemberian dana bantuan untuk Israel dan Ukraina.

    Hingga saat ini Israel memang belum menyatakan secara gamblang keinginan mereka agar warga Palestina melintasi perbatasan.

    Pasukan Pertahanan Israel (IDF) hanya berulang kali mendesak warga sipil ke “area-area” aman di kawasan selatan.

    Namun, Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sissi, sudah mewanti-wanti bahwa perang Israel di Gaza dapat menjadi “upaya untuk menekan warga sipil untuk bermigrasi ke Mesir.”

    Jika berasumsi masih ada warga Gaza di Jalur Gaza ketika perang berakhir, siapa yang akan memerintah mereka?

    “Itu pertanyaan sulit,” kata Milshtein.

    Milshstein menilai Israel harus mendukung pembentukan pemerintahan baru yang dikuasai oleh orang Gaza. Namun, orang-orang dalam pemerintahan itu harus mendukung AS, Mesir, dan mungkin Arab Saudi.

    Baca juga:

    Formasi pemerintahan itu juga harus diperkuat dengan Fatah, faksi rival Hamas di Palestina yang didepak dari Gaza setahun setelah pemilu pada 2006 silam.

    Fatah merupakan pengendali Otoritas Palestina (PA), yang berbasis di Ramallah, kota di Tepi Barat.

    Diana Buttu mengatakan PA kemungkinan secara diam-diam ingin kembali ke Gaza, tapi mereka tentu ogah “ikut menunggangi tank Israel.”

    Seorang politikus veteran Palestina yang sempat menjadi pejabat PA pada 1990-an, Hanan Ashrawi, juga tak mau pihak asing, termasuk Israel, lagi-lagi berupaya mendikte kehidupan Palestina.

    “Orang yang berpikiran bahwa ini merupakan percaturan dan mereka dapat menggerakkan beberapa pion ke sana ke mari dengan harapan gerakan checkmate pada akhirnya, itu tak akan terjadi,” ujar Ashrawi.

    “Anda mungkin bisa mendapatkan beberapa kolaborator, tapi warga Gaza tak akan menyambut baik mereka.”

    Di tengah kebuntuan ini, orang-orang yang sempat menangani perang-perang di Gaza sebelumnya pun memunculkan indikasi bahwa hampir semua solusi sudah pernah dicoba.

    Mantan pejabat Mossad, Haim Tomer, mengungkap pengalamannya setelah salah satu pertempuran di Gaza pada 2012 lalu.

    Saat itu, ia menemani direktur Mossad ke Kairo untuk pembicaraan rahasia yang berujung pada kesepakatan gencatan senjata.

    Ia bercerita bahwa saat itu, perwakilan Hamas berada “di seberang jalan”. Sebagai penengah, pejabat Mesir mondar-mandir untuk menyampaikan pesan.

    Menurutnya, mekanisme serupa dapat diterapkan lagi dalam upaya pembebasan warga yang disandera Hamas, tapi Israel kemungkinan bakal membayar lebih mahal.

    “Saya tidak peduli jika kita harus membebaskan beberapa ribu tahanan Hamas. Saya ingin warga kita kembali pulang,” tutur Tomer.

    Setelah warga berhasil diselamatkan, barulah Israel dapat memilih bakal melanjutkan operasi militer skala penuh atau gencatan senjata jangka panjang.

    Namun, pembatas fisik antara wilayah Gaza dan Israel sangat minim. Tomer pun menganggap Israel memang sudah ditakdirkan berurusan dengan Gaza selamanya.

    “Seperti duri di tenggorokan kita,” katanya.

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Profil Craig Mokhiber, Direktur HAM PBB Mundur terkait Palestina

    Profil Craig Mokhiber, Direktur HAM PBB Mundur terkait Palestina

    Jakarta

    Direktur Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbasis di New York, Craig Mokhiber, mundur dari jabatannya. Pengunduran dirinya lantaran menganggap PBB gagal mencegah genosida di Palestina.

    Seperti dilansir The Guardian, Rabu (1/11/2023), Mokhiber mengajukan surat pengunduran diri pada 28 Oktober lalu. Dalam suratnya kepada Komisaris Tinggi PBB di Jenewa, Volker Turk, Mokhiber kecewa PBB tidak bisa menghentikan genosida yang terjadi di Palestina.

    “Sekali lagi kita melihat genosida terjadi di depan mata kita dan organisasi yang kita layani tampaknya tidak berdaya untuk menghentikannya,” kata Craig Mokhiber.

    Kecewa PBB Gagal Cegah Genosida di Palestina

    Menurut Mokhiber, ini bukan kali pertama PBB gagal dalam mencegah genosida. Craig Mokhiber mengatakan PBB sebelumnya juga telah gagal mencegah genosida terhadap Tutsi di Rwanda, Muslim di Bosnia, Yazidi di Kurdistan Irak dan Rohingya di Myanmar.

    “Pembantaian besar-besaran terhadap rakyat Palestina saat ini, yang berakar pada ideologi pemukim kolonial etno-nasionalis, merupakan kelanjutan dari penganiayaan dan pembersihan sistematis yang telah berlangsung selama beberapa dekade, sepenuhnya didasarkan pada status mereka sebagai orang Arab … tidak ada keraguan,” ujarnya.

    “Ini adalah contoh kasus genosida,” imbuh Mokhiber.

    Mokhiber juga menuding Amerika Serikat, Inggris, dan sebagian besar negara Eropa tidak hanya “menolak untuk memenuhi kewajiban perjanjian mereka” berdasarkan Konvensi Jenewa tetapi juga mempersenjatai serangan Israel dan memberikan perlindungan politik dan diplomatik terhadap konflik tersebut.

    Mokhiber telah mengabdi kepada PBB sejak tahun 1992, sebagai seorang pengacara dan spesialis dalam hukum, kebijakan, dan metodologi hak asasi manusia internasional. Sebagai ketua Tim Hak Asasi Manusia dan Pembangunan pada tahun 1990-an, beliau memimpin pengembangan karya asli OHCHR tentang pendekatan berbasis hak asasi manusia terhadap pembangunan dan definisi kemiskinan yang peka terhadap hak asasi manusia.

    Craig Mokhiber juga pernah menjabat sebagai Penasihat Senior Hak Asasi Manusia PBB di Palestina dan Afghanistan, memimpin tim spesialis hak asasi manusia yang tergabung dalam Misi Tingkat Tinggi untuk Darfur, mengepalai Unit Aturan Hukum dan Demokrasi, dan menjabat sebagai Kepala Bagian Masalah Ekonomi dan Sosial, serta Kepala Cabang Pembangunan dan Masalah Ekonomi dan Sosial di Markas Besar OHCHR.

    Craig Mokhiber Telah Mundur dari Jabatannya

    Seorang juru bicara PBB di New York mengirimkan pernyataan kepada The Guardian tentang kabar Craig Mokhiber. Dia mengatakan bahwa Mokhiber telah pensiun mulai hari ini.

    “Saya dapat mengonfirmasi bahwa dia akan pensiun hari ini. Dia memberi tahu PBB pada bulan Maret 2023 tentang masa pensiunnya yang akan datang, yang akan berlaku besok. Pandangan dalam suratnya yang dipublikasikan hari ini adalah pandangan pribadinya,” ujarnya.

    Dalam perannya sebagai direktur HAM PBB di New York, Mokhiber kadang-kadang mendapat kecaman dari kelompok pro-Israel karena komentarnya di media sosial. Dia dikritik karena memberikan dukungan terhadap gerakan boikot, divestasi, sanksi (BDS) dan menuduh Israel melakukan apartheid – sebuah tuduhan yang dia ulangi dalam suratnya.

    (wia/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu