partai: PBB

  • Pidato Kenegaraan Presiden, Makan Bergizi Gratis Tembus 20 Juta Penerima

    Pidato Kenegaraan Presiden, Makan Bergizi Gratis Tembus 20 Juta Penerima

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden RI Prabowo Subianto mengklaim bahwa penyaluran program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah menjangkau 20 juta orang.

    “Pagi ini saya mendapat laporan dari Badan Gizi Nasional, sudah 20 juta anak dan ibu menerima makan bergizi gratis setiap hari. Saya menyampaikan penghormatan kepada Kepala Badan Gizi Nasional dan seluruh anggotanya yang telah bekerja keras,” kata Prabowo.

    Prabowo menegaskan, pencapaian ini diraih hanya dalam waktu tujuh bulan sejak program berjalan, sebuah kemajuan yang disebutnya melampaui negara lain.  Dia mencontohkan, Brasil memerlukan 11 tahun untuk mencapai 40 juta penerima program makan bergizi gratis.

    “Bangsa kita punya kemampuan. Bila ada kehendak, banyak yang bisa kita kerjakan bersama,” ujarnya dalam Pidato Kenegaraan.

    Dalam pidato presiden, Prabowo menyampaikan keberhasilannya untuk menyalurkan MBG, tentu memiliki tantangan. Sebab, pemerintah harus mengatasi berbagai persoalan manajemen, mulai dari pembangunan dapur, pengelolaan rantai pasok, hingga pelatihan manajer dan pelaksana program. 

    Orang nomor satu di Indonesia itu pun menyampaikan apresiasi kepada TNI, Polri, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, ormas, koperasi, yayasan, serta pihak-pihak lain yang bergotong royong membentuk satuan pelayanan pemenuhan gizi di seluruh provinsi.

    “MBG bukan sekadar program sosial, melainkan fondasi untuk menciptakan generasi sehat, cerdas, dan produktif. PBB mengatakan MBG adalah investasi terbaik yang bisa dilakukan sebuah bangsa,” tegasnya.

    Meski baru delapan bulan berjalan, dampak positif program ini mulai terlihat. Angka kehadiran anak di sekolah meningkat, begitu pula prestasi belajar mereka. Hingga kini, terdapat 5.800 satuan pelayanan pemenuhan gizi di 38 provinsi.

    Selain itu, MBG telah menciptakan 290.000 lapangan kerja baru di dapur-dapur penyedia makanan, melibatkan satu juta petani, nelayan, peternak, dan pelaku UMKM, serta mendorong pertumbuhan ekonomi di desa-desa.

    “Per hari ini sudah ada 5.800 satuan pemenuhan pelayanan gizi di 38 provinsi. MBG telah menciptakan 290.000 lapangan kerja baru di dapur-dapur. Dan melibatkan 1 juta petani, nelayan, peternak, dan umkm. MBG mendorong pertumbuhan ekonomi di desa-desa,” pungkas Prabowo.

  • Prabowo Puji Capaian Program MBG

    Prabowo Puji Capaian Program MBG

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan beberapa program kerja yang dia lakukan bersama Kabinet Merah Putih. Salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Prabowo pun mengungkapkan efek dahsyat MBG yang sudah dijalankan pemerintah selama 8 bulan. Apa saja?

    “Walau berjalan 8 bulan hasil MBG mulai terasa, angka kehadiran anak di sekolah meningkat, prestasi meningkat,” ungkap Prabowo di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Prabowo pun merinci dampak lain MBG. Seperti per hari ini sudah ada 5.800 Satker pelayanan gizi di 38 provinsi. Lalu MBG menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru di dapur-dapur.

    “Dan melibatkan 1 juta petani nelayan, peternak, dan UMKM,” sebut Prabowo.

    Prabowo pun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung terlaksana MBG seperti TNI, Polri, Ormas-ormas penggerak seperti NU, Muhammdiyah, koperasi, yayasan yang telah terlibat dan gotong royong membentuk satker pelayanan gizi di seluruh provinsi Indonesia.

    “MBG bukan semata program sosial melainkan fondasi untuk menciptakan generasi sehat cerdas dan produktif. PBB katakan bahwa MBG adalah investasi terbaik yang bisa dilakukan bangsa,” tegas Prabowo.

    (wur/wur)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Israel Setujui Permukiman Yahudi di Sekitar Yerusalem, Arab Saudi Geram!

    Israel Setujui Permukiman Yahudi di Sekitar Yerusalem, Arab Saudi Geram!

    Riyadh

    Arab Saudi mengutuk keras persetujuan yang diberikan pemerintah Israel terhadap pembangunan permukiman Yahudi di sekitar Yerusalem. Otoritas Riyadh menyebut langkah semacam itu sebagai “kebijakan ekspansionis ilegal” yang terus dilakukan oleh Tel Aviv.

    Saudi juga mengecam komentar yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, yang menolak pembentukan negara Palestina. Riyadh menyebut penolakan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional.

    Ditegaskan oleh Saudi bahwa pembentukan negara Palestina merupakan hak rakyat Palestina “yang tidak dapat dicabut” untuk menentukan nasib mereka sendiri dan untuk bernegara.

    Kementerian Luar Negeri Saudi dalam pernyataannya, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (15/8/2025), mengutip resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang relevan, khususnya Resolusi 2234 (2016), yang menyerukan Israel untuk menghentikan aktivitas pembangunan permukiman di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan menegaskan sifat ilegal dari permukiman Israel di wilayah yang diduduki sejak tahun 1967 silam itu.

    Pernyataan Kementerian Luar Negeri Saudi itu juga menyinggung soal saran pendapat (advisory opinion) Mahkamah Internasional (ICJ) yang “menegaskan ilegalitas aneksasi wilayah Palestina yang diduduki dan menekankan perlunya mengakhiri pendudukan Israel”.

    Kementerian Luar Negeri Saudi menyebut keputusan dan pernyataan tersebut menyoroti “kebijakan ekspansionis ilegal” pemerintah Israel yang sedang berlangsung dan “hambatannya terhadap upaya perdamaian, dan ancaman serius yang ditimbulkan terhadap potensi solusi dua negara”.

    Ditekankan juga bahwa situasi semacam ini menuntut komunitas internasional untuk memikul tanggung jawab hukum dan moral, memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina, dan menegakkan hak-hak sah mereka, termasuk pengakuan atas negara Palestina.

    Hal itu, menurut Kementerian Luar Negeri Saudi, juga berarti mewajibkan Israel untuk menghentikan serangan terhadap Jalur Gaza, mengakhiri tindakan-tindakan ilegalnya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan “menghentikan kejahatan terhadap rakyat Palestina — khususnya yang merupakan genosida — sembari meminta pertanggungjawaban para pelaku”.

    Riyadh juga menegaskan kembali “penolakan mutlak terhadap kebijakan Israel yang didasarkan pada perluasan permukiman, pemindahan paksa, dan penolakan terhadap hak-hak sah warga Palestina”.

    Terakhir, Kementerian Luar Negeri Saudi menyerukan kepada komunitas internasional, terutama anggota tetap Dewan Keamanan PBB, untuk segera mengambil tindakan guna memaksa otoritas Israel “mengakhiri kejahatan mereka terhadap rakyat Palestina dan wilayah Palestina yang diduduki, serta untuk mematuhi resolusi PBB dan hukum internasional”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Kenaikan PBB jangan bebani rakyat

    Kenaikan PBB jangan bebani rakyat

    Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen, didampingi sang istri saat meninjau stan di Festival Jateng Syariah (Fajar) 2025, di Semarang, Kamis (14/8/2025). (ANTARA/HO-Pemprov Jateng)

    Wagub Jateng: Kenaikan PBB jangan bebani rakyat
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 15 Agustus 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen menegaskan bahwa kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diambil pemerintah kabupaten/kota jangan sampai membebani masyarakat.

    “Kenaikan (PBB) itu kan dengan perbup (peraturan bupati). Itu harus, pertama, ada dengar pendapat dulu,” katanya, di Semarang, Kamis, menanggapi kebijakan kenaikan PBB di Kabupaten Pati yang berujung unjuk rasa besar-besaran.

    Menurut dia, rapat dengar pendapat itu untuk mendengarkan seluruh masukan dari para pemangku kepentingan terkait, seperti kepala desa hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang harus dilibatkan dalam pembahasannya.

    Diakuinya, kenaikan PBB sebenarnya merupakan hal yang wajar, tetapi harus melewati berbagai tahapan dan proses yang transparan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

    “Kenaikan itu hal yang wajar sebenarnya. Dari tahun ke tahun kenaikan itu ada. Tetapi, memang harus disosialisasikan, harus didengarkan dulu masyarakat, diserap dulu. Berapa persen sih mau naiknya? Itu juga ada ketentuan-ketentuannya,” kata Gus Yasin, sapaan akrabnya.

    Maka dari itu, ia mengimbau kepada pemerintah kabupaten/kota di Jateng sebelum menaikkan PBB agar mendiskusikannya dulu dengan masyarakat.

    “Ya, kalau dari normatifnya kan dari tahun ke tahun kan ada nih kenaikannya. Tetapi, kan disesuaikan bagaimana kenaikan itu, memberatkan atau tidak?. Ya, yang wajar aja,” katanya.

    Di sisi lain, Gus Yasin juga mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menggenjot pendapatan di luar dari sektor pajak yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

    “Pendapatan itu kan ada dari yang lain. Ada pajak yang berhubungan dengan masyarakat secara langsung, ada pajak dari investasi. Nah, ini yang kami genjot para investor agar menaruh investasinya di Jateng,” katanya.

    Unjuk rasa warga Pati berawal dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Pati yang menaikkan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.

    Kenaikan tersebut merupakan batas maksimal dan tidak diberlakukan untuk seluruh objek pajak, karena ada yang kenaikannya hanya 50 persen.

    Namun, kata mereka, karena ada pernyataan Bupati Pati Sudewo yang dinilai menyakiti hati masyarakat yang mempersilakan berunjuk rasa hingga 5.000 ataupun 50.000 orang sekalipun.

    Warga akhirnya melakukan aksi donasi dengan mengumpulkan air mineral kemasan dos di sepanjang jalur trotoar depan Pendopo Kabupaten Pati.

    Bahkan, donasi juga terus mengalir hingga air mineral dengan kemasan dus ditempatkan di kawasan Alun-alun Pati.

    Pada akhirnya, unjuk rasa tersebut berakhir ricuh, diwarnai dengan pelemparan kepada petugas, dan disambut dengan gas air mata sehingga terpaksa dibubarkan.

    Sumber : Antara

  • Kelakuan Dirut Inhutani V Perkaya Diri dari Uang Korupsi – Page 3

    Kelakuan Dirut Inhutani V Perkaya Diri dari Uang Korupsi – Page 3

    Asep membeberkan benang merah kasus suap yang menyeret Dicky. Semua bermula dari kerja sama pengelolaan hutan antara anak usaha BUMN Perhutani, PT Inhutani V (PT INH), dengan pihak swasta, PT PML.

    PT INH memiliki hak areal seluas ±56.547 hektare di Provinsi Lampung. Dari total tersebut, sekitar ±55.157 hektare dikerjasamakan dengan PT PML. Kawasan yang dikerjasamakan mencakup tiga wilayah penting, Register 42 (Rebang) seluas ±12.727 hektare, Register 44 (Muaradua) seluas ±32.375 hektare, dan Register 46 (Way Hanakau) seluas ±10.055 hektare.

    Namun, hubungan kedua pihak mulai retak pada 2018. PT PML mangkir dari kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp2,31 miliar untuk periode 2018–2019. Tak hanya itu, mereka juga tidak membayar dana reboisasi senilai Rp500 juta per tahun serta abai dalam memberikan laporan bulanan pelaksanaan kegiatan.

    Permasalahan ini akhirnya dibawa ke meja hijau. Pada Juni 2023, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang diperbarui pada 2018 tetap sah dan mengikat. Dalam putusan inkracht tersebut, PT PML diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp3,4 miliar kepada PT INH.

    Ironisnya, meski memiliki catatan buruk, PT PML masih berambisi melanjutkan kerja sama. Pada awal 2024, mereka menyatakan niat kembali mengelola kawasan hutan di ketiga register tersebut.

    “Pertemuan antara jajaran direksi dan komisaris PT INH dengan Direktur PT PML, Djunaidi, berlangsung di Lampung pada Juni 2024. Di sana disepakati bahwa PT PML tetap diberi akses pengelolaan hutan melalui Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan,” ungkap Asep.

    Titik krusial terjadi pada Agustus 2024, saat PT PML melalui sang direktur, Djunaidi, mengucurkan dana Rp4,2 miliar ke rekening PT INH. Dalihnya untuk “pengamanan tanaman” dan kepentingan operasional. Namun, di balik transaksi itu, ada aliran dana suap senilai Rp100 juta yang masuk ke kantong Dicky.

    Setelah menerima uang panas tersebut, Dicky bergerak cepat. Dia menyetujui permintaan PT PML untuk melakukan perubahan pada Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH). Persetujuan itu mencakup pengelolaan hutan tanaman seluas 2.619,40 hektare di wilayah Register 42 dan 669,02 hektare di Register 46. Keputusan resmi keluar pada November 2024, hanya beberapa bulan setelah uang mengalir.

    Tak berhenti di situ, pada Februari 2025, Dicky menandatangani Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT INH. Lagi-lagi, kepentingan PT PML diakomodasi sepenuhnya. Dalam prosesnya, Djunaidi meminta seseorang bernama SUD untuk membuat bukti setor fiktif bernilai Rp3 miliar dan Rp4 miliar seolah-olah dana itu berasal dari PT PML kepada PT INH.

    “Hal ini membuat laporan keuangan PT INH berubah dari ‘merah’ ke ‘hijau’ dan membuat posisi DIC ‘aman’. SUD lalu menyampaikan kepada DJN, bahwa PT PML sudah mengeluarkan dana Rp21 miliar kepada PT INH untuk modal pengelolaan hutan,” kata Asep.

  • Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Agustus 2025

    Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik Nasional 15 Agustus 2025

    Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    SETELAH
    kasus Bupati Pati Sudewo mencuat, akhirnya diketahui bahwa tidak hanya Kabupten Pati yang menaikkan PBB P2.
    Bahkan ada beberapa daerah yang menaikkan tarif PBB lebih dari 10 kali atau 1000 persenan, seperti Kabupaten Jombang dan Cirebon.
    Kedua daerah ini kini sedang dihantui penolakan masif dari warganya. Boleh jadi aspirasi “lengser” juga muncul kemudian, layaknya kepada Bupati Pati.
    Sementara daerah seperti Bone Selatan dan Semarang, juga terpantau menaikkan PBB P2 sekitar 300 dan 400-an persen.
    Malang memang bagi Bupati Pati, kenaikan PBB di Pati jauh lebih cepat ditanggapi warga dan mendadak mencuat menjadi masalah nasional.
    Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Banyak faktor tentunya. Tak semua faktor ada di daerah, beberapa faktor juga ada di pusat.
    Pertama, dalam hemat saya, berdasarkan perkembangan belakangan, faktor kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat yang digaungkan sejak awal tahun, juga turut menjadi penyebab utama.
    Kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat nyatanya tidak saja menyisir belanja kementerian dan lembaga nondepartemental di tingkat nasional, tapi juga menyasar berbagai macam mata anggaran di daerah, yang berujung pada pengecilan nominal total APBD.
    Kondisi ini, mau tak mau, membuat daerah harus memutar “otak” untuk mendapatkan tambahan pendapatan baru, terutama yang masuk ke dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk bisa membiayai berbagai rencana kebijakan dan program yang telah terlanjur dijanjikan kepada rakyat di daerah selama masa kampanye Pilkada.
    Boleh jadi dalam hal ini termasuk juga janji-janji “ilegal” kepala daerah terpilih kepada “klien-klien” politiknya atau bohir kaya yang telah ikut membantu pembiayaan politik pada Pilkada sebelumnya.
    Nah, terkait dengan kasus Pati, sebagaimana diatur di dalam UU yang terkait dengan relasi fiskal pusat dan daerah, yakni UU No. 1 tahun 2022, juga UU No. 28 2009 tentang pajak daerah, dan UU No. 33 tahun 2009 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memang sudah menjadi salah satu objek pajak yang dipungut oleh daerah.
    Sehingga, secara legal konstitusional, naik atau turunnya PBB di daerah akan berada di bawah wewenang pemerintah daerah, termasuk oleh kepala daerah baru tentunya.
    Namun, pertanyaan pentingnya tentu bukan masalah legalitas konstitusional dari kasus Pati dan beberapa daerah lainnya.
    Pertanyaan pentingnya adalah mengapa daerah ramai-ramai menaikkan tarif PBB? Nah, dalam konteks ini kita bisa kembali kepada masalah kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat tadi.
    Daerah-daerah pada akhirnya harus menaikkan tarif pajak untuk objek-objek pajak yang masuk ke dalam ranah “hak” pemerintah daerah, salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bagunan (PBB).
    Penyebab kedua adalah konstelasi hubungan keuangan pusat dan daerah yang selama ini sama sekali tidak menggambarkan status daerah sebagai daerah otonom.
    Kebijakan otonomi daerah selama ini hanya berlangsung di ranah politik dan administratif, tidak pada ranah fiskal.
    Jadi meskipun dipilih secara demokratis di daerah, setelah terpilih kepala daerah tetap tidak memiliki keleluasaan atas keberlangsungan pemerintahan di daerah dan keberlanjutan pembangunan di daerahnya, jika kepastian pembiayaan dari pusat tidak ada.
    Sehingga risikonya, setelah kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah resmi, untuk urusan pendapatan dan belanja daerah, mereka harus lebih sering berurusan dengan para pihak yang ada di Jakarta ketimbang di daerah.
    Tak pelak, relasi tak sehat pun terbentuk antara kepala daerah dengan wakil-wakil daerah yang ada di Senayan di satu sisi dan Kementerian Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri di sisi lain, untuk memastikan bahwa R-APBD yang telah disepakti di daerah diberi lampu hijau oleh Jakarta.
    Relasi keuangan pusat dan daerah semacam ini sangat tidak sehat dan kurang produktif. Dikatakan tidak sehat karena daerah-daerah menjadi sangat bergantung kepada pusat, terutama untuk mendapatkan proyek-proyek infrastruktur nasional di daerah.
    Relasi ini, diakui atau tidak, memberikan diskresi kepada pusat untuk menghukum daerah secara fiskal, jika daerah tidak sejalan dengan pemerintahan pusat di ranah politik.
    Di era Jokowi, misalnya, bahkan beberapa daerah yang tidak masuk kategori sebagai “daerah pemilih Jokowi”, mengalami pemangkasan anggaran yang cukup signifikan atau menjadi korban politik fiskal pemerintah pusat.
    Dan dikatakan tidak produktif karena daerah-daerah merasa tidak memiliki insentif untuk membangun daerahnya akibat perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang kurang adil.
    Di China, misalnya, sekalipun dikenal secara politik sebagai negara komunis, tapi dalam praktik relasi fiskal pusat dan daerah, China masuk ke dalam negara yang paling desentralistis di dunia.
    Daerah-daerah mendapatkan bagian dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh), yang dibagi secara proporsional antara pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, kota, dan perfektur.
    Dengan konstelasi hubungan fiskal seperti di China, daerah-daerah menjadi sangat termotivasi untuk membangun daerahnya dengan cara mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan mendorong seluas-luasnya pembukaan lapangan pekerjaan baru.
    Pasalnya, setiap kenaikan produktifitas di daerah (karena produksi dari investasi baru), akan ada pendapatan tambahan dari pembagian PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk daerah.
    Di sisi lain, kenaikan produktifitas tersebut akan berjalan simetris dengan pertambahan lapangan pekerjaan baru, di mana daerah pun kembali akan mendapatkan bagian pajak dari pajak pendapatan atas lapangan pekerjaan baru yang terbentuk.
    Dalam banyak kajian tentang ekonomi di China, relasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah yang demikian ternyata terbukti menjadi salah satu sebab mengapa para kepala daerah sangat bersemangat untuk memajukan daerahnya dengan mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan membuka selebar-lebarnya lapangan kerja baru di daerah, selain karena faktor prospek karier politik di dalam Partai Komunis China bagi kepala daerah yang berhasil membangun daerahnya.
    Dan secara nasional, praktik semacam ini ikut berkontribusi secara signifikan kepada kemajuan yang sangat dinamis di China di dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir.
    Sementara di Indonesia, konstelasi fiskal semacam itu masih menjadi mimpi “di siang bolong” hingga hari ini. Daerah-daerah sangat tergantung kepada pusat secara fiskal, sekalipun secara politik daerah-daerah dibiarkan berpesta pora atas nama demokrasi semu.
    Pola ini kemudian secara politik memunculkan kesan bahwa pemimpin daerah yang berhasil adalah pemimpin yang bisa membawa sebanyak-banyaknya anggaran dari pusat ke daerah dalam berbagai bentuk, mulai dari pembesaran anggaran untuk APBD, penetapan daerah sebagai lokasi proyek strategis nasional, sampai pada penggiringan investasi BUMN ke daerah di berbagai sektor.
    Semuanya, lagi-lagi, sayangnya terkait dengan “kuasa” yang ada di Jakarta, bukan di daerah.
    Dan terakhir, masalah ketiga, adalah rendahnya moralitas politik dan sensitifitas sosial kepemimpinan baru di daerah.
    Akibat sumbatan keuangan dari pusat, baik karena konstelasi fiskal antara pusat dan daerah maupun karena kebijakan efisiensi nasional, kepala-kepala daerah justru mengembalikan bebannya kepada rakyat di daerah dengan menaikkan berbagai jenis pajak yang menjadi hak daerah.
    Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa keadaan ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja sejak dua tahun terakhir.
    Sikap beberapa kepala daerah ini mirip dengan sikap “para kapitalis” nasional di saat pajak barang dan jasa naik. Seketika harga barang dan jasa dinaikkan oleh produsennya alias dibebankan kembali kepada konsumen.
    Pemerintah pusat boleh saja berharap, atau tepatnya bermimpi, bahwa pemerintahan daerah akan berkreasi secara fiskal saat kebijakan efisiensi diberlakukan di awal tahun.
    Namun untuk Indonesia, harapan dan mimpi itu terlalu muluk. Bagi daerah yang takut kepada rakyatnya atau khawatir ditegur oleh pusat, kebijakan efisiensi ditanggapi dengan “aksi kembali ke rutinitas” di mana anggaran untuk pembangunan dipangkas sedemikian rupa, sementara anggaran rutin semakin membesar.
    Walhasil, pemerintah daerah hanya berjalan berdasarkan rutinitas yang sudah berlangsung selama ini. Tak ada pembangunan berarti, pun tak ada investasi baru yang diperjuangkan karena tidak ada anggaran untuk memperjuangkannya. Ujung-ujungnya juga “nol” alias “nihil”.
    Sementara bagi kepala daerah yang merasa terlalu banyak “utang” yang harus dibayar dengan berbagai macam proyek daerah yang dibiayai dari APBD, mau tak mau sumber pendapatan baru harus diraih, agar beberapa “proyek” atau “rencana” yang telah disepakati dengan “pihak ketiga” semasa Pilkada tetap bisa dibiayai di tahun depan.
    Jika PAD meningkat, plus realisasi belanja di tahun ini bisa maksimum, maka di tahun depan ajuan APBD yang akan disepakati oleh pusat dipastikan juga akan membesar. Bagi kepala daerah semacam ini, rakyat tak berada pada barisan prioritas.
    Jika rakyat masih bisa dibebani dengan kenaikan pajak-pajak daerah demi ambisi fiskal kepala daerah terpilih, maka tanpa malu dan ragu, rakyat di daerah akan terus dibebani.
    Namun, yang lupa dimasukkan ke dalam ekuasi politik fiskal kepala daerah jenis ini adalah bahwa potensi resistensi dan perlawanan dari rakyat daerah bisa meledak secara tak terduga.
    Dan itulah yang terjadi di Pati, mungkin juga nanti di Cirebon atau Jombang, jika kepala daerahnya tak segera merevisi aturan kenaikan PBB di daerahnya.
    Boleh jadi kali ini kepala-kepala daerah ini akan selamat secara politik, setidaknya sampai 2029. Namun sejatinya, dukungan sebenarnya sudah hilang.

    If you once forfeit the confidence of your fellow citizen, you can never regain their respect and esteem
    ,” kata Abraham Lincoln di tahun 1854.
    Sekali rakyat merasa benar-benar telah tersakiti, jangan harap kepercayaan itu akan kembali seperti semula.
    Dan dalam hemat saya, pernyataan Lincoln ini harus menjadi catatan untuk semua pemimpin di Indonesia, tidak hanya kepala daerah, tapi juga Presiden Prabowo Subianto, bahkan Jokowi sekalipun, yang bayang-bayangnya masih menghantui ruang publik kita sampai hari ini. Semoga!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah

    Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ekonom: Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 14 Agustus 2025 – 20:23 WIB

    Elshinta.com – Ekonom UPN Veteran Jakarta Ferry Irawan mengatakan pemerintah daerah (pemda) perlu mencari cara kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), alih-alih menaikkan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang membebani masyarakat.

    Ia menyoroti keresahan warga di sejumlah daerah akibat lonjakan tarif PBB-P2, seperti di Kabupaten Pati, Jateng, yang sempat naik hingga 250 persen sebelum dibatalkan, sampai Kabupaten Jombang yang bahkan menembus 1.000 persen.

    “Mungkin, bagi yang memiliki sumber daya alam, bisa dioptimalisasi sumber daya alamnya atau misalkan ada industri pariwisata di daerah tersebut yang bisa digali, bisa diintensifikasi, selain meningkatkan atau menaikkan tarif PBB,” ujar Ferry kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

    Ferry menjelaskan sebenarnya dasar hukum pengenaan PBB-P2 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yang menetapkan tarif maksimal sebesar 0,5 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) kena pajak.

    Penentuan tarif di bawah batas tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

    “Memang, kalau dari sisi kewajaran, melihat perkembangan perekonomian saat ini saya kira kurang tepat ya pengenaan (kenaikan) PBB yang sampai ratusan persen,” ungkapnya.

    Saat ditanya apakah kebijakan kenaikan PBB berkaitan dengan efisiensi pemerintah pusat, Ferry menilai hal itu bisa menjadi salah satu kemungkinan.

    Pemda memang menerima dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dari pemerintah pusat.

    Namun, dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran di tingkat pusat, daya ungkit pembangunan daerah dapat terdampak, sehingga pemda mencari sumber pendanaan tambahan.

    “Kita tahu bahwa saat ini pemerintah di pusat sedang melakukan efisiensi anggaran, sehingga mungkin daya ungkit untuk pembangunan di daerah menjadi terdampak. Dan, pemerintah harus mengambil tindakan di daerah, apa yang harus dilakukan untuk pembiayaan di daerah melalui APBD,” katanya.

    Maka, untuk mengatasi tantangan fiskal, Ferry menyarankan pemda mengoptimalkan potensi PAD lain.

    Ia juga menekankan perlunya koordinasi antara pemda dan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri serta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan.

    Sumber : Antara

  • RI Kecam Keras Netanyahu Mau Caplok Palestina untuk Bikin ‘Israel Raya’

    RI Kecam Keras Netanyahu Mau Caplok Palestina untuk Bikin ‘Israel Raya’

    Jakarta

    Pemerintah Indonesia mengecam keras ide Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membuat visi ‘Israel Raya’ dengan mencaplok sejumlah negara Arab yang mayoritas muslim termasuk Palestina. Pemerintah Indonesia menyebut rencana itu semakin mengecilkan perdamaian Palestina dan Timur Tengah.

    “Indonesia menolak dan mengecam keras visi Perdana Menteri Israel tentang ‘Israel Raya’ melalui aneksasi penuh atas wilayah Palestina dan negara-negara lain di kawasan,” tulis Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam pernyataannya di akun X (Twitter), Kamis (14/8/2025).

    “Visi tersebut nyata-nyata melanggar hukum internasional dan semakin mengecilkan prospek perdamaian di Palestina dan Timur Tengah,” imbuhnya.

    Kemlu menerangkan ide Netanyahu itu melanggar hukum internasional. Kemlu menegaskan Indonesia memegang prinsip perdamaian yang adil hanya dapat terwujud dengan menegakkan hak yang tidak dapat dicabut rakyat Palestina.

    “Bagi Indonesia, perdamaian yang adil & berkelanjutan hanya dapat terwujud dg menegakkan hak yang tidak dapat dicabut rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri serta hidup berdampingan dengan Israel berdasarkan solusi dua negara, sesuai parameter internasional yang telah disepakati,” tulis Kemlu.

    “Indonesia menyerukan kepada komunitas internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, untuk menolak segala bentuk aneksasi dan pendudukan permanen oleh Israel – di Palestina atau di mana pun di kawasan,” tulis Kemlu.

    “Serta mengambil langkah konkret guna menghentikan kebijakan Israel yang merusak prospek perdamaian,” imbuhnya.

    Dilansir Middle East Eye dan Times of Israel, pernyataan Netanyahu itu dilontarkan saat wawancara dengan i24 News yang disiarkan pada Selasa (12/8) petang. Netanyahu menjawab pertanyaan pembawa acara, Sharon Gal, terkait visi ‘Israel Raya’ dan dia menyebut “sangat” terhubung dengan itu.

    Rencana ‘Israel Raya’ mencakup wilayah Palestina yang tengah diduduki dan sebagian wilayah Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon. Menurut versi lain, ini juga mencakup wilayah Arab Saudi.

    (whn/jbr)

  • Penerimaan pajak Jakbar hingga akhir Juli 2025 capai Rp42,29 triliun

    Penerimaan pajak Jakbar hingga akhir Juli 2025 capai Rp42,29 triliun

    Jakarta (ANTARA) – Penerimaan pajak di Jakarta Barat (Jakbar) hingga akhir Juli 2025 mencapai Rp42,29 triliun atau tumbuh sekitar sekitar 16,34 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    “Itu tumbuh 16,34 persen, kalau dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” kata Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat Farid Bachtiar, di Jakarta, Kamis.

    Ia menjelaskan, capaian tersebut setara dengan 53,81 persen dari target penerimaan pajak untuk APBN 2025 dari Jakarta Barat sebesar Rp78,59 triliun.

    Berdasarkan jenis pajak, kata Farid, kontribusi terbesar berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dengan realisasi Rp21,72 triliun atau 51,37 persen dari total penerimaan dengan pertumbuhan sebesar 23,84 persen.

    “Kemudian disusul Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dengan realisasi Rp19,66 triliun (46,50 persen) dengan pertumbuhan 4,68 persen,” kata dia.

    Kemudian, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menyumbang penerimaan sebesar Rp63 miliar (0,15 persen), sedangkan penerimaan dari pajak lainnya tercatat sebesar Rp837,77 miliar atau sebesar 1,98 persen.

    Sementara itu, kata Farid, dari sisi sektor dominan, empat sektor utama penyumbang penerimaan pajak di Kanwil DJP Jakarta Barat, yakni perdagangan dengan Rp19,33 triliun (45,72 persen kontribusi), kemudian industri pengolahan, Rp8,9 triliun (21,05 persen kontribusi), pengangkutan dan pergudangan Rp2,78 triliun (6,59 persen kontribusi), lalu konstruksi Rp1,95 triliun (4,62 persen kontribusi).

    “Secara keseluruhan, keempat sektor ini memberikan kontribusi sebesar 77,97 persen dari total penerimaan neto,” kata Farid.

    Sementara itu, dalam hal kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Kanwil DJP Jakarta Barat mencatatkan capaian sebesar 84,78 persen dari target 402.188 SPT, dengan realisasi sebanyak 340.987 SPT telah dilaporkan hingga Juli 2025.

    “Capaian ini mendekati realisasi pelaporan SPT nasional yang mencapai angka 87,14 persen,” kata dia.

    Sebagai respon atas tren penerimaan tersebut, Kanwil DJP Jakarta Barat menerapkan tiga strategi pengamanan penerimaan.

    “Yaitu melalui optimalisasi pengawasan pembayaran masa, pengawasan kepatuhan material dengan sinergi antarfungsi, serta manajemen restitusi untuk menjaga penerimaan PPN tetap stabil,” katanya.

    Selain itu, lanjut dia, pengawasan pembayaran masa terhadap setoran rutin yang masih belum dibayarkan menjadi fokus strategis untuk meningkatkan potensi penerimaan.

    “Langkah-langkah ini diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan hingga akhir tahun dan mendukung target penerimaan 2025,” kata Farid.

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Selain Pajak 250 Persen, Pansus Pemakzulan Bupati Pati Juga Persoalkan Pengisian Jabatan Direktur RAA Soewondo

    Selain Pajak 250 Persen, Pansus Pemakzulan Bupati Pati Juga Persoalkan Pengisian Jabatan Direktur RAA Soewondo

    FAJAR.CO.ID, SURABAYA — Pansus Pemakzulan Bupati Pati yang dibentuk DPRD Pati untuk menggunakan hak angket mulai memproses agenda pemakzulan Bupati Pati, Sudewo.

    Pansus itu bahkan sudah mulai melakukan rapat guna membahas hal-hal yang terkait dengan Bupati Pati, terutama terkait kebijakan yang kontroversial. Salah satu yang paling menyorot perhatian publik adalah kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 250 persen.

    Kebijakan yang mengundang reaksi besar-besaran masyarakat Pati itu, memaksa DPRD Pati harus menggunakan hak angket untuk pembentukan pansus pemakzulan Bupati Pati, Sudewo.

    Setelah mulai berproses, ternyata masalah tidak hanya seputar keluhan masyarakat atas kenaikan PBB, namun juga terdapat masalah lain yang diendus pansus. Masalah lain dimaksud yakni pengisian jabatan Direktur RAA Soewondo Pati yang tidak sah.

    “Akan rapat paripurna pansus lagi. Kami akan fokus pertama terkait dengan Direktur Soewondo,” kata Ketua Pansus Pemakzulan Bupati Pati, Teguh Bandang Waluyo.

    Merespons penggunaan hak angket DPRD Kabupaten Pati terkait usul pemakzulan bupati itu, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM), Muhaimin Iskandar ikut angkat suara.

    Menurut Cak Imin sapaan akrab Muhaimin Iskandar itu, pembentukan pansus pemakzulan Bupati Pati menjadi cara pandang DPRD Pati. Dia pun menyerahkan keputusan kepada DPRD.

    “Ya, tentu mereka DPRD memiliki cara pandang dan fakta yang kami serahkan sepenuhnya kepada DPRD. DPRD melakukan langkah-langkah apa terhadap bupati (Sudewo) saya serahkan,” kata Cak Imin di Graha Unesa, Kamis (14/8).