partai: Nasdem

  • Politisi Nasdem Akui Pakai Dana CSR BI untuk Sosialisasi di Dapil

    Politisi Nasdem Akui Pakai Dana CSR BI untuk Sosialisasi di Dapil

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem Satori (ST) rampung diperiksa tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi terkait dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI), Jumat (27/12/2024).

    Satori menyebut ada pemakaian dana CSR BI untuk program kegiatan sosialisasi di daerah pemilihan (dapil). “Programnya kegiatan sosialisasi di dapil,” kata Satori di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/12/2024).

    Satori menyebutkan dana CSR dimaksud mengalir lewat yayasan. Seluruh anggota Komisi XI pun dia sebut menerima program dimaksud.

    “Semua anggota Komisi XI programnya itu dapat. Bukan kita saja,” ujar Satori.

    Satori mengeklaim tidak ada perbuatan suap berkaitan dengan CSR BI. Namun di lain sisi dia menyatakan siap kooperatif menghadapi proses yang tengah dilakukan KPK.

    “Insyaallah saya akan kooperatif,” ungkap Satori.

    Terkait kasus ini, KPK mengendus dugaan dana CSR dari BI yang mengalir ke yayasan. Penelusuran lebih lanjut masih terus dilakukan.

    “Yayasan yang kita duga tidak tepat untuk diberikan,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/12/2024).

    Sejauh ini, KPK mengendus dugaan pemberian dana CSR BI yang kurang tepat. Diungkapkan Rudi, dana CSR BI bernilai cukup besar. Namun, dia belum mengungkapkan detail nominalnya.

    “BI itu punya dana CSR, kemudian beberapa persen dari sebagian itu diberikan yang tidak proper,” ungkap Rudi.

  • KPK Periksa Anggota DPR RI dari Gerindra dan Nasdem

    KPK Periksa Anggota DPR RI dari Gerindra dan Nasdem

    Jakarta (beritajatim.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dua anggota DPR dalam penyidikan dugaan korupsi terkait corporate social responsibility (CSR) di Bank Indonesia (BI). Mereka adalah Heri Gunawan (HG) dari Fraksi Partai Gerindra, dan Satori (ST) dari Fraksi Partai Nasdem.

    Menurut Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika, keduanya diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi. “HG dan ST, keduanya anggota DPR RI terkait dugaan TPK dana CSR di Bank Indonesia,” kata Tessa, Jumat (27/12/2024).

    Tessa tidak menjelaskan kaitan keduanya dalam kasus tersebut. Mengingat, Heri pernah menjabat sebagai Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Gerindra di Komisi XI pada tahun 2019 lalu dan Satori merupakan anggota Komisi XI pada periode 2019-2024. Komisi XI merupakan mitra kerja BI. “Pemeriksaan dilakukan di kantor KPK,” ujar Tessa singkat.

    Sebelumnya, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menyebut, penggeledahan KPK ke Bank Indonesia terkait dugaan penyalahgunaan CSR Bank Indonesia yang telah disalurkan. Menurutnya, Bank Indonesia menerima kedatangan KPK di Kantor Pusat Bank Indonesia Jakarta pada 16 Desember 2024.

    “Kedatangan KPK ke Bank Indonesia untuk melengkapi proses penyidikan terkait dugaan penyalahgunaan CSR Bank Indonesia yang disalurkan,” ujarnya.

    Ramdan memastikan, Bank Indonesia menghormati dan menyerahkan sepenuhnya proses hukum yang dilaksanakan oleh KPK sebagaimana prosedur dan ketentuan yang berlaku. “Kami mendukung upaya-upaya penyidikan, serta bersikap kooperatif kepada KPK,” tegasnya.

    Sementara, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan mengungkapkan, pihaknya menyita dokumen hingga barang bukti elektronik dalam penggeledahan tersebut.

    “Dokumen terkait berapa besaran CSR-nya, siapa-siapa yang menerima,” katanya. [hen/but]

  • Profil Heri Gunawan, Anggota DPR Fraksi Gerindra, Diperiksa KPK di Kasus Dana CSR BI – Halaman all

    Profil Heri Gunawan, Anggota DPR Fraksi Gerindra, Diperiksa KPK di Kasus Dana CSR BI – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dua Anggota DPR RI sebagai saksi terkait dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI), Jumat (27/12/2024). 

    Dua Anggota DPR RI tersebut yaitu Heri Gunawan (HG) dari Fraksi Partai Gerindra, dan Satori (ST) dari Fraksi Partai Nasdem.

    “Pemeriksaan dilakukan di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi Jl Kuningan Persada Kav.4, Setiabudi, Jakarta Selatan,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).

    Belum diketahui materi pemeriksaan yang akan dikonfirmasi tim penyidik KPK kepada Heri maupun Satori.

    Profil Heri Gunawan 

    Heri Gunawan merupakan pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, pada 11 April 1969.

    Heri Gunawan adalah satu politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). 

    Ia berhasil memenangkan kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) periode 2014-2019 mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat IV.

    Saat ini ia duduk sebagai anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi Keuangan, Perncanaan Pembangunan, Perbankan. 

    Dikutip dari laman resmi fraksi gerindra, Heri Gunawan, meraih gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta (1988 – 1994). 

    Heri Gunawan mengawali karir sebagai Asisten Pengajar, Mata Kuliah Sistem Informasi Manajemen (SIM) Pada Fakultas Ekonomi Manajemen, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta, tahun 1992.

    Satu tahun kemudian, Heri menjabat sebagai Pimpinan Kantor Pusat Lembaga Keuangan Non Bank, Usaha Jasa Pembiayaan hingga 2003. 

    Selang tiga tahun, Heri Gunawan menjadi Executive Vice President Perusahaan Induk (2006–2015). Pada tahun 2011 ia ditunjuk menjadi komisaris. 

    Karier Politik

    Heri menjadi Bendahara DPP Partai Gerindra pada 2008–2010. 

    Ia terpilih menjadi anggota DPR RI pada 2014-2019. Ia kembali terpilih pada Pileg 2019-sekarang. 

    Pada masa kerjanya Heri bertugas sebagai Wakil Ketua Komisi VI yang membidangi perdagangan, perindustrian, koperasi, investasi dan BUMN.

    Namun, pada tanggal 12 Januari 2016 ia digantikan oleh Muhammad Hekal. 

    Kini ia bertugas sebagai anggota Komisi XI membidangi keuangan, perencanaan pembangunan, perbankan. 

    Anggota DPR/MPR-RI (2019 – Sekarang)
    Anggota DPR/MPR-RI (2014 – 2019)
    Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Gerindra Komisi XI (Sebelas) DPR-RI (2019 – Sekarang)
    Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Gerindra Badan Legislasi DPR-RI (2019 – Sekarang)
    Anggota Badan Musyawarah (Bamus) DPR-RI (2019 – Sekarang)
    Anggota Team Penguatan Diplomasi Parlemen DPR-RI (2019 – Sekarang)
    Anggota Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR-RI, (2016 – 2019)
    Anggota Badan Pengkajian MPR-RI (2019 – Sekarang)
    Wakil Ketua Komisi VI (Enam) DPR-RI (2014 – 2016)
    Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Gerindra Komisi XI (Sebelas) DPR-RI, (2016 – 2019)

    (Tribunnews.com/Milani/Ilham Rian) 

  • 5 Fakta PPN Naik Jadi 12 Persen

    5 Fakta PPN Naik Jadi 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah bersikukuh menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

    Dalihnya adalah kenaikan ini menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Kenaikan PPN itu memantik reaksi keras dari sejumlah kalangan.

    Meski sudah menjadi amanat undang-undang, mereka memandang bahwa kenaikan ini berpotensi mencekik masyarakat yang sekarang ini tengah tercekik daya belinya.

    Berikut lima fakta PPN naik ke 12 persen mulai 2025:

    1. Diinisiasi di Era Jokowi dan Berlaku 1 Januari 2025

    RUU HPP merupakan RUU usul inisiatif pemerintah yang saat itu dipimpin Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Awalnya, RUU itu bernama RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

    Jokowi kemudian mengirimkan Surat Presiden (Surpres) Nomor R-21/Pres/05/2021 ke DPR pada 5 Mei 2021 untuk membahas RUU KUP. Kemudian, Surat Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 diteken pada 22 Juni 2021.

    DPR RI kemudian membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas RUU itu. Secara resmi, RUU KUP mulai dibahas pada 28 Juni 2021. Dalam pembahasan, RUU berubah nama jadi RUU HPP.

    Pembahasan RUU memakan waktu sekitar tiga bulan hingga disahkan di tingkat I pada 29 September 2021. Delapan fraksi partai di DPR menyetujui RUU HPP segera disahkan dalam rapat paripurna.

    Kedelapan fraksi itu yakni PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, NasDem, PKB, dan PPP. Hanya PKS yang menolak.

    Hingga kemudian pada 29 Oktober 2021, Jokowi menerbitkan UU HPP. Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.

    Pemerintahan Jokowi mengklaim bahwa UU HPP dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Oleh karenanya, diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang fokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.

    2. Berlaku ke Semua Barang yang Selama Ini Dikenakan PPN

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif PPN 12 persen yang mulai berlaku tahun depan tak hanya dikenakan terhadap barang mewah.

    Padahal, semula kenaikan PPN itu disebut-sebut oleh pemerintah bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12).

    Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat, mulai dari sabun mandi, makanan siap saji di restoran, pulsa telepon, tiket konser, hingga layanan video streaming seperti Netflix.

    Bersambung ke halaman berikutnya…

    3. Petisi Penolakan Warga

    Masyarakat ramai-ramai menandatangani petisi berisi penolakan terhadap kenaikan PPN ini. Petisi yang berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” ini sudah tayang di situs change.org sejak 19 November 2024 silam.

    Per Senin (23/12) pagi ini, sudah ada 171.532 orang yang menandatangani petisi untuk menolak kenaikan PPN 12 persen ini. Inisiator petisi menargetkan 200 ribu tanda tangan untuk petisi tersebut.

    Pembuat petisi menganggap kenaikan PPN menjadi 12 persen menyulitkan rakyat. Ia mengingatkan daya beli masyarakat sedang terpuruk.

    Petisi online tersebut pun diantar ke Istana Kepresidenan Jakarta oleh sejumlah massa dari beberapa elemen masyarakat. Mereka melakukan aksi tolak kenaikan PPN 12 persen pada Kamis (19/12).

    4. Ada Barang yang Dikecualikan

    Pemerintah menegaskan tak semua barang dan jasa kena kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Beberapa di antaranya malah digratiskan PPN-nya oleh pemerintah.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merinci bahwa bahan kebutuhan pokok yang mendapatkan fasilitas bebas PPN telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020.

    Barang dan jasa yang termasuk di antaranya adalah beras, daging (ayam ras, sapi), ikan (bandeng, cakalang, tongkol, tuna, kembung/banyar/gembolo/aso-aso), telur ayam ras, sayur-sayuran, buah-buahan, susu, garam, gula konsumsi, minyak goreng (tertentu), cabai (hijau, merah, rawit), dan bawang merah.

    Kemudian jenis jasa yang mendapatkan fasilitas bebas PPN sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2024 yaitu jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa angkutan umum, jasa keuangan, dan jasa persewaan rumah susun sederhana.

    Namun, pemerintah juga menetapkan bahwa barang-barang strategis tertentu masih dikenai PPN sebesar 11 persen, dengan 1 persen sisanya ditanggung pemerintah. Barang tersebut mencakup Minyakita, tepung terigu, dan gula industri.

    [Gambas:Photo CNN]

    5. Guyuran Insentif Buat Kompensasi

    Guna meredam dampak kenaikan PPN ini, pemerintah menyiapkan enam paket kebijakan ekonomi berupa insentif hingga diskon pajak sebagai stimulus.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kebijakan stimulus ini didesain untuk merespons guncangan ekonomi yang dialami dalam negeri, salah satunya terkait pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah hingga bawah.

    Adapun paket stimulus ekonomi tersebut diberikan kepada enam sektor produktif, seperti sektor rumah tangga yang mendapatkan bantuan pangan hingga diskon listrik 50 persen.

    Selanjutnya, sektor pekerja akan mendapatkan kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Lalu, sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) diberikan perpanjangan periode pemanfaatan pajak penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet hingga 2025. Berikutnya, industri padat karya, di mana pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta diberikan insentif PPh Pasal 21 DTP.

    Lebih lanjut, sektor mobil listrik dan hybrid diberikan insentif, hingga sektor perumahan diberikan PPN DTP pembelian rumah.

  • Awal Mula PPN Naik jadi 12%: Dimulai di Era Jokowi, Dilanjutkan Prabowo

    Awal Mula PPN Naik jadi 12%: Dimulai di Era Jokowi, Dilanjutkan Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Indonesia telah menghadapi pungutan PPN 10% setidaknya selama 37 tahun atau sejak 1985 hingga 2022, sebelum akhirnya tarif pajak tersebut naik menjadi 11% per 1 April 2022. 

    Kenaikan tersebut nyatanya dimulai pada masa pemerintahan kedua Joko Widodo atau pada 2021. Kala itu, pemerintah ingin membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang berisi soal kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga pengampunan pajak atau tax amnesty.

    Rancangan tersebut pada akhirnya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada Maret 2021, tetapi tak kunjung dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

    Hingga pada Mei 2021, Jokowi mengirimkan Surat Presiden (Surpres) Nomor R-21/Pres/05/2021 yang meminta agar DPR segera membahas dan merampungkan RUU KUP tersebut. 

    Akhirnya, pada penghujung Juni 2021, DPR mulai membahas RUU KUP yang dalam perjalanannya berganti nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

    Kurang dari enam bulan dan setelah mendapatkan restu dari Komisi XI, draft RUU HPP naik ke rapat paripurna bersama sejumlah agenda pembahasan lainnya. Mayoritas fraksi utamanya PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, Partai Demokrat, Partai Nasdem, PKB, PPP, menerima draf tersebut. 

    Kecuali, PKS yang dengan tegas tetap menolak pengesahan beleid tersebut dalam rapat paripurna. Meski demikian, RUU HPP juga tetap resmi menjadi undang-undang (UU) per 7 Oktober 2021 karena mayoritas fraksi setuju. 

    Hasilnya, Jokowi kembali melaksanakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II yang menghasilkan tambahan penerimaan senilai Rp61,01 triliun. 

    Selain itu, UU HPP juga menetapkan tarif PPN naik menjadi 11% per 1 April 2022 dan 12% mulai 1 Januari 2025 atau satu pekan lagi. 

    Presiden Prabowo Subianto yang kini menjabat pun manut dengan amanat UU HPP yang disahkan tiga tahun silam. Pemerintah kini, tidak ada intensi untuk menunda maupun membatalkan rencana tersebut. 

    Mirisnya, dalam UU HPP pemerintah juga menetapkan pajak karbon yang efektif 1 April 2022. Namun pada kenyataannya, kebijakan tersebut tak kunjung jalan dan tak ada kabar meski menjadi amanat Undang-Undang. Sementara tarif PPN, terus mengalami kenaikan.

    Pemerintah dalam hal ini Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Dwi Astuti berdalih kenaikan tarif PPN tidak akan mengganggu daya beli dan pertumbuhan ekonomi. 

    “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12/2024).

    Dalam perhitungan Ditjen Pajak, kenaikan tarif 1% tersebut hanya memberikan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen. 

    Misalnya, jika sebelumnya sebuah minuman seharga Rp7.000 dengan tarif 11% menjadi Rp7.770. Kini dengan tarif 12%, minuman tersebut menjadi Rp7.840 atau naik Rp70 atau setara 0,9%. 

    Meski demikian, ekonom dan masyarakat dari berbagai kalangan mendorong pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut karena kondisi daya beli yang tengah lemah. Tercermin dari inflasi yang mencapai titik terendah sejak 2021. 

  • Dari Kenaikan PPN 12 Persen hingga Penetapan Tersangka Hasto, Hasyim Muhammad Sindir PDIP

    Dari Kenaikan PPN 12 Persen hingga Penetapan Tersangka Hasto, Hasyim Muhammad Sindir PDIP

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Kader NasDem Hasyim Muhammad memberi kritik keras terhadap PDIP. Ia menyebut partai itu banyak omong kosong.

    “PDIP dari dulu memang banyak omong kosong,” kata Hasyim dikutip dari unggahannya di X, Rabu (25/12/2024).

    Ia memberi contoh. Saat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas umur pencalonan presiden dan wakil presiden.

    “Misal soal keputusan MK mengenai Gibran. Awalnya membuka kemungkinan Gibran jadi wakilnya Ganjar, tapi begitu Gibran pikih Prabowo, putusan MK-nya diprotes. Omong kosong!” ujarnya.

    Ia juga mengungkit omongan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Mengaitkan Prabowo dengan penculikan aktivis 98.

    “Belum lagi ketika PDIP angkat isu penculikan kepada Prabowo di Pilpres 2024 padahal di tahun 2009, Prabowo adalah cawapres PDIP. Omong kosong!” ucapnya.

    Kini, hal sama menurutnya terjadi dalam isu kenaikan PPN 12 persen. Dulunya PDIP mendukung, kini malah mengkritik.

    “Lalu soal PPN 12%. Sekarang PDIP seperti pahlawan rakyat ketika melawan PPN 12%. Padahal PDIP juga yang ikut memutuskan itu. Omong kosong!” terangnya.

    Baru-baru ini, Hasto ditetapkan tersangka korupsi. Lalu PDI Perjuangan menyebutnya politis.

    “Dan sekarang Hasto dijadikan tersangka katanya politis. Dulu ketika menteri-menteri Nasdem ditangkepin, bilangnya nggak politis. Omong kosong!” imbuhnya.

    Hasyim mengatakan, pada dasarnya. Ia tak setuju dengan putusan MK soal syarat umur.

    “Saya nggak pernah setuju Putusan MK yang “memberi jalan” ke Gibran. Saya juga nggak setuju dengan politik dinasti yang dilakukan Jokowi,” terangnya.

  • Pimpinan DPR Harap Pemerintah Beri Solusi bagi Warga Terdampak Korban Rob di Karawang – Halaman all

    Pimpinan DPR Harap Pemerintah Beri Solusi bagi Warga Terdampak Korban Rob di Karawang – Halaman all

    Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebanyak 180 kepala keluarga (KK)  yang direlokasi ke tanah Pertamina di Dusun Sarakan, Desa Tambaksari, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat perlu ditempatkan di tanah khusus, kemudian dibangun jadi kampung nelayan.

    Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, saat memberi bantuan sembako kepada masyarakat korban bencana rob di dusun tersebut, Selasa (24/12/2024).

    Saan, mengatakan jangan sampai ketika Pertamina kembali memfungsikan tanah ini, warga yang sudah bermukim sejak tahun 2007 ini justru tergusur.

    “Jangan sampai digusur sebelum ada gantinya,” kata Saan kepada wartawan.

    Meski saat ini warga korban terdampak banjir rob diperbolehkan menempati tanahnya, ia berharap pemerintah harus mencari solusi khusus bagi masyarakat tersebut.

    Politisi NasDem itu mengatakan sejak lama dia ingin membangun kampung nelayan bagi warga Dusun Sarakan, yang terintegrasi fasilitas sekolah dan layanan kesehatan di dalamnya.

    Selain membangun kampung nelayan, Saan juga meminta pemerintah dan semua pihak mencari solusi menangani banjir rob, yang hingga kini jadi musibah tahunan bagi warga setempat.

    Dia menyebutkan, permukiman di ujung pantai Kabupaten Karawang ini bisa diubah jadi kampung wisata mangrove, dengan potensi ikan bandeng olahan.

    Kepala Desa Tambaksari, Katam menyebutkan, banjir rob melanda desanya sejak tanggal 13-20 Desember 2024 kemarin, dari 2 ribu hektar tambak ikan di desanya, sebanyak 300 hektar  terdampak banjir rob.

    “300 hektar terdampak banjir rob, kerugiannya mencapai miliaran rupiah,” kata Katam.

    Sebagai informasi, warga yang menempati lahan di Dusun Sarakan ini diketahui merupakan warga yang sebelumnya bermukim di pinggir pantai, tetapi kampung mereka habis dan menghilang akibat tergerus abrasi.

    Kemudian pada tahun 2007, Camat Tirtajaya yang saat itu dipimpin Wawan Setiawan merelokasi warga ke lahan seluas 100 meter persegi setelah mendapat izin Pertamina.

    Meski warga leluasa menggunakan lahan ini, tetap saja mereka cemas, khawatir suatu saat rumah mereka yang sudah berdiri di tanah ini digusur.

    Saan didampingi BUMN Jasa Marga, Pertamina, InJourney/Aviasi Pariwisata Indonesia, H. Maslani Wakil Bupati Terpilih, Asisten Daerah I dan Dinas Sosial Pemkab Karawang.

     

  • PPN 12 Persen Sudah Final, Fokus Implementasi Bukan Polemik

    PPN 12 Persen Sudah Final, Fokus Implementasi Bukan Polemik

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Badan Keuangan dan Perpajakan  Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Muhammad Arif Rohman menegaskan, kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen yang telah disahkan pemerintah adalah keputusan final. Polemik yang berlarut-larut, terutama dari pihak-pihak yang sebelumnya mengusulkan dan mendukung, justru kontraproduktif terhadap stabilitas ekonomi.  

    “PPN 12 persen ini bukan kebijakan yang tiba-tiba muncul, tetapi telah melalui proses legislasi yang panjang dan sah. Kita semua, termasuk partai politik yang awalnya mengusulkan kebijakan ini, seharusnya konsisten mendukung. Jangan sampai isu ini terus dipolitisasi demi kepentingan tertentu,” kata Arif dalam pernyataannya, Selasa (24/12/2204).

    Arif menekankan, jika tidak sepakat pilihlah jalur yang konstitusional yaitu sesuai dengan Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yaitu saat pembahasan APBN.  Saat ini, lanjut Arif, waktu pembahasan APBN sudah lewat. Megingat sudah final, perhatian seharusnya diarahkan pada efektivitas pelaksanaannya dengan mengedepankan toleransi ekonomi. 

    “Kita harus memastikan penerapan PPN 12 persen ini berjalan adil dengan mengedepankan toleransi ekonomi. Hasil kebijakan ini harus benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti memperkuat program perlindungan sosial, meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan membangun infrastruktur,” ujar Arif.  

    GP Ansor juga mengkritik sikap sejumlah partai politik yang justru mengangkat kembali isu PPN 12 persen sebagai bahan polemik. Arif menilai, hal ini mencerminkan ketidakkonsistenan sikap partai politik dalam menjaga kepentingan publik.  

    “Partai politik yang dahulu menjadi pengusul utama kebijakan ini memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung implementasinya. Mengkritik kebijakan yang mereka buat sendiri hanya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas mereka,” tegas Arif.  

    GP Ansor berharap hasil dari PPN 12 persen dapat memperkuat pendapatan negara untuk mendanai berbagai program pembangunan.   

    Diketahui, politisi Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan Partai Amanat Nasional (PAN) menyoroti ketidakkonsisten PDI Perjuangan terkait dengan PPN 12 persen. Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu menolak kebijakan PPN 12 persen. Kedua partai tersebut menganggap PDIP yang ikut menyetujui kebijakan tersebut di parlemen, tidak konsisten. Bahkan dianggap lempar batu sembunyi tangan, sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi NasDem Fauzi Amro.

  • Alasan DPR Setujui Kenaikan PPN 12 Persen Lewat UU HPP

    Alasan DPR Setujui Kenaikan PPN 12 Persen Lewat UU HPP

    Jakarta, CNN Indonesia

    Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani mengungkap alasan DPR menyetujui kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12 persen lewat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 2021.

    UU HPP menjadi dasar hukum kenaikan PPN dari semula 10 persen pada 2021 menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan berlangsung secara bertahap dimulai pada 2022 yang naik menjadi 11 persen dan kini menjadi 12 persen.

    Menurut Muzani, UU HPP kala itu didorong saat negara dalam situasi pandemi Covid-19. Menurut dia, kondisi keuangan negara sedang tidak baik dan karenanya membutuhkan sumber pemasukan tambahan guna menopang APBN.

    “2021 ketika undang-undang ini dibahas, situasinya ketika itu sedang Covid. Negara ketika itu dalam kondisinya sedang dalam kondisi tidak memiliki kemampuan untuk memiliki kemampuan penerimaan,” ucap Muzani di kompleks parlemen, Senin (23/12).

    Walhasil, pemerintah dan DPR kala itu berpikir untuk membuat aturan agar negara mendapat tambahan sumber penerimaan. Dalam UU HPP, sumber pendapatan salah satunya yakni dengan menaikkan pajak lewat pajak pertambahan nilai (PPN).

    “DPR bersama pemerintah ketika itu tahun 2021 melakukan pembahasan tentang kemungkinan penerimaan PPN yang bersumber dari masyarakat dari 10 persen, menjadi 11 persen sampai 12 persen. Kenaikan itu dilakukan secara bertahap,” kata Muzani.

    UU HPP diusulkan pemerintah yang saat itu dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi). Awalnya, RUU itu bernama RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

    RUU KUP didasarkan pada Surat Presiden (Surpes) Nomor R-21/Pres/05/2021 yang dikirim ke DPR pada 5 Mei 2021, serta Surat Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 yang ditekan pada 22 Juni 2021.

    Sejak dimulai dibahas pada 28 Juni 2021, RUU HPP persis memakan waktu sekitar tiga bulan hingga kemudian disahkan di tingkat I pada 29 September 2021. Dalam rapat kerja yang turut dihadiri pemerintah, delapan fraksi menyetujui RUU HPP dibawa ke Paripurna.

    Mereka masing-masing yakni PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, NasDem, PKB, dan PPP. Hanya PKS yang menolak.

    Sebagai salah satu partai pendukung pemerintah, Gerindra menurut Muzani menyetujui UU HPP. Dan kini, sebagai Presiden, Prabowo memiliki kewajiban untuk melaksanakan perintah untuk menaikkan PPN.

    Pada prosesnya, Muzani menganggap partai yang kini menolak kenaikan PPN sebagai dinamika yang lumrah. Menurut dia, hal itu sebagai bagian dari dinamika berdemokrasi.

    “Saya kira itu sebagai sebuah proses demokrasi sesuatu yang wajar-wajar saja. Tetapi semua pandangan, kritik, saran yang berkembang di masyarakat kami terima sebagai sebuah catatan sebelum presiden mengambil keputusan,” katanya.

    Muzani mengatakan Prabowo memahami berbagai keberatan yang disampaikan masyarakat. Menurut dia, semua itu akan menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan.

    “Dan Pak Prabowo memahami keberatan-keberatan tersebut dan nanti pada waktunya beliau akan mengumumkan itu semua. Apa saja poin-poin yang harus diambil untuk dilakukan penaikan,” kata Muzani. 

    (thr/DAL)

    [Gambas:Video CNN]

  • KIM Plus Nilai PDIP Lempar Batu Sembunyi Tangan soal PPN Menjadi 12%

    KIM Plus Nilai PDIP Lempar Batu Sembunyi Tangan soal PPN Menjadi 12%

    Jakarta

    Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menyoroti elite partai politik (parpol) saling lempar bola dengan adanya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Adi menilai para elite parpol seolah mencari kambing hitam imbas kenaikan PPN.

    “Intinya, semua berebut mencari kambing hitam soal kenaikan PPN 12% karena kebijakan ini dinilai kontroversial dan merugikan rakyat dan yang saat ini disalahkan pemerintahan Prabowo Subianto,” kata Adi kepada wartawan, Senin (23/12/2024).

    Adi menyebut kondisi semakin memanas ketika PDIP menolak kenaikan PPN, padahal dianggap sebagai inisiator. Karena itu, kata dia, PDIP dikeroyok oleh parpol KIM Plus.

    “Dalam konteks itulah, partai koalisi pemerintah mencari biang kerok soal kebijakan ini karena peraturannya dibuat saat PDIP berkuasa saat itu. Apalagi PDIP berlagak menolak kebijakan kenaikan PPN 12 persen padahal PDIP inisiatornya. Di situlah kemudian PDIP dikoroyok oleh KIM Plus yang dinilai lempar batu sembunyi tangan,” ujarnya.

    Kenaikan PPN Bisa Dibatalkan

    Adi menilai semestinya mudah saja bagi pemerintah dan DPR membatalkan kebijakan tersebut. Mengingat, mayoritas fraksi di DPR RI mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    “Kalau UU tersebut dinilai kontroversial dan merugikan rakyat, pemerintah dan DPR bisa batalkan UU ini. Toh mayoritas DPR full total dukung Prabowo. Mudah saja mengubah aturan kenaikan PPN itu,” ucapnya.

    “Kalau mau lanjut pun pemerintah merem pun beres, karena hampir semua fraksi akan mendukung,” jelasnya.

    Kata PDIP soal Inisiator PPN 12%

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit menjawab pernyataan Waketum Partai Gerindra Rahayu Saraswati yang menilai ada andil PDIP dalam pengesahan UU HPP yang menjadi dasar kenaikan PPN 12%. Dolfie mengatakan mulanya UU HPP merupakan inisiatif pemerintah Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

    Dolfie menyebutkan saat itu sebanyak 8 fraksi di DPR RI, kecuali PKS, menyetujui RUU HPP menjadi undang-undang. Ia mengatakan RUU itu diketok pada 7 Oktober 2021.

    “Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP; Selanjutnya RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI (Komisi XI); disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021; 8 Fraksi (Fraksi PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, NasDem, Fraksi PKB, F Partai Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PPP) menyetujui UU HPP kecuali fraksi PKS,” kata Dolfie.

    “UU HPP, bentuknya adalah omnibus law, mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. UU ini juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon,” tambahnya.

    Ia mengatakan pemerintah dapat mengusulkan kenaikan atau penurunan dari tarif PPN tersebut dengan rentang perubahan tarif 5-12 persen. Dolfie menyebutkan pertimbangan kenaikan atau penurunan tarif PPN bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Ia mengatakan pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN dengan cara menaikkan atau menurunkan.

    Dolfie memberikan masukan kepada pemerintah Prabowo Subianto jika tetap menaikkan PPN sebesar 12%. Menurut dia, kenaikan itu mesti dibarengi dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat.

    (taa/jbr)