partai: PBB

  • China Ingin Uni Eropa Terlibat Perundingan Damai Ukraina, Kenapa?

    China Ingin Uni Eropa Terlibat Perundingan Damai Ukraina, Kenapa?

    Jakarta

    Pesan dari Cina di Dewan Keamanan PBB pekan lalu sangat jelas: “Cina menyambut semua upaya yang didedikasikan untuk perdamaian, termasuk kesepakatan baru-baru ini yang dicapai oleh Amerika Serikat dan Rusia untuk memulai perundingan damai,” ujar Duta Besar Cina untuk PBB, Fu Cong, dalam sebuah rapat pengarahan di Dewan Keamanan (DK) PBB.

    “Cina berharap semua pihak dan pemangku kepentingan terkait yang terlibat dalam krisis Ukraina akan terlibat dalam proses perundingan damai. Karena konflik telah berlangsung di Eropa, sangat penting bagi Eropa untuk bekerja demi perdamaian,” katanya, yang tampaknya bertentangan dengan posisi Rusia, mitra strategis utama Beijing.

    Pada hari Senin (24/02) sebelum bertemu dengan delegasi AS di Arab Saudi, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyindir bahwa ia tidak melihat ada tempat bagi Uni Eropa (UE) di meja perundingan, dengan mengklaim bahwa UE telah memiliki beberapa kesempatan untuk berpartisipasi dalam perundingan untuk menyelesaikan konflik.

    Perdamaian di Eropa tanpa orang Eropa?

    Cina telah mendukung Rusia sejak meluncurkan invasi skala penuh ke Ukraina pada bulan Februari 2022, menolak untuk mengutuk agresi Rusia, sementara secara implisit memberikan dukungan ekonomi di tengah sanksi yang dipimpin AS.

    Sepanjang perang, Cina bersikeras menyelesaikan konflik melalui proses “dialog”. Pengamat politik yang bermarkas di Beijing, Kan Quanqiu, mengatakan bahwa pernyataan Cina di DK PBB, yang tampaknya bertentangan dengan posisi Rusia, muncul saat Moskow melihat peluang untuk mengisolasi Eropa. “Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin, Ukraina harus didemiliterisasi. Dengan prasyarat ini, yang tidak realistis bagi Eropa, Rusia ingin mempersulit dan membuat Eropa tidak mungkin datang ke meja perundingan,” tulis Kan. Ini akan memungkinkan Rusia mencapai kesepakatan cepat dengan Washington, lanjut Kan. “Cepat atau lambat, AS di bawah Presiden Donald Trump akan mengkhianati Eropa dan Ukraina dengan sebuah kesepakatan,” imbuhnya.

    Perjanjian bilateral semacam itu mengancam akan menjungkirbalikkan sistem keamanan internasional di Eropa yang berlaku sejak Perang Dingin. Fakta bahwa Eropa menghadapi tantangan kebijakan luar negeri baru menjadi jelas setelah Konferensi Keamanan München, MSC. Pembicara tamu, Wakil Presiden AS yang baru JD Vance, tidak menjelaskan apa yang akan dilakukan pemerintahan AS yang baru untuk memulihkan perdamaian di Eropa. Sebaliknya, ia menggunakan pidatonya untuk menegur pejabat Eropa yang hadir karena secara terang-terangan menindas kebebasan berbicara dengan mencoba menyingkirkan partai politik sayap kanan.

    AS mengabaikan aliansinya dengan Eropa

    Selama kampanye pemilihan presiden AS, Trump sering mengatakan bahwa ia akan mengakhiri perang Ukraina dalam 24 jam setelah kembali menjabat. Meskipun batas waktu itu telah lewat, tampaknya mengakhiri konflik dengan cepat masih menjadi salah satu prioritas Trump.

    Menjalin kontak langsung dengan Rusia, yang telah dikenai sanksi oleh komunitas internasional atas kejahatan perang, tanpa melibatkan Eropa dan Ukraina, merupakan tanda bahwa AS meninggalkan aliansinya yang telah lama terjalin.

    Sascha Lohmann dan Johannes Thimm dari Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan SWP, mengatakan kepada DW bahwa “perubahan mendasar dalam mentalitas diperlukan” di Eropa.

    Dengan AS tidak lagi bertindak sebagai “mitra dan sekutu alami,” tetapi sebagai “negara dengan tujuan yang sebagian bertentangan” dengan UE, kedua pakar tersebut mengatakan Eropa dan Jerman harus “mendefinisikan kepentingan mereka sendiri dan mengembangkan instrumen untuk memastikan kemampuan mereka untuk bertindak dan membentuk masa depan, bahkan dalam menghadapi perlawanan dari Washington.”

    Cina ulurkan tangan kepada Eropa

    Dari seberang benua Eurasia, Cina kini mengulurkan tangannya kepada UE. Dalam Konferensi Keamanan di kota München, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi berbicara setelah kemunculan Wakil Presiden AS dan dengan cepat memposisikan Cina sebagai pengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh peralihan Washington ke arah isolasionisme.

    Wang mengatakan Cina sendiri menyumbang sekitar 20% dari pengeluaran PBB, negeri ‘tirai bambu’ ini sepenuhnya mengimplementasikan Perjanjian Iklim Paris. Dalam berpolitik, Cina “tidak melakukan sesuatu hanya jika itu menguntungkan dirinya saja”.

    “Dalam menghadapi tantangan global yang muncul, tidak ada negara yang tidak terpengaruh, dan pendekatan ‘kitalah yang utama’ dalam hubungan internasional hanya mengarah pada hasil yang merugikan semua pihak, kata Wang, seraya menambahkan bahwa Cina “menjunjung tinggi multilateralisme sejati.”

    Dengan senyum menawan, Wang menyerukan hubungan yang lebih erat antara Cina dan Eropa.

    Uni Eropa telah menyusun kerangka kebijakan Cina yang baru selama setahun terakhir, yang menggambarkan Cina sebagai mitra, pesaing serta menyerukan “pengurangan risiko” atau menjauhkan diri secara sistematis dari Beijing. Wang tampaknya merujuk pada kebijakan ini selama pidatonya di München.

    “Cina selalu melihat Eropa sebagai kutub penting di dunia multipolar. Kedua belah pihak adalah mitra, bukan saingan,” kata Wang.

    Pidatonya diakhiri dengan menyerukan Cina dan Eropa untuk “memperdalam komunikasi strategis dan kerja sama yang saling menguntungkan, serta mengarahkan dunia menuju masa depan yang cerah, penuh perdamaian, keamanan, kemakmuran dan kemajuan.”

    Pemerintahan di Beijing bermuka dua?

    Ilmuwan politik Stephan Bierling dari Universitas Regensburg mengatakan kepada DW bahwa pernyataan Wang “bermuka dua.”

    Cina berbicara tentang dunia multipolar, tetapi yang dimaksud adalah memiliki kebebasan untuk mengamankan zona pengaruhnya sendiri, tegas Stephan Bierling, seraya menambahkan bahwa Cina menampilkan dirinya sebagai perwakilan tatanan dunia berbasis aturan, tetapi melanggar tatanan ini lebih sering daripada siapa pun.

    “Namun, pernyataannya sekarang jatuh pada landasan yang agak lebih subur karena Wakil Presiden AS, JD Vance, sama sekali tidak mengatakan apa pun tentang kebijakan luar negeri AS. Ia bahkan tidak menganggap orang Eropa mampu berbicara tentang masalah besar politik internasional pada tingkat yang memuaskan,” kata Bierling kepada DW.

    Memecah belah dan menaklukkan?

    Cina akan mencoba memecah belah demokrasi liberal di dunia Barat, demikian menurut pakar Asia Angela Stanzel dari SWP.

    “Jika terjadi keretakan transatlantik karena pemerintahan Trump secara drastis mengurangi dukungan untuk Ukraina, misalnya, Beijing akan segera melihat ini sebagai peluang untuk mendorong negara-negara Eropa menuju otonomi strategis,” tulis Stanzel dalam sebuah studi baru-baru ini dengan rekan penulis Jonathan Michel.

    “Dari perspektif Cina, tujuannya adalah agar Eropa menjauhkan diri dari AS pada tingkat yang lebih besar dan meningkatkan hubungannya dengan Cina,” tulisnya.

    Sebagai tanggapan, studi tersebut mengatakan negara-negara anggota inti UE, Jerman dan Prancis, harus memperkuat jangkauan geopolitik Komisi Eropa untuk meminimalkan risiko yang datang dari Cina sambil mempertahankan dialog transatlantik yang intensif.

    “Donald Trump suka membuat kesepakatan dan telah membuat banyak hal yang tidak mungkin menjadi mungkin,” kata Wang Huiyao, ekonom dan presiden pendiri lembaga pemikir Center for China and Globalization yang berafiliasi dengan pemerintah dan berbasis di Beijing.

    “Uni Eropa dapat berbisnis dengannya, begitu pula Rusia dan Cina. Oleh karena itu, Trump mengabaikan isu-isu sulit seperti ideologi, nilai-nilai bersama, dan hak asasi manusia,” katanya kepada DW.

    Dalam tatanan dunia masa depan, ekonom Wang membayangkan segitiga kekuatan antara AS, Eropa, dan Cina.

    “Eropa dapat mencapai keseimbangan yang lebih baik antara Cina dan Amerika. Cina menemukan ruang lingkup baru dalam hubungan transatlantik. Ada peluang besar, tetapi juga tantangan besar,” pungkasnya.

    Artikel ini diadaptasi dari tulisan bahasa Jerman.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Perang Rusia-Ukraina Hari ke-1098: Sekutu Eropa Temui Zelensky di Kyiv, Janji Beri Tambahan Bantuan – Halaman all

    Perang Rusia-Ukraina Hari ke-1098: Sekutu Eropa Temui Zelensky di Kyiv, Janji Beri Tambahan Bantuan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Berikut perkembangan terkini perang Rusia dan Ukraina hari ke-1.098 pada Selasa (25/2/2025).

    Pada tengah malam, Rusia meluncurkan 40 pesawat tak berawak ke Ukraina.

    Ukraina melaporkan setelah peluncuran tersebut, dua orang terluka akibat ledakan UAV di Dergachi, Kharkiv.

    Negara-negara Eropa Tingkatkan Bantuan ke Ukraina

    Sejumlah negara Eropa mulai meningkatkan bantuan militer ke Ukraina di tengah pembicaraan mengenai upaya AS untuk menengahi perundingan yang akan mengakhiri perang Rusia-Ukraina.

    Norwegia mengatakan berencana menggunakan 3,5 miliar kroner Norwegia atau sekitar 315 juta dolar untuk pembelian dari industri pertahanan Ukraina; dan 600 juta kroner untuk membeli pesawat nirawak dan mengembangkan teknologi pesawat nirawak untuk Ukraina.

    Denmark mengatakan menjanjikan bantuan militer sebesar 2 miliar kroner Denmark (280 juta dolar) untuk Ukraina.

    Pemerintah Swedia mengumumkan janji bantuan sebesar 1,2 miliar kronor Swedia (113 juta dolar) untuk pertahanan udara.

    Estonia, negara berpenduduk 1,3 juta orang, mengumumkan akan meningkatkan bantuannya ke Ukraina sebesar 25 persen termasuk membeli 10.000 peluru mortir dengan biaya tambahan 25 juta Euro, di atas 100 juta Euro yang telah dijanjikan dari industri pertahanannya.

    Sedangkan Latvia berjanji tahun ini akan mengirimkan pengangkut personel lapis baja, drone, dan peralatan lainnya ke Ukraina.

    Sebelumnya Latvia telah berinvestasi 500 ribu Euro untuk pertahanan Ukraina dalam tiga tahun terakhir.

    Trump dan Macron Bertemu di Prancis, Bahas soal Ukraina

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron menunjukkan perbedaan mencolok dalam sikap mereka terhadap Ukraina selama pertemuan di Gedung Putih pada Senin (24/2/2025).

    Macron menegaskan ia tidak setuju dengan Trump pada beberapa isu utama yang menandai tiga tahun sejak Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2022.

    Trump menolak menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai diktator, setelah menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai diktator minggu lalu. 

    Sedangkan Macron mengatakan sudah jelas bahwa Rusia adalah agresor dalam perang tersebut.

    PM Ceko: Aset Rusia yang Disita Harus Digunakan untuk Bantu Ukraina

    Perdana Menteri Ceko, Petr Fiala, mengatakan Eropa harus menggunakan uang dari aset Rusia yang dibekukan untuk dukungan militer lebih lanjut bagi Ukraina.

    Ia juga menyerukan kepada negara-negara Eropa agar melonggarkan aturan fiskalnya untuk meningkatkan anggaran pertahanan.

    Eropa Lebih Banyak Beli Bahan Bakar Rusia daripada Beri Bantuan ke Ukraina

    Uni Eropa masih menghabiskan lebih banyak uang untuk bahan bakar fosil Rusia daripada untuk bantuan keuangan ke Ukraina, berdasarkan sebuah laporan yang menandai ulang tahun ketiga invasi tersebut.

    Eropa diperkirakan membeli bahan bakar fosil senilai 22 miliar Euro dari Rusia pada tahun 2024 tetapi hanya memberikan 19 miliar Euro untuk mendukung Ukraina, menurut laporan baru oleh Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang diterbitkan pada Senin kemarin.

    Sebelumnya, Eropa dikabarkan mulai mengurangi ketergantungan mereka terhadap bahan bakar dari Rusia, meski jumlah tersebut masih lebih besar daripada jumlah bantuan mereka untuk Ukraina.

    Eropa akan Beri Jaminan Keamanan untuk Ukraina

    Presiden Prancis, Emmanual Macron, mengatakan Eropa siap memberikan jaminan keamanan kepada Ukraina jika terjadi gencatan senjata termasuk pasukan penjaga perdamaian.

    Ia menegaskan pasukan penjaga perdamaian tersebut tidak akan dikirim ke garis depan.

    Sebelumnya dalam konferensi dengan Macron di Gedung Putih kemarin, Presiden AS Donald Trump mengklaim Vladimir Putin akan menerima pasukan penjaga perdamaian Eropa di Ukraina.

    Presiden Turki: Ukraina Harus Berpartisipasi dalam Perundingan

    Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, mengatakan Ukraina harus berpartisipasi dalam perundingan apa pun terkait perang Rusia-Ukraina.

    “Ukraina harus berpartisipasi dalam perundingan apa pun,” kata Erdoğan, pada hari Senin.

    “Jika hasil dari proses baru ini ingin diperoleh, Ukraina harus diikutsertakan dalam proses ini dan perang ini harus diakhiri melalui perundingan bersama,” tambahnya.

    Sejak invasi Rusia di Ukraina, ia dengan tegas mendukung kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina.

    Rusia akan Evakuasi Warganya dari Kursk

    Rusia mengatakan telah mencapai kesepakatan dengan Ukraina dan Palang Merah untuk mengevakuasi penduduknya dari wilayah Kursk, yang sebagian wilayahnya telah direbut oleh Ukraina.

    Warga Kursk yang sudah berada di Sumy di Ukraina akan dibawa melalui negara tetangga Belarus dan kemudian ke Rusia.

    Palang Merah hanya mengatakan bahwa mereka mendukung warga sipil yang dievakuasi di wilayah Sumy, tanpa mengonfirmasi kesepakatan apa pun.

    Dewan Keamanan PBB Adopsi Resolusi AS

    Dewan Keamanan PBB telah mengadopsi resolusi AS mengenai perang Ukraina yang didukung oleh Rusia karena tidak mengandung kritik terhadap invasi ilegal tersebut.

    Ada 10 suara yang mendukung dan tidak ada yang menentang; lima abstain termasuk Prancis dan Inggris, yang dapat memveto resolusi tersebut.

    Sebelumnya, AS dipaksa untuk abstain karena majelis umum PBB yang jauh lebih besar mengeluarkan resolusi yang mengutuk invasi skala penuh Rusia ke Ukraina.

    Sekutu Eropa Temui Zelensky di Ukraina

    Ukraina menjadi tuan rumah bagi para pemimpin Eropa untuk menandai tiga tahun perang habis-habisan dengan Rusia pada Senin (24/2/2025).

    Sementara itu, para pejabat tinggi AS tidak hadir di tengah perubahan haluan pemerintah AS terhadap Ukraina, sejak Donald Trump kembali berkuasa.

    “Para otokrat di seluruh dunia tengah mengamati dengan saksama apakah ada impunitas jika Anda melanggar batas internasional atau menyerang tetangga Anda, atau apakah ada pencegahan yang sesungguhnya,” Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen memperingatkan di Kyiv, seperti diberitakan Le Monde.

    Dalam pertemuan tersebut, para pemimpin Eropa berjanji akan meningkatkan lebih banyak bantuan untuk Ukraina.

    Beberapa jam setelah peringatan tersebut, Trump mengatakan ia yakin Presiden Rusia Vladimir Putin akan menerima pasukan penjaga perdamaian Eropa di Ukraina sebagai bagian dari kesepakatan potensial untuk mengakhiri perang.

    Secara terpisah, Putin mengisyaratkan negara-negara Eropa dapat menjadi bagian dari penyelesaian, tetapi ia belum membahas penyelesaian perang secara rinci dengan Donald Trump.

    Sebelumnya, Donald Trump mengusulkan agar AS menjadi penengah dalam perundingan Rusia dan Ukraina.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Rusia VS Ukraina

  • Presiden Prancis Emmanuel Macron Kesal Trump Bohong Soal Ukraina, Hubungan AS-Eropa Retak? – Halaman all

    Presiden Prancis Emmanuel Macron Kesal Trump Bohong Soal Ukraina, Hubungan AS-Eropa Retak? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Momen menegangkan terjadi ketika Presiden Prancis, Emmanuel Macron bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump di Gedung Putih, Senin (24/2/2025) waktu setempat.

    Saat menghadiri konferensi pers di Gedung Putih, nampak Emmanuel Macron dan Donald Trump bersitegang.

    Hal itu terjadi ketika Donald Trump mengklaim bahwa negara-negara Eropa hanya memberikan bantuan keuangan kepada Ukraina.

    “Sebagai informasi, Eropa meminjamkan uang kepada Ukraina. Mereka akan mendapatkan kembali uang mereka,” kata Trump, dikutip dari The Mirror.

    Mendengar hal tersebut, Macron pun tampak kesal dengan menyela omongan Trump.

    “Tidak, sejujurnya, kami yang membayar,” tegas Macron.

    “Kami membayar 60 persen dari total biaya. Seperti di AS: pinjaman, jaminan, hibah,” ungkap Macron.

    Selama pembicaraan, Macron juga menanggapi pernyataan Trump tentang aset Rusia yang dibekukan di Eropa, dan menepis anggapan bahwa aset tersebut digunakan sebagai jaminan pinjaman ke Ukraina.

    “Kami memiliki aset senilai $230 miliar yang dibekukan di Eropa, aset Rusia.”

    “Namun, ini bukan agunan pinjaman karena bukan milik kami. Jadi, aset tersebut dibekukan,” kata Presiden Prancis tersebut.

    Trump tampak tidak terpengaruh oleh interupsi tersebut, namun memberikan tanggapan yang meremehkan.

    “Jika Anda percaya itu, saya tidak keberatan. Mereka mendapatkan kembali uang mereka, sedangkan kami tidak. Namun sekarang kami mendapatkannya,” katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

    Saat pembicaraan dengan Presiden Prancis berlanjut, Trump sekali lagi menekankan permintaannya agar Ukraina menandatangani hak mineral senilai ratusan miliar dolar untuk membayar kembali bantuan militer AS.

    “Uang yang dikeluarkan sangat besar dan kami tidak punya apa-apa untuk ditunjukkan,” katanya.

    Teguran diplomatik secara langsung yang dilakukan oleh Macron kepada Trump jarang terjadi di Gedung Putih.

    Hal ini menyoroti ketegangan yang mendasari dalam diskusi kedua pemimpin meskipun nada bicara mereka tampak ramah.

    AS Tolak Salahkan Rusia dalam Perang Ukraina

    AS kembali menunjukkan sikap politiknya yang berubah drastis semenjak Donald Trump menjabat kembali.

    Terbaru, AS berpisah dengan sekutu-sekutunya di Eropa dengan menolak menyalahkan Rusia atas invasinya ke Ukraina dalam pemungutan suara pada tiga resolusi PBB, Senin (24/2/2025).

    Perpecahan yang makin besar ini menyusul keputusan Trump untuk membuka negosiasi langsung dengan Rusia guna mengakhiri perang, yang membuat Ukraina dan para pendukungnya di Eropa kecewa karena mengecualikan mereka dari pembicaraan pendahuluan minggu lalu.

    Di Majelis Umum PBB, AS bergabung dengan Rusia dalam pemungutan suara menentang resolusi Ukraina yang didukung Eropa yang menyerukan agresi Moskow dan menuntut penarikan segera pasukan Rusia.

    AS kemudian abstain dari pemungutan suara atas resolusinya sendiri setelah negara-negara Eropa, yang dipimpin oleh Prancis, berhasil mengubahnya untuk memperjelas bahwa Rusia adalah agresor.

    Pemungutan suara tersebut dilakukan pada peringatan tiga tahun invasi Rusia dan saat Trump menjamu Presiden Prancis Emmanuel Macron di Washington.

    Dikutip dari AP News, kejadian ini merupakan kemunduran besar bagi pemerintahan Trump dalam badan dunia beranggotakan 193 orang, yang resolusinya tidak mengikat secara hukum tetapi dipandang sebagai barometer opini dunia.

    AS kemudian mendorong pemungutan suara atas rancangan aslinya di Dewan Keamanan PBB yang lebih kuat, di mana resolusi mengikat secara hukum dan memiliki hak veto bersama dengan Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis.

    Pemungutan suara di dewan yang beranggotakan 15 orang itu menghasilkan 10-0 dengan lima negara Eropa abstain – Inggris, Prancis, Denmark, Yunani, dan Slovenia.

    Resolusi yang saling bertentangan tersebut juga mencerminkan ketegangan yang muncul antara AS dan Ukraina.

    Majelis Umum pertama-tama memberikan suara 93-18 dengan 65 abstain untuk menyetujui resolusi Ukraina.

    Hasil tersebut menunjukkan sedikit penurunan dukungan untuk Ukraina, karena pemungutan suara majelis sebelumnya memperlihatkan lebih dari 140 negara mengutuk agresi Rusia, menuntut penarikan segera, dan pembatalan aneksasinya terhadap empat wilayah Ukraina.

    Majelis kemudian beralih ke resolusi yang dirancang AS, yang mengakui “hilangnya nyawa secara tragis selama konflik Rusia-Ukraina” dan “memohon diakhirinya konflik dengan segera dan selanjutnya mendesak perdamaian abadi antara Ukraina dan Rusia”, tetapi tidak pernah menyebutkan agresi Moskow.

    Dalam sebuah langkah yang mengejutkan, Prancis mengusulkan tiga amandemen, yang didukung oleh lebih dari negara-negara Eropa, yang menambahkan bahwa konflik tersebut merupakan hasil dari “invasi besar-besaran ke Ukraina oleh Federasi Rusia”.

    Amandemen tersebut menegaskan kembali komitmen majelis terhadap kedaulatan, kemerdekaan, persatuan, dan integritas teritorial Ukraina, dan menyerukan perdamaian yang menghormati Piagam PBB.

    Rusia juga mengusulkan amandemen yang menyerukan penanganan “akar penyebab” konflik.

    Semua amandemen disetujui dan resolusi tersebut disahkan dengan perolehan suara 93-8 dan 73 abstain, dengan Ukraina memberikan suara “ya”, AS abstain, dan Rusia memberikan suara “tidak”. (*)

  • Trump Dukung Israel Tunda Pembebasan 620 Tahanan Warga Palestina, Salahkan Sikap Hamas yang Barbar – Halaman all

    Trump Dukung Israel Tunda Pembebasan 620 Tahanan Warga Palestina, Salahkan Sikap Hamas yang Barbar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM  – Pemerintah Amerika Serikat (AS) dibawah pimpinan Donald Trump mendukung penuh keputusan Israel yang ingin menunda pembebasan tahanan warga Palestina.

    Hal ini disampaikan Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat, Brian Hughes, Senin (24/2/2025).

    Mengutip dari Anadolu, Hughes menjelaskan, negaranya mendukung keputusan Israel untuk menunda pembebasan 620 tahanan Palestina.

    Dalam kesempatan itu, Hughes turut menegaskan, Presiden Donald Trump siap mendukung Israel dalam tindakan apapun yang dipilihnya terkait Hamas.

    Dukungan itu diberikan lantaran AS menilai Hamas telah memperlakukan sandera Israel dengan barbar.

    “Menunda pembebasan tahanan warga Palestina adalah sebuah respons yang pantas pada Hamas atas perlakuan mereka terhadap sandera warga Israel,” kata Hughes.

    “Presiden Amerika Serikat Donald Trump sudah mempersiapkan dukungan pada Israel terkait apapun tindakan Hamas,” imbuhnya.

    Netanyahu Tunda Pertukaran Sandera Lanjutan

    Sebelumnya kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memutuskan untuk menangguhkan pembebasan lebih dari 600 tahanan Palestina yang dijadwalkan dibebaskan kemarin sebagai bagian dari pertukaran tahanan ketujuh antara Hamas dan Israel.

    Mengutip dari sumber terdekat Netanyahu, penundaan ini disinyalir karena upacara serah terima yang ‘merendahkan martabat’.

    Dimana pada akhir pekan kemarin, setelah Hamas menggelar upacara serah terima tawanan Israel di Gaza, seorang tentara Israel mencium kepala dua pejuang Hamas.

    Pemerintah Israel mengklaim seremonial serah-terima sandera oleh Hamas ke otoritas PBB telah melanggar hukum internasional.

    Seremonial yang dimaksud itu, membawa para sandera yang hendak dibebaskan, ke atas panggung yang disaksikan warga Gaza.

    Terkadang, sandera diminta menyampaikan harapan dan komentar sebelum mereka diserahkan ke otoritas.

    Hamas bahkan membawa ke atas panggung peti mati sandera yang sudah meninggal.   
    Tindakan tersebut sontak memicu amarah Netanyahu, hingga pimpinan tertinggi Israel ini menangguhkan pembebasan ratusan tahanan Palestina.

    Tak dirinci sampai kapan penangguhan akan dilakukan, Dinas Penjara Israel mengatakan mereka belum menerima instruksi dari pemerintah Israel untuk membebaskan tawanan Palestina

    Namun menurut informasi yang beredar penangguhan bakal dilakukan hingga mendapat jaminan tawanan Israel yang tersisa akan dibebaskan “tanpa ritual yang merendahkan martabat”.

    Hamas Buka Suara

    Merespons keputusan Netanyahu yang secara mendadak menunda pembebasan sandera lanjutan, Hamas mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa keputusan Netanyahu  didasarkan pada “dalih yang buruk,”.

    Ezzat El Rashq, anggota biro politik Hamas, mengatakan seremonial yang mereka lakukan dalam pembebasan sandera bukan untuk mempermalukan para sandera.

    Namun untuk mengingatkan lagi soal kemanusiaan dan memperlakukan para sandera dengan bermartabat.

    Penyiksaan yang sebenarnya malah dialami oleh tahanan warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. 

    Hamas menuding penundaan pembebasan sandera merupakan dalih untuk menghindari kewajiban Israel berdasarkan perjanjian gencatan senjata Gaza.

    “Keputusan Netanyahu mencerminkan upaya yang disengaja untuk mengganggu perjanjian, merupakan pelanggaran yang jelas terhadap ketentuannya, dan menunjukkan kurangnya keandalan pendudukan dalam melaksanakan kewajibannya,” kata anggota Hamas bidang politik, Ezzat El Rashq, dalam pernyataannya, dilansir Al Arabiya.

    “Upacara penyerahan tahanan tidak termasuk penghinaan terhadap mereka, tetapi justru mencerminkan perlakuan manusiawi yang mulia terhadap mereka”, imbuhnya.

    Sementara itu, keluarga tahanan Palestina mengaku kecewa dan marah dengan dibatalkannya pembebasan tahanan dari Israel.

    “Keluarga para tawanan perang berada dalam keadaan marah, sedih, dan dendam, dan para mediator harus melakukan bagian mereka saat mereka mulai menyelesaikannya sehingga keluarga para tawanan perang dapat bersukacita atas pembebasan tawanan perang mereka yang seharusnya dibebaskan hari ini,” kata salah satu warga, Bassam al-Khatib.

    “Anda telah menerima tawanan perang Anda, jadi mengapa menunda penyerahan tawanan perang Palestina kami? Ini adalah sesuatu yang menyakitkan hati, kurangnya komitmen dan mengabaikan semua standar dan hukum internasional, dan mengabaikan negara-negara yang mensponsori perjanjian ini,” tambahnya.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • Perang Rusia-Ukraina Genap Tiga Tahun, Sekjen PBB: Cukup Sudah

    Perang Rusia-Ukraina Genap Tiga Tahun, Sekjen PBB: Cukup Sudah

    JAKARTA – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan pada Hari Senin, negara-negara harus bekerja untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina, menyerukan perdamaian yang adil dan abadi, saat invasi Rusia ke Ukraina genap tiga tahun.

    “Kita harus mengerahkan segala upaya untuk mengakhiri konflik ini, dan mencapai perdamaian yang adil dan abadi sesuai dengan Piagam PBB, hukum internasional, dan resolusi Majelis Umum,” katanya kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, melansir Reuters 24 Februari.

    Itu disampaikan Sekjen Guterres jelang pertemuan Majelis Umum PBB mengenai Ukraina pada Hari Senin di New York, Amerika Serikat.

    AS mendesak Majelis Umum untuk mendukung resolusinya yang menurutnya difokuskan untuk mengakhiri perang, mengadunya dengan teks tandingan oleh Ukraina dan sekutu Eropa. Usulan tersebut mengulangi tuntutan PBB agar Rusia menarik pasukannya dan menghentikan permusuhan.

    Sementara dalam cuitannya di media sosial X Sekjen Guterres menuliskan, menegaskan kembali kebutuhan mendesak perdamaian yang adil, berkelanjutan dan menyeluruh, menjunjung tinggi kedaulatan, kemerdekaan serta integritas teritorial Ukraina dalam batas-batas yang diakui secara internasional, sesuai dengan Piagam PBB, hukum internasional, dan resolusi Majelis Umum.

    “Sejak hari pertama perang, PBB telah berdiri dalam solidaritas penuh dengan rakyat Ukraina, memberikan bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan nyawa kepada jutaan orang yang membutuhkan dan mendukung upaya pemulihan dan rekonstruksi jangka panjang,” cuit Sekjen Guterres.

    Sekjen Guterres menambahkan, perang di Ukraina merupakan ancaman serius tidak hanya bagi perdamaian dan keamanan Eropa, tetapi juga bagi fondasi dan prinsip-prinsip dasar PBB.

    “Sudah cukup. Setelah tiga tahun kematian dan kehancuran, saya sekali lagi menyerukan de-eskalasi yang mendesak dan segera mengakhiri permusuhan,” serunya.

    “Saya menyambut semua upaya untuk mencapai perdamaian yang adil dan inklusif. PBB siap mendukung upaya tersebut,” pungkasnya.

    Diketahui, Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan operasi militer khusus ke wilayah Ukraina dengan tujuan untuk demiliterisasi dan denazifikasi pada 24 Februari 2022.

    Pergerakan pasukan Rusia terhambat di dekat Kyiv, menjadikan perang berkepanjangan, dengan Agustus tahun lalu Ukraina mampu melakukan serangan lintas batas ke wilayah Rusia di Kursk, serangan lintas batas pertama di wilayah negara itu sejak Perang Dunia II.

    Beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump bergerak menghubungi Presiden Rusia Vladimir Putin dan kemudian Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, mengatakan keduanya menginginkan perdamaian.

    Langkah itu disusul pertemuan delegasi tingkat tinggi Washington dan Moskow di Riyadh, Arab Saudi pekan lalu untuk membahas sejumlah masalah, dan direncanakan pertemuan kedua negara akan kembali dilakukan pekan ini.

  • Sebut Hamas Permalukan Sandera Israel, AS Dukung Netanyahu Tunda Pembebasan Tahanan Palestina – Halaman all

    Sebut Hamas Permalukan Sandera Israel, AS Dukung Netanyahu Tunda Pembebasan Tahanan Palestina – Halaman all

    Sebut Hamas Permalukan Sandera Israel, AS Dukung Netanyahu Tunda Pembebasan Tahanan Palestina
     
    TRIBUNNEWS.COM – Situs berita Axios mengutip juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS),  Mark Waltz yang mengatakan kalau Presiden AS, Donald Trump mendukung Israel dengan jalan apa pun yang dipilihnya untuk melawan gerakan perlawanan Palestina, Hamas.

    Situs web Amerika itu menambahkan, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS itu menilai keputusan Israel untuk menunda pembebasan tahanan Palestina merupakan respons yang tepat.

    Menurutnya, Hamas memperlakukan para sandera secara brutal, lewat prosesi dan seremoni penyerahan sandera yang dibuat meriah dalam beberapa kesempatan.

    Sebelumnya pada Minggu, Penasihat Keamanan Nasional AS Mark Waltz mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Fox News bahwa Hamas tidak dapat memerintah Jalur Gaza dan tidak akan diizinkan untuk melakukannya di masa mendatang, katanya.

    “Perilaku Hamas minggu lalu dalam menyerahkan jenazah dua anak dan cara mereka membebaskan para sandera merupakan propaganda yang tentu saja memengaruhi prospek negosiasi,” imbuh Waltz.

    “Kita akan melihat bagaimana keadaannya minggu depan, dan mungkin akan ada semacam perpanjangan gencatan senjata. Hamas harus mengubah cara mereka membebaskan para sandera. Hal itu tidak dapat diterima, tidak hanya oleh Israel, tetapi juga oleh seluruh dunia,” katanya.

    Pernyataan Amerika tersebut merupakan dukungan terhadap posisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang memutuskan untuk menunda pembebasan ratusan tahanan Palestina pada gelombang ketujuh perjanjian tahap pertama, karena apa yang ia gambarkan sebagai pelanggaran berulang oleh Hamas.

    Media Israel mengutip sumber, mengatakan kalau sejatinya para tahanan Palestina tersebut sudah dinaikkan ke dalam bus.

    Namun, seiring perintah penundaan pembebasan, ratusan tahanan Palestina itu lalu diturunkan lagi dari bus dan dikembalikan ke penjara mereka.

    Kantor Netanyahu mengklaim kalau penundaan pembebasan itu karena “Hamas sengaja mempermalukan para sandera Israel dan mengeksploitasi mereka untuk mencapai tujuan politik.”

    PEMBEBASAN SANDERA – Foto ini diambil dari publikasi Telegram Brigade Al-Qassam (sayap militer gerakan Hamas) pada Minggu (23/2/2025), memperlihatkan sandera Israel, Omer Shem Tov, mencium kening anggota Brigade Al-Qassam dalam pertukaran tahanan gelombang ke-7 di Jalur Gaza pada Sabtu (22/2/2025). Pada Sabtu (22/2/2025), Hamas membebaskan 6 sandera Israel dengan imbalan 602 tahanan Palestina. (Telegram/Brigade Al-Qassam)

    Argumen Lemah

    Sebaliknya, Hamas menganggap dalih Israel kalau upacara penyerahan sandera Israel itu memalukan adalah klaim palsu dan argumen lemah yang ditujukan untuk menghindari kewajiban perjanjian pertukaran sandera-Palestina.

    Hamas juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengadakan pembicaraan dengan Israel melalui mediator (Mesir dan Qatar) mengenai langkah apa pun, sebelum pembebasan tahanan Palestina yang disepakati akan dibebaskan pada hari Sabtu.

    Pemimpin Hamas Mahmoud Mardawi mengatakan, “Tidak akan ada pembicaraan dengan musuh melalui mediator dalam langkah apa pun sebelum pembebasan tahanan yang disepakati akan dibebaskan sebagai ganti enam tahanan Israel (yang dibebaskan pada hari Sabtu dan 4 mayat).”

    Ia menambahkan, “Para mediator harus memaksa musuh (Israel) untuk melaksanakan perjanjian tersebut.”

    Selama hari Kamis dan Sabtu, Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, menyerahkan 10 tahanan Israel, termasuk 6 yang masih hidup, kepada Komite Palang Merah Internasional untuk diserahkan ke Tel Aviv, sebagai bagian dari perjanjian yang menetapkan bahwa Israel membebaskan 602 tahanan Palestina dari penjaranya.

    Meskipun Hamas memenuhi janjinya berdasarkan perjanjian, Israel belum membebaskan tahanan Palestina.

    AGRESI – Pasukan Israel (IDF) mengamati situasi dalam agresi militer di Jalur Gaza. IDF dilaporkan terindikasi melanjutkan perang di Gaza (khaberni/tangkap layar)

    Dua Wajah, AS Mau Gencatan Senjata Lanjut

    Di balik dorongan penundan pembebasan ratusan tahanan Palestina tersebut, AS kembali menunjukkan sikap hipokrit dengan mendorong berlanjutnya gencatan senjata seiring datangnya utusan Presiden AS Donald Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff yang akan melakukan perjalanan ke Timur Tengah pada minggu ini.

    Perjalanan Steve Witkoff ke Timur Tengah adalah untuk mendorong perpanjangan gencatan senjata di Gaza antara Israel dan Hamas.

    Perlu diketahui, gencatan senjata tiga tahap yang dimulai pada 19 Januari 2025 kemarin, kini hampir mencapai puncak fase pertamanya.

    “Kami harus mendapatkan perpanjangan tahap pertama. Saya akan pergi ke wilayah tersebut minggu ini, mungkin hari Rabu, untuk merundingkannya dan kami berharap memiliki waktu yang cukup untuk memulai tahap kedua dan menyelesaikannya serta membebaskan lebih banyak sandera,” kata Witkoff kepada CNN.

    Namun, gencatan senjata antara Israel dan Hamas ini menemui banyak rintangan.

    Pertama, baik Hamas atau Israel saling menuduh melanggar perjanjian dan kelompok militan Palestina mengancam akan menunda pembebasan sandera.

    Kemudian yang terbaru, Israel menunda pembebasan 602 warga Palestina dari penjaranya dengan imbalan enam sandera Israel yang digiring oleh militan bersenjata ke panggung di depan khalayak di Gaza sebelum diserahkan ke Palang Merah.

    Upacara penyerahan publik yang digelar Hamas, yang meliputi pertunjukan sandera hidup dan peti mati yang membawa jenazah sandera, telah menuai kritik yang meningkat selama beberapa minggu terakhir, termasuk dari PBB.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan pihaknya tengah menunggu untuk membebaskan tahanan dan tawanan Palestina “sampai pembebasan sandera berikutnya dipastikan, dan tanpa upacara yang memalukan”.

    Hamas membalas dengan menyebut upacara tersebut bermartabat dan Israel menggunakannya sebagai dalih untuk menghindari kewajibannya yang disepakati berdasarkan gencatan senjata.

    Mayat empat sandera lainnya seharusnya dibebaskan oleh kelompok tersebut minggu ini.

    Dengan panasnya kembali hubungan keduanya, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dikerahkan di wilayah perbatasan Gaza.

    Namun, IDF menyatakan bahwa tidak ada perubahan pada pedoman Komando Front Dalam Negeri saat ini.

    Peningkatan tingkat kewaspadaan ini terjadi di tengah peringatan intelijen dan pertimbangan yang sedang berlangsung mengenai apakah negosiasi gencatan senjata akan berlanjut hingga akhir pekan depan.

    Dikutip dari Yedioth Ahronoth, sebagai tanggapan, IDF menyesuaikan penempatan pasukan di zona penyangga dan memperkuat posisi pertahanan di Negev bagian barat.

    Sementara itu, brigade tempur terus mempersiapkan kemungkinan serangan darat berskala besar jika negosiasi gagal.

    Meskipun aktivitas militer meningkat, IDF mengklarifikasi bahwa “tidak ada pendekatan ke pagar perbatasan yang terdeteksi”.

    “Menyusul laporan media, kami menekankan bahwa tidak ada peristiwa infiltrasi di wilayah perbatasan Gaza — hanya peningkatan kesiapan.”

    “Tidak ada perubahan pada arahan sipil. Kami terus berhubungan dengan militer dan akan memberikan informasi terbaru jika diperlukan,” tulis Dewan Daerah Eshkol untuk meyakinkan warga.

    Pengumuman ini menyusul insiden dua minggu lalu ketika, hanya beberapa jam setelah IDF mundur dari koridor Netzarim, puluhan penduduk Gaza terlihat dalam jarak beberapa ratus meter dari pagar perbatasan dekat Nahal Oz.

    Menurut ketentuan gencatan senjata, Israel seharusnya mempertahankan kendali atas zona penyangga selebar 700 meter.

    Namun, penduduk komunitas perbatasan Israel melaporkan bahwa warga Gaza terlihat jauh lebih dekat ke pagar.

    Sebagai tanggapan, pasukan Israel melepaskan tembakan, menewaskan tiga warga Palestina dan melukai sedikitnya enam lainnya.

    IDF mengatakan mereka menggunakan pesawat nirawak dan tembakan langsung untuk memukul mundur kelompok itu, menggambarkan mereka sebagai warga sipil tak bersenjata yang mengais-ngais di dekat reruntuhan koridor Netzarim.

    Sementara orang-orang itu mundur setelah tembakan, mereka tampaknya tidak berusaha untuk menyerbu pagar.

    Oposisi Israel Tuduh Netanyahu Langgar Kesepakatan

    Seorang pemimpin oposisi Israel menuduh Benjamin Netanyahu melanggar gencatan senjata Gaza dan perjanjian pertukaran tahanan setelah menunda pembebasan tahanan Palestina.

    “Netanyahu memerintahkan penundaan pembebasan tahanan, yang secara terang-terangan melanggar perjanjian dan menyabotase tahap pertama, sebagaimana yang telah kami peringatkan,” kata pemimpin Partai Demokratik Israel, Yair Golan, dikutip dari Anadolu Agency.

    “Tidak ada negosiasi sebenarnya untuk tahap kedua, yang ada hanya penipuan dan pengabaian nyawa para tawanan,” lanjutnya.

    Golan, seorang kritikus vokal pemerintahan Netanyahu, bersumpah bahwa oposisi Israel tidak akan membiarkan Perdana Menteri tetap menjabat “dengan mengorbankan saudara-saudari kita”.

    “Saya katakan kepadamu, Bibi (Netanyahu -red), jika kamu menyabotase kesepakatan ini, kekacauan akan terjadi,” ucap Golan. (*)

     

    (oln/khbrn/*)

     
     

  • Kejam, Israel Pindah Paksa 40.000 Warga Palestina di Tepi Barat

    Kejam, Israel Pindah Paksa 40.000 Warga Palestina di Tepi Barat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pasukan pendudukan Israel telah memindahkan paksa 40.000 warga Palestina dari kamp-kamp pengungsi di provinsi Jenin dan Tulkarm di Tepi Barat yang diduduki, serta mencegah mereka kembali ke rumah mereka.

    Anadolu Agency melaporkan bahwa rezim pendudukan juga telah mengerahkan tank-tank di Tepi Barat untuk pertama kalinya dalam 20 tahun. Situasi ini terjadi sebagai bagian dari eskalasi militernya di wilayah Palestina.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan pada Minggu bahwa tentara akan tetap berada di kamp-kamp pengungsi Palestina selama tahun depan untuk mencegah penduduk kembali.

    “Tentara Israel memperluas operasinya di Tepi Barat utara, dan mulai malam ini, mereka juga akan beroperasi di kota Qabatiya,” kata Katz, seperti dikutip Middle East Monitor (MEMO) pada Senin (24/2/2025).

    Menteri tersebut mengatakan bahwa 40.000 warga Palestina telah “dievakuasi” dari kamp-kamp pengungsi Jenin, Tulkarem, dan Nur Shams, eufemisme untuk “dipindahkan secara paksa” dengan todongan senjata.

    “Aktivitas UNRWA di kamp-kamp tersebut juga telah dihentikan,” tambahnya. “Saya menginstruksikan [tentara] untuk mempersiapkan diri tinggal lama di kamp-kamp yang telah dibersihkan, untuk tahun mendatang, dan tidak mengizinkan penduduk untuk kembali.”

    Menurut kantor berita resmi Palestina Wafa, tentara Israel memberlakukan jam malam selama dua hari di Qabatiya. Gubernur Jenin Kamal Abu Al-Rub mengatakan pasukan pendudukan memulai operasi militer di kota tersebut dan memberlakukan jam malam selama 48 jam sejak pagi hari.

    Wali Kota Qabatiya Ahmad Zakarneh mengatakan bahwa tentara Israel mencegah siapa pun memasuki atau meninggalkan kota tersebut. “Buldoser militer terus menghancurkan jalan-jalan dan infrastruktur sementara pasukan tentara dikerahkan di tengah penggerebekan rumah-rumah, dengan beberapa diubah menjadi barak militer,” tambahnya.

    Mengosongkan Kamp Pengungsi

    Awal bulan ini, UNRWA memperingatkan bahwa operasi tentara Israel telah mengosongkan banyak kamp pengungsi di Tepi Barat utara. Mereka menambahkan bahwa pemindahan paksa keluarga-keluarga Palestina meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan.

    “Pemindahan paksa di Tepi Barat yang diduduki adalah hasil dari lingkungan yang semakin berbahaya dan koersif,” kata UNRWA.

    “Penggunaan serangan udara, buldoser lapis baja, peledakan terkendali, dan persenjataan canggih oleh Pasukan Israel telah menjadi hal yang biasa, sebagai dampak dari perang di Gaza.”

    Badan PBB tersebut menekankan bahwa pperasi yang berulang dan merusak telah membuat kamp-kamp pengungsian utara tidak dapat dihuni, menjebak penduduk dalam pemindahan yang berulang-ulang.

    Tahun lalu, lebih dari 60% pemindahan adalah hasil dari operasi tentara pendudukan Israel. UNRWA mengatakan tentara telah melakukan operasi militer di Tepi Barat utara sejak bulan lalu, menewaskan sedikitnya 60 orang dan membuat ribuan orang mengungsi.

    Serangan tersebut merupakan yang terbaru dalam eskalasi militer Israel yang sedang berlangsung di Tepi Barat, di mana sedikitnya 923 warga Palestina telah tewas dan hampir 7.000 orang terluka dalam serangan oleh tentara Israel dan pemukim ilegal sejak dimulainya serangan terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.

    Mahkamah Internasional menyatakan Juli lalu bahwa pendudukan Israel yang telah berlangsung lama di wilayah Palestina adalah ilegal, dan menuntut evakuasi semua permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

    Mesir Minta Bantuan Uni Eropa

    Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty sebelumnya telah meminta Uni Eropa untuk mendukung rencana negaranya untuk pemulihan dan rekonstruksi awal di Jalur Gaza, sebuah rencana yang tidak mencakup pemindahan warga Palestina dari tanah mereka.

    Abdelatty menyampaikan seruannya tersebut selama percakapan telepon dengan mitranya dari Prancis Jean-Noël Barrot.

    “Pejabat Mesir tersebut meninjau rencana komprehensif yang tengah dikembangkan oleh Kairo untuk Jalur Gaza dengan tetap mempertahankan warga Palestina di tanah mereka, bersama dengan dukungan Arab untuk upaya Mesir dalam hal ini,” kata juru bicara resmi Kementerian Luar Negeri, Duta Besar Tamim Khalaf.

    Abdelatty mengatakan bahwa ia menantikan dukungan dari masyarakat internasional dan negara-negara UE, termasuk Prancis, untuk upaya Mesir dalam hal ini.

    Rencana pemulihan Mesir untuk Gaza telah diajukan sebagai alternatif terhadap usulan Presiden AS Donald Trump untuk membersihkan etnis Palestina dari Gaza hingga Mesir dan Yordania dan mengubah Jalur Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”.

    Kairo dijadwalkan menjadi tuan rumah pertemuan puncak darurat Arab pada tanggal 4 Maret untuk membahas rencana yang menentang usulan Trump.

    (sef/sef)

  • Sekjen PBB Menyuarakan Kekhawatiran Serius atas Meningkatnya Kekerasan Israel di Tepi Barat – Halaman all

    Sekjen PBB Menyuarakan Kekhawatiran Serius atas Meningkatnya Kekerasan Israel di Tepi Barat – Halaman all

    Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres hari ini mengatakan dia “sangat prihatin” atas meningkatnya kekerasan di Tepi Barat yang diduduki

    Tayang: Senin, 24 Februari 2025 18:47 WIB

    Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English

    TEPI BARAT – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Kamis (6/2/2025) yang menunjukkan tank-tank Israel menyerbu kota Jenin, Tepi Barat pada Rabu (5/2/2025) 

    Sekjen PBB Menyuarakan Kekhawatiran Serius atas Meningkatnya Kekerasan Israel di Tepi Barat

    TRIBUNNEWS.COM- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres hari ini mengatakan dia “sangat prihatin” atas meningkatnya kekerasan di Tepi Barat yang diduduki dan pelanggaran hak asasi manusia di Gaza.

    Guterres, saat berpidato di hadapan sidang ke-58 Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, mengatakan: “Saya sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan di Tepi Barat yang diduduki oleh pemukim Israel dan pelanggaran lainnya, serta seruan untuk aneksasi.”

    “Di Wilayah Palestina yang Diduduki, pelanggaran hak asasi manusia telah meroket,” katanya.

    Menggambarkan gencatan senjata antara Israel dan kelompok Palestina Hamas sebagai “bersifat genting”, ia mendesak: “Kita harus menghindari dengan segala cara dimulainya kembali permusuhan. Orang-orang di Gaza sudah terlalu menderita.”

    “Sudah saatnya untuk gencatan senjata permanen, pembebasan bermartabat semua sandera yang tersisa, kemajuan yang tidak dapat diubah menuju solusi dua negara, diakhirinya pendudukan, dan pembentukan Negara Palestina yang merdeka, dengan Gaza sebagai bagian integralnya,” tambahnya.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR 

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’15’,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Bumi Makin Penuh Tapi Pertumbuhan Populasi Menurun, Ini Sebabnya

    Bumi Makin Penuh Tapi Pertumbuhan Populasi Menurun, Ini Sebabnya

    Jakarta

    Selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan populasi dunia benar-benar terhenti. Bahkan, populasi diperkirakan telah mencapai puncaknya di banyak negara, dan akan terus menurun sekarang hingga akhir abad ini.

    Pada 2024, Bumi mencapai tonggak sejarah baru dengan menjadi rumah bagi delapan miliar manusia. Namun, menurut perkiraan PBB terbaru, kini semuanya melambat secara signifikan, dengan hanya dua miliar lagi diperkirakan akan bertambah selama 60 tahun ke depan.

    Pada suatu waktu di 2080-an, jumlah warga Bumi diprediksi akan mencapai 10,3 miliar, sebelum turun menjadi 10,2 miliar pada akhir abad ini. Para ahli kini berpendapat, ada peluang sebesar 80% bahwa populasi dunia akan mencapai puncaknya sebelum 2100.

    Namun, satu dekade yang lalu, peluang terjadinya hal itu diperkirakan hanya 30%, dengan beberapa model memperkirakan populasi global akan mencapai lebih dari 12 miliar pada 2100. Sebagian besar, perubahan kecepatan ini dapat dijelaskan oleh penurunan drastis dalam hal tingkat kesuburan, yang mengacu pada jumlah bayi yang dilahirkan oleh setiap wanita dewasa.

    Dikutip dari IFL Science, agar suatu negara dapat mempertahankan populasinya, tingkat kesuburan harus berada di sekitar 2,1. Namun, angka tersebut kini berada di bawah angka krusial tersebut di lebih dari separuh negara.

    Faktanya, hampir seperlima dari semua negara kini memiliki tingkat kesuburan yang sangat rendah, yang berarti terdapat kurang dari 1,4 kelahiran hidup per wanita. Lebih penting lagi, kelompok ini mencakup China, yang hingga saat ini merupakan negara dengan populasi terpadat di dunia.

    Bersama dengan Rusia, Jepang, dan lebih dari 60 negara lainnya, China kini telah melampaui puncaknya dan sedang mengalami penurunan. Antara sekarang hingga 2054, populasi di negara-negara ini diperkirakan akan menurun sekitar 14%.

    Meskipun ada banyak faktor yang memengaruhi tingkat kesuburan, diperkirakan bahwa penurunan yang meluas ini sebagian besar dapat dijelaskan oleh fenomena yang dikenal sebagai transisi demografi, yakni masa ketika perempuan cenderung memiliki lebih sedikit bayi karena negara-negara menjadi semakin terindustrialisasi.

    Dalam masyarakat seperti itu, perempuan memiliki lebih banyak peluang karier dan karena itu sering memilih untuk memulai keluarga di usia yang lebih tua. Hal ini juga berarti berkurangnya kebutuhan memiliki keluarga besar yang menggarap tanah, dan berarti pula lebih sedikit bayi yang lahir.

    Jika dikombinasikan dengan harapan hidup yang terus meningkat, penurunan tingkat kesuburan ini memiliki kapasitas untuk secara mendasar mengubah susunan demografis suatu populasi, dengan orang yang lebih tua sekarang mewakili bagian yang lebih besar dari keseluruhan.

    Selain memprediksi penurunan keseluruhan dalam pertumbuhan populasi, ahli statistik sekarang juga memprediksi bahwa orang yang berusia di atas 65 tahun akan mulai melebihi jumlah orang yang berusia di bawah 18 tahun pada 2070.

    (rns/rns)

  • Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 9 Halaman 106 & 107 Kurikulum Merdeka

    Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 9 Halaman 106 & 107 Kurikulum Merdeka

    Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 9 Halaman 106 107 Kurikulum Merdeka

    TRIBUNJATENG.COM – Berikut kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 9 halaman 106 107 Kurikulum Merdeka, lembar pengamatan pidato Bung Karno.

    Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 9 halaman 106 107 terdapat pada Buku Bahasa Indonesia Kelas 9 Kurikulum Merdeka Semester 1 untuk SMP, Bab 4 Dari Hobi Menjadi Pundi-Pundi.

    Bekerjalah dalam kelompok.

    1. Bacalah teks pidato tersebut secara nyaring dengan volume suara dan intonasi yang tepat.

    2. Lakukan bergantian dengan teman agar kalian sama-sama memiliki kesempatan menjadi pembaca pidato dan pendengar.

     
    3. Apakah kalian mendapatkan pesan tentang sebab akibat tercapainya kemerdekaan dan proses terjadinya revolusi yang dimaksud oleh Bung Karno? Jelaskan jawaban kalian.

    Kunci Jawaban:
    Ya, saya mendapatkan pesan tentang sebab akibat tercapainya kemerdekaan dan proses terjadinya revolusi yang dimaksud oleh Bung Karno. Di antaranya adalah:

    Sebab tercapainya kemerdekaan adalah karena bangsa Indonesia tidak mau tunduk pada penjajahan Belanda yang tidak mau mengubah politiknya dan tidak mau menghentikan penjajahannya secara damai.

    Bangsa Indonesia harus berjuang sekuat tenaga dan menganjurkan keinsyafan akan pentingnya persatuan bangsa, nasionalisme, dan prinsip politik sosial dan ekonomi untuk mencapai kemerdekaan.

    Akibat tercapainya kemerdekaan adalah bahwa bangsa Indonesia bisa mengambil nasibnya sendiri di dalam tangan sendiri dan berdiri dengan kuat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

    Bangsa Indonesia juga bisa membangun dunia baru yang lebih adil, damai, dan sejahtera.

    Proses terjadinya revolusi adalah karena adanya kesengsaraan, kemarahan, dan tuntutan rakyat yang tidak dipenuhi oleh kaum imperialis. 

    Revolusi adalah bikinan pergaulan hidup sendiri yang kepepet dan tidak bisa dicegah kalau sudah terlambat. Revolusi bukanlah bikinan manusia atau penghasut, tetapi merupakan kewajiban riwayat yang pasti terjadi dan terlaksana.

    4.Jika kalian dapat mengakses internet, carilah video pidato Bung Karno, Proklamator Indonesia. Jika akses internet tidak tersedia, kalian dapat menyimak jenis pidato lain, misalnya ceramah di tempat ibadah terdekat di lingkungan kalian. Gunakan lembar pengamatan ini untuk mencatat.

    Kunci Jawaban:

    Lembar Pengamatan
    Sumber video Pidato Bung Karno:

    Judul Video: Pidato Bung Karno Mengguncang Dunia di PBB

    Topik pembahasan : Kritik terhadap imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme di dunia

    Nama pembicara : Ir. Soekarno

    Tempat : Sidang Umum PBB, New York

    Tanggal : 30 September 1960

    Masalah yang dibahas:
    Adanya penindasan, penjajahan, dan eksploitasi terhadap bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin oleh negara-negara imperialis Barat dan Timur.
    Adanya campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Indonesia yang mengancam kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
    Adanya ketimpangan dan ketidakadilan sosial dan ekonomi di dunia yang menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan bagi sebagian besar umat manusia.
    Penyebab timbulnya masalah:
    Adanya nafsu angkara murka dan keserakahan dari negara-negara imperialis yang ingin menguasai sumber daya alam, pasar, dan tenaga kerja dari bangsa-bangsa yang lemah dan terbelakang.
    Adanya kepentingan politik dan ideologi dari negara-negara imperialis yang ingin memaksakan sistem dan pandangan mereka kepada bangsa-bangsa yang berbeda budaya dan sejarah.
    Adanya ketidakpedulian dan ketidakberanian dari negara-negara anggota PBB yang tidak mau menentang atau menghukum negara-negara imperialis yang melanggar hak-hak asasi manusia dan Piagam PBB.
    Dampak yang terjadi:
    Perlawanan, pemberontakan, dan revolusi dari bangsa-bangsa yang tertindas, terjajah, dan dieksploitasi untuk memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan mereka.
    Ancaman perang dunia ketiga yang bisa menghancurkan peradaban manusia jika negara-negara imperialis tidak mau menghentikan aksi-aksi mereka yang merusak perdamaian dunia.
    Kesadaran dan solidaritas antara bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang disebut sebagai “Gestapu” (Gerakan Tiga Benua) untuk bersatu dan bekerja sama dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia.
    Tindakan yang perlu dilakukan:
    Menghentikan segala bentuk imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme di dunia dengan cara damai atau paksa sesuai dengan Piagam PBB.
    Menghormati hak-hak bangsa Indonesia sebagai negara berdaulat yang tidak akan tunduk pada campur tangan asing dalam urusan dalam negeri.
    Membangun dunia baru yang lebih adil, damai, dan sejahtera dengan cara meningkatkan kerjasama, persahabatan, dan saling pengertian antara bangsa-bangsa di dunia.
    *) Disclaimer: Artikel ini hanya ditujukan kepada orangtua untuk memandu proses belajar anak.

    Sebelum melihat kunci jawaban, siswa harus terlebih dahulu menjawabnya sendiri, setelah itu gunakan artikel ini untuk mengoreksi hasil pekerjaan siswa.

    (Tribunnews.com/ Muhammad Alvian Fakka)