partai: Golkar

  • Fraksi Golkar MPR pertegas langkah strategis untuk pembangunan

    Fraksi Golkar MPR pertegas langkah strategis untuk pembangunan

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Golkar MPR RI menggelar rapat internal untuk meninjau kembali seluruh agenda, program, dan inisiatif kebijakan yang telah dijalankan sepanjang tahun.

    Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Melchias Markus Mekeng menjelaskan bahwa dalam rapat tersebut, seluruh capaian dikaji secara menyeluruh untuk memastikan arah kerja fraksi tetap relevan dengan kebutuhan bangsa serta selaras dengan dinamika politik nasional. termasuk kajian mengenai anggaran pendidikan serta inisiatif pengembangan konsep obligasi daerah.

    “Kami sudah melakukan pembahasan tentang anggaran pendidikan, dan sekarang kami memulai pendalaman mengenai obligasi daerah,” kata Mekeng dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Rapat tersebut berlangsung di ruang GBHN, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (25/11).

    Mekeng menuturkan bahwa Fraksi yang dipimpinnya tetap memandang bahwa pendidikan tetap menjadi sektor prioritas yang membutuhkan pengawasan ketat, terutama terkait efektivitas penyaluran anggaran dan dampaknya terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional.

    Kajian yang telah dilakukan sepanjang tahun menjadi dasar fraksi untuk menyusun rekomendasi kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berorientasi pada pemerataan akses pendidikan. Ia juga mendukung komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam kemajuan dalam kemandirian daerah.

    “Yang pasti adalah terjadi perubahan yang cukup signifikan setelah Pak Prabowo memimpin negara ini. Pak Prabowo menginginkan daerah-daerah agar mandiri di dalam membangun daerahnya, karena pusat juga perlu anggaran untuk membangun,” tuturnya.

    Terutama dengan adanya perubahan signifikan pada sektor keuangan daerah setelah revisi Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

    Selain itu juga ia menyoroti skema baru Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak lagi berbasis pada penerimaan negara telah mempengaruhi struktur anggaran daerah. Hal ini mendorong perlunya inovasi kebijakan, termasuk inisiatif obligasi daerah yang kini tengah didorong oleh Fraksi Golkar.

    “Dengan perubahan undang-undang HKPD, hubungan keuangan pusat dan daerah, di mana DAU tidak lagi berpatokan pada penerimaan negara, terjadilah perubahan anggaran pada daerah-daerah. Oleh karena itu, Fraksi Partai Golkar menginisiasi penerbitan undang-undang tentang komplikasi daerah,” tuturnya.

    Untuk memperkaya kajian tersebut, fraksi telah mengadakan sejumlah sarasehan di berbagai daerah sebagai forum dialog langsung dengan pemangku kepentingan lokal. Dua daerah telah menjadi lokasi pelaksanaan kegiatan, dan pada bulan Desember direncanakan penyelenggaraan lanjutan di wilayah Jawa Barat.

    Lewat sarasehan ini, fraksi mengumpulkan masukan dari akademisi, pemerintah daerah, pelaku ekonomi lokal, hingga masyarakat, yang selanjutnya akan dirumuskan menjadi rekomendasi resmi.

    “Makanya sekarang kami sedang melakukan sarasehan di berbagai daerah, sudah dua daerah, dan mudah-mudahan bulan Desember kami akan melakukan kegiatan di Jawa Barat,” tuturnya.

    Keseluruhan rangkaian evaluasi ini merupakan komitmen Fraksi Partai Golkar MPR RI untuk memastikan bahwa agenda kerja mereka tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi pembangunan nasional dan daerah.

    Fraksi menegaskan bahwa evaluasi akhir tahun bukan sekadar kegiatan administratif, melainkan bagian dari proses pembaruan strategi yang lebih responsif, adaptif, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

    Rapat internal ini untuk diketahui ditutup dengan syukuran dan apresiasi mendalam atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI ke-2 Soeharto.

    Acara tersebut menjadi bentuk penghormatan sekaligus refleksi atas pengabdian Soeharto bagi bangsa. Syukuran dihadiri Pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR, Tenaga Ahli, Sekretariat FPG MPR, serta sejumlah kader Partai Golkar.

    Mekeng menegaskan bahwa penganugerahan gelar itu merupakan pengakuan negara atas kontribusi besar Soeharto, mulai dari pemulihan ekonomi, penguatan Pancasila, hingga pembangunan jangka panjang yang membentuk fondasi Indonesia modern.

    Pihaknya menyoroti peran Soeharto dalam menstabilkan situasi politik dan ekonomi, termasuk keberhasilannya menekan inflasi dari lebih 600 persen menjadi terkendali, memperkuat kerja sama internasional, serta mencapai swasembada beras yang bersejarah.

    Infrastruktur dasar seperti jalan negara, irigasi, puskesmas, sekolah, hingga industri strategis turut disebut sebagai bukti nyata pembangunan pada era tersebut. Ia juga mengajak generasi muda melihat rekam jejak Soeharto secara objektif.

    “Jangan melihat orang dari sisi negatif. Manusia tidak ada yang sempurna, dan jasa Pak Harto untuk negara ini sangat besar,” kata Mekeng.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sarmuji Jadikan detikcom Awards sebagai Motivasi Bekerja Lebih Baik

    Sarmuji Jadikan detikcom Awards sebagai Motivasi Bekerja Lebih Baik

    Jakarta

    Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, meraih detikcom Awards 2025 sebagai ‘Tokoh Penggerak Kemandirian Ekonomi Pesantren dan Masyarakat’. Sarmuji menjadikan penghargaan yang diterima ini sebagai motivasi untuk bekerja lebih baik.

    “Kalau ditimbang apakah ini apresiasi, prestasi atau motivasi, saya merasakan ini sebagai sebuah motivasi dari detikcom untuk berbuat lebih baik lagi,” kata Sarmuji dalam penganugerahan detikcom Awards 2025 di The Westin, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025).

    Sarmuji mengucapkan terima kasih kepada Founder and Chairman CT Corp Chairul Tanjung (CT) atas penghargaan ini. Dia juga mengapresiasi detikcom.

    “Terima kasih, Pak CT, terima kasih, detikcom,” ucap dia.

    Sarmuji dianugerahkan penghargaan ini karena dinilai konsisten dalam penguatan kemandirian lembaga pendidikan berbasis pesantren sekaligus pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil. Sarmuji dinilai terus berupaya mengawal pemenuhan amanat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) agar pondok pesantren memperoleh alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBN).

    Sarmuji juga dinilai telah memberikan penguatan pesantren yang ditunjukkan saat berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Falah, Jeblog, Blitar. Di sana, Sarmuji menyerahkan mobil operasional bagi kebutuhan mobilitas dakwah dan kegiatan pondok.

    Di sisi ekonomi kerakyatan, Sarmuji dinilai berperan dalam memastikan keberlangsungan program Bank Wakaf Mikro (BWM) di berbagai wilayah Jawa Timur, termasuk Blitar. Program ini dinilai memberikan akses pembiayaan tanpa bunga bagi penjual sayur keliling, penjual gorengan, penjual nasi bungkus dan pedagang kecil lainnya.

    Tahun ini, detikcom Awards kembali digelar untuk memberikan apresiasi bagi yang berkontribusi nyata untuk Indonesia. Tahun ini, ajang penghargaan mengusung tema ‘Apresiasi Karya Insan Nusantara, Merajut Indonesia Gemilang’.

    Penghargaan ini ditujukan bagi individu, pelaku usaha, dan unsur pemerintah yang telah menorehkan prestasi serta memberi dampak signifikan bagi bangsa.

    (lir/dhn)

  • Pembahasan R-APBD Magetan Rp1,83 T Hanya 2 Hari, Banggar DPRD: Tidak Rasional

    Pembahasan R-APBD Magetan Rp1,83 T Hanya 2 Hari, Banggar DPRD: Tidak Rasional

    Magetan (beritajatim.com) – Pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Kabupaten Magetan Tahun Anggaran 2026 senilai Rp1,83 triliun hanya berlangsung dua hari, situasi yang dinilai Badan Anggaran (Banggar) DPRD Magetan sebagai sesuatu yang tidak rasional dan sangat dipaksakan. Kondisi ini muncul setelah dokumen anggaran baru diserahkan pada 25 November, sementara tenggat pengesahan wajib dilakukan pada 28 November.

    Anggota Banggar DPRD Magetan, Didik Haryono, menyampaikan kekecewaannya terhadap cara kerja yang menurutnya jauh dari ideal. Ia menegaskan bahwa legislatif dipaksa menyelesaikan pembahasan anggaran dalam waktu ekstrem pendek.

    “Kami Badan Anggaran DPRD dipaksa mau tidak mau membahas APBD Rp 1,83 triliun hanya dalam waktu 2 hari. Itu tidak rasional dan sangat dipaksakan,” tegas legislator Partai Golongan Karya itu.

    Didik menjelaskan bahwa beban pembahasan sebesar itu tidak mungkin menghasilkan telaah dan keputusan yang matang jika dipaksakan dalam waktu singkat. Ia menilai situasi tersebut justru berpotensi melemahkan kualitas proses anggaran dan memunculkan keputusan yang tidak berorientasi pada kepentingan publik secara optimal.

    Menurut Didik, akar persoalan ini berasal dari buruknya kinerja Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ia menilai TAPD bekerja tidak simultan, terlambat, dan tidak mempersiapkan tahapan penyusunan anggaran secara benar.

    “Harusnya ada yang melaksanakan program, ada yang menyiapkan tahap depan anggaran. Ini tidak sama sekali. TAPD nunggu semua baru tanggal 19 bahas kuota,” kritiknya.

    Ia menjelaskan bahwa dalam standar penyusunan anggaran, TAPD sudah seharusnya menyiapkan rancangan anggaran lebih awal agar pembahasan dengan legislatif berjalan kondusif. Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya: pembahasan baru dimulai ketika waktu hampir habis.

    Hal ini, katanya, mengganggu ritme kerja Banggar dan membuat pembahasan tidak berjalan sesuai prinsip kehati-hatian. Didik bahkan memberikan catatan khusus kepada Bupati dan Wakil Bupati Magetan untuk mengevaluasi TAPD. Menurutnya, perubahan struktur organisasi dan pergantian Sekretaris Daerah justru berdampak pada menurunnya responsivitas tim anggaran.

    “Ini dampak dari terpilihnya Sekda baru. Efeknya TAPD menjadi apatis. Tahun-tahun ke depan DPRD jangan berharap selalu berbaik hati membahas APBD secara terpaksa seperti ini,” ujarnya.

    Meski begitu, Didik memastikan bahwa Banggar tetap berkomitmen mengejar tenggat pengesahan karena berkaitan langsung dengan kepentingan pelayanan publik di Magetan.

    “Demi masyarakat Magetan, kami tetap komitmen mengesahkan APBD tanggal 28 November meskipun dengan banyak catatan,” lanjutnya.

    Berdasarkan Nota Keuangan R-APBD 2026, total APBD Magetan diperkirakan mencapai Rp1,833 triliun. Struktur belanja masih didominasi oleh belanja operasi dan belanja pegawai. Belanja operasi mencapai Rp1,402 triliun, dengan belanja pegawai sebesar Rp881,4 miliar sebagai komponen terbesar. Belanja modal hanya Rp117,8 miliar, belanja bantuan keuangan Rp286,9 miliar, dan belanja hibah Rp36,7 miliar.

    Sementara itu, pendapatan daerah diproyeksikan Rp1,791 triliun, sebagian besar berasal dari transfer pemerintah pusat dan provinsi. Komposisi pendapatan yang masih bergantung pada transfer membuat ruang fiskal daerah terbatas, sehingga alokasi belanja modal seharusnya mendapat perhatian lebih besar.

    Didik menilai komposisi tersebut perlu dikritisi dalam pembahasan. Ia menyoroti beban belanja pegawai yang tinggi, hibah yang besar, serta bantuan keuangan yang juga signifikan, sementara belanja modal — yang seharusnya menjadi instrumen utama mendorong pertumbuhan ekonomi — belum optimal.

    “Masih ada hibah cukup besar, bantuan keuangan juga tinggi, tapi belanja modal harusnya ditingkatkan. Itu yang akan kita cermati dalam pembahasan,” tegasnya.

    Ia menambahkan bahwa proses pembahasan dua hari tidak boleh menjadi seremonial semata. Banggar, kata dia, akan memaksimalkan seluruh waktu yang tersedia untuk memastikan APBD 2026 benar-benar berpihak kepada masyarakat dan selaras dengan kebutuhan pembangunan daerah.

    “Kami akan memaksimalkan dua hari ini untuk menentukan apakah APBD 2026 benar-benar memihak masyarakat. Eksekutif harus terbuka,” pungkasnya. [fiq/beq]

  • Programmer Coretax Lulusan SMA, Komisi XI DPR Cecar Dirjen Pajak

    Programmer Coretax Lulusan SMA, Komisi XI DPR Cecar Dirjen Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR meminta klarifikasi dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait dengan sistem administrasi perpajakan Coretax yang disebut dikerjakan oleh programmer lulusan setingkat SMA. 

    Pada rapat dengan Dirjen Pajak Kemenkeu dan jajarannya, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyoroti pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa beberapa waktu lalu terkait dengan masalah yang dihadapi Coretax. 

    Salah satunya terkait dengan pemrograman sistem administrasi perpajakan itu. Purbaya saat itu mengatakan bahwa programmer dari LG yang menggarap pemrograman Coretax merupakan lulusan SMA. 

    “Ini harus diklarifikasi dan harus dijelaskan. Kalau lulusan SMA di luar negeri, berarti kenapa kita harus pakai vendor asing. Kenapa kita butuh waktu empat tahun untuk menyiapkan?,” tanya Misbakhun kepada jajaran Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

    Tidak hanya soal programmer lulusan SMA, Misbakhun turut menyoroti pernyataan Purbaya bahwa Coretax masih memiliki banyak error. Padahal, sistem tersebut akan segera digunakan untuk penyampaian laporan SPT tahun depan. 

    Belum lagi, Purbaya juga menyebut pihaknya masih menunggu pihak LG selaku vendor untuk menyerahkan source code dari sistem Coretax. Hal itu belum bisa dilakukan saat ini karena masih ada sisa waktu kontrak yang belum selesai. 

    “Sistem keamanannya lemah, keamanan sibernya setelah beliau perbaiki. Jadi Menteri Keuangan Pak Purbaya menurunkan tim sendiri untuk memperbaiki sistem keamanan sibernya. Artinya apa? Bahwa tim yang lama itu tidak siap dengan keamanan sumbernya,” ujar politisi Partai Golkar itu. 

    Sebelumnya pada Jumat (24/10/2025), Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengeklaim sebagian besar masalah Coretax dari sisi pengguna sudah bisa diatasi. Namun, salah satu isu yang saat ini masih belum dituntaskan adalah perangkat lunak atau software buatan LG. 

    Adapun mengutip laman resmi Ditjen Pajak, LG CNS-Qualysoft Consortium menjadi pemenang pengadaan sistem informasi Coretax senilai Rp1,2 triliun (termasuk pajak). 

    LG CNS-Qualysoft Consortium yang beralamatkan di Jakarta ini menyediakan solusi Commercial Off The Shelf (COTS) untuk Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan mengimplementasikan solusi tersebut. Pembenahan Coretax adalah salah satu aspek yang menjadi fokus Purbaya setelah resmi dilantik sebagai Menkeu menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada September 2025. 

    Setelah satu bulan upaya pembenahan, dia mengungkap turut mempekerjakan peretas atau hacker asal Indonesia untuk mengatasi IT Coretax. Purbaya menyebut, peretas yang dipekerjakan olehnya itu menemukan bahwa programmer yang ditugaskan LG untuk menyusun sistem perangkat lunak Coretax adalah lulusan SMA. 

    “Dia [peretas] bilang, wah ini programmer tingkat baru lulusan SMA, jadi yang dikasih ke kita bukan orang jago-jagonya kelihatannya. Jadi ya memang Indonesia sering dikibulin asing, begitu asing ‘wah’. Apalagi K-Pop, wah K-Pop nih, tapi di bidang programmer beda ya, di K-Pop, di film sama di nyanyi, programming [red] beda,” terangnya di kantor Kemenkeu, Jakarta, dikutip Sabtu (25/10/2025).

  • Wanti-wanti DPR Defisit APBN Bisa Tembus 4,4% Imbas Setoran Pajak Jeblok

    Wanti-wanti DPR Defisit APBN Bisa Tembus 4,4% Imbas Setoran Pajak Jeblok

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mewanti-wanti pemerintah bahwa defisit APBN 2025 bisa melebar tajam ke 4,4% terhadap PDB akibat penerimaan pajak yang memburuk.

    Misbakhun mengaku sudah melakukan simulasi realisasi penerimaan perpajakan sepanjang 2025 dan pengaruhnya terhadap defisit fiskal. Dia masih memakai data acuan laporan semester I/2025 yang disampaikan Kementerian Keuangan pada Juli lalu.

    Hasilnya, jika penerimaan perpajakan mencapai Rp2.241,82 pada akhir tahun atau setara 90% dari target (Rp2.490,91 triliun) maka defisit APBN 2025 akan mencapai 3,39% terhadap PDB.

    Sementara jika penerimaan perpajakan sebesar Rp2.241,82 triliun pada akhir tahun atau setara 85% dari target maka defisit bisa mencapai 3,92%. Lebih buruk lagi, jika penerimaan perpajakan Rp1.992,73 triliun pada akhir tahun atau hanya setara 80% dari target maka defisit melebar ke 4,44% dari PDB.

    “Ini mengkhawatirkan. Sementara tadi penerimaan [pajak] kita baru 70,2% [per akhir Oktober 2025]. Saya mengkhawatirkan di paling ujung, yaitu defisit,” ujar Misbakhun dalam rapat dengan Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dan jajarannya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

    Sebagai catatan, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara sudah menetapkan ambang batas defisit anggaran sebesar 3% terhadap PDB. Artinya, jika defisit melebar ke 3,39% atau 3,92% atau bahkan 4,44% seperti simulasi Misbakhun maka pemerintah akan melanggar UU.

    Oleh sebab itu, legislator dari Fraksi Partai Golkar itu meminta penjelasan dari Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto terkait taktik hingga langkah konsolidasi untuk bisa meningkatkan penerimaan pajak, baik upaya ekstra maupun rutin.

    “Saya menyadari Pak Bimo adalah salah satu generasi baru di Direktorat Jenderal Pajak yang diharapkan pemikiran-pemikiran segarnya itu bisa memberikan visi baru, arahan baru, dan kemimpinan yang baru, untuk membawa leadership-nya Pak Bimo itu menjadi inspirasi bagi semua anak buah Bapak,” katanya.

    Komisi XI DPR, sambung Misbakhun, siap memberikan dukungan penuh atas langkah-langkah Bimo memperbaiki penerimaan pajak.

    Sementara dalam perkembangan terbaru per akhir Oktober 2025, APBN membukukan defisit sebesar Rp479,7 triliun. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa defisit APBN tersebut setara dengan 2,02% terhadap PDB.

    Pemerintah sendiri mendesain defisit APBN 2025 sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB. Kendati demikian, dalam laporan semester I/2025, DPR dan pemerintah menyetujui pelebaran defisit menjadi 2,78% dari PDB.

    Strategi DJP

    Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih meyakini outlook penerimaan pajak sebesar Rp2.076,92 triliun sepanjang 2025 masih bisa tercapai, didorong oleh penguatan pengawasan kepatuhan hingga optimalisasi penegakan hukum.

    Dalam paparannya, Direktur cs9xfuwr Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa realisasi penerimaan mencapai Rp1.459,03 triliun hingga Oktober 2025 atau sekitar 70,2% dari perkiraan penerimaan sepanjang tahun. Artinya, otoritas pajak harus kumpulkan Rp617,87 triliun dalam dua bulan agar outlook tersebut tercapai.

    Dari sisi jenisnya, Bimo merincikan penerimaan pajak penghasilan (PPh) Nonmigas tercatat Rp759,36 triliun hingga Oktober dan diproyeksikan mencapai Rp987,52 triliun pada akhir tahun. Sementara pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN & PPnBM) mengumpulkan Rp556,61 triliun dan ditargetkan Rp895,91 triliun.

    Selain itu, pajak bumi dan bangunan (PBB) mencatatkan realisasi Rp22,84 triliun, pajak lainnya Rp99,86 triliun, dan PPh Migas Rp20,35 triliun. DJP memperkirakan tiga pos terakhir tersebut masing-masing menutup tahun pada Rp30,08 triliun, Rp109,33 triliun, dan Rp54,08 triliun.

    Bimo menyatakan bahwa DJP telah menyiapkan empat strategi untuk mengamankan target penerimaan. Pertama, dinamisasi pembayaran pajak dari sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan.

    “[Kedua], realisasi penerimaan dari bahan-bahan kegiatan proses bisnis utama Direkturat Jenderal Pajak dari mulai kegiatan pengawasan pemeriksaan penegakan hukum dan penagihan yang sudah dilakukan sejak awal tahun,” jelasnya dalam rapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

    Ketiga, memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana perpajakan yang beririsan dengan kasus korupsi dan pencucian uang.

    “Untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan dan deterrent effect [efek jera],” lanjut Bimo.

    Keempat alias terakhir, memperkuat sistem administrasi dengan mengandalkan sistem Coretax. Dengan demikian, diharapkan terjadi peningkatan efisiensi proses, kualitas data, dan tingkat kepatuhan wajib pajak.

  • Musda Golkar Kota Pasuruan Digelar, DPD Jatim Tekankan Penguatan Konsolidasi

    Musda Golkar Kota Pasuruan Digelar, DPD Jatim Tekankan Penguatan Konsolidasi

    Pasuruan (beritajatim.com) – Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Kota Pasuruan resmi digelar sebagai bagian dari regenerasi kepengurusan dan upaya memperkuat struktur organisasi partai di tingkat daerah. Agenda ini menjadi momentum strategis bagi Golkar untuk memantapkan konsolidasi sekaligus menyiapkan kepemimpinan baru yang mampu menggerakkan mesin partai secara optimal.

    Kegiatan Musda berlangsung lancar dengan dukungan penuh dari DPD Golkar Jawa Timur. Para pengurus menilai forum ini penting untuk melahirkan figur ketua yang solid, responsif, dan berorientasi pada pelayanan publik.

    “Alhamdulillah Musda hari ini berjalan baik. Ini agenda wajib untuk memastikan organisasi tetap hidup,” jelas Blegur Prijanggono, Sekretaris DPD Golkar Jatim, Senin (24/11/2025).

    Blegur menegaskan bahwa Musda tidak hanya memilih ketua baru, tetapi juga menjadi sarana menyatukan kembali kekuatan kader di Kota Pasuruan. Ia berharap kepemimpinan terpilih mampu memperkuat konsolidasi dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.

    “Ketua yang terpilih nanti harus memperkuat konsolidasi. Dan tentu memperjuangkan aspirasi warga Kota Pasuruan,” lanjutnya.

    Hingga saat ini, sebanyak 29 daerah di Jawa Timur telah menggelar Musda dari total 38 kabupaten/kota. Percepatan ini dilakukan agar proses konsolidasi dapat dirampungkan tahun ini, sehingga tahun depan partai bisa fokus pada program lanjutan.

    “Provinsi memang mempercepat agenda Musda. Agar tahun depan bisa fokus pada program konsolidasi lanjutan,” kata Blegur.

    Di Kota Pasuruan, terdapat dua hingga tiga kandidat yang disebut maju sebagai calon ketua. Para calon nantinya akan mencari dukungan dari kecamatan dan kelurahan yang memiliki hak suara. DPD Golkar Jatim menargetkan ketua terpilih mampu mempertahankan kursi partai di DPRD Kota Pasuruan serta meningkatkan jumlah kursi di DPRD Jatim maupun DPR RI.

    Blegur menekankan komitmen partai terhadap kebutuhan dan pelayanan publik. Ia menyampaikan bahwa Golkar di Kota Pasuruan harus menunjukkan keseriusan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.

    Ketua Pelaksana Musda XI Golkar Kota Pasuruan, Muhammad Munif, menjelaskan bahwa rangkaian Musda berjalan melalui lima paripurna, mulai dari laporan kegiatan, pembahasan internal, hingga penetapan calon ketua.

    “Rundown Musda sudah lengkap dan jelas. Mulai paripurna pertama hingga penetapan ketua baru,” jelasnya di sela kegiatan.

    Munif menambahkan bahwa mekanisme pemilihan menggunakan sembilan suara dari empat kecamatan di Kota Pasuruan. Suara tersebut menjadi penentu siapa yang akan menakhodai Golkar ke depan. Ia menyebut musyawarah mufakat tetap diutamakan, tetapi voting disiapkan jika tidak tercapai kesepakatan.

    Musda kali ini juga membahas penyusunan program serta penguatan struktur organisasi. Panitia menargetkan seluruh rangkaian acara tuntas dalam satu hari sehingga proses konsolidasi bisa segera dilanjutkan.

    “Semoga ketua terpilih mampu membawa Golkar lebih maju. Dan semakin solid dalam melayani masyarakat Kota Pasuruan,” tutupnya. [ada/beq]

  • Darurat Kekerasan Anak, Ketua Komisi X Dorong Guru BK Lebih Perhatian

    Darurat Kekerasan Anak, Ketua Komisi X Dorong Guru BK Lebih Perhatian

    Darurat Kekerasan Anak, Ketua Komisi X Dorong Guru BK Lebih Perhatian
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menyorot telah terjadinya darurat kekerasan di sekolah, mengingat banyaknya kasus perundungan atau
    bullying
    di sekolah.
    “Jadi, kita kan sudah
    darurat kekerasan
    , dan pasti itu banyak sebabnya,” kata Hetifah, saat ditemui di lapangan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam), Jakarta Pusat, Minggu (23/11/2025).
    Menurutnya, kasus-kasus tersebut harus menjadi pendorong bagi para guru bimbingan konseling (BK) untuk lebih memberi perhatian.
    Ia tak ingin para
    guru BK
    memiliki pandangan bahwa tugasnya hanya mencegah dan menangani kasus yang terjadi di lingkungan sekolah.
    Sebab, kasus perundungan juga kerap terjadi di luar sekolah bahkan di rumah.
    “Jadi berarti kan harus betul-betul dikenali. Setiap anak itu kondisinya seperti apa kalau ada perubahan. Baik guru maupun orang tuanya harus lebih
    care
    (peduli) gitu. Sekarang, enggak bisa cuek lagi,” ujar Hetifah.
    Di samping itu, ia mengingatkan peran semua pihak untuk mencegah
    kasus kekerasan
    kembali terjadi kepada anak.
    “Bukan cuma dari anak, tapi juga dari orangtua, guru, dan juga masyarakat di sekitarnya,” tegas Hetifah.
    Politikus Partai Golkar itu juga menekankan pentingnya mengetahui pergaulan, komunikasi, hingga permainan yang anak-anak akses.
    Langkah ini dinilai penting untuk mewaspadai potensi paparan paham radikalisme pada anak.
    “Dan itu bukan semata-mata karena game, tapi banyak cara-cara yang dibuat untuk penetrasi anak-anak kita. Nah, itu juga menjadi satu peringatan yang sangat serius,” ujar Hetifah.
    Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 1.052 kasus yang dilaporkan sepanjang 2025, serta 16 persen diantaranya atau 165 kasus terjadi di lingkungan sekolah.
    Komisioner KPAI Aris Adi Leksono mengatakan hal itu tidak bisa dianggap remeh, sebab 26 kasus diantaranya berujung pada kematian. Anak-anak tersebut memilih mengakhiri hidupnya di rumah atau menggantung diri di sekolah.
    “Sepertiga (kasus bunuh diri) terjadi di satuan pendidikan,” kata Aris, dilansir dari Kompas.com, Selasa (18/11/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Usulan Penggunaan Face Recognition untuk Batasi Anak Main Medsos

    Usulan Penggunaan Face Recognition untuk Batasi Anak Main Medsos

    Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Golkar Gavriel Putranto Novanto mempertanyakan cara Kementerian Komunikasi dan Digital menerapkan pembatasan usia penggunaan media sosial. Ia kemudian memberi usulan, agar pembatasan penggunaan media sosial dengan menerapkan face recognition.

  • Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi

    Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi

    Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi
    Direktur Eksekutif The Strategic Lab | Alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
    INGATAN
    kita tentang Pemilu 2024 masih begitu membekas. Kini, ingatan publik kembali dijejali gelaran Pemilu 2029: mulai dari siapa saja calon presiden potensial, partai politik apa saja yang bakal bertanding, partai politik mana yang elektablitas naik, stagnan dan merosot.
    Padahal, di antara dua pemilu, ada janji yang harus ditunaikan dan kesejahteraan rakyat yang harus diwujudkan.
    Hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 20-27 Oktober 2025, memotret munculnya nama-nama calon presiden potensial dan naik-turunnya elektabilitas partai politik.
    Ada yang menarik dari hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut: elektabilitas
    Gerindra
    naik secara eksponensial mencapai angka 29,4 persen, jauh di atas partai papan atas lainnya seperti PDIP (9,4 persen) dan Golkar (8,9 persen).
    Padahal, hasil Pemilu 2024 menempatkan Gerindra di urutan pemenang ketiga dengan perolehan suara nasional sebesar 13,22 persen, sementara PDIP (16,72 persen) berada pada pemenang pertama dan Golkar (15,29 persen) berada pada pemenang kedua.
    Hasil survei tersebut menjadi langkah awal yang optimistis bagi Gerindra sekaligus alarm peringatan bagi partai politik lainnya.
    Mengapa elektabilitas Gerindra melenting, sementara elektabilitas partai politik lainnya, terutama partai politik pendukung koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran, cenderung mengalami penurunan? Ini terkait dengan faktor kinerja kepemimpinan Prabowo dan sistem pemilu.
    Bagaimana pun juga, elektabilitas Gerindra sangat terkait dengan kinerja kepemimpinan Presiden
    Prabowo Subianto
    .
    Prabowo adalah pendiri partai yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra. Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh kepemimpinan Prabowo memiliki dampak terhadap Gerindra, termasuk elektoral.
    Inilah yang dinamakan
    coatail effect
    atau efek ekor jas. Partai-partai pendukung pemerintah akan mendapatkan manfaat elektoral dari kinerja positif presiden.
    Tingkat kepuasaan masyarakat terhadap kinerja presiden berbanding lurus dengan tingkat dukungan terhadap partai-partai pendukungannya.
    Dalam konteks ini, Gerindra sebagai partainya presiden mendapatkan manfaat elektoral terbesar ketimbang partai-partai pendukung lainnya seperti Golkar, PAN dan Demokrat.
    Presedennya sudah ada. Partai Demokrat mengalami kenaikan signifikan suara, dari 7,45 persen pada 2004 menjadi 20,81 persen pada 2009.
    Kenaikan elektabilitas Demokrat tersebut terjadi dalam 10 tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Masyarakat menghadiahi keberhasilan kepemimpinan SBY dengan memilih Demokrat yang notabene merupakan partainya SBY.
    Apa yang terjadi dengan Gerindra dalam masa kepemimpinan Presiden Prabowo –dengan potret ‘sementara’ hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut– menyerupai dengan pengalaman Demokrat dalam masa kepemimpinan SBY.
    Bedanya, naiknya elektabilitas Gerindra masih pada tahap hasil survei, bukan hasil resmi pemilu.
    Meskipun demikian, hal ini mencerminkan bahwa Gerindra mendapatkan ‘hadiah’
    coatail effect
    dari kinerja Presiden Prabowo yang tingkat kepuasannya mencapai 77,7 persen.
    Dalam simulasi calon presiden, elektabilits Prabowo berada di atas calon-calon yang lain, yaitu mencapai 46,7 persen.
    Tingginya tingkat kepuasaan Prabowo dan naiknya elektabilitas Gerindra ditopang oleh pelbagai program populis Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih dan Sekolah Rakyat.
    Program populis tersebut disertai dengan retorika populis yang memang khas Prabowo, seperti antek-antek asing, pakai uang koruptor untuk rakyat, tindak tegas tambang ilegal meskipun dibekengi para jenderal dan lain sebagainya.
    Rasa-rasanya, program dan retorika populis adalah kombinasi yang tepat untuk menyentuh hati rakyat. Apalagi program populis seperti MBG dan Kopdes Merah Putih melibatkan orang dalam jumlah yang banyak dengan jejaring hingga ke pelosok negeri, yang sangat potensial dijadikan infrastruktur politik ke depannya.
    Jika hanya Gerindra yang memperoleh
    coatail effect
    terbesar Prabowo, lalu bagaimana nasib elektoral partai-partai koalisinya? Di sinilah kompetisi politik sesungguhnya akan terjadi: kompetisi internal antarpartai politik dalam koalisi.
    Tanpa mendahului nasib politik, Pemilu 2029 tentu menguntungkan petahana. Dalam sejarah pemilihan presiden langsung pascareformasi, presiden selalu menjabat dua periode atau 10 tahun kepemimpinan.
    Karena itu, selain memperebutkan posisi cawapres-nya Prabowo, kompetisi politik sesungguhnya terjadi antarpartai politik, terutama di antara partai politik koalisi pemerintah.
    Dengan kata lain, dukungan dalam Pilpres boleh sama, tapi urusan pemilihan legislatif (pileg) masing-masing partai politik saling berebut suara pemilih.
    Masing-masing partai politik tentu tidak menghendaki penurunan perolehan suara, yang otomatis berdampak pada penurunan perolehan kursi di parlemen.
    Kerja elektoral adalah kerja kesunyian masing-masing partai dan caleg. Dengan naiknya elektabilitas Gerindra dalam survei tersebut berarti alarm bagi partai-partai koalisi pemerintah.
    Ada dua kemungkinan respons partai: semakin mengasosiasikan dengan Prabowo agar kebagian
    coatail effect. 
    Atau sedikit mengambil jarak, tapi masih dalam radar pendukung pemerintah, demi fokus persiapan menghadapi pemilu.
    Dua kemungkinan respons tersebut akan diuji dalam agenda politik terdekat, yaitu terkait Revisi UU Pemilu yang notabene merupakan aturan main kompetisi.
    Elektabilitas Gerindra boleh tinggi –sebagaimana dipotret dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia di atas– dalam sistem proporsional tertutup (memilih partai saja).
    Namun, dalam sistem proporsional terbuka hari ini (memilih caleg dan atau partai) apakah elektabilitas Gerindra bakal tetap tinggi?
    Bagaimana pun juga, sistem pemilu menjadi salah satu penentu kemenangan suatu partai politik.
    Karena itu, Revisi UU Pemilu yang rencana akan dibahas di DPR RI pada 2026 mendatang, menjadi arena kompetisi antarpartai politik, termasuk kompetisi internal koalisi pemerintah. Di sini lah kompetisi awal itu akan berlangsung, sebelum menghadapi pemilu mendatang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie
                        Nasional

    3 Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie Nasional

    Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie
    Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

    Kesetiaan bukan berarti harus menjilat, melainkan juga mencegah beliau dari kesesatan yang justru dilakukan kaum penjilat itu
    .” – Leonardus Benyamin Moerdani
    LEONARDUS
    Benjamin (LB) Moerdani adalah Panglima ABRI dari tahun 1983 hingga 1988 dan pernah menjabat pula sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan periode 1988 – 1993.
    Berkat keberaniannya di medan laga seperti penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) serta Operasi Trikora di Irian Barat, Presiden Soekarno pernah menganugerahi Bintang Sakti untuk LB Moerdani.
    Peringatan yang disampaikan LB Moerdani di atas disampaikan kepada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari Presiden Soeharto ketika itu.
    Moerdani tidak ingin Soeharto salah langkah, sama sebangun dengan para penjilat kekuasaan yang “pura-pura” setia, tetapi “menusuk” dari belakang.
    Moerdani adalah sosok yang begitu konsisten, walau akhirnya tersingkirkan oleh kekuasaan yang dibelanya dengan segenap jiwa raganya.
    Walau saat ini kita begitu sulit menemukan figur-figur seperti Moerdani, tapi sejumlah kader
    Gerindra
    di berbagai daerah mulai berani mengejahwantahkan sikap Moerdani terhadap rencana Ketua Umum
    Projo
    ,
    Budi Arie
    Setiadi yang ingin bergabung dengan Gerindra.
    Budi Arie mencari “rumah politik” baru dengan berencana bergabung ke Partai Gerindra. Bahkan keinginannya itu dia sampaikan di forum internal organisasinya, yakni di Munas ke III ProJo di Jakarta pada Sabtu, 1 November 2025 lalu.
    Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika di era Jokowi itu merasa Presiden Prabowo mempersilahkan dirinya bergabung ke Gerindra.
    Padahal, konteks pernyataan Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra saat menghadiri Kongres PSI di Solo, 20 Juli 2025 lalu, adalah sekadar bertanya ke Budi Arie mengenai langkah lanjutan kariernya di politik.
    Jika “ke-ge-er-an” politik tersebut dianggap serius oleh Budi Arie, tentu dirinya kurang paham dengan basa-basi dalam pergaulan.
    Basa basi adalah adat sopan santun, tata krama dalam pergaulan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KKBI), ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi.
    Jika melihat sepak terjang Budi Arie yang dianggap berbagai kalangan sebagai sosok yang oportunis, tentu penolakan sejumlah kader Gerindra adalah wajar.
    Jangan lupakan sejarah, ketika Projo dideklarasikan pada 2013, maksud pendiriannya sudah “cetho weleh-weleh”. Projo dididirikan untuk mendukung Joko Widodo dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2014.
    Di berbagai baliho, spanduk, dan atribut kampanye, kata “Projo” selalu berdampingan dengan foto Jokowi. Bahkan, diabadikan sebagai lambang resmi organisasi.
    Dalam konteks komunikasi politik, asosiasi ini bukan kebetulan, melainkan strategi simbolik yang efektif (
    Rmoljatim.id
    , 4 November 2025).
    Menjadi “lucu” ketika Jokowi sudah turun dari panggung politik nasional dan semakin menguatnya posisi politik Prabowo Subianto, tiba-tiba Budi Arie merevisi jati diri Projo.
    Projo bukan lagi akronim dari “Pro Jokowi”, melainkan menurut Budi Arie, berasal dari bahasa Sansekerta dan Kawi yang berarti “rakyat” atau “warga negara”.
    Pernyataan ini tentu sekilas terdengar seperti klarifikasi linguistik yang netral. Namun, jika ditarik ke dalam konteks politik, ia menyerupai upaya
    rebranding
    ideologis yang kaya makna. Bahkan terkesan ambigu, seperti ingin “mencari selamat”
    Penolakan kader Partai Gerindra di sejumlah daerah seperti dari Gresik, Blitar, Tulungagung, Sidoarjo dan Pati terhadap niatan Budi Arie untuk bergabung dengan Gerindra adalah realitas politik terkiwari.
    Selama ini, urusan “pindah-pindah” partai menjadi kewenangan elite partai, sementara kader di daerah hanya “manut” dan pasrah dengan kebijakan dewan pimpinan pusat partai. Praktik ini berlaku umum di semua partai politik.
    Ketika PDI Perjuangan (dulu PDI) berjaya jelang kejatuhan Orde Baru, sejumlah kader partai lain eksodus ke partai “banteng”.
    Begitu Demokrat menang di Pemilihah Presiden 2004, maka partai berlogo “mercy” pun sibuk menerima “naturalisasi” kader dari partai-partai lain.
    Pun demikian dengan kemenangan Jokowi di Pemilihah Presiden 2014, maka partai-partai pengusung Jokowi ramai dijadikan sasaran perpindahan kader partai. Kini fenomena “kutu loncat” terjadi di Partai Gerindra.
    Fenomena kutu loncat dalam partai politik adalah perilaku politikus yang sering berpindah-pindah partai tanpa alasan ideologis yang kuat. Sering kali didorong kepentingan pribadi seperti perebutan kekuasaan atau keuntungan.
    Dalam kasus niatan Budi Arie “loncat” ke Gerindra, tentu publik dengan mudah membacanya sebagai mencari “perlindungan” politik mengingat kasus situs judi online semasa dirinya menjabat Menkoinfo.
    Fenomena kutu loncat bisa terjadi karena partai politik tidak memiliki ideologi yang kuat, sehingga politikus lebih mudah “loncat” saat terjadi konflik internal atau mencari partai lain yang menawarkan peluang lebih besar.
    Kurangnya ikatan ideologis yang kuat membuat politikus tidak memiliki kesabaran untuk mengelola konflik internal dan lebih memilih “kabur”.
    Kasus Ruhut Sitompul yang “hatrick” pindah partai politik (dari Golkar ke Demokrat lalu ke PDI Perjuangan) adalah gambaran betapa partai sekelas PDI Perjuangan pun rentan dalam fondasi partai yang kokoh.
    Begitu pula Priyo Budi Santoso. Setelah lama menjadi kader Partai Golkar, Priyo yang sempat “mampir” di Partai Berkarya kini mukim di Partai Amanat Nasional.
    Ferdinand Hutahean pun kini menjadi kader banteng setelah sempat bercokol di Demokrat dan Gerindra.
    Fenomena kutu loncat dalam jangka panjang tentu akan menggerus kepercayaan publik terhadap partai politik. Publik menjadi resisten dan apatis terhadap partai dan politikus “bunglon”.
    Politikus yang sering berpindah dapat melemahkan partai dan menciptakan ketidakstabilan politik.
    Partai politik memberikan kesempatan kepada politisi “kutu loncat” untuk bergabung dengan harapan bisa mendongkrak suara partai karena dana atau tuah kepopuleran.
    Ketika “hijrah” dari Golkar ke Partai Berkarya, Priyo semula diandalkan untuk menjalankan mesin partai karena dianggap berpengalaman di partai sebelumnya.
    Di Pemilu 2019, Berkarya meraup 2.929.495 suara atau setara 2,09 persen. Sementara di Pemilu 2024, Berkarya malah tidak lolos sebagai partai peserta Pemilu.
    Sikap keterbukaan partai yang asal menerima kader “bunglon” merupakan sesuatu yang tidak elok dalam etika politik.
    Motivasi politisi seperti ini dipastikan hanya untuk kepentingan pribadi yang jelas-jelas mengabaikan prinsip etika dan norma dalam berpolitik.
    Partai yang memiliki ideologi yang kuat dan jelas sebenarnya dapat mencegah munculnya politisi “bunglon” dan tidak mudah memberikan privilege kepada politisi lain tanpa
    screening
    yang ketat demi menjaga kemurnian ideologi partai.
    Partai harus menghargai kader-kader yang loyal dan berdedikasi terhadap partai selama ini.
    Apakah Gerindra pada akhirnya akan memilih sikap yang sama dengan partai-partai lain yang “asal” menerima anggota tanpa pertimbangan?
    Apakah suara-suara penolakan sejumlah kader Gerindra di berbagai daerah menjadi pertimbangan elite Gerindra?
    Ketua DPP Gerindra, Prasetyo Hadi menyebut partainya belum final menerima atau tidak menerima permohonan bergabung dari Budi Arie.
    Sikap arus bawah tentu menjadi pertimbangan DPP Gerindra.
    “Kekuatan aksi nyata sekecil apapun lebih berarti daripada seribu kata” – Mendiang Prof Suhardi (salah satu pendiri Partai Gerindra).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.