Intip Harga Sepatu yang Pramono hingga AHY di ASN RUN 2025
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung bersama Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, serta Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto membuka gelaran ASN Run 2025 di Gedung Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta Pusat, Minggu (21/9/2025).
Dalam acara ini, keempat pejabat tampil sporty dengan sepatu lari berbeda merek dan harga, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Pramono Anung, misalnya, mengenakan Asics Superblast2 white. Dari berbagai platform jual beli online, sepatu ini dibanderol Rp 3,6 juta – Rp 4,9 juta.
Sementara AHY tampil trendy dengan sepatu Nike Vaporfly 4. Di marketplace, sepatu ini dihargai Rp 4,5 – Rp 5 juta. Sementara di website resmi Nike Saudi Arabia, harga sepatu ini menembus Rp 7 juta.
Sedangkan Abdul Mu’ti lebih memilih sepatu Mills Enermax Nanoknit LT Blue-Orange. Di situs resmi milik mills.co.id, harga yang ditawarkan berkisar Rp 499.000.
Sementara Bima Arya menggunakan Hoka Bondi 9 Men’s Cushioned Road Running. Di situs resmi www.hoka.com, sepatu ini dihargai Rp 2,9 juta.
Dalam jalannya acara, Pramono, AHY, dan Bima Arya ikut berlari bersama peserta.
Sementara Abdul Mu’ti memilih tidak turun lintasan, tapi tetap hadir mendukung.
Total, hampir 2.000 peserta ikut meramaikan ASN Run 2025.
Pramono menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan kegiatan olahraga ini.
Mantan Sekretaris Kabinet itu menilai, dengan maraknya event lari di Ibu Kota menunjukkan Jakarta semakin aman dan nyaman.
“Hari ini saya bersyukur Jakarta banyak sekali event lari, di antaranya adalah ASN Run, kemudian juga ada Panglima TNI Run. Ini menunjukkan betul-betul Jakarta sudah aman-nyaman, termasuk ASN RUN ini diikuti hampir 2 ribuan. Dan Pak Menko Infrastruktur juga ikut, Menteri Pan-RB, Menteri Pendidikan, dan juga Wamen Dagri,” ucap Pramono.
Ia berharap ASN Run bisa menjadi agenda tahunan yang murni digagas dan diselenggarakan para aparatur sipil negara.
“Mudah-mudahan ini acara yang benar-benar secara tahunan diselenggarakan oleh ASN. Ini murni diselenggarakan oleh ASN,” ungkap Pramono.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
partai: PAN
-
/data/photo/2025/09/15/68c788343488a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Siap-siap, Hasil Rekrutmen Petugas Damkar DKI Diumumkan Pekan Depan Megapolitan 20 September 2025
Siap-siap, Hasil Rekrutmen Petugas Damkar DKI Diumumkan Pekan Depan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung mengungkap hasil rekrutmen petugas Damkar DKI diumumkan pada pekan depan.
Pramono mengaku awalnya pengumuman penerimaan petugas Damkar DKI dilakukan pada pekan ini. Namun ada kendala administrasi yang masih harus diselesaikan terlebih dahulu.
“Rencananya sih sebenarnya minggu ini, tapi ada sedikit administrasi. Saya minta jangan terlalu lama, minggu depan bisa diumumkan,” kata Pramono di Rawa Buaya, Jakarta Barat, Sabtu (20/9/2025).
Namun Pramono tidak menyebutkan kepastian tanggal pengumuman hasil rekrutmen petugas Damkar DKI.
Lebih lanjut, menegaskan telah meminta seluruh pihak yang terlibat untuk melakukan proses rekrutmen petugas Damkar DKI secara transparan
“Jadi saya sudah memberikan kesempatan, keleluasaan kepada Dinas Damkar untuk segera mengumumkan, karena memang prosesnya sudah dilalui dengan baik dan sangat transparan, terbuka, melibatkan TNI, Polri, dan juga Kementerian PAN-RB,” kata Pramono.
Sebelumnya diberitakan, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Provinsi DKI Jakarta tengah melakukan proses rekrutmen sejak bulan Agustus lalu.
Pramono menyebut, pendaftaran yang dibuka tiga hari sejak Selasa (12/8/2025) hingga Kamis (14/8/2025) mencatat sekitar 20.000 orang pendaftar yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Sementara, hanya ada 1.000 posisi yang menjadi kuota penerimaan Gulkarmat Jakarta.
“Per pagi ini 20.000, baru dibuka sudah nambah lagi 4.000. Padahal jam 16.00 WIB nanti ditutup,” ujar Pramono saat ditemui di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (14/8/2025).
Ia merinci, pada hari pertama ada 7.000 pendaftar, hari kedua naik menjadi 9.000, dan pada hari terakhir bertambah lagi 4.000 orang.
“Artinya apa? Seperti yang sudah kami duga, pasti Damkar ini mungkin untuk kuota 1.000 itu yang daftar pasti mungkin 21–25 kali dari kebutuhan kuota,” jelasnya.
Pramono menegaskan, seluruh proses seleksi dilakukan secara transparan dan dapat dipantau publik melalui kanal resmi masing-masing kota administrasi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kala Prabowo Gantung Nasib IKN hingga Jelang Akhir Masa Jabatan
Bisnis.com, JAKARTA — Nasib Ibu Kota Negara (IKN) masih belum menentu tahun ini. Operasional di Ibu Kota Baru Indonesia itu baru akan terlihat 3 tahun lagi atau menjelang akhir masa jabatan Presiden Prabowo Subianto.
Prabowo menetapkan IKN Nusantara sebagai Ibu Kota Politik Indonesia yang dibidik mulai beroperasi pada 2028. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025 yang telah diundangkan.
“Perencanaan dan pembangunan kawasan, serta pemindahan ke Ibu Kota Nusantara dilaksanakan sebagai upaya mendukung terwujudnya Ibu Kota Nusantara menjadi ibu kota politik di tahun 2028,” bunyi beleid tersebut, dikutip Jumat (19/9/2025).
Mewujudkan hal itu, Prabowo juga merinci rencana pembangunan ke depan. Pertama, Pemerintah akan memprioritaskan pembangunan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN dengan total luas mencapai 800 hingga 850 hektare.
Kedua, pemerintah menetapkan pembangunan gedung atau perkantoran di Ibu Kota Nusantara dicanangkan hanya 20% dari total lahan tersedia. Ketiga, persentase pembangunan hunian/rumah tangga yang layak, terjangkau, dan berkelanjutan di Ibu Kota Nusantara mencapai 50% dari lahan tersedia.
Keempat, cakupan ketersediaan sarana prasarana dasar kawasan Ibu Kota Nusantara mencapai 50%, dan Kelima indeks aksesibilitas dan konektivitas kawasan lbu Kota Nusantara ditetapkan menjadi 0,74.
“Untuk terbangunnya kawasan inti pusat pemerintahan Ibu Kota Nusantara dan sekitamya, dilakukan perencanaan dan penataan ruang Kawasan Inti Ibu Kota Nusantara dan sekitarnya,” tambahnya.
IKN
Selain itu, guna mendukung IKN sebagai Ibu Kota Politik nantinya, Prabowo menetapkan bakal memindahkan 1.700 hingga 4.100 Aparatur Sipil Negara (ASN) ke IKN.
Sebelumnya, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Basuki Hadimuljono memastikan pemerintah bakal melanjutkan rencana pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dalam penjelasannya, Basuki menegaskan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) saat ini telah merancang pemindahan ASN dari 15 Kementerian dan Lembaga (K/L).
“Kementerian PAN-RB telah merancang pemindahan aparatur sipil negara dari 15 kementerian ke IKN dalam waktu dekat, sebagai bagian dari strategi pemindahan bertahap instansi pusat ke Nusantara,” kata Basuki dalam keterangan resmi, Kamis (31/7/2025).
Adapun saat ini, tambah Basuki, sebanyak 1.170 ASN Otorita Ibu Kota Nusantara telah resmi pindah ke IKN. Di mana, ribuan ASN pionir itu bertempat tinggal di hunian ASN yang telah dibangun oleh Kementerian PU.
Anggaran Ditolak Banggar ….
-
/data/photo/2025/01/23/6791fccb4af7a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya Nasional
Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
“
The great enemy of the truth is very often not the lie, but the myth, persistent, persuasive, and unrealistic.
” (John F. Kennedy)
SEORANG
presiden, siapa pun dia, bergantung pada informasi yang diterimanya setiap hari. Artinya, realitas masyarakat tidak terlihat secara langsung, tapi melalui laporan, ringkasan, atau bisikan lingkaran dalam seorang presiden.
Jika informasi yang diterima utuh, analisisnya tepat, maka keputusan bisa presisi. Namun, jika terdistorsi, negara bisa tergiring ke arah yang salah, bahkan berbahaya.
Akhir-akhir ini, terdapat kesan bahwa sebagian besar publik nampaknya merasa pemerintah agak terlambat merespons aspirasi warganya, sehingga dibutuhkan demonstrasi besar atau menunggu isu-isu tertentu viral terlebih dahulu.
Boleh jadi kesan ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi beberapa bulan terakhir, muncul persepsi bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto kerap tertinggal dari tuntutan masyarakat.
Ketika rakyat berharap kebijakan A, yang hadir justru kebijakan B, itu pun datang terlambat. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa data dan fakta yang seharusnya menjadi fondasi keputusan tidak sepenuhnya tersaji di meja presiden. Akibatnya, kebijakan yang mestinya dapat diputuskan cepat dan tepat justru tersendat.
Pertanyaan yang tak terhindarkan muncul di benak publik, benarkah orang-orang di sekitar Presiden Prabowo menyampaikan informasi apa adanya?
Ataukah sebagian fakta ditutup-tutupi, dipoles, bahkan disisihkan demi menjaga kenyamanan politik?
Jika yang sampai ke meja Presiden hanyalah laporan yang sudah disaring, bagaimana mungkin keputusan pemerintah bisa selaras dengan aspirasi rakyat?
Tak peduli bagaimana teknis penyampaian informasi, atau dalam kondisi apa pun Presiden berada, ia seharusnya tetap memperoleh asupan informasi yang bergizi mengenai keadaan rakyatnya.
Pemerintahan bukanlah mesin yang boleh berhenti sejenak, melainkan institusi yang bekerja dua puluh empat jam tanpa jeda.
Karena itu, keterlambatan atau distorsi informasi tidak bisa ditoleransi. Terlambat atau tedistorsi sama saja dengan membiarkan keputusan diambil dalam ruang gelap, sementara rakyat menunggu keadilan yang seharusnya hadir tepat waktu.
Dalam tradisi administrasi publik, gagasan bahwa negara harus bekerja tanpa henti sudah lama ditekankan.
Woodrow Wilson (1887) dalam
The Study of Administration
menyebut pemerintahan sebagai “the most continuous of human concerns,” yang menegaskan bahwa urusan publik tidak pernah berhenti dan karenanya administrasi harus beroperasi secara konstan serta berkelanjutan.
James Madison dalam
Federalist Papers No. 37
(1788) menulis bahwa pemerintahan “must be adequate to the exigencies of the nation,” sebuah pengingat bahwa kebutuhan rakyat tidak mengenal batas waktu.
Kajian kontemporer juga menguatkan hal ini. Farazmand (2001) dalam H
andbook of Crisis and Emergency Management
memperkenalkan konsep pemerintahan sebagai institusi “24-hour emergency system”, di mana eksekutif harus siap mengambil keputusan kapan pun krisis datang.
OECD (2018) bahkan menyebut negara modern sebagai
always-on state,
pemerintahan yang tidak mengenal jeda karena kompleksitas global menuntut respons setiap saat.
Dari perspektif ini, tidak ada alasan teknis yang dapat membenarkan keterlambatan informasi di meja Presiden.
Pemerintahan adalah kerja dua puluh empat jam, tujuh hari sepekan. Setiap penyumbatan informasi sama saja dengan memutus denyut nadi negara.
Prinsip
the right man in the right place
harus berlaku mutlak. Untuk informasi yang urgen dan darurat, Presiden harus dapat mengandalkan lembaga yang memang berwenang, seperti Badan Intelijen Negara maupun lembaga strategis terkait intelijen lainnya.
Lembaga itupun dituntut menyajikan laporan yang utuh dan berdaging, bukan potongan kabar yang terdistorsi.
Dalam konteks ini, tidak boleh ada pihak yang tidak berkepentingan ikut mencampuri, apalagi mengambil alih peran di luar tugas pokok dan fungsinya.
Hirarki eksekutif harus dihormati agar informasi yang sampai ke Presiden benar-benar murni, tepat waktu, dan relevan dengan kebutuhan negara.
Jangan sampai kedekatan personal dijadikan alasan untuk melangkahi kewenangan institusi yang sah.
Literatur ilmu politik modern menekankan pentingnya
institutionalization of power
(Huntington, 1968), yaitu kekuasaan yang dijalankan harus melalui prosedur kelembagaan, bukan hubungan pribadi. Ketika jalur formal diabaikan, prinsip spesialisasi runtuh, dan muncullah nepotisme.
Robert Klitgaard (1988) dalam kajiannya tentang korupsi juga menegaskan bahwa ketika kewenangan bercampur dengan kedekatan personal, peluang penyalahgunaan menjadi lebih besar.
Itulah yang sering menyalakan kemarahan rakyat di banyak negara, dari Amerika Latin hingga Asia, karena publik menyaksikan negara dijalankan oleh jaringan kekerabatan dan loyalitas pribadi, bukan oleh kompetensi dan otoritas institusional.
Dalam literatur ekonomi politik, penyumbatan informasi sering dijelaskan lewat kerangka
bureaucratic politics model
(Allison & Zelikow, 1999).
Di sini, kebijakan tidak lahir dari satu komando tunggal, melainkan dari tarik menarik antar aktor birokrasi yang masing-masing membawa agenda.
Informasi yang akhirnya sampai ke Presiden bukanlah cermin murni kondisi lapangan, melainkan hasil tawar-menawar kepentingan.
Douglas North (1990) menyebut fenomena ini sebagai bukti rapuhnya institusi, aturan main negara dikalahkan oleh kalkulasi sempit aktor yang berkuasa atas aliran informasi.
Dalam kondisi seperti ini, keputusan publik rawan bias, bahkan salah arah, bukan karena Presiden tidak mau bertindak, melainkan karena bahan baku keputusan sudah terdistorsi sejak awal.
Risikonya tidak berhenti pada kemungkinan lahirnya keputusan yang keliru. Lebih dari itu, pemimpin dapat terjebak dalam ruang gema, merasa keadaan terkendali sementara masyarakat justru menanggung beban yang berat.
Situasi semacam ini membuat negara lamban merespons krisis, sekaligus menggerus kepercayaan publik yang melihat ketidaksetaraan antara pernyataan pemimpin dan pengalaman sehari-hari mereka.
Fenomena seperti ini sebenarnya sudah menjadi bagian integral politik pemerintahan. Sejarah pemerintahan modern memberi banyak bukti bagaimana pemimpin bisa terjebak dalam gelembung data.
Di Cina, penelitian King, Pan, & Roberts (2013) menunjukkan bagaimana sistem sensor dan kontrol arus informasi membuat pimpinan hanya menerima gambaran tertentu dari realitas sosial.
Kritik publik kerap disaring, sementara informasi yang menekankan stabilitas diperbesar. Akibatnya, pemimpin bisa merasa masyarakat terkendali, padahal di bawah permukaan ketidakpuasan terus menumpuk.
Hal itu terlihat di Nepal baru-baru ini. Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli menerima pasokan informasi yang terbatas mengenai keresahan rakyat atas kondisi ekonomi dan praktik korupsi. Lingkaran dalam yang sarat nepotisme justru menutupi gejolak publik.
Akibatnya, Sharma tidak sepenuhnya mengetahui kemarahan masyarakat, terutama generasi muda yang resah menatap masa depan, sementara para pejabat dan keluarganya justru memamerkan kemewahan di berbagai media sosial.
Alih-alih memperbaiki ekonomi dan menertibkan perilaku pejabatnya, pemerintah justru memilih menutup 26 platform media sosial. Alasannya untuk mengatasi hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring.
Namun, langkah itu diambil karena Sharma diyakinkan bahwa sumber kegaduhan publik adalah maraknya berita palsu, bukan krisis nyata yang dirasakan rakyat.
Kebijakan itu berbalik arah. Generasi muda, yang kehidupannya lekat dengan dunia digital, turun ke jalan dan mengepung rumah para pejabat, termasuk kediaman perdana menteri.
Salah informasi berujung pada salah langkah, dan salah langkah berakhir pada perlawanan rakyat.
Di Myanmar, sejak kudeta militer 2021, Human Rights Watch (2022) mencatat bagaimana junta berusaha mengendalikan aliran informasi baik ke publik maupun ke pucuk pimpinan.
Laporan tentang krisis ekonomi dan protes sosial disaring ketat. Hasilnya, kebijakan rezim kerap terputus dari realitas dan memperparah krisis politik.
Contoh lain datang dari Sri Lanka. Menurut International Crisis Group (2022), lingkaran keluarga Rajapaksa menutup-nutupi data fiskal dari Presiden Gotabaya Rajapaksa. Krisis devisa yang sebenarnya genting dipoles seolah terkendali.
Begitu cadangan menipis dan rakyat turun ke jalan menuntut pangan dan energi, Presiden pun kehilangan legitimasi.
Tak ada kesangsian, keterlambatan informasi berdampak langsung pada kebijakan.
Mari ambil contoh sederhana dari kasus jaminan sosial. Jika Presiden terlambat tahu ada pekerja informal meninggal karena kecelakaan kerja, misalnya, maka sinyal untuk memperbaiki sistem jaminan ketenagakerjaan juga ikut tertunda.
Padahal satu nyawa yang hilang bisa menjadi peringatan dini untuk menyelamatkan ribuan nyawa lain.
Dalam konteks politik, pemimpin yang terus-menerus disuguhi laporan manis akan berisiko kehilangan legitimasi.
Rakyat mudah menangkap ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan pemimpin dengan apa yang mereka alami sehari-hari. Situasi semacam ini merupakan resep klasik bagi lahirnya krisis kepercayaan.
Pertanyaan pentingnya adalah mengapa lingkaran dalam cenderung menyaring informasi. Ada yang berangkat dari motif protektif, yaitu keinginan menjaga agar pemimpin tidak terlalu terbebani dengan kabar buruk.
Ada pula yang bermula dari motif politik, demi mengamankan posisi dengan menampilkan keadaan seolah terkendali.
Tidak jarang juga muncul motif ekonomi, ketika informasi berubah menjadi sumber rente yang hanya dapat diakses dan diolah oleh pihak tertentu.
Seluruh motif tersebut beroperasi dalam ruang yang sama, yakni ketiadaan mekanisme kontrol yang efektif.
Selama Presiden tidak memiliki kanal alternatif untuk mendengar suara rakyat secara langsung, lingkaran dalam akan tetap menjadi penyaring tunggal yang menentukan versi realitas apa yang sampai ke pucuk kekuasaan.
Menghadapi masalah sekompleks ini, langkah perbaikan sebaiknya ditempuh secara bertahap dan realistis.
Satu, meningkatkan transparansi atas data publik yang sudah tersedia, tanpa perlu membangun sistem baru yang rumit dan tanpa menambah personel yang tidak relevan.
Banyak kementerian dan lembaga sebenarnya telah mengumpulkan data penting, tetapi informasi itu masih tersebar dan tidak terintegrasi.
Tugas utama pemerintah adalah menyatukan data tersebut dalam sistem yang dapat diakses lintas lembaga, lalu memastikan ringkasannya sampai ke Presiden tanpa jeda.
Dua, memperkuat fungsi penasihat Presiden yang bersifat independen, bukan dengan membentuk lembaga baru, melainkan dengan mengoptimalkan mekanisme yang sudah ada seperti Kantor Staf Presiden atau Dewan Pertimbangan Presiden.
Yang diperlukan adalah memastikan kursi di dalamnya ditempati oleh sosok dengan keahlian teruji, bukan sekadar representasi politik.
Pada kenyataannya, pemerintah sudah memiliki segambreng unit dan lembaga pengumpul informasi, mulai dari kementerian teknis, lembaga survei, hingga badan intelijen.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah semua informasi itu benar-benar sampai ke
end user
, yaitu pejabat yang berwenang mengambil keputusan, atau justru berhenti di lapisan birokrasi menengah yang menyaring sesuai kepentingannya?
Tiga, membangun saluran aspirasi publik yang sederhana dan fungsional. Alih-alih membuat portal baru yang berisiko mandek, pemerintah dapat memaksimalkan kanal pengaduan yang sudah ada seperti SP4N-LAPOR! dengan kewajiban agar ringkasan keluhan utama disampaikan langsung dalam rapat kabinet mingguan.
Cara ini lebih mudah diterapkan daripada menciptakan sistem baru yang justru kompleks.
Selama ini, saluran semacam itu justru sering terabaikan. Tidak jelas apakah situs-situs pengaduan benar-benar dimanfaatkan sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah, atau sekadar dijadikan formalitas belaka.
Tanpa mekanisme yang memastikan keluhan sampai ke pengambil kebijakan, kanal tersebut hanya menjadi etalase digital yang menghabiskan anggaran tanpa daya guna.
Empat, menumbuhkan budaya birokrasi yang berani menyampaikan kabar buruk. Perubahan budaya tentu tidak bisa instan, tetapi dapat dimulai dengan memberi perlindungan bagi pejabat menengah yang berani melaporkan informasi tidak populer.
Dengan perlindungan itu, informasi yang sampai ke pucuk pimpinan tidak hanya berupa kabar baik, tetapi juga peringatan dini yang penting bahkan genting.
Masalahnya, birokrasi kita tidak terbiasa menghadapi risiko, tidak terbiasa membicarakan skenario terburuk, dan tidak terbiasa menyusun langkah antisipasi sejak dini.
Kalaupun dibahas, percakapan itu biasanya berlangsung terbatas di ruang internal, tidak melibatkan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak.
Padahal, mengenali risiko justru penting agar dampak yang lebih buruk dapat dicegah. Ketiadaan tradisi ini membuat perangkat antisipatif kita minim dan rapuh ketika berhadapan dengan guncangan besar.
Maka jangan berharap Indonesia bisa seketika meniru Jepang atau negara lain yang telah membangun
early warning system
yang mumpuni.
Untuk sampai ke sana, keberanian menyampaikan kabar buruk, baik di dalam birokrasi maupun secara terbuka kepada rakyat, harus lebih dulu menjadi budaya.
Jika kita bicara apa adanya, perangkat apa yang tidak dimiliki pemerintah untuk menghimpun informasi? Semuanya sesungguhnya sudah dimiliki.
Pemerintah memiliki berlapis instrumen yang mampu menangkap data dari masyarakat, lembaga riset, hingga teknologi digital yang semakin canggih. Tidak ada alasan bagi negara modern untuk merasa terisolasi dari arus informasi.
Tantangannya justru terletak pada bagaimana informasi itu dikelola dan disampaikan. Lingkaran terdekat pemimpin bisa menjadi jembatan yang memperlancar, tetapi juga berpotensi menjadi tembok yang menahan.
Di titik inilah ujian kepemimpinan sesungguhnya, apakah Presiden mendapatkan gambaran utuh dari realitas rakyat, atau hanya versi yang telah dipilah-pilah oleh lingkaran dalamnya.
Terakhir, wacana pembatasan satu orang satu akun media sosial, misalnya, mudah dianggap publik sebagai upaya membatasi kebebasan berekspresi.
Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan semacam itu justru berisiko menurunkan kepercayaan dan memicu resistensi.
Dalam hal ini, pemerintah perlu juga berhati-hati atas rencana penerapan kebijakan tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Digitalisasi Bansos di Banyuwangi, Bupati Ipuk: Pendaftaran Cepat dan Sederhana
Banyuwangi (beritajatim.com) – Kabupaten Banyuwangi ditunjuk sebagai pilot project digitalisasi bansos nasional. Uji coba pendaftaran telah dimulai sejak Kamis (18/9/2025), di dua desa/kelurahan, yakni Desa Kemiren, Kecamatan Glagah dan Kelurahan Lateng, Kecamatan Banyuwangi.
Proses pendaftaran cepat dan lebih sederhana melalui smartphone untuk satu orang sangat singkat, tak sampai 5 menit langsung selesai.
Untuk warga yang tidak punya handphone atau tidak familiar dengan teknologi, bisa mendaftarkan diri dengan bantuan operator desa/kelurahan. Agen Perlindungan Sosial (Perlinsos) juga telah terjun membantu warga yang tak memiliki telepon genggam untuk mendaftarkan diri sebagai calon penerima program.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani datang langsung meninjau proses uji coba di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah.
“Alhamdulillah tidak ada kendala berarti dan berjalan dengan lancar. Pendaftaran cepat dan lebih sederhana. Masyarakat juga sangat antusias dengan pendaftaran digitalisasi bansos ini,” kata Ipuk,
Uji coba digitalisasi bansos di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi.
Ipuk mengatakan, Pemkab Banyuwangi juga akan terus mengedukasi masyarakat terkait pendaftaran digitalisasi bansos, sehingga masyarakat paham mereka yang nantinya terpilih sebagai penerima bansos merupakan hasil dari verifikasi pemerintah pusat dengan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Kami bersyukur program ini dimulai di Banyuwangi. Ini bagian dari perubahan perilaku di masyarakat, perubahan perilaku juga dalam birokrasi tentunya, menggunakan digital untuk lebih tepat sasaran, dan tepat manfaat,” lanjutnya.
Hadir dalam ujicoba awal di Banyuwangi tersebut antara lain Dirjen Kependudukan dan Capil, Kemendagri Teguh Setyabudi; Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono; Direktur Eksekutif Bidang Sinkronisasi Kebijakan Program Prioritas dari Dewan Ekonomi Nasional Tubagus Nugraha. Juga hadir Kepala Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos, Joko Widiarto; Direktur Aplikasi Pemerintah Digital Kementerian Komdigi Yessi Arnaz Ferari; Asisten Deputi Keterpaduan Layanan Digital PAN RB, Adi Nugroho.
Kepala Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos, Joko Widiarto, berharap agar masyarakat yang membutuhkan bansos bisa segera mendaftar. “Baik warga yang memang membutuhkan bansos, baik mereka yang sudah pernah mendapat bansos, atau yang belum pernah mendapatkan bansos,” kata Joko.
Joko mengatakan proses pendaftaran cepat dan mudah.
Hal ini juga dirasakan Agen Perlinsos yang juga Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Kemiren, Ratna Purnamadewi, mengatakan, proses pendaftaran digitalisasi tak sulit.
Tata cara yang sederhana membuat agen bisa maksimal untuk mendaftarkan sebanyak mungkin warga yang merasa membutuhkan bansos.
“Saya mulai dengan mendaftarkan warga yang selama ini menerima bantuan. Setelah itu, dilanjutkan ke warga-warga lain,” kata Ratna.
Dalam beberapa hari ke depan, Ratna akan memaksimalkan waktu untuk menemui kelompok warga, terutama warga yang memang layak dapat bantuan namun belum tersentuh bantuan.
“Jika tak ada hambatan, ia yakin proses pendataan bisa rampung dalam sekitar sepekan,” kata Ratna.
Kepala Desa Kemiren M Arifin membenarkan, pendaftaran digitalisasi bansos di desanya berjalan lancar. Warga antusias untuk mendaftarkan diri dengan berbagai metode yang tersedia.
Menurutnya, pendaftaran digitalisasi bansos juga tak ribet. Warga bisa mendaftar langsung melalui handphone. Sementara yang tak punya handphone, tinggal menyiapkan nomor NIK dan akan dibantu pendamping PKH, TKSK, dan operator desa.
“Tadi mulai jam 10 pendataftaran di balai desa. Jam 12 siang sudah banyak sekali yang sudah terdaftar,” imbuhnya.
Arifin menyebut, desanya memiliki 1.147 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, 400 kepala keluarga merupakan penerima bantuan sosial dengan metode pendataan konfensional.
“Dengan adanya digitalisasi bansos, siapapun warga yang merasa membutuhkan, bisa mendaftarkan diri. Semoga dengan digitalisasi, mereka yang benar-benar membutuhkan dan selama ini belum mendapatkan bantuan, bisa mendapatkan,” pungkasnya. [alr/but]
-

Bupati Bondowoso Tegaskan Keuangan Daerah Terkendali, Gerindra Soroti Efektivitas P-APBD 2025
Bondowoso (beritajatim.com) – Bupati Bondowoso Abdul Hamid Wahid menegaskan kondisi keuangan daerah masih terkendali meski Fraksi Partai Gerindra menyoroti efektivitas pengelolaan anggaran dalam Raperda Perubahan APBD (P-APBD) Tahun Anggaran 2025. Dalam rapat paripurna, Kamis (18/9/2025), ia menyebut defisit APBD berada di bawah 1 persen.
Menurut Bupati, struktur belanja disusun dengan memperhatikan kondisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku tahun berjalan sehingga tetap mampu mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
“P-APBD 2025 tetap kami arahkan pada program yang berdampak langsung, seperti kesehatan, pendidikan, UMKM, hingga sektor pertanian yang menjadi prioritas pembangunan daerah,” ujarnya.
Gerindra sebelumnya menyoroti penurunan belanja modal yang dinilai berpotensi menghambat pembangunan infrastruktur, serta kenaikan Belanja Tidak Terduga (BTT) yang dianggap rawan bila tidak dijelaskan indikator penggunaannya secara rinci. Juru bicara fraksi, Abdul Majid, menekankan agar setiap rupiah benar-benar berdampak pada masyarakat, bukan sekadar tercatat dalam laporan.
Menjawab hal itu, Bupati menegaskan pemerintah daerah terus berkomitmen memperkuat layanan publik. Fleksibilitas Puskesmas dan Labkesda didorong untuk melakukan inovasi pelayanan sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Selain itu, upaya menekan angka kemiskinan juga tetap dipertahankan. Data menunjukkan persentase penduduk miskin Bondowoso turun dari 13,34 persen pada 2023 menjadi 12,60 persen pada 2024. Program penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, hingga peningkatan infrastruktur dasar disebut menjadi fokus utama.
Di sisi lain, pemerintah daerah menyiapkan langkah mengurangi pengangguran dengan program pemagangan bersama perusahaan, pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, serta perluasan kesempatan kerja. Indeks Gini Ratio Bondowoso pada 2024 tercatat 0,33, yang menunjukkan tingkat ketimpangan relatif rendah.
Gerindra juga mengingatkan tingginya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya mencerminkan lemahnya perencanaan organisasi perangkat daerah (OPD). Menjawab itu, Bupati menyatakan inventarisasi aset tengah dilakukan untuk memperkuat landasan kebijakan pengelolaan keuangan.
Sebagai bentuk peningkatan pelayanan publik, Mall Pelayanan Publik “Bondowoso Berkah” yang sudah beroperasi sejak 22 Agustus 2025 dijadwalkan launching resmi oleh Menteri PAN-RB pada 24 September mendatang secara daring. Dengan berbagai catatan tersebut, Bupati berharap P-APBD 2025 benar-benar menjadi instrumen pro-rakyat, bukan sekadar dokumen teknis, melainkan sarana memperkuat kemandirian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bondowoso. [awi/beq]
/data/photo/2025/09/21/68cf3d2f5e995.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



