partai: Nasdem

  • Anggota DPR Minta Evaluasi SOP Wisata Ekstrem Usai WN Brasil Juliana Marins Tewas di Rinjani

    Anggota DPR Minta Evaluasi SOP Wisata Ekstrem Usai WN Brasil Juliana Marins Tewas di Rinjani

    Anggota DPR Minta Evaluasi SOP Wisata Ekstrem Usai WN Brasil Juliana Marins Tewas di Rinjani
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Anggota Komisi VII DPR RI
    Yoyok Riyo Sudibyo
    mendesak ada evaluasi terhadap Standard Operating Procedure (SOP) di destinasi
    wisata ekstrem
    usai insiden tewasnya warga negara Brasil,
    Juliana Marins
    , akibat jatuh di
    Gunung Rinjani
    , Lombok, Nusa Tenggara Barat.
    Yoyok mengatakan, insiden tersebut merupakan peringatan keras bagi semua pihak agar lebih serius memperhatikan untuk keselamatan wisatawan, terutama di destinasi dengan risiko tinggi.
    “SOP bagi wisata ekstrem perlu dievaluasi betul-betul. Pengawasan harus ditingkatkan. Harus ada pemandu atau guide tour yang dinamakan porter. Pendamping tidak boleh meninggalkan siapapun sendirian,” kata Yoyok dalam siaran pers, Selasa (1/7/2025).
    “Pendaki juga harus mentaati segala peraturan sebelum naik gunung yang ditentukan di basecamp masing-masing pengelola. Biasanya peraturannya dituliskan oleh pengelola yang dipasang di basecamp,” ucap dia melanjutkan.
    Apalagi, kata Yoyok, insiden serupa kembali terjadi hanya beberapa hari setelah kejadian Juliana ketika seorang pendaki asal Malaysia berinisial NAH dilaporkan terpeleset di jalur menuju Danau Segara Anak Rinjang.
    “Lokasi jatuhnya Juliana bukanlah titik baru bagi kecelakaan. Kawasan yang sama juga telah mencatat beberapa insiden. Seharusnya pengelola mampu menangani situasi darurat, termasuk tertib mengenai kawasan alam dengan risiko medan dan cuaca,” tutur Yoyok.
    Politikus Partai Nasdem ini pun meminta Kementerian Pariwisata untuk segera melakukan kajian manajemen krisis dan mengambil langkah konkret agar insiden ini tidak berdampak besar pada citra pariwisata Indonesia di mata dunia.
    Menurut dia, kejadian ini menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah, terutama dalam sektor wisata ekstrem.
     
    “Kita punya banyak sekali potensi wisata, termasuk gunung-gunung yang memiliki daya tarik bagi wisatawan yang suka mendaki. Jadi harus ada pembenahan terhadap perencanaan untuk kejadian darurat agar peristiwa seperti Juliana di Gunung Rinjani tidak terjadi lagi,” kata Yoyok.
    “Tidak ada yang tahu kapan kecelakaan akan terjadi, tapi kita bisa mengupayakan untuk meminimalisir insiden di kawasan wisata dengan memperkuat sisi keamanan dan faktor keselamatan bagi pengunjung,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • NasDem nilai putusan MK ciptakan “deadlock” konstitusi

    NasDem nilai putusan MK ciptakan “deadlock” konstitusi

    Apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi

    Jakarta (ANTARA) – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal akan menciptakan “deadlock” konstitusi.

    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat menjelaskan bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 bertolak belakang dengan putusan-putusan sebelumnya. Selain itu, dia menilai MK juga mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan pemerintah.

    “Apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi,” kata Lestari dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Dia menjelaskan Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Kemudian, dijelaskan pemilu diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.

    Dengan demikian, dia mengatakan ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.

    “MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” kata dia.

    Selain itu, menurut dia, MK juga melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah dan putusan hakim harus konsisten.

    Dia menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum. Karena, kata dia, putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum.

    Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa krisis konstitusional tersebut harus dicarikan jalan keluarnya agar semua kembali kepada ketaatan konstitusi, di mana konstitusi memerintahkan pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

    “Partai NasDem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • NasDem Tolak Putusan Pemisahan Pemilu, Sebut MK Curi Kedaulatan Rakyat – Page 3

    NasDem Tolak Putusan Pemisahan Pemilu, Sebut MK Curi Kedaulatan Rakyat – Page 3

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.

    Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

    Secara lebih rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

    “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

  • Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD 45 karena Pisahkan Pemilu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
    Nasdem
    menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait
    pemisahan pemilu
    adalah melanggar konstitusi serta mencuri kedaulatan rakyat. Begini pernyataan lengkap
    NasDem
    .
    Pernyataan sikap partai ini disampaikan di Nasdem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025) malam.
    Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tinggi
    Partai Nasdem
    Lestari Moerdijat, yang disaksikan oleh sejumlah kader Nasdem.
    Adapun kader-kader yang hadir meliputi Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Ada pula Ketua Komisi II DPR RI yang merupakan kader Nasdem, Rifqinizamy Karyasuda.
    DPP Partai Nasdem menilai putusan tersebut
    inkonstitusional
    sehingga mencuri kedaulatan masyarakat.

    Nasdem pun beranggapan bahwa
    putusan MK
    seolah mengambil tanah legislasi.
    “Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyangkut pemisahan skema pemilihan umum, Dewan Pimpinan Pusat
    Partai NasDem
    menyampaikan bahwa terdapat problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” kata Lestari memulai pernyataan sikap.
    Berikut adalah 10 poin yang disampaikan Lestari Moerdijat mewakili DPP Partai NasDem:
    1. Kewenangan MK dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C Ayat (1) menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
    2. Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock konstitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi. Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali [ayat (1)]. Kemudian, pemilu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut) diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD [ayat (2)]. Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.
    3. MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi.
    4. MK melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten. Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum; ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum.
    5. Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali. Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.
    6. MK, dalam kapasitas sebagai guardian of constitution, tidak diberikan kewenangan untuk mengubah norma dalam UUD, sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 22B UUD NRI 1945.
    7. Bahwa perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode 5 tahun, akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis, padahal jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana Pasal 22E UUD NRI 1945. Artinya, berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional.
    8. Perubahan sistem pemilu berdasarkan putusan MK yang mengambil posisi positive legislator ini harus dirunut sejak putusan MK yang memerintahkan pilpres dan pileg serentak, yang pertimbangannya bukan didasarkan tafsir konstitusional yang berdasarkan risalah pembahasan terkait pelaksanaan pemilu dengan 5 kotak, termasuk kotak DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun, dalam putusan MK kali ini, MK menegasikan pertimbangan pemilu 5 kotak yang didasarkan pada tafsir konstitusionalitas MK sendiri, dengan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah. Oleh karena itu, krisis konstitusional ini harus dicarikan jalan keluarnya agar semua kembali kepada ketaatan konstitusi, di mana konstitusi memerintahkan pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, tanpa ada perintah sistem pemilu seperti apa yang harus dijalankan, sehingga pilihan sistem penyelenggaraan pemilu harus kembali menjadi open legal policy sesuai yang dimaksudkan oleh konstitusi itu sendiri.
    9. MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan mengubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat.
    10. Partai NasDem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

    Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

    Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    Nasdem
    dalam pernyataan sikapnya mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta penjelasan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait putusan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (
    pemilu
    ) serentak nasional dan lokal.
    “Partai
    NasDem
    mendesak
    DPR RI
    untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat di kantor DPP Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Pasalnya, Nasdem dengan tegas menyatakan bahwa
    putusan MK
    tersebut menyalahi konstitusi.
    “Pemisahan skema pemilihan presiden,
    DPR
    RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” ujar Lestari.
    Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
    “Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari lagi.
    Selain itu, dia menyebut, MK telah memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah. Sebab, penentuan waktu pasti penyelenggaraan pemilu merupakan
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
    “MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata Lestari.
    Tak hanya itu, Nasdem menilai, MK melakukan pencurian terhadap kedaulatan rakyat karena memutuskan pemisahan pemilu serentak nasional dan lokal.
    Sebab, lagi-lagi berdasarkan Pasal 22e ayat 1 UUD NRI 1945, pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan merubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” ujar Lestari.
    Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
    Pemilu
    2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
    Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
    Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK Putuskan Pemilu Nasional Dipisah dengan Daerah, Rifqi Nilai Ada yang Kontradiktif

    MK Putuskan Pemilu Nasional Dipisah dengan Daerah, Rifqi Nilai Ada yang Kontradiktif

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pelaksaan pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahkan, terus menuai perbincangan menarik dari berbagai kalangan.

    Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda atau Rifqi menyebut, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024 sebenarnya kontradiktif dengan ketetapan yang pernah dibuat lembaga tersebut.

    “Saya kira putusan MK itu juga kalau dibandingkan dengan putusan MK sebelumnya terkesan kontradiktif,” kata Rifqi menjawab pertanyaan awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/6).

    Ketua DPP NasDem itu mengatakan putusan nomor 135 bertolak belakang dengan ketetapan MK nomor 55/PUU-XVII/2019.

    Menurut Rifqi, MK dalam putusan 55 membuat pertimbangan hukum ke pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah untuk memilih satu dari enam model keserantakan pemilu.

    “Nah, yang satu dari enam model keserentakan pemilu itu sendiri sudah dilaksanakan pada pemilu 2024 yang lalu,” ujar dia.

    Namun, kata Rifqi, MK pada 2025 tidak memberi peluang bagi pembentuk aturan menetapkan model keserentakan pemilu.

    “Mk sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini,” katanya.

    Rifqi mengatakan Komisi II belum bisa menentukan sikap resmi terkait putusan MK nomor 135.

    Terlebih lagi, kata dia, MK dalam putusan itu menyatakan pemilihan secara demokratis dimaknai pemungutan suara langsung.

    Sementara itu, Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 menyatakan pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis. “Nanti sikap resminya tentu akan disampaikan secara resmi oleh pimpinan DPR,” ujar Rifqi.

  • NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat

    NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat

    NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    NasDem
    menilai putusan
    MK
    soal pemisahan pemilu serentak tidak punya kekuatan hukum yang mengikat lantaran bersifat inkonstitusional.
    “Dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem,
    Lestari Moerdijat
    di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Dalam pengumuman pernyataan sikap DPP Partai NasDem ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    NasDem menilai putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap lima tahun sekali.
    Adapun menurut putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, pemilu nantinya dipisah antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dengan jeda antara 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Putusan itu akan diberlakukan untuk
    Pemilu 2029
    .
    “Pemisahan skema pemilihan presiden, DPR RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” kata Rerie, sapaan Lestari Moerdijat.
    NasDem juga menyatakan MK tidak punya kewenangan mengubah norma hukum dan konstitusi.
    Sebagaimana diketahui, MK memutuskan bahwa pemilu serentak dibagi menjadi dua, yakni, pertama, pemilu serentak nasional terdiri dari Pilpres, Pileg DPR, MPR, dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal terdiri dari Pilkada, Pileg DPRD Provinsi, dan Pileg DPRD Kabupaten/Kota.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Soal Pemilu Dipisah, Nasdem: MK Memasuki dan Ambil Kewenangan Legislatif…

    Soal Pemilu Dipisah, Nasdem: MK Memasuki dan Ambil Kewenangan Legislatif…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    Nasdem
    menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah karena memutuskan
    pemilu
    anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Pasalnya, dalam pernyataan sikapnya, Nasdem menegaskan bahwa hal itu harusnya
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
    “MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata anggota Majelis Tinggi Partai
    NasDem
    , Lestari Moerdijat di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Selain itu, Lestari mengatakan, Nasdem menilai bahwa MK telah menjadi negative legislator sendiri. Padahal, bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis.
    “Dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” ujarnya.
    Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa
    putusan MK
    itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
    “Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari melanjutkan.
    Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite Nasdem lain antara lain Ketua Fraksi Nasdem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar Nasdem Peter F Gontha.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
    Pemilu
    2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
    Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
    Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Pertanyakan Posisi MK usai Putuskan Pisah Pemilu dan Pilkada

    DPR Pertanyakan Posisi MK usai Putuskan Pisah Pemilu dan Pilkada

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda mempertanyakan posisi Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu. Menurutnya, ada norma yang dilampaui MK.

    Dia menjelaskan MK itu dilahirkan sebagai negative legislature, sehingga posisinya hanya memberikan pandangan terhadap satu norma undang-undang apakah konstitusional atau inkonstitusional terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).

    Kemudian, legislator NasDem ini menjabarkan bila norma undang-undang itu inkonstitusional maka akan diserahkan kepada presiden atau pemerintah dan DPR, supaya norma yang inkonstitusional itu disempurnakan.

    “Nah sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional, tapi dia bikin norma sendiri,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

    Rifqi khawatir bilamana ini terus terjadi maka ke depannya Indonesia tidak akan pernah bisa menghasilkan satu demokrasi konstitusional dan negara hukum yang baik.

    Dia juga mengeluhkan bila semisalnya nanti pihaknya sudah merevisi Undang-Undang Pemilu dan UU-nya belum dilaksanakan, tahu-tahu ada judicial review (uji materiil) dan diterbikan lagi norma baru.

    “Nah kalau seperti ini terus Menurut pandangan saya Kita tidak bisa saling menghargai antar lembaga negara. Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini,” ujarnya.

    Menurutnya, bisa jadi ini menjadi pintu masuk bagi semua pihak untuk melihat lebih jauh bagaimana proses pembentukan hukum nasional Indonesia ke depannya.

  • DPR Belum Bisa Sikapi Putusan MK Terbaru soal Pemilu

    DPR Belum Bisa Sikapi Putusan MK Terbaru soal Pemilu

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menyampaikan bahwa DPR RI belum bisa memberikan sikap resmi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu.

    Legislator NasDem ini menyebut berdasarkan hasil rapat dengan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan jajaran menteri serta lembaga negara terkait, disepakati bahwa akan mengkaji lebih dalam putusan MK tersebut.

    “DPR belum memberikan sikap resmi, izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang saya kira putusan Mahkamah Konstitusi itu juga kalau kita bandingkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkesan kontradiktif,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

    Dia menjelaskan pada 2019 lalu MK melalui putusan Nomor 55 dalam pertimbangan hukumnya memberikan kewenangan (guidance) kepada pembentuk undang-undang untuk memilih 1 dari 6 model keserentakan pemilu. Adapun, salah satunya sudah dilaksanakan pada Pemilu tahun 2024 kemarin.

    “Tetapi kemudian pada tahun 2025 ini Mahkamah Konstitusi tiba-tiba dalam tanda kutip bukan memberikan peluang kepada kami pembentuk undang-undang, untuk kemudian menetapkan 1 dari 6 model itu di dalam revisi undang-undang pemilu yang baru, tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini,” jelasnya.

    Rifqi melanjutkan, jika memang harus menormakan sejumlah ketentuan terkait dengan dua model pemilu putusan MK itu, maka berpotensi juga memberi tafsir bahkan melanggar konstitusi.

    Salah satu contoh, ujarnya, ketentuan terkait pemilihan gubernur, bupati, wali kota dalam ketentuan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 disebutkan mereka dipilih secara demokratis.

    “Tapi kemudian MK men-state dalam putusannya harus dipilih secara langsung melalui metode pemilu, sementara maka makna dari demokratis itu bisa direct demokrasi dan indirect demokrasi,” ujarnya.

    Oleh karena itu, imbuhnya, pihaknya akan melihat risalah amandemen konstitusi dahulu terkait makna tersebut. “Karena itu DPR akan melihat lebih jauh original content atau risalah pada saat ketentuan pasal 18 ini dibentuk dulu pada saat amandemen konstitusi yang kedua, kalau tidak salah tahun 2000 yang lalu,” bebernya.